Buku: Sekularisasi Ditinjau Kembali

Pippa Norris

Dalam buku ini, Norris dan Inglehart melaporkan hasil survei mereka atas 80 masyarakat di dunia, mengenai hubungan antara apa yang mereka sebut sebagai keamanan eksistensial (existential security) dengan sekularisasi. (Mereka mengukur masyarakat, bukan negara, karena masyarakat, yang usianya lebih tua dibanding negara, lebih mampu “menampung” agama yang biasanya memiliki tradisi panjang.) Ada dua terobosan penting di sini: (1) wilayah riset diperlebar hingga mencakup lingkup manusia yang lebih banyak, tapi (2) faktor penjelas sekularisasi dipersempit sehingga lebih bisa diukur dengan memuaskan. Dua terobosan ini menjadikan mereka melampaui capaian baik TSK maupun MEA seperti sudah disinggung di atas. Mereka mengklaim kemajuan baru ini, tapi sekaligus mengakui batas-batas studi mereka sendiri.

Versi digital buku ini terbagi menjadi 3 edisi. Ini adalah edisi pertama.

—————————————–

Klik Gambar untuk mendowload

Islamku, Islam Kita, Islam Anda

Buku Islamku, Islam Kita, Islam Anda

Penulis: Abduurahman Wahid (Gus Dur)

Pengantar: M. Syafii Anwar

Penerbit: The Wahid Institute, Agustus 2006

Wahid tidak pandang bulu, tidak membedakan agama, et-nis, warna kulit, posisi sosial, agama apapun untuk melakukan-nya. Bahkan, Wahid tidak ragu untuk mengorbankan image sendiri—sesuatu yang seringkali menjadi barang mahal bagi mereka yang merasa sebagai politisi terkemuka— untuk membela korban yang memang perlu dibela. Maka orang sering terkecoh bahwaseolah Wahid sedang mencari muka ketika harus mengorbankandirinya sendiri. Munculnya tuduhan sebagai ketua ketoprak, klenik, neo-PKI, dibaptis masuk Kristen, kar, murtad, agen Zionis Yahudi dan sebagainya, tidak akan menjadi beban bagi dirinyaketika harus membela korban. (Pengantar Penerbit, The Wahid Institute).

Download atau baca selengkapnya DI SINI


Merayakan Kebebasan Beragama

 

Judul : Merayakan Kebebasan Beragama- Bunga Rampai 70 Tahun Djohan Effendi

Penulis : Dawam Rahardjo, Mujibur rahman, Andreas A. Yewa¬ngoe, Franz Magnis Suseno, Martin Lukito Sinaga, Noorhadi Hasan, Greg Barton, Siti Mudah Mulia, Trisno Sutanto, dkk.

Editor :Elza Peldi Taher, Anick HT

Pengantar: Budhy Munawar Rachman

Epilog : Greg Barton

Isi : xxxviii+802 halaman

Penerbit : ICRP & Buku Kompas, 2009

Djohan Effendi (DE) adalah salah satu sosok juru damai berbasis pemikiran Islam. Sepak terjangnya dalam dunia pluralisme dan kehidupan toleransi umat beragama di Indonesia tak diragukan lagi. Untuk itulah buku bunga rampai Merayakan Kebebasan Beragama ini diterbitkan sebagai peringatan atas usianya yang ke-70 tahun. Menghimpun sebanyak 40 penulis, buku inimengumpulkan seraya memetakan sepak terjang perjalanan DE dalam kerukunan dan kebebasan umat beragama dari kacamata penulis-penulis terpilih yang notabene sahabat-sahabat DE.

Buku ini juga tak melulu membicarakan sosok DE sehingga terhindar dari jebakan penulisan “biografi” DE semata melainkan juga membicarakan jejak-jejak toleransi dan pluralisme di Indonesia yang pastinya digiatkan oleh Djohan sendiri. Terbagi dalam enam bagian, bagian pertama Jejak Djohan Effendi dalam Wacana dan gerakan Keagamaan di Indonesia (h.1), bagian kedua Membumikan Toleransi dan Pluralisme (h.75), bagian ketiga Wacana Pluralisme Agama (h.145), bagian keempat Negara dan Kebebasan Beragama (h.313), bagian kelima Gerakan Dialog Agama (h.495) dan bagian keenam Agama, Teologi, dan Demokrasi (h.675).

Yang menarik pada bagian pertamanya (h.2) Dawam Rahardjo menulis bahwa pemikirannnya agak berbeda dengan DE dan Ahmad Wahib, sejoli kelompok pemikir HMI. DE-Wahib lebih memperhatikan masalah demokrasi dan modernisasi sedangkan Dawam lