Ian Buruma: Ideologi dan Kekerasan

Artikel menarik yang menyoroti tindakan kekerasan jihadis ala extremis di Perancis yang baru-baru ini terjadi oleh seorang Pemuda Muslim. Apa yang melatari terjadinya serangan teror mematikan tersebut dan bagaimana pula cara menjawabnya?

Dalam artikelnya yang dimuat Opini Tempo, 16 April 2012, Ian Buruma, Guru Besar Demokrasi dan Hak Asasi Manusia di Bard College University, New York, memantik pikiran kita untuk lebih mengkaji permasalahan tersebut lebih serius dan mendalam. Selamat membaca, semoga bermanfaat.

———————————————————

Opini Tempo,

Senin, 16 April 2012

Apa yang membuat Mohammed Merah, seorang remaja muslim Prancis, membunuh tiga anak sekolah dan seorang rabi Yahudi serta tiga orang tentara, yang dua di antaranya sesama muslim? Apa yang membuat Anders Breivik menembak mati lebih dari 60 remaja di sebuah perkemahan musim panas di Norwegia tahun lalu? Pembunuhan-pembunuhan ini begitu luar biasa, sehingga orang menuntut penjelasan.

Menamakan pembunuh-pembunuh ini “monster”, seperti yang banyak dilakukan orang, tidak menjelaskan persoalan. Pembunuh-pembunuh ini bukan monster, mereka anak-anak muda. Dan menamakan mereka orang-orang gila juga tidak menjelaskan persoalan. Jika mereka secara klinis dinyatakan gila oleh dokter, tidak perlu ada penjelasan lagi.

Dua penjelasan menonjol, dua-duanya menyangkut persoalan sosio-politik. Satu dikemukakan aktivis muslim Tariq Ramadan. Ia menyalahkan masyarakat Prancis, khususnya menyalahkan kenyataan bahwa anak-anak muda dari keluarga muslim di Prancis telah dimarginalkan karena agama dan warna kulitnya.

Walaupun mereka memiliki paspor Prancis, warga-warga muslim ini diperlakukan sebagai orang asing yang tidak dikehendaki. Ketika Presiden Prancis Nicolas Sarkozy, yang juga merupakan anak seorang imigran, mengatakan terlalu banyak orang asing yang tinggal di Prancis, ia makin memojokkan anak-anak muda, seperti Merah. Sekelompok kecil di antara mereka yang tersisihkan ini, seperti Merah, mungkin akan bereaksi keras dalam keputusasaan.

Penjelasan lainnya, yang disenangi Sarkozy, adalah menerima apa yang dikatakan Merah sendiri. Merah menyatakan memprotes operasi-operasi militer yang dilakukan Prancis di negara-negara muslim dan membalas dendam pembunuhan anak-anak Palestina. Ia ingin meruntuhkan negara Prancis sebagai seorang pejuang muslim. Ia terinspirasi oleh Al-Qaidah. Jadi mengapa tidak percaya saja pada apa yang diucapkannya? Itulah alasan keputusan yang diambil Sarkozy untuk menangkap warga muslim lainnya yang dicurigai sebagai muslim ekstremis dan melarang imam-imam tertentu menghadiri konferensi keagamaan di Prancis.

Mereka yang memandang ekstremisme muslim sebagai masalah cenderung menyalahkan pembunuh-pembunuh muda, seperti Merah, sebagai bukti gagalnya integrasi. Mereka dianggap tidak cukup menunjukkan diri sebagai warga Prancis. Imigran-imigran ini harus dipaksa mengemban bersama “nilai-nilai Barat”.

Meskipun tidak ada yang berargumentasi bahwa Anders Breivik tidak cukup menunjukkan diri sebagai warga Norwegia, ia juga bisa diterima sesuai dengan apa yang diucapkannya. Retorika yang dikemukakan demagog anti-imigran telah meyakinkan Breivik bahwa ia harus membunuh anak-anak elite sosial demokrat untuk melindungi peradaban Barat atas bahaya multikulturalisme dan Islam. Pembunuhan yang dilakukannya merupakan akibat ekstrem pandangan yang berbahaya.

