Artikulasi Pembaruan Nurcholish Madjid: Kekuatan dan Batas-batasnya

Oleh: Ihsan Ali Fauzi 

Mei ini Keluarga Besar Yayasan Paramadina memperingati 1.000 hari wafatnya Nurcholish Madjid (Cak Nur), tokoh pembaruan Islam di Indonesia. Bagaimana sebaiknya menaksir gagasan dan gerbong pembaruan yang ditariknya? Mengapa pesan besar yang ia sampaikan kedodoran belakangan ini?

Seraya meminjam dari sosiolog Robert Wuthnow, saya ingin melihat pembaruan sebagai produk budaya yang ditawarkan di dalam konteks sosial, ekonomi, dan politik tertentu. Kekuatannya terletak pada kemampuannya menyatroni sekaligus mengatasi konteks terdekat itu. Daya panggilnya kedodoran belakangan ini, saya kira, karena konteks yang berubah. Dus mungkin juga dibutuhkan warna panggilan pembaruan yang lain

Artikulasi

Wuthnow punya penjelasan menarik mengenai bagaimana produk budaya, termasuk ide yang ditawarkan sang produsen seperti Cak Nur, membawa perubahan sosial. Dalam Communities of Discourses (1989), ia menolak determinisme, baik ide/budaya ala Weber maupun kelas/ekonomi ala Marx. Sebaliknya, katanya, ”Saya lebih menekankan pada cara di mana ekspansi ekonomi berinteraksi dengan penataan institusi baru, yang pada gilirannya menstrukturkan konteks di mana para produsen [budaya] dan audiensnya berjumpa.” Di sini ekonomi penting, tapi secara tak langsung dan tak niscaya. Juga institusi yang tumbuh bersama ekspansi ekonomi. Yang krusial adalah bagaimana si produsen budaya mengelola resources yang tersedia akibat perjumpaan kedua faktor di atas.

Wuthnow juga menyatakan produk budaya yang besar selalu lahir dari pergulatan dinamis dan kreatif dengan lingkungan terdekatnya. Karya-karya itu tidak hanya memberi respons terhadap zamannya, tetapi sekaligus melampauinya. Katanya: ”They draw resources, insights, and inspiration from that environment: they reflect it, speak to it, and make themselves relevant to it. And yet they also remain autonomous enough from their social environment to acquire broader, even universal and timeless appeal.”

Kata Wuthnow, ini ”masalah artikulasi”. Tulisnya, ”Jika produk budaya tidak cukup menyantuni, tidak cukup nyambung dengan setting sosialnya, ia kemungkinan besar akan dipandang audiens potensialnya … sebagai tak relevan, tidak realistik, artifisial, dan amat abstrak, atau—lebih buruk lagi—para produsennya akan kecil kemungkinan memperoleh dukungan yang diperlukan untuk terus berkarya. Namun, jika produk budaya melulu ditujukan hanya menyantuni lingkungan sosial terdekatnya itu, mungkin sekali ia akan dipandang terlalu esoterik, parokial, terikat waktu, dan gagal menyedot perhatian audiens yang lebih luas dan dalam rentang waktu lebih panjang.”

Dekat, tapi tak melekat

Kerangka di atas dapat membantu kita menaksir kekuatan dan batas-batas gerbong pembaruan Cak Nur. Mari melihat teks dan konteksnya.

Teks terbaik adalah pidato Cak Nur yang menghebohkan itu, ”Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat” (1970). Inilah teks paling autentik produk Cak Nur. Yang lainnya, bagi saya, adalah catatan kaki, eksplorasi lebih jauh, atau kamuflase yang ia pandang penting untuk berdakwah. Bahwa teks itu menjadi produk publik secara tak disengaja, itu hanya menambah autentisitasnya.

Dalam teks ”proklamasi” pembaruan itu, Cak Nur mulai dengan menandaskan bahwa Islam di Indonesia sedang stagnan. Kaum Muslim menghadapi pilihan kritis: jalan pembaruan, yang meniscayakan peninjauan kembali makna Islam di dunia modern, dengan ongkos integrasi umat; atau pemeliharaan integrasi itu, dengan konsekuensi terus jumudnya pemikiran Islam dan hilangnya daya Islam sebagai moral force. Ia memilih jalur pembaruan, dan di ujung tulisannya ia mengusulkan proses liberalisasi berdimensi empat: sekularisasi, kebebasan intelektual, the idea of progress, dan keterbukaan.

Kekuatan gagasan itu adalah karena ia, meminjam Wuthnow, dekat tapi tak melekat dengan konteks terdekatnya. Pada tahun 1970-an dan sepanjang Orde Baru gagasan-gagasan itu nyambung dengan lingkungannya. Dalam teks di atas wakil terbaiknya adalah gagasan ”Islam Yes, Partai Islam No!” Penting diingat: Cak Nur tidak mengharamkan partai Islam. Yang ia katakan adalah bahwa partai Islam tidak niscaya merupakan wakil Islam; bagi seorang Muslim, mendukung partai Islam bukanlah sesuatu yang wajib.

Gagasan itu bergema di hati kelas menengah Muslim santri yang tertarik dengan panggilan Cak Nur untuk ”berdamai” dengan rezim—sebagian mereka malah berada di dalam rezim itu sendiri. Mereka ingin luar-dalam mencicipi pertumbuhan ekonomi yang rata-rata mencapai 6-8 persen per tahun, dengan ogah mengikuti garis Islam ”skripturalis”. Gara-gara gagasan Cak Nur itu, umat Islam tidak lagi merasa, meminjam Taufik Abdullah, ”Ahl Dzimmah di negeri mayoritas Muslim”. Yang juga tertarik menjadi audiens dan kemudian pendukung Cak Nur adalah kaum non-Muslim, juga nonsantri, yang merasa memperoleh semacam perlindungan dari ancaman Islam ”skripturalis”.

