Inspirasi untuk Toleransi

Malam itu, hanya puncak dari keakraban yang aku rasakan. Keramaian yang menyapa, senyum sahabat, teman dan rekan yang sudah lama tak berjumpa. Sapaan dan pesan persahabatan yang kuat dari muka-muka baru yang kutemui. Ragam pesan moral untuk saling menghormati dan saling menyayangi satu sama lain tak henti-hentinya kucatatkan dalam hati.

Aku hadir dalam sebuah acara penganugerahaan Ahmad Wahid Award (AWA) tahun 2012 yang diselenggarakan oleh Forum Muda Paramadina, Hivos, Penerbit Mizan dan KontraS, di teater Salihara, Pasar Minggu. Dengan sangat bersyukur, blog yang tengah anda baca dan kunjungi ini menjadi salah satu finalis AWA 2012 untuk kategori blog. Ya, malam itu, ada tiga kategori sayembara yang akan diumumkan, blog, video dan essai. Semuanya tentang Ahmad Wahid dan inspirasi untuk toleransi.

Acara dimeriahkan dengan sangat renyah dan santai, namun tetap mampu mentransfer pesan toleransi kepada para hadirin. Dimulai dengan pembacaan testimoni tentang Ahmad Wahid dari Gunawan Muhammad, nama yang akan kamu temui tatkala kamu membuka setiap edisi lembaran Majalah Tempo dengan Catatan Pinggir-nya. GM, demikian mas Gunawan Muhammad kerap disapa, pimpinan redaksi di Koran Tempo saat Ahmad Wahid menjadi wartawan di kantor berita ini.

Tak kalah hebatnya, pembacaan beberapa penggalan Ahmad Wahid juga disampaikan oleh Sitok Srengenge. Dengan suara menggema, ia membaca catatan Ahmad Wahid bak membaca puisi. Pesan catatan itu pun tersampaikan dengan agak berbeda dari sekedar kita membacanya langsung dari buku kecil yang berwarna hijau itu. Suara menggelegar dan yang sedikit parau itu seakan memaksa kita untuk merenungi kata demi kata dari apa yang dicatatkan oleh Ahmad Wahid hampir setengah abad yang lalu. Tak pelak, riuhan tepuk tangan hadirin mengiringi Sitok turun dari podiumnya.

Sambutan lain yang sebetulnya sangat serius, tapi disampaikan dengan santai dan ringan, adalah dari Haidar Bagir. Pak Haidar, mungkin demikian ia pantas disapa, menyampaikan pesan toleransi dari para leluhur umat Islam, yang disebutnya dengan para orang tua yang bersorban dan berjenggot. Ia mengutip ungkapan khalifah Ali bin Abi Thalib, Imam Al-Ghazali dan Murtadha Muttahhari. Sayang, aku tak sempat mencatat setiap kata yang ia ucapkan, sehingga menjadi pe-er ke depan untuk mencari kutipan-kutipan bermakna itu.

Penampilan terakhir yang sarat dengan spirit kaum muda adalah penampilan dari Efek Rumah Kaca. Tanpa jeda dan selingan, Efek Rumah Kaca menampilkan hampir 10 lagu, yang ditutup dengan sebuah lagu yang ternyata banyak digandrungi oleh anak muda progresif, Desember.  

Malam itu, bersyukur dapat berkenalan dengan banyak orang-orang hebat di negeri. Tua, muda, setengah baya, bahkan remaja. Semuanya memiliki satu tujuan dan harapan untuk Indonesia, yaitu Indonesia yang toleran dan saling menghormati satu sama lain. Kusampaikan salam ini untuk para teman-teman yang telah memberikan pelajaran penting tentang perjuangan hidup dan jalinan damai dalam kehidupan, terutama bagi teman-teman panitia yang sudah bekerja keras untuk menebarkan nilai-nilai positif yang telah diwariskan oleh Ahmad Wahid untuk generasi berikutnya.