Kedua alasan itu tidak sepenuhnya salah. Banyak anak muda muslim merasa tidak diterima di negara tempat mereka dilahirkan, dan bahasa yang ekstrem, baik yang digunakan kelompok islamis maupun kelompok lawan mereka, ikut menciptakan iklim kekerasan.

Tapi, baik Ramadan maupun Sarkozy terlalu simplistis dalam penilaian mereka, karena mereka mereduksi pembunuhan-pembunuhan yang luar biasa ini dalam penjelasan tunggal. Bahkan, ketika mereka dihadapkan pada penolakan, sebagian besar anak muda muslim itu tidak menjadi pembunuh massal. Merah adalah anomali yang sangat tidak pantas dijadikan contoh yang khas dari suatu apa pun, termasuk diskriminasi ras atau agama.

Merah, yang sama sekali bukan seorang fanatik agama, beranjak remaja sebagai seorang kriminal cilik yang sama sekali tidak menunjukkan minat pada agama. Daya tarik ekstremisme islamis mungkin glorifikasinya pada kekerasan, bukan pada kandungan agama itu sendiri. Merah menikmati video-video yang menggambarkan kekerasan yang dilakukan kelompok jihadi. Ia mencoba masuk tentara Prancis dan legiun asing. Tentara menolaknya karena catatan kriminalnya. Jika Prancis tidak menghendakinya, ia akan ikut pejuang-pejuang jihadi: apa saja yang memberinya kekuatan dan alasan untuk memenuhi dorongan kekerasan dalam dirinya.

Banyak anak muda yang tertarik pada fantasi kekerasan, tapi sedikit sekali di antara mereka yang merasa perlu mewujudkannya. Ideologi bisa menjadi excuse atau pembenaran, tapi jarang merupakan sumber utama tindak kekerasan individu. Pembunuhan lebih sering merupakan bentuk balas dendam pribadi-–pecundang yang ingin meledakkan dunia di sekelilingnya, karena merasa dihinakan atau ditolak, apakah itu sifatnya sosial, profesional, atau seksual.

Kadang-kadang pembunuh itu tampaknya tidak memiliki excuse sama sekali, seperti dalam kasus Eric Harris dan Dylan Klebold, yang pada 1999 menembak 12 orang sesama siswa dan seorang guru di suatu sekolah menengah di Columbine, Colorado, Amerika Serikat. Dalam kasus tersebut, orang menyalahkan video game dan film sadistis yang disaksikan para pembunuh itu. Namun sebagian penggila jenis hiburan ini sebenarnya tidak berkeliaran dan membunuhi orang.

Breivik memendam fantasi seorang kesatria yang berjuang melawan musuh-musuh Barat. Merah berimajinasi sebagai seorang jihadi. Siapa yang tahu apa yang ada dalam benak pembunuh-pembunuh di Columbine itu ketika mereka melakukan kekerasan. Tapi alasan mengapa mereka membunuh itu terletak di dalam diri mereka sendiri, dan tidak bisa dikaitkan terutama dengan hiburan dan materi-materi lainnya yang mereka konsumsi.

Melarang materi-materi seperti itu, yang jelas punya daya tarik estetika, tentu tak tepat. Tapi toko-tokoh publik yang menyerukan kekerasan harus dikutuk. Pidato yang menanamkan kebencian dan ideologi yang menganjurkan kekerasan bukan tidak irelevan. Tapi terlalu membesar-besarkannya dalam kasus-kasus seperti yang dilakukan Merah atau Brevik bisa menyesatkan.

Sensor tidak mungkin menyelesaikan persoalan. Melarang Mein Kampf–nya Hitler atau melarang peragaan simbol-simbol Nazi tidak berhasil menghalangi neo-Nazi di Jerman membunuh para imigran. Melarang pornografi yang menonjolkan kekerasan tidak akan menghentikan pemerkosa dan pembunuh di sekolah-sekolah menengah. Mencegah demagog menyerang muslim dan multikulturalisme tidak akan mencegah seorang Anders Breivik baru melakukan kekerasan serupa di masa depan. Dan melarang imam-imam radikal masuk Prancis tidak akan mencegah seorang Merah lainnya melakukan kekerasan serupa pula.