Gagasan itu juga sejalan dengan tumbuhnya institusi-institusi baru di dalam ataupun di luar rezim. Di dalam rezim ada kebijakan penciutan partai politik, program kerukunan umat beragama, dan lainnya, yang paralel dengan gagasan Cak Nur. Di luar rezim berlangsung Islamisasi yang secara umum terjadi di kota-kota besar (masjid atau musala di kantor-kantor, dsb). Generasi Muslim baru tumbuh, diwakili dengan baik oleh Cak Nur sendiri, yang harus ditampung dan ikut memainkan peran di dalam panggung yang lebih lebar: ”Indonesia”.

Harus juga disebutkan bahwa gagasan itu kukuh karena figur si pembawa gerbong. Latar pendidikan dan organisasi Cak Nur turut menopang substansi panggilannya. Ia dengan baik menguasai khazanah Islam, tetapi juga akrab dengan wacana modern. Ia kuat dalam lisan dan tulis. Lagi pun kepribadiannya yang santun, sederhana, dan jauh dari arogan membuatnya sulit diserang lawan-lawannya. Sebagai pembawa bendera, ia amat kredibel!

Namun, gagasan pembaruan juga timeless enough dan mengatasi kebutuhan jangka pendek masanya. Dalam teks di atas sisi yang lebih universal dan tahan lama ini kita temukan dalam panggilannya kepada sekularisasi (belakangan dilunakkan menjadi desakralisasi) sebagai realisasi tawhid, kebebasan intelektual, the idea of progress, dan keterbukaan.

Cak Nur menawarkan topangan Islam bagi tumbuhnya Indonesia yang modern dan partisipasi penuh umat Islam di dalamnya. Alih-alih menjadikan paham-paham di atas sebagai momok bagi Islam seperti umum dikenal sebelumnya, ia malah memandangnya sebagai bagian integral dari Islam yang modern dan menjanjikan. Dan yang lebih penting, bagi kalangan non-Muslim dan nonsantri, sokongan pembaruan atas paham-paham di atas memberi jaminan keislaman bahwa pluralisme Indonesia akan terus ditegakkan. Tidak heran jika, seperti sering diceritakan Cak Nur sendiri, pihak yang paling antusias menyambut proklamasi pembaruan adalah kalangan sekular Indonesia, seperti diwakili harian Indonesia Raya, Pedoman, dan Kami

Pada tingkat praktis, gagasan-gagasan yang timeless di atas menjadikan Cak Nur tidak enggan berseberangan dengan pemerintah, yang beberapa kebijakannya turut menguntungkannya. Pada 1971 dan 1977, misalnya, dalam rangka demokratisasi dan balancing-power politics, ia mendukung PPP. Baginya, ini penting dalam rangka ”memompa ban kempis” untuk menyeimbangi Golkar (pemerintah). Belakangan juga kita tahu bahwa Cak Nur menjadi salah seorang pionir dalam pengembangan budaya oposisi dan keterbukaan: ia terlibat dalam pembentukan KIPP, demokratisasi secara damai, dan seterusnya. Aliansi Cak Nur dengan banyak aktivis LSM berawal dari sini.

Ringkasnya, memarafrasekan Wuthnow, Cak Nur itu ”memanfaatkan sumber daya, ilham, inspirasi dari lingkungan terdekatnya: ia merefleksikannya, bicara kepadanya, menjadikan dirinya relevan dengannya. Namun, ia juga tetap cukup otonom dari lingkungan sosial terdekatnya itu sehingga ia bisa mewartakan seruan-seruan yang lebih luas, lebih universal, dan abadi.”

Pembaruan ditentang

Sekarang kita melihat bahwa formalisasi Islam, yang ditentang Cak Nur, menguat. Ada fatwa MUI yang mengharamkan liberalisme, misalnya. Juga kini tumbuh perda-perda syariat yang menggerogoti pesan-pesan universal Cak Nur. Bagaimana kita memaknai gejala ini?

Meminjam Wuthnow, kita harus menyebut beberapa kemungkinan. Pertama, konteks sosial, ekonomi, dan politik sekarang sudah berubah. Sekitar sepuluh tahun lalu (1996) Indonesianis R William Liddle menulis mengenai perseteruan antara kubu Cak Nur dan lawannya. Katanya, ”Optimisme saya [mengenai kemenangan kaum substansialis] berkurang karena pengakuan saya akan konteks sosial, ekonomi, dan terutama politik di mana kreativitas kaum substansialis berlangsung. Sebab … mereka diuntungkan konteks itu, dan dalam beberapa hal secara sadar telah memanfaatkannya untuk memperkuat posisi mereka. Juga jelas bahwa wilayah bermain yang tersedia sudah secara sengaja didesain untuk melemahkan posisi para pemikir dan aktivis Islam yang lain, khususnya kelompok skripturalis.” Konteks yang dimaksud Liddle adalah berbagai kebijakan dan langkah pemerintah Orde Baru yang, seperti saya kemukakan di atas, langsung ataupun tidak langsung menguntungkan posisi kaum substansialis.

Kini situasinya berubah. Semua orang di atas kertas kini bebas bicara dan berorganisasi. Dalam situasi seperti ini, demikian Liddle, ada tiga faktor yang membuat gagasan pembaruan memperoleh tantangan besar: (1) ajaran-ajaran kaum skripturalis yang lebih mudah diterima sebagian besar kaum Muslim; (2) kemungkinan aliansi politik kaum skripturalis dengan kelompok-kelompok sosial lain yang sedang tumbuh; dan (3) nafsu besar para politisi ambisius untuk membangun basis massa.

Saya kira ketiga faktor di atas cukup menjelaskan mengapa formalisasi Islam bergaung kencang belakangan ini. Mungkin kita perlu menambahkan beberapa faktor lain. Yang terpenting adalah ekonomi yang belum juga pulih.

Dalam khazanah ilmu sosial ada banyak penjelasan mengenai bagaimana deprivasi ekonomi dan alienasi psikologis akibat urbanisasi membuat orang cepat tertarik kepada ajaran yang serba mudah dan mengklaim serbabisa, seperti diwakili slogan ”Islam is the solution”. Impitan ekonomi, kepenatan pikiran dan jiwa membuat orang enggan mengunyah tawaran pikiran yang agak canggih Lagi pula, setelah sepuluh tahun reformasi, kita juga terus menyaksikan sebuah negara yang lembek sehingga tidak bisa memerintah dengan memadai.