Di tangan kitalah peradaban Indonesia dibangun, dengan tangan kita pula Indonesia menjadi beradab dan damai.

Memang aku dahaga. Dahaga akan segala pengaruh. Karena itu kubuka bajuku, kusajikan tubuhku yang telanjang agar setiap bagian dari tubuhku berkesempatan memandang alam luas dan memperoleh bombardemen dari segala penjuru. Permainan yang tak akan pernah selesai ini sangat mengasyikan. (Ahmad Wahid, Catatan 6 Oktober 1969)

Ihsan Ali Fauzi: Toleransi Dan Keberagaman

Oleh: Ihsan Ali Fauzi | http://www.ahlulbaitindonesia.org. | Rabu, 24 Oktober 2012

Pekan ini diawali kabar tak menyenangkan mengenai tingkat toleransi terhadap keragaman. Minggu kemarin (21/10/2012), Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Community merilis survei yang menyebutkan, seperti dilaporkan VIVAnews, “meningkatnya populasi orang yang tidak nyaman dengan perbedaan, seperti perbedaan agama dan orientasi seksual” (cetak miring dari saya, IAF). Survei ini dilakukan terhadap 1200 responden melalui wawancara tatap muka, dengan margin of error diperkirakan sekitar 2,9 persen.

Rilis di atas membandingkan hasil survei dengan tema yang sama, intoleransi, yang dilakukan antara tahun ini dan tahun 2005, tujuh tahun lalu. Peningkatan intoleransi terjadi terhadap mereka yang berbeda agama (dari 8,2% menjadi 15,1%), penganut Syiah (dari 26,7%menjadi 41,8%), dan penganut Ahmadiyah (dari 64,7% menjadi 80,6%). Tapi yang tertinggi adalah intoleransi terhadap kalangan homoseksual, yang meningkat dari 64,7% menjadi 80,6%.

Ini peningkatan yang alarming, yang harus membuat bulu kuduk kita berdiri. Jika di bawah ini saya mengajukan catatan kritis atasnya, tujuannya tak lain kecuali untuk memperjelas masalahnya. Agar kita punya pegangan lebih pasti untuk melangkah ke depan.

Yang patut disayangkan dari rilis survei di atas adalah bahwa laporan-laporan media massa mengenainya tidak mendetailkan apakah intoleransi yang dimaksudkan ada pada level pikiran, sikap, atau perilaku. Ketiga level intoleransi ini penting dibedakan, karena semuanya berimplikasi pada dukungan yang berbeda terhadap demokrasi.

Penting diingat, yang diperlukan untuk memperteguh demokrasi adalah toleransi dalam tindakan. Meskipun jelas bahwa toleransi dalam pikiran dan sikap akan memperkuat toleransi dalam tindakan, persyaratan itu tidak mutlak. Maksudnya, agar saya bisa membiarkan orang lain melakukan apa yang menurutnya baik atau benar, saya tak perlu menyetujui atau mendukung sesuatu yang dilakukan orang itu.

Ini penting digarisbawahi, karena ada pandangan yang berkembang bahwa berperilaku toleran kepada para pemeluk agama lain sama artinya dengan memuji, mendukung atau membenarkan agama mereka, yang berbeda atau bahkan bertentangan dengan agama sendiri. Berkembang juga pandangan bahwa toleransi agama identik dengan ketidakacuhan pada kebenaran agama sendiri.

Dua pandangan di atas bukanlah pandangan yang benar tentang toleransi agama. Toleransi agama hanya berarti bahwa kita tengah menghormati hak orang-orang lain untuk beragama tanpa gangguan apa pun. Ini didasarkan atas “Prinsip Emas” yang dihormati semua manusia, yang berbunyi: “Jangan lakukan terhadap orang lain apa yang kamu sendiri tidak mau orang lain lakukan terhadapmu.”