Sebenarnya, membandingkan tindak pembunuhan yang dilakukan Merah dengan pembunuhan yang terjadi pada 11 September 2001, seperti yang diutarakan Sarkozy, berarti memberikan penghargaan yang terlalu tinggi kepada pembunuh tersebut. Tidak ada bukti bahwa Merah adalah bagian dari suatu kelompok yang terorganisasi atau memelopori suatu gerakan revolusi. Menggunakan kasus Merah untuk membangkitkan ketakutan akan ancaman kelompok islamis terhadap masyarakat mungkin berarti bagi Sarkozy pada saat bakal dilakukan pemilihan presiden yang baru di Prancis. Tapi membangkitkan ketakutan jarang menjadi resep yang baik untuk menghindarkan terjadinya kekerasan lebih lanjut. Sebaliknya, ia mungkin akan lebih mengobarkan ketakutan itu.

Sumber: Tempo, 16 April 2012

Ian Buruma
GURU BESAR DEMOKRASI DAN HAK ASASI MANUSIA DI BARD COLLEGE, NEW YORK; PENGARANG BUKU TAMING THE GODS: RELIGION AND DEMOCRACY ON THREE CONTINENTS

Agama Tanpa Perdamaian

Refleksi akhir tahun ICRP (Indonesian Conference on Religion and Peace) sebuah organisasi yang aktif mewujudkan perdamaian melalui agama menyimpulkan, di Indonesia agama belum menjadi media untuk mewujudkan kehidupan damai. Sebaliknya, agama malah menjadi alat pemicu konflik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Sejatinya, agama datang untuk membangun damai di antara manusia. Keyakinan itulah yang menginspirasi para pendiri republik ini menggunakan nilai-nilai agama dengan formulasi yang amat indah, yakni Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama dalam Pancasila, ideologi dan falsafah negara. Tentu harapannya adalah dengan menjadikan nilai-nilai agama yang amat sentral itu sebagai basis dalam pengelolaan kehidupan berbangsa akan terwujud suatu bangsa yang bukan hanya religius, tetapi juga mencintai perdamaian.

Menjadikan agama sebagai media untuk mewujudkan perdamaian dalam kehidupan manusia di mana pun merupakan cita-cita luhur umat beragama di seluruh dunia, tak terkecuali bangsa Indonesia. Agama harus diarahkan sepenuhnya untuk kepentingan perdamaian. Karena itu, religions for peace (agama untuk perdamaian) menjadi semboyan yang diproklamirkan para pemuka agama di berbagai belahan dunia saat ini.

Pertanyaan muncul, apa itu perdamaian? Ada banyak definisi tentang perdamaian, namun paling tidak, perdamaian harus menjamin tiga hal: penghargaan terhadap manusia sebagai makhluk bermartabat; perlakuan setara terhadap semua manusia tanpa membedakan unsur jenis kelamin, gender, bahasa, warna kulit, suku, ras, agama dan kepercayaan; dan pemenuhan hak asasi manusia tanpa diskriminasi sedikit pun.

Sangat jelas bahwa tidak mungkin ada perdamaian selama masih ada praktek diskriminasi, eksploitasi, dan kekerasan  terhadap suatu kelompok untuk alasan apa pun, termasuk atas nama agama; tidak ada perdamaian selama masih ada perilaku korupsi, nepotisme dan politik uang; tidak ada perdamaian jika masih ada kemiskinan dan kebutuhan pokok masyarakat belum terpenuhi; tidak ada perdamaian jika masih ada pelanggaran hukum dan kasus hak asasi manusia; tidak ada perdamaian tanpa upaya serius menjaga kelestarian alam.