Aliansi faktor-faktor ini memungkinkan kita untuk mengerti mengapa Jemaah Ahmadiyah di negeri yang katanya menjamin hak-hak asasi ini dikoyok-koyok seperti orang berpenyakit lepra. Dan di tengah-tengah keruntuhannya, alih-alih memberi perlindungan kepada mereka, seorang pejabat tinggi malah meminta mereka untuk tobat. Bukankah ini cermin tindakan politisi ambisius memancing di air keruh? Seakan mereka tidak mengerti bahwa di belahan dunia lain kaum Muslim adalah kelompok minoritas yang bisa diperlakukan seperti itu.

Para penerus Cak Nur sendiri perlu introspeksi diri. Gerbong pembaruan mungkin kurang baik mereka kelola. Mereka kurang berhasil mengeksploitasi resources yang ada untuk memperkuat gerbong itu dan menariknya lebih kencang. Sementara itu, sang penarik gerbong sendiri sulit digantikan, sedangkan para penerusnya gagal melembagakannya.

Peluang baru

Jika faktor-faktor di atas diperhatikan, mestinya tantangan terhadap gagasan pembaruan Cak Nur belakangan ini sudah bisa diantisipasi. Hal itu harus dihadapi sebagai akibat sampingan dari proses demokratisasi yang ikut diperjuangkan almarhum. Hak kaum Muslim ”skripturalis” untuk berbicara, berkelompok, dan berpartisipasi dalam kehidupan sosial dan politik adalah bagian integral dari kebebasan yang juga diperjuangkan almarhum. Sejauh kekerasan tidak digunakan, kita bahkan wajib membela hak-hak itu. Jika sebaliknya yang terjadi, kita harus mendesak pemerintah untuk menjalankan kewajiban pokoknya: ya, memerintah, to govern! Jika tidak, ini bukanlah sebuah negeri, apalagi negeri yang besar, melainkan sebuah hutan rimba.

Dalam konteks yang berubah ini, para penerus Cak Nur harus terus mengusahakan agar gagasan almarhum yang timeless dan universal terus bergema. Bukan karena kita ingin romantis, setia pada almarhum, tapi karena kita sebagai bangsa majemuk membutuhkannya. Sulit dibayangkan bahwa Indonesia akan bisa terus berdiri jika prinsip keterbukaan, kebebasan, dan pluralisme terus digerogoti. Sikap mundur dari prinsip ini akan merupakan kehilangan besar.

Di sini kaum Muslim ”skripturalis” berguna sebagai sparring partners. Sebisa mungkin komunikasi dengan mereka harus tetap dibuka. Kita sudah terlalu sering bicara dengan keluarga besar kita sendiri, preaching the converted! Seraya mempertajam gagasan-gagasan kita sendiri, kepada para penganjur perda syariat, misalnya, kita harus terus bertanya: bagaimana perda-perda itu akan dijalankan di tingkat praktis? Tugas apa lagi yang hendak dibebankan kepada polisi, yang sekarang saja sudah keteteran menjalankan kerjaannya? Jika seseorang tidak salat atau pacaran yang ditentang syariat tetapi tidak ketahuan, siapa yang bertanggung jawab? Bukankah perda-perda syariat dimaksudkan untuk memata-matai iman seseorang?

Akan halnya dengan gagasan-gagasan Cak Nur yang dimaksudkan untuk menyatroni konteks terdekatnya, kita mungkin harus memikirkan kembali relevansinya. Kadang saya merasa bahwa Cak Nur terlalu mekanis mengaitkan naiknya kelas menengah Muslim dengan bangkitnya etos Islam yang antikorupsi, misalnya. Juga tampak terlalu mekanis untuk menyatakan bahwa Islamisasi bahasa dalam sebutan Majlis Permusyawaratan Rakyat (yang semuanya berasal dari kata Arab) sejalan dengan Islamisasi si penghuni bangunan MPR. Selain itu, menyandarkan demokratisasi pada kelas menengah yang digaji (salaried middle-class), yang tidak otonom seperti saudara-saudara mereka di Eropa dua abad lalu, juga terbukti amat riskan.

Agar bisa menyatroni audiensnya sekarang, gagasan dan gerbong pembaruan harus lebih tanggap terhadap kesulitan ekonomi yang menerpa banyak orang belakangan ini. Juga terhadap dislokasi psikologis akibat gempuran urbanisasi dan globalisasi yang kadang dirasakan melawan rasa keadilan umum. Semuanya ini dapat dan harus dilakukan tanpa kita mengorbankan pesan-pesan abadi pembaruan.

Tanpa itu, gagasan pembaruan akan dianggap oleh para audiens terdekatnya sebagai tidak relevan, mengawang-awang. Gerbongnya hanya akan diisi oleh audiens-audiens yang tua, menjadikan gerbong itu hanya berjalan lambat dan tertatih-tatih. Peluit keretanya tidak akan disongsong para penumpang baru yang energik, pemilik sesungguhnya masa depan.

Ihsan Ali-Fauzi Direktur Program Yayasan Wakaf Paramadina

Sumber: Kompas | Kamis, 8 Mei 2008

Ihsan Ali Fauzi: Toleransi Dan Keberagaman

Oleh: Ihsan Ali Fauzi | http://www.ahlulbaitindonesia.org. | Rabu, 24 Oktober 2012

Pekan ini diawali kabar tak menyenangkan mengenai tingkat toleransi terhadap keragaman. Minggu kemarin (21/10/2012), Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Community merilis survei yang menyebutkan, seperti dilaporkan VIVAnews, “meningkatnya populasi orang yang tidak nyaman dengan perbedaan, seperti perbedaan agama dan orientasi seksual” (cetak miring dari saya, IAF). Survei ini dilakukan terhadap 1200 responden melalui wawancara tatap muka, dengan margin of error diperkirakan sekitar 2,9 persen.