“Prinsip Emas” ini ada pada agama-agama besar dunia. Dalam Islam ada hadis ini: “Belum beriman seseorang sampai dia mencintai saudaranya seperti dia mencintai dirinya sendiri” (Riwayat Bukhari & Muslim). Pada Kristen: “Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang berbuat kepadamu, berbuatlah demikian juga kepada mereka” (Mathius 7:12). Dalam Hinduisme ada disebutkan, “Inilah kesimpulan Dharma [tugas]: Jangan perlakukan orang lain yang akan menyakitkanmu jika itu dilakukan kepadamu” (Mahabharata 5:1517). Juga pada agama Budha: “Suatu keadaan yang tidak menyenangkan, bagaimana saya dapat melakukan yang sama terhadap orang lain?” (Samyutta nlkaya 353). Akhirnya, pada Yahudi, ada ujaran yang mirip ajaran Islam: “Cintailah tetanggamu seperti kau mencintai diri sendiri” (leviticus 19:18).

Dengan definisi di atas, toleransi agama tidak mengharuskan kita untuk menerima pandangan bahwa semua agama itu sama. Sudah sangat jelas bahwa di dunia ini ada banyak agama dan agama-agama yang ada itu memiliki ajaran dan praktik yang berbeda. Bahkan, perbedaan ajaran dan praktik juga bisa ditemukan di dalam satu agama yang sama.

Kedua, kita juga tidak harus menerima pandangan bahwa ajaran dan praktik semua agama itu sama benarnya. Lagi-lagi, ajaran dan praktik agama-agama itu saling berbeda, bahkan di dalam satu agama yang sama. Banyak kalangan agamawan yang percaya bahwa ajaran agama merekalah yang benar, atau paling benar. Toleransi agama tidak mengharuskan kita untuk bersepakat mengenai butir ini.

Ketiga, agar toleran, kita tidak perlu menerima pandangan bahwa semua agama sama-sama bermanfaat dan tidak akan mencelakai masyarakat. Beberapa agama mewajibkan atau mendorong para pengikutnya untuk melakukan praktik-praktik yang bisa berbahaya atau merusak kesehatan mental dan fisik mereka, dan memperpendek umur mereka—menghindari pertolongan medis, memukul pasangan, memukul anak-anak, dan lainnya. Ini tampak pada ajaran David Koresh, yang disebut Branch Davidian, misalnya.

Agar berperilaku toleran, keempat, kita juga tak perlu menahan diri atau menghindar dari mengeritik aksi-aksi keagamaan yang menyakiti pihak lain. Beberapa agama mengajarkan pemeluknya untuk secara aktif bertindak diskriminatif terhadap orang lain berdasarkan ras, jenis kelamin, orientasi seksual, kebangsaan, dan lainnya. Praktik-praktik seperti ini harus terbuka untuk dikritik. Banyak pemuka Muslim mengeritik, bahkan mengecam, serangan teroris pada 11 September, yang diakui sendiri oleh Osama bin Ladin, misalnya.

Akhirnya, harus juga disebutkan bahwa toleransi dalam beragama bisa jadi merupakan akibat dari tidak adanya keyakinan agama pada diri seseorang. Misalnya ketika seseorang bersikap acuh tak acuh pada agama. Orang-orang seperti ini memiliki sikap dan perilaku yang toleran hanya karena mereka tidak peduli dengan apa yang diyakini dan dijalankan oleh orang-orang lain, termasuk para penganut agama yang taat.

Tapi ini hanya satu dari banyak kemungkinan mengapa orang berlaku toleran. Kemungkinan lainnya adalah bersikap dan berlaku toleran kepada penganut agama lain, meskipun kita tetap merupakan orang-orang yang meyakini dan menjalankan agama tertentu dengan taat. (***)

Ihsan Ali-Fauzi adalah Direktur Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD), Yayasan Paramadina, dan staf pengajar pada Universitas Paramadina, Jakarta.