Mengapa penting mempromosikan agama untuk perdamaian? Jawabnya sederhana, secara normatif semua agama mengajarkan tiga hal utama sebagai basis dalam perwujudan perdamaian, yaitu pentingnya penghargaan terhadap manusia sebagai makhluk bermartabat; perlakuan setara terhadap semua manusia tanpa kecuali; dan pemenuhan hak asasi seluruh manusia tanpa diskriminasi sedikit pun. Jadi, secara hakiki agama datang demi mewujudkan perdamaian.

Sayangnya dalam fakta realitas di negeri ini tidak demikian. Alih-alih jadi sumber damai, agama malah dijadikan alat pemicu konflik dan teror, agama diubah fungsinya sedemikian rupa menjadi komoditi politik dan kehilangan spiritnya sebagai sumber inspirasi damai. Bahkan, sebagian warga telah menjadikan agama sebagai berhala yang disembah. Akibatnya, atas nama agama, institusi agama berani mengeluarkan fatwa yang membuat sekelompok warga kehilangan haknya untuk beragama secara bebas, bahkan sekelompok warga rela membunuh sesama; atas nama agama, berbagai aksi teror dan bom bunuh diri pun terjadi; atas nama agama, sekelompok warga berani melarang warga lain mendirikan rumah ibadah meski telah lama memiliki izin bangunan; atas nama agama, pemerintahan kota berani mengeluarkan SK yang melawan keputusan MA; atas nama agama, pemerintah daerah berani menerbitkan perda-perda diskriminatif dan inkonstitusional.

Akibatnya, agama gagal memberi efek konstruktif pada pengelolaan kehidupan berbangsa dan bernegara serta peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia. Jangan heran, jika jumlah dana yang melimpah untuk pembangunan bidang agama sungguh-sungguh tidak efektif dalam meningkatkan kualitas moral dan religiusitas bangsa ini. Maraknya kasus pelanggaran hukum dan hak asasi manusia, semakin membengkaknya kasus korupsi dan nepotisme, semakin ramai pelaksanaan pilkada yang  culas dan sarat dengan politik uang, penyalahgunaan anggaran pembangunan, mafia hukum, tingginya angka kriminalitas, kekerasan, dan berbagai bentuk eksploitasi lingkungan. Semua itu merupakan cerminan masyarakat yang tidak bermoral, masyarakat yang jauh dari nilai-nilai agama.

Perlu membangun budaya damai              

Diperlukan kerja keras dan upaya serius dari semua pihak, baik pemerintah maupun masyarakat sipil (civil society), dan terutama para pemuka agama demi menjadikan agama sebagai inspirasi perdamaian. Antara lain, perlu melakukan upaya-upaya rekonstruksi budaya, mengubah budaya kekerasan dan intoleran menjadi budaya damai (culture of peace), khususnya melalui pendidikan agama dalam arti seluas-luasnya, mulai dari pendidikan agama dalam keluarga. Mengapa perlu reformasi pendidikan agama? Sebab, pendidikan agama selama ini lebih banyak mengajarkan doktrin, ritual dan hal-hal bersifat legal-formalistik sehingga akhirnya lebih banyak melahirkan sikap permusuhan dan kebencian pada orang berbeda. Ini harus segera diakhiri.

Pendidikan agama perlu menggunakan pendekatan multikulturalisme dan berpijak pada nilai-nilai Pancasila dan prinsip pluralisme. Pendidikan agama hendaknya fokus pada upaya transformasi nilai-nilai moral, nilai-nilai universal kemanusiaan yang merupakan intisari agama, seperti keadilan, kebenaran, kejujuran, kemaslahatan, kedamaian, kesetaraan, kebebasan dan tanggung jawab. Perlu sekali mengubah budaya masyarakat yang eksklusif, intoleran, culas, dan senang kekerasan menuju budaya inklusif, toleran, jujur, bersih, humanis dan pluralis.

Terakhir, pendidikan agama harus mampu melahirkan manusia yang cinta damai dan berakhlak mulia. Semoga di masa depan pembangunan bidang agama yang menggunakan anggaran negara yang tidak sedikit jumlahnya itu sungguh dapat mewujudkan masyarakat Indonesia yang religius dan vokal menyuarakan perdamaian.