Rilis di atas membandingkan hasil survei dengan tema yang sama, intoleransi, yang dilakukan antara tahun ini dan tahun 2005, tujuh tahun lalu. Peningkatan intoleransi terjadi terhadap mereka yang berbeda agama (dari 8,2% menjadi 15,1%), penganut Syiah (dari 26,7%menjadi 41,8%), dan penganut Ahmadiyah (dari 64,7% menjadi 80,6%). Tapi yang tertinggi adalah intoleransi terhadap kalangan homoseksual, yang meningkat dari 64,7% menjadi 80,6%.

Ini peningkatan yang alarming, yang harus membuat bulu kuduk kita berdiri. Jika di bawah ini saya mengajukan catatan kritis atasnya, tujuannya tak lain kecuali untuk memperjelas masalahnya. Agar kita punya pegangan lebih pasti untuk melangkah ke depan.

Yang patut disayangkan dari rilis survei di atas adalah bahwa laporan-laporan media massa mengenainya tidak mendetailkan apakah intoleransi yang dimaksudkan ada pada level pikiran, sikap, atau perilaku. Ketiga level intoleransi ini penting dibedakan, karena semuanya berimplikasi pada dukungan yang berbeda terhadap demokrasi.

Penting diingat, yang diperlukan untuk memperteguh demokrasi adalah toleransi dalam tindakan. Meskipun jelas bahwa toleransi dalam pikiran dan sikap akan memperkuat toleransi dalam tindakan, persyaratan itu tidak mutlak. Maksudnya, agar saya bisa membiarkan orang lain melakukan apa yang menurutnya baik atau benar, saya tak perlu menyetujui atau mendukung sesuatu yang dilakukan orang itu.

Ini penting digarisbawahi, karena ada pandangan yang berkembang bahwa berperilaku toleran kepada para pemeluk agama lain sama artinya dengan memuji, mendukung atau membenarkan agama mereka, yang berbeda atau bahkan bertentangan dengan agama sendiri. Berkembang juga pandangan bahwa toleransi agama identik dengan ketidakacuhan pada kebenaran agama sendiri.

Dua pandangan di atas bukanlah pandangan yang benar tentang toleransi agama. Toleransi agama hanya berarti bahwa kita tengah menghormati hak orang-orang lain untuk beragama tanpa gangguan apa pun. Ini didasarkan atas “Prinsip Emas” yang dihormati semua manusia, yang berbunyi: “Jangan lakukan terhadap orang lain apa yang kamu sendiri tidak mau orang lain lakukan terhadapmu.”

“Prinsip Emas” ini ada pada agama-agama besar dunia. Dalam Islam ada hadis ini: “Belum beriman seseorang sampai dia mencintai saudaranya seperti dia mencintai dirinya sendiri” (Riwayat Bukhari & Muslim). Pada Kristen: “Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang berbuat kepadamu, berbuatlah demikian juga kepada mereka” (Mathius 7:12). Dalam Hinduisme ada disebutkan, “Inilah kesimpulan Dharma [tugas]: Jangan perlakukan orang lain yang akan menyakitkanmu jika itu dilakukan kepadamu” (Mahabharata 5:1517). Juga pada agama Budha: “Suatu keadaan yang tidak menyenangkan, bagaimana saya dapat melakukan yang sama terhadap orang lain?” (Samyutta nlkaya 353). Akhirnya, pada Yahudi, ada ujaran yang mirip ajaran Islam: “Cintailah tetanggamu seperti kau mencintai diri sendiri” (leviticus 19:18).

Dengan definisi di atas, toleransi agama tidak mengharuskan kita untuk menerima pandangan bahwa semua agama itu sama. Sudah sangat jelas bahwa di dunia ini ada banyak agama dan agama-agama yang ada itu memiliki ajaran dan praktik yang berbeda. Bahkan, perbedaan ajaran dan praktik juga bisa ditemukan di dalam satu agama yang sama.

Kedua, kita juga tidak harus menerima pandangan bahwa ajaran dan praktik semua agama itu sama benarnya. Lagi-lagi, ajaran dan praktik agama-agama itu saling berbeda, bahkan di dalam satu agama yang sama. Banyak kalangan agamawan yang percaya bahwa ajaran agama merekalah yang benar, atau paling benar. Toleransi agama tidak mengharuskan kita untuk bersepakat mengenai butir ini.

Ketiga, agar toleran, kita tidak perlu menerima pandangan bahwa semua agama sama-sama bermanfaat dan tidak akan mencelakai masyarakat. Beberapa agama mewajibkan atau mendorong para pengikutnya untuk melakukan praktik-praktik yang bisa berbahaya atau merusak kesehatan mental dan fisik mereka, dan memperpendek umur mereka—menghindari pertolongan medis, memukul pasangan, memukul anak-anak, dan lainnya. Ini tampak pada ajaran David Koresh, yang disebut Branch Davidian, misalnya.

Agar berperilaku toleran, keempat, kita juga tak perlu menahan diri atau menghindar dari mengeritik aksi-aksi keagamaan yang menyakiti pihak lain. Beberapa agama mengajarkan pemeluknya untuk secara aktif bertindak diskriminatif terhadap orang lain berdasarkan ras, jenis kelamin, orientasi seksual, kebangsaan, dan lainnya. Praktik-praktik seperti ini harus terbuka untuk dikritik. Banyak pemuka Muslim mengeritik, bahkan mengecam, serangan teroris pada 11 September, yang diakui sendiri oleh Osama bin Ladin, misalnya.

Akhirnya, harus juga disebutkan bahwa toleransi dalam beragama bisa jadi merupakan akibat dari tidak adanya keyakinan agama pada diri seseorang. Misalnya ketika seseorang bersikap acuh tak acuh pada agama. Orang-orang seperti ini memiliki sikap dan perilaku yang toleran hanya karena mereka tidak peduli dengan apa yang diyakini dan dijalankan oleh orang-orang lain, termasuk para penganut agama yang taat.

Tapi ini hanya satu dari banyak kemungkinan mengapa orang berlaku toleran. Kemungkinan lainnya adalah bersikap dan berlaku toleran kepada penganut agama lain, meskipun kita tetap merupakan orang-orang yang meyakini dan menjalankan agama tertentu dengan taat. (***)

Ihsan Ali-Fauzi adalah Direktur Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD), Yayasan Paramadina, dan staf pengajar pada Universitas Paramadina, Jakarta.

Ihsan Ali-Fauzi: Video Bodoh di Abad Anti-Amerika

 

Oleh: Ihsan Ali-Fauzi

Sehari sesudah video Innocence of Muslims menyebabkan kematian Dubes Amerika Serikat (AS) di Libya, saya memutarnya di depan mahasiswa. Kelas kami, tentang peradaban Islam dan Barat, dimaksudkan untuk mengajak mahasiswa agar lebih tekun mencari titik-titik temu di antara dua peradaban besar ini. Sebelumnya, saya tak memberitahu mereka apa yang sudah diakibatkan video itu di sejumlah negara Muslim. Saya ingin tahu reaksi spontan mereka.

Sebagian besar mereka menertawakan video itu, terutama karena pem-film-annya yang super-buruk. Mereka tak tersinggung dengan isinya. Saya duga ini bukan karena iman mereka rendah. Dilihat dari jawaban mereka, ini karena upaya menjelek-jelekkan Nabi Muhammad oleh video itu, yang begitu telanjang, justru hanya patut diludahi. “Dicuekin aja, Pak,” kata mereka.

Sayangnya, tak semua Muslim sepaham dengan mahasiswa saya. Di banyak tempat, protes anti-video itu sudah membawa korban. Di Timur Tengah, ini diawali penerjemahan video itu ke dalam bahasa Arab oleh kubu Salafis dan penayangannya di satu stasiun TV Mesir.

Sikap anti-AS sangat kuat dalam protes-protes itu. Kedubes AS selalu jadi sasaran protes, yang damai maupun yang disertai kekerasan. Ini terlepas dari penegasan Menlu AS Hillary Clinton bahwa video itu “memuakkan dan patut dicela” (disgunting and reprehensible). Meski video ini sama sekali tak terkait dengan pemerintah AS, kata Clinton, mereka tak bisa melarangnya, karena itu bagian dari kebebasan berekspresi.

Bagaimana menjelaskan fenomena ini? Sejauhmana ini merupakan persoalan AS dan sejauhmana pula ini persoalan domestik kita? Apa yang sebaiknya dilakukan, agar semacam berkah bisa tetap diambil dari insiden video bodoh ini?

 

“Abad Anti-Amerika”

Ini memperkuat dugaan banyak ahli tentang meningkatnya sikap anti-AS beberapa tahun terakhir. Termasuk di sini dua nama besar dalam ilmu politik AS, Peter Katzenstein dan Robert Keohane (2007). Tergantung pada sumber utamanya, keduanya mendefinisikan anti-Amerikanisme sebagai “kecenderungan psikologis untuk memiliki pandangan negatif tentang AS dan bangsa Amerika secara keseluruhan.”

Ini bukan gejala baru, karena sikap anti-AS tumbuh pertamakali di Prancis pada abad ke-18. Tapi perkembangannya sesudah Perang Dingin, khususnya sesudah peristiwa 11 September 2001, ketika AS makin mapan sebagai “polisi dunia”, punya pola baru. Kata Ivan Krastev, dalam esainya yang banyak dikutip (2004), kita bahkan dapat menyebut abad ini sebagai “Abad Anti-Amerika.” Ini karena “menyalahkan AS sudah menjadi prilaku yang politically correct bahkan di kalangan sekutu terdekat AS sendiri.”

Gambaran totalnya tampak sangat paradoksal. Jika di banyak negeri Muslim sikap ini kuat karena AS dianggap anti-Islam, di negara-negara Balkan sikap itu justru tumbuh karena AS dianggap pro-Islam dan pro-Albania. Dan sementara AS dikecam kalangan Islamis karena dianggap wakil terbaik modernitas, orang-orang Eropa menuduh mereka kurang modern atau postmodern – misalnya karena mereka masih taat beragama atau membolehkan hukuman mati.

Tapi sikap anti-AS di negara-negara Muslim, khususnya yang berada di atau sekitar Timur Tengah, selalu lebih tinggi dibanding di negara-negara lainnya. Dan ini berlangsung cukup konsisten, seperti dicatat Steven Kull (2011).

Pada 2001, tak lama sesudah 11 September, Gallup melaporkan tingginya persentase kaum Muslim yang berpandangan “unfavorable” terhadap AS: 64% di Arab Saudi; 63% di Iran; 68% di Pakistan; dan 62% di Yordania. Di Musim Panas 2002, Pew Research Center melaporkan kecenderungan yang sedikit lebih rendah di Mesir (59%) dan Turki (55%), tapi peningkatan yang tajam di Yordania (75%, naik 14%). Makin jauh dari Timur Tengah, persentasenya memang turun, misalnya di Mali (25%), Senegal dan Indonesia (masing-masing 39%). Tapi kecenderungan umumnya tetap cukup kontras dibanding hal yang sama di negara-negara non-Muslim, di mana rata-rata hanya sekitar 23% responden yang “unfavorable” terhadap AS.

Sesudah AS menginvasi Irak pada 2003, di bawah Presiden Bush, sikap “unfavorable” terhadapnya meningkat di mana-mana. Survei Pew 2003 melaporkan, di sepuluh negara non-Muslim yang dipelajarinya pada 2002 dan 2003, sikap itu meningkat tajam rata-rata 16%, dari 33% ke 49%. Tapi, sekali lagi, sikap itu terutama meningkat di negara-negara Muslim, menjadi 99% di Yordania, 84% di Turki, dan 81% di Pakistan. Dari delapan negara Muslim yang disurvei Pew, rata-rata 77% respondennya menyatakan sikap tak suka pada AS.

Dalam pantauan Pew, sikap ini tak berubah banyak bahkan ketika Barack Obama menjadi Presiden AS pada 2008 dan menjanjikan model hubungan baru AS dan dunia Islam seperti yang disampaikannya di Cairo, Mesir, pada 2009. Perubahan paling penting terjadi di Indonesia, negeri Muslim yang pernah didiami Obama, di mana sebanyak 63% responden menyatakan suka pada AS pada 2009. Tapi persentase ini pun turun ke 59% pada 2010. Kecenderungan yang sama juga dilaporkan Gallup dari negara-negara Muslim lain: dari 43% ke 30% di Aljazair; 37% ke 19% di Mesir; 33% ke 30% di Irak; dan 20% ke 16% di Palestina.

Akar-akar: Politik Domestik?

Mengapa demikian? Penjelasan lama berkisar pada perdebatan kubu kultural versus kubu politik-militer. Mewakili kubu pertama, ilmuwan seperti Samuel Huntington memandang, akar masalahnya tertanam pada perbedaan kultural (norma dan nilai) antara bangsa AS dan bangsa Muslim. Di sini, anti-Amerikanisme dipahami sebagai ekspresi “perang peradaban” yang akan berlangsung abadi.

Bagi kubu kedua, diwakili misalnya oleh John L. Esposito, penjelasan di atas penuh “mitos”. Kaum Muslim tak suka pada AS bukan karena siapa dan apa yang diyakini rakyat AS, tapi karena apa yang dilakukan pemerintah AS di dunia. Kata Ussama Makdisi (2002), salah satu tokohnya, “Anti-Amerikanisme adalah gejala baru yang disemai kebijakan luar negeri AS, bukan konfrontasi abadi antara [dua] peradaban.”

Meski jelas berbeda, kedua teori di atas sama-sama menekankan aspek-aspek eksternal dari ketaksukaan Muslim terhadap AS. Keduanya tak terlalu peduli pada aktor-aktor di lingkungan Muslim sendiri dan melihat gejala ini sebagai ekspresi politik domestik.

Inilah yang baru-baru ini dikritik Lisa Blaydes dan Drew Linzer di American Political Science Review, jurnal ilmu politik paling bergengsi di AS (2012). Bagi mereka, kedua teori di atas tidak memuaskan karena keduanya tidak bisa menjelaskan variasi pandangan Muslim terhadap AS. Faktanya, kata mereka, meski sikap anti-AS tinggi, toh ada cukup banyak Muslim yang suka pada AS. Dan fakta lainnya, meskipun kecenderungan anti-AS konstan di umumnya negara-negara Muslim, naik-turun sikap itu amat bervariasi di sejumlah negara Muslim yang berbeda. Agar teori meyakinkan, variasi ini harus bisa dijelaskan.

Blaydes dan Linzer lalu menawarkan teori baru: Anti-Amerikanisme bukan disebabkan siapa AS (kultural) dan apa yang dikerjakannya (politik-militer), tapi lebih merupakan gejala politik satu negara Muslim sendiri. Gejala ini disemai elite politik domestik, yang meningkat ketika ada persaingan sengit antara kubu Islamis dan kubu nasionalis-sekular. Lewat para elite politik itulah sikap anti-AS sampai kepada massa, yang lalu ditabulasi para polster.

Temuan mereka mengagetkan: Meski seorang Muslim yang makin taat akan makin anti-AS, negara-negara Muslim yang paling anti-AS justru negara-negara Muslim yang penduduknya paling sekular, dan karenanya negara-negara yang penduduknya terbelah dalam isu agama dan politik. Selain oleh survei opini publik di 21 negara Muslim (2007), teori mereka didukung oleh studi kasus atas tema ini dan asumsi-asumsi penunjangnya di Turki, Maroko, dan Senegal. Ketiganya mewakili negara-negara Muslim dengan tingkat anti-AS paling tinggi, moderat dan paling rendah (90%, 79%, dan 30%).

Indonesia

Selain karena adekuasi internalnya, saya menyambut baik penjelasan baru di atas karena dua hal. Pertama, teori itu dengan sangat baik menjelaskan anti-Amerikanisme di Indonesia yang kita kenal. Kedua, teori itu lebih peka pada aktor domestik dan tidak menyalahkan AS sebagai kambing hitam. Ini memungkinkan kita untuk berbuat sesuatu mengenainya.

Dari data yang digunakan Blaydes dan Linzer, yang berbasis survei Pew, Indonesia termasuk negara Muslim dengan tingkat anti-AS moderat (72%), sedikit di bawah Maroko. Dan dilihat dari data-data LSI yang dihimpun misalnya dalam Saiful Mujani (2009 dan 2012), kita tahu bahwa kaum Muslim Indonesia jelas cukup taat. Indonesia juga negara Muslim dengan tingkat persaingan antara kubu Islamis dan kubu nasionalis-sekular yang tinggi. Kedua kubu memanfaatkan sentimen anti-Amerikanisme untuk memperoleh dukungan massa.

Selain itu, dilihat dari rentang waktu cukup panjang, kita tahu bahwa aktor-aktor domestik memainkan peran penting di dalam naik atau turunnya sikap anti-AS di sini. Kalangan Islamis dulu, lewat tokoh-tokoh Masyumi, pernah menjalin hubungan mesra dengan AS, dalam situasi Perang Dingin. Seperti direkam George dan Audrey Kahin (1997), lewat CIA, AS bahkan membantu tokoh-tokoh Masyumi yang menjadi tulang punggung pemberontakan PRRI dan Permesta. Mereka juga turut membantu aktor-aktor Muslim dalam perjuangan mereka menumpas para elite, aktivis dan simpatisan PKI pada 1965. Dan kita tahu bahwa di awal Orde Baru banyak aktivis muda Pelajar Islam Indonesia (PII), yang dekat dengan Masyumi, memperoleh beasiswa untuk belajar dan tinggal di AS.

