”Menghindari mengungkap kekerasan, tapi bagaimana dengan fakta?,” ”Mengapa media umumnya jadi partisan dalam peliputan konflik berlatar agama?” ”Apakah Forum Kerukunan Umat Beragama pemecah masalah atau sumber masalah?” ” Bagaimana sikap media semestinya dalam meliput soal kemunculan nabi baru?” Pertanyaan-pertanyaan kritis ini bermunculan dalam diskusi dengan narasumber yang dihadirkan dalam Pelatihan Jurnalistik “Meliput Isu-isu Toleransi Beragama” yang digelar 13-17 Februari 2012 di Jakarta. Training jurnalistik ini diselenggarakan PPMN dengan dukungan dari Kedutaan Besar Selandia Baru.
Sederet narasumber mengisi training dengan membawakan aneka tema menarik ; Lutfi Assyaukanie (bekas wartawan Ummat, peneliti, dan dosen di Universitas Paramadina dan Al-Azhar), Ade Armando (Pengajar FISIP UI dan bekas anggota KPI), Dr Al Makin (peneliti literatur klasik Islam, dan peneliti tentang fenomena nabi dari Univeritas Negeri Singapura NUS), serta Ihsan Ali Fauzi ( pengajar dan peneliti di Universitas Paramadina). Beberapa tema yang didiskusikan di antaranya tentang konflik agama, konflik pendirian rumah ibadah dan SKB 3 Menteri hingga mengulas hasil penelitian soal fenomena nabi baru. Peserta juga diajak mengenal Ahamdiyah yang yang banyak disorot media karena mengalami diskrminasi melalui Mubarik Ahmad (juru bicara Jamaah Ahmadiyah Indonesia) dan juga memperkaya pengetahuan tentang agama lokal lewat diskusi dengan Dewi Kanti Sedjati (penganut Sunda Wiwitan dan pendiri Paguyuban Anti Diskriminasi untuk Agama, Adat dan kepercayaan).
Sebanyak 20 jurnalis dari media cetak, tv dan radio mengikuti dengan tekun setiap sesi selama 4 hari pelatihan. Mereka datang dari berbagai daerah di Indonesia dengan pengalaman liputan yang beragam. Tiga jurnalis senior bertugas sebagai trainer yang membantu peserta mematangkan rencana peliputan mereka yaitu Ahmad ”Alex” Junaidi (The Jakarta Post), Alif Imam Nurlambang ( Tempo TV) dan Vivi Zabkie (KBR68H).
Beberapa peserta mengaku kalau pandangan mereka berubah melihat berbagai persoalan toleransi beragama. ”Saya biasanya menganggap Ahmadiyah itu seperti liputan media kebanyakan (sebagai agama sesat), namun kini tidak lagi,” ujar salah satu peserta usai berdiskusi dengan narasumber dari Ahmadiyah. Kebersamaan dan diskusi di antara peserta tak berhenti begitu pelatihan ditutup. Sebuah grup diskusi Blackberry Messenger dan grup di jejaring sosial Facebook dibentuk peserta untuk terus mendiskusikan berbagai masalah liputan soal toleransi beragama.
Sumber: PPMN