Musdah Mulia

Ketua Umum Indonesian Conference on Religion and Peace (Agama untuk Perdamaian)

Arah Baru Politik HAM di Dunia Muslim

Oleh Muhammad Hafiz

Pertemuan pertama Komisi HAM Organisasi Kerjasama Islam (OKI) yang berlangsung selama 5 hari di Jakarta (20 – 24 Februari 2012) semakin menegasikan pandangan dikotomis antara Islam dan HAM. Bukan sekedar antitesis teoritis, sidang Komisi Independen Permanen Hak Asasi Manusia (IPHRC) ini menjadi bukti empirik betapa pikiran jernih dan niat tulus dapat mendamaikan HAM dan Islam untuk membangun masyarakat dunia yang lebih manusiawi dan beradab.

Sidang IPHRC yang dihadiri oleh 18 Komisioner dan perwakilan sejumlah Negara Anggota OKI menandai pula berubahnya politik HAM di dunia Muslim kontemporer. Relasi HAM dan Islam yang selama ini dilihat secara antagonistik mengarah pada suatu dialog dan kerjasama di antara keduanya untuk membangun tatanan norma bersama yang lebih baik. IPHRC telah menambah skema perlindungan HAM berbasis kawasan, selain Eropa, Afrika, Inter-Amerika dan ASEAN. IPHRC bahkan menjadi satu-satunya badan HAM lintas kawasan di dunia, dengan karakter keagamaan.

Mengais Kemajuan, Merespon Kekinian

Berdirinya IPHRC menjadi perhatian masyarakat internasional, karena sejak awal OKI menjadi salah satu blok politik di PBB yang dianggap mengancam pembangunan standard HAM global. Di Jakarta (20/2), Utusan Komisi Tinggi HAM PBB mengapresiasi berdirinya IPHRC. Apalagi, sidang pertamanya justru diadakan di Negara yang note bene berazaskan Pancasila, bukan Negara Islam.

Ada sejumlah kesan dan fakta menarik yang patut diungkap selama sidang IPHRC berlangsung. Kesan dan fakta ini semakin menguatkan bahwa pada dasarnya komunitas Islam mampu menyimpan dahulu sentimen emosional terhadap HAM dan mengedepankan nilai-nilai universal yang lebih kompatibel dengan perkembangan dan tuntutan kekinian.

Pertama, di tengah fenomena penyingkiran perempuan dari ruang publik dengan alasan agama, IPHRC justru menempatkan empat orang Komisioner perempuan di dalamnya.  Statuta (IPHRC) bahkan tegas memungkinkan adanya calon perempuan tersebut. Sebuah terobosan, tatkala perempuan Arab Saudi masih dilarang menyetir dan baru akan diberikan hak politik pada 2015, Anggota IPHRC justru memilih Siti Ruhaini Dzuhayatin, perempuan yang menjadi wakil Indonesia di Komisi ini, sebagai Ketua sementara.

Fenomena ini tentu bukan hal baru di Indonesia. Tapi tidak demikian di negara Muslim lain yang masih tabu dengan keterlibatan perempuan di ruang publik. Salah satu media massa Arab Saudi, The Saudi Gazette, bahkan sengaja merilis tentang perempuan yang menjadi Ketua IPHRC (22/2). Pernyataan salut atas kepemimpinan perempuan ini juga terlontar dari mulut Komisioner IPHRC wakil Maroko pada sesi penutupan sidang.

Kedua, hal lain yang juga menarik adalah keterbukaan IPHRC selama sidang berlangsung. Selain menggambarkan kerendahan hati para Komisioner untuk menerima masukan dari para ahli internasional HAM, sidang ini menampakkan sebuah proses musyawarah yang betul-betul fair, di mana setiap orang tidak membawa suatu keputusan final untuk dipertahankan secara membabi-buta dan semua kepala menerima keputusan bersama yang sesuai dengan kepentingan umum. Suatu praktik bermusyawarah yang dapat dikatakan lenyap dari praktik politik Islam atau demokrasi modern saat ini.

Keterbukaan IPHRC secara khusus dengan masyarakat sipil dan media massa juga menjadi salah satu keistimewaan Komisi yang baru berumur jagung ini. Para Komisioner tidak memandang masyarakat sipil atau media massa sebagai musuh yang harus ditakuti dan ditutup aksesnya. Suatu kenyataan yang tidak ditemukan pada Komisi HAM ASEAN yang telah berdiri sejak 2010.

Ketiga, kesan lain yang sangat progresif dari pertemuan ini adalah keberanian para Komisioner untuk membedakan antara HAM sebagai suatu standard norma universal dengan doktrin HAM yang menjadi kepentingan politik kelompok tertentu. Dalam memandang permasalahan Palestina-Israel, Komisioner memandang, bahwa perlindungan hak-hak warga sipil, terutama perempuan dan anak, adalah lebih utama dibandingkan terlibat dalam perseteruan politik di antara kubu yang berkonflik.

Dalam perdebatan antara HAM dan Islam, walau harus memakan waktu sekitar empat jam dan menjadi tema diskusi yang paling alot selama sidang, para Komisioner bersepakat untuk meletakkan nilai universal HAM sebagai basis pelaksanaan HAM dan meninggalkan pandangan dikotomis HAM dan Islam. Pilihan ini semakin meyakinkan publik, tidak hanya umat Islam dan masyarakat Indonesia, tetapi seluruh komunitas internasional, bahwa IPHRC akan menjadi salah satu pilar pembangunan peradaban HAM umat manusia, sekaligus menandai arah baru politik HAM internasional.

Di atas itu semua, kita semua berharap agar IPHRC mampu menjawab permasalahan krusial HAM di Negara-negara Muslim dengan mengedepankan standard HAM universal. Identitas keislaman yang melatari Komisi ini diharapkan bukan menjadi penghalang pemajuan HAM atau sekedar kamuflase atas peradaban HAM yang dianggap dari Barat, tapi sebaliknya menjadi legitimasi religius bagi Negara-negara Muslim untuk meletakkan HAM sebagai azas kehidupan berbangsa dan bernegara.

OKI, Kebijakan Luar Negeri dan Kepentingan Nasional

Oleh Muhammad Hafiz

Dalam periode satu tahun ini, Indonesia akan disibukkan dengan sejumlah pertemuan multilateral Negara-negara Muslim, dimulai dengan Pertemuan Parlemen OKI di Palembang pada 24 – 31 Januari 2012 sampai Pertemuan Kementerian Pemberdayaan Perempuan pada Desember 2012. Indonesia juga akaan menjadi tuan rumah Pertemuan Pertama Komisi HAM OKI yang baru dibentuk tahun lalu pada 20 – 24 Februari 2012 mendatang.

Dibandingkan masa-masa sebelumnya, kesiapan Indonesia untuk menjadi tuan rumah tersebut dan posisi strategis yang diambil oleh Ketua DPR RI sebagai sebagai Presiden Persatuan Parlemen OKI 2012 – 2013 menunjukkan adanya perubahan politik luar negeri Indonesia dalam menjalin hubungan kerjasama dengan Negara-negara Muslim. Perubahan ini tentu membawa implikasi bagi Indonesia, baik secara mikro atau makro, namun secara praktis tentunya kembali lagi kepada Indonesia apakah akan mengambil peranan penting dalam perubahan ini untuk kepentingan Nasional warga negara atau hanya terhenti pada tataran normatif?