Para elite Islamis baru mulai menggalang anti-Amerikanisme di tahun 1970-an, ketika AS kini bersekutu dengan pemerintahan Orde Baru yang memusuhi kalangan Islamis. Mereka mengalami apa yang oleh John Bowen (2007) disebut “hijrah intelektual”, dengan mendekat ke negara-negara Muslim Timur Tengah. Dibantu dana Liga Muslim se-Dunia, mereka mendirikan Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII) dan mengirimkan banyak kader ke berbagai lembaga pendidikan tinggi di Mesir, Arab Saudi, dan negara-negara Timur Tengah lainnya. Kader-kader inilah yang belakangan mendirikan Komite Solidaritas untuk Dunia Islam (KISDI) dan menerbitkan majalah seperti Sabili dan Hidayatullah, yang dikenal bersikap sangat anti-AS.

Di era Indonesia yang demokratis, seperti dilaporkan studi-studi Noorhaidi Hasan atau ICG, sebagian kader di ataslah yang mendirikan partai-partai Islamis, seperti Partai Bulan Bintang (PBB) dan Partai Keadilan (Sejahtera, [PKS]), yang dikenal kuat bersikap anti-AS. Sebagian lainnya tidak setuju dengan sistem demokrasi, memandang Indonesia negeri kafir, dan melakukan aksi-aksi teror yang mematikan. Dalam persaingannya dengan kelompok-kelompok inilah, juga dengan kelompok-kelompok lain yang kritis terhadap AS, bahkan Hamzah Haz, Wakil Presiden RI waktu itu, menyebut AS sebagai “Mbahnya teroris!” (Kompas, 9/2/2003).

Aktivisme Damai

Dengan potret lebih lengkap seperti ini, saya sama sekali tak terkejut melihat bahwa video Innocence of Muslims dijadikan alasan mendemo kedubes AS di sini, bahkan dengan kekerasan. Karena sikap anti-AS memang terutama bukan tentang AS, tapi tentang para elite Islamis – melalui FPI, HTI dan lainnya – yang memanfaatkan sentimen itu untuk menopang kredensial politik mereka. Dibanding di tempat-tempat lain, protes mereka cukup terlambat. Tapi bukankah lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali?

Sayangnya, insiden video bodoh ini tak diiringi oleh protes damai ke arah aktivisme yang bisa memperkuat dialog antar-agama, misalnya oleh para aktivis lintas-iman. Ini dapat dilakukan dengan misalnya memutar film-film yang mendorong ke arah itu, seperti Kingdom of Heaven atau The Imam & The Pastor, yang jumlahnya makin banyak. Atau dengan menunjukkan kepada publik bahwa buku-buku kontemporer terbaik tentang Nabi Muhammad justru ditulis oleh Orientalis seperti Annemarie Schimmel atau Karen Armstrong.

Ini jelas bukan untuk membela AS. Karena anti-AS, di abad ini, tidak akan bisa dihentikan bahkan oleh AS sendiri. Ini untuk kepentingan kita sendiri, atau anak dan cucu kita nanti, dalam rangka terus mencari titik-titik temu di antara Islam dan Barat (AS), seperti yang saya dan mahasiswa saya usahakan di kelas.***

Ihsan Ali-Fauzi adalah dosen Paramadina Graduate School (PGS), Jakarta.

Sumber: Ihsan Ali Fauzi’s Note Facebook

 

 

 

 

Ihsan Ali Fauzi: Belajar kepada Korban

Koran Tempo (Opini), 11 Juli 2012

Oleh Ihsan Ali Fauzi

Di Sehama, malam itu, saya belajar betapa kami munafik. Kami mau muslim dihargai, tapi kami tak mau menghargai orang lain“.

Saya beruntung diundang KontraS ikut berbicara di Sekolah Hak Asasi Manusia untuk Mahasiswa (Sehama) beberapa hari lalu. Saya belajar banyak kepada para korban kekerasan, yang kebetulan menjadi peserta forum itu. Saya ingin berbagi di sini karena saya percaya ini juga berharga bagi publik.

Tema sesi saya, agama sebagai sumber daya perdamaian. Ini bukan tema mudah, karena agama lebih sering dirujuk sebagai sumber kekerasan. Contohnya banyak: dari kekerasan organisasi massa tertentu berbendera agama di sekitar Jakarta hingga kasus Cikeusik.

Saya menghindar dari bicara soal teori atau kasus di mana agama bisa menjadi sumber damai. Bahannya bukan tak ada, karena belakangan makin berkembang studi-studi tentang tema itu. Saya hanya tak mau bicara abstrak, menjanjikan yang muluk-muluk, ketika hati dan otak kita terus diterpa berita soal kekerasan agama.

Saya memilih mengajak peserta menonton film The Imam and the Pastor (sila klik untuk menonton film ini, ed.). Film dokumenter 39 menit ini memotret usaha Imam Asyafa dan Pastor James, dua pemimpin agama yang dulunya bermusuhan, untuk berekonsiliasi dan bersama menyebarkan nilai-nilai perdamaian di satu kota di Nigeria. Digambarkan juga upaya mereka membangun lembaga antar-iman dan kampanye bersama mereka di Nigeria, lalu Afrika, kemudian dunia. Film itu diakhiri dengan keduanya saling berucap, “I love you.”

Suka-duka keduanya mengharukan. Karena keduanya sama-sama amat taat dan merupakan korban, upaya rekonsiliasi jadi tak mudah. Butuh waktu lama agar uluran tangan sang Imam diterima sang Pastor, dan trust terbangun di antara mereka. Rekonsiliasi mereka semula dibenci kedua komunitas dari mana mereka berasal. Meski kadang berbeda pandangan, mereka terus saling menghargai dan mencari titik-temu. “Kami sudah seperti suami-istri. Jika kami pisah, kedua komunitas bisa kembali saling bunuh,” kata Pastor James.

Dokumenter ini sudah digunakan di banyak tempat sebagai medium dialog dan upaya bina-damai antar-iman. Tapi saya tak tahu apakah di sini sudah ada yang memanfaatkannya. Di Sehama, saya hanya mencobanya.