Kemunculan OKI tidak dapat dipisahkan dari peristiwa pembakaran Masjid Al-Quds, Palestina, pada Agustus 1969, yang memunculkan reaksi keras dari umat Islam di seluruh dunia. Dalam perkembangannya, OKI yang semula lebih banyak berkonsentrasi permasalahan Palestina, beralih menjadi wadah kerjasama antar Negara-negara Muslim di pelbagai bidang. Untuk menjawab tantangan pergaulan masyarakat internasional, OKI bahkan berupaya mereformasi diri dan terlibat secara lebih luas dengan isu-isu yang selama ini dihindari. Upaya untuk bekerjasama dengan Negara-negara Barat lebih diutamakan oleh OKI dibandingkan bersikap defensif, seperti dalam isu demokratisasi dan hak asasi manusia. Sebagai jawaban atas pelbagai tantangan yang mengemuka ini pula, secara kelembagaan OKI melakukan reformasi diri, di antaranya melalui KTT Luar Biasa OKI ke-3 di Mekkah, Arab Saudi, pada 7-8 Desember 2005, yang menghasilkan Mecca Declaration, OIC 10-years Program of Actions, dan adanya revisi terhadap Piagam OKI.

Perjalanan reformasi inilah yang kemudian menjadikan OKI semakin terlibat dalam kerjasama internasional dengan pelbagai organisasi, seperti PBB atau organisasi regional lainnya, terutama dalam isu-isu yang “sensitif” bagi komunitas Islam. OKI juga telah membentuk Komisi HAM pada Juni 2011 dan pada 2008 juga dirumuskan Program Aksi Pemberdayaan Perempuan OKI (OPAAW) sebuah dokumen yang berangkat dari pengalaman dan kondisi aktual perempuan di Negara-negara Muslim. Tidak hanya itu, dalam hal konteks pluralisme, OKI mengusulkan adanya Resolusi tentang “Penghapusan Intoleransi, stigmatisasi, diskriminasi dan tindakan kekerasan berdasarkan agama/keyakinan” di Dewan HAM PBB pada Maret 2011. Walaupun tidak termasuk Anggota Dewan HAM, Pemerintah Indonesia berperan dalam mendorong Resolusi tersebut (Diplomasi Kemlu RI 2011).

Peranan Indonesia dan Kepentingan Nasional

Dalam rangkaian reformasi OKI ini pula Indonesia cukup terlibat di dalamnya, baik secara struktural ataupun substantif, seraya mengetengahkan suatu alternatif nilai Islam Indonesia dan sistem demokrasi yang dipandang oleh Sekjen OKI sendiri sangat positif bila dibandingkan dengan Negara-negara Muslim lain. Namun tentu hal tersebut harus berdampak positif secara Nasional, bukan hanya di bidang ekonomi dan urusan keagamaan, tetapi juga terhadap permasalahan-permasalahan yang selama ini marak terjadi, seperti kasus buruh migran yang banyak di Negara-negara Muslim, kekerasan berbasis agama/keyakinan, sampai upaya untuk memerangi radikalisasi agama.

Seperti dalam pertemuan Parlemen OKI yang tengah berlangsung hari ini di Palembang, sangat positif bila DPR RI telah membuat kerangka kerja legal perlindungan buruh migran, namun upaya tersebut harus pula diikuti dengan kebijakan kongkret di level nasional untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Lebih dari itu, Indonesia harus menjadikan pertemuan yang menggunakan kas Negara ini sebagai momentum penting untuk menghimbau Negara-negara penerima buruh migran agar menghormati seluruh warga negara Indonesia di Negara mereka.

Hal serupa tatkala Indonesia mengusung sebuah Resolusi di Dewan HAM bersama dengan Negara-negara OKI sudah sepatutnya Pemerintah menjadikan resolusi ini sebagai landasan perlindungan dan pemenuhan hak-hak kelompok minoritas agama/keyakinan di Indonesia. Sejauh ini, khusus dalam konteks kebebasan beragama, apa yang menjadi concern Indonesia di luar Negeri belum mampu memberikan pengaruh positif di dalam negeri, sehingga politik luar negeri tersebut masih sebatas pencitraan belaka. Jangan sampai terkesan Indonesia selalu menjual Islam Indonesia ke dunia internasional dengan simbol-simbol moderat, toleran dan menghargai pluralitas, tetapi di sisi lain Pemerintah belum mampu bersikap tegas atas permasalahan diskriminasi dan tindakan intoleran yang terjadi, baik dilakukan oleh aparat Pemerintahan sendiri ataupun oleh kelompok masyarakat intoleran.