Untungnya, para peserta antusias mendiskusikan film itu. Penanggap pertama, peserta Kristen asal Ambon, mengaku semula tak tahan menyaksikan film itu. Sebagai korban, dia tak suka jika ingatannya akan konflik lama kembali muncul. Tapi akhirnya dia merasa terilhami oleh film itu. Katanya, “Seharusnya para pemimpin agama kami berlaku seperti itu.”

Ini diperkuat tanggapan kedua, oleh peserta asal Ambon juga, tapi kali ini seorang mahasiswa muslim. Baginya, tantangan terbesar adalah bagaimana meyakinkan komunitas korban agar pilihan perdamaian dijadikan satu-satunya pilihan. Ini tak mudah, karena kecurigaan dan ketegangan di antara komunitas masih kuat.

Tanggapan sebaliknya datang kemudian, dari seorang penganut Ahmadiyah dan korban kekerasan di Cikeusik. Dengan nada bergetar, dia mengaku sulit berdamai dengan para “bangsat” penyiksanya, yang akibatnya–fisik dan non-fisik–masih dan mungkin akan terus dia rasakan.

Atas beragam tanggapan itu, saya tak bisa bicara banyak, apalagi menasihati satu kepastian. Menurut saya, siapa pun tidak akan bisa.

Yang bisa saya katakan: ajakan damai hanya akan bergema kuat jika para korban yang menyampaikannya. Makin tinggi “derajat” korban seseorang, makin bergema ajakan damainya. Itulah yang terjadi di Afrika Selatan: ajakan damai bergema kuat karena tak kurang dari Nelson Mandela, tokoh anti-apartheid Kristen yang dipenjara hampir setengah abad, yang memeloporinya.

Tapi, belajar dari dokumenter di atas, kita juga tak harus menunggu pembesar korban untuk “turun gunung”. Apalagi pemerintah. Imam Ashafa dan Pastor James mewakili inisiatif dari bawah, akar rumput. Saya tambahkan, di Ambon, inisiatif sejenis sudah mulai dilakukan oleh komunitas Kofi Badati, yang jelas bersifat lintas-iman.

Untungnya, saya dibantu seorang peserta perempuan dari Poso, yang mengaku anak seorang pendeta dan korban kekerasan. Sambil bersedih, dia menceritakan bahwa konflik kekerasan di Poso hanya merenggut nyawa kawan-kawannya, yang menyisakan trauma padanya, dan memisahkannya dari sang ayah. Baginya, film ini sangat inspiring.

Saya juga dibantu seorang peserta muslim asal Banten, yang secara terbuka meminta maaf, khususnya kepada peserta dari Ahmadiyah. Saya ikut mendukungnya karena, sebagai bagian dari kelompok mayoritas, kami jelas tidak berbuat banyak untuk menghalanginya, kalau bukan ikut mendukungnya.

Saya tak tahu apa yang ada di benak peserta lain. Tapi saya memperoleh banyak hikmah malam itu. Yang terbesar adalah bahwa saya bukan apa-apa di depan para korban itu. Ya, mereka: yang diinjak-injak, dipukuli, dibunuh, hanya karena mereka ingin menjalankan apa yang mereka yakini sebagai kebenaran.

Mendengar mereka, melihat wajah mereka, saya teringat kaum minoritas muslim di Eropa, Amerika, Cina, Filipina–dan Myanmar. Kami, mayoritas muslim di negeri ini, jarang memuji Presiden Obama dan rakyat Amerika yang mengizinkan sebuah Islamic center berdiri di dekat bekas Gedung Menara Kembar yang dirobohkan teroris atas nama Islam. Tapi kami sigap bersuara keras ketika kaum muslim dibantai di Myanmar.

Di Sehama, malam itu, saya belajar betapa kami munafik. Kami mau muslim dihargai, tapi kami tak mau menghargai orang lain.*

All You Need Is Love (Ihsan Ali Fauzi & Ade Armando)

Para penulis yang esainya diterbitkan di sini adalah anak-anak muda. Kecuali satu (Irfan Mohamad, pada esai ketiga), semuanya berusia di bawah 40 tahun, dan rata-rata lahir antara akhir 1970-an dan awal 1980-an. Artinya, mereka belum lahir ketika Cak Nur menyampaikan pidatonya yang menghebohkan itu, berjudul “Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat”, di Jakarta, Januari 1970, yang menandai kiprahnya sebagai – meminjam istilah Tempo mengenainya – “penarik gerbong” gerakan pembaharuan Islam Indonesia. Sebagian penulis muda ini cukup akrab dengan Cak Nur sebagai pribadi: dia memberi khotbah nikah dalam perkawinan Burhanuddin, misalnya, dan iman Irfan “terselamatkan” berkat ceramah-ceramahnya di Paramadina (itu pula sebabnya mengapa esainya harus disertakan dalam kumpulan ini). Tapi sebagian lainnya tidak pernah melihat sosoknya secara langsung dan hanya menyaksikannya di televisi atau membacanya di media massa atau buku. Bahkan A. Sa’duddin Sabilurrasad, penulis termuda dalam kumpulan ini, baru berusia satu tahun ketika Cak Nur membentuk Paramadina, lembaga yang hampir diidentikkan dengannya, pada November 1986.

Silakan diunduh berikut:

Sumber: http://www.abad-demokrasi.com

The Imam and The Pastor

In the 1990s, Imam Ashafa and Pastor Wuye led opposing militias in Northern Nigeria. Now the men work together bridging religious conflicts between Christians and Muslims that have killed thousands.

‘My hate for the Muslims then had no limits’ states Pastor Wuye, whose militia killed Imam Ashafa’s spiritual leader and two cousins. Ashafa spent 3 years planning revenge, until one day, a sermon on forgiveness changed his life. The men met and are now working on a peace accord. Imam Ashafa explains, ‘even though we differ in some theological issues, we will make the world a safer place’.

Sumber: Youtube

Baca tulisan terkait tentang film ini oleh Ihsan Ali Fauzi: “Belajar kepada Korban” di Koran Tempo, 11 Juli 2012.