Dalam konteks inilah, di tengah menguatnya keterlibatan Indonesia di dalam OKI, Pemerintah harus mampu mengabil peranan penting dalam Organisasi ini untuk dapat membawa kepentingan-kepentingan Nasional dan memberikan dampak positif ke ranah domestik. Pemerintah Indonesia harus melampaui politik pencitraan di mata internasional, apalagi politik “cuci piring” buruknya kondisi dalam negeri.

Radikalisasi Agama di Jabodetabek dan Jawa Barat:Wajah Para ‘Pembela’ Islam

Setara Institute, 2011 – Di Indonesia, negara selalu hadir dan turut campur dalam urusan agama, Sebaliknya, negara justru absen dan tidak berdaya menjangkau serta menghakimi para pelaku intoleransi, diskriminasi, dan kekerasan.

Kebebasan beragama/berkeyakinan merupakan hak fundamental negara yang dijamin oleh Konstitusi Republik Indonesia dan Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-Undang No. 12 Tahun 2005. Sebagai hak asasi manusia dan hak konstitusional warga negara, kebebasan beragama/berkeyakinan menuntut negara untuk menjamin kebebasan itu dan menghukum setiap orang yang mengganggu jaminan kebebasan tersebut.

Derajat keberhasilan negara dalam menjamin kebebasan beragamal/berkeyakinan diukur dengan dua cara. Pertama, negara harus menahan diri atau tidak mengambil tindakan yang dapat mengganggu implementasi hak-hak seseorang atau sekelompok orang (abstain), sehingga prinsip kewajiban ini bersifat negatif (negative obligation). Kedua, negara melindungi hak-hak asasi manusia dari ancaman atau tindakan pihak ketiga (non-state) yang juga dikenal sebagai kewajiban positif (positive obligation). Kewajiban melindungi memerlukan peranan negara, khususnya bagi kelompok yang terdiskriminasi, yakni kelompok minoritas agama/keyakinan; namun secara umum adalam memastikan bahwa kebebasan kelompok ini tidak dilanggar oleh pihak ketiga.

Namun demikian, dalam praktik di Indonesia, negara justru hadir dan turut campur dalam urusan agama, Sebaliknya, negara justru absen dan tidak berdaya menjangkau serta menghakimi para pelaku intoleransi, diskriminasi, dan kekerasan. Bahkan melalui beberapa produk hukum, negara justru menyeponsori intoleransi dan diskriminasi. Negara juga terus-menerus membiarkan berbagai pelanggaran terhadap kebebasan beragama/berkeyakinan kelompok minoritas dan terpinggirkan.

Pembiaran yang paling nampak adalah sikap negara yang terus-menerus menebalkan impunitas terhadap organisasi-organisasi Islam radikal, walaupun nyata-nyata dalam banyak kasus mereka adalah aktor kekerasan. Tidak hanya membiarkan, sejumlah elemen negara dalam berbagai bentuk dan cara, bahkan terus-menerus mengakomodasi secara politik kelompok-kelompok ini.

Setara Institut melakukan riset tentang radikalisme agama di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek) dan Jawa Barat dengan tujuan menyajikan wajah-wajah organisasi Islam radikal yang menurut data dari berbagai laporan tentang kondisi kebebasan beragama/berkeyakinan maupun data riset ini sering mengganggu kebebasan beragama/berkeyakinan warga masyarakat lain.

Dengan mengenali organisasi-organisasi Islam radikal, diharapkan sejumlah langkah dapat dilakukan oleh negara untuk menghapus intoleransi dan diskriminasi agama/keyakinan. Menegakkan hukum bagi para pelaku kekerasan, intoleransi dan diskriminasi serta melakukan deradikalisasi pandangan, perilaku dan orientasi keagamaan melalui kanal politik dan ekonomi adalah rekomendasi utama penelitian ini.

Laporan Setara Institute ini dapat memberikan gambaran tentang organisasi-organisasi tersebut. Sila diunduh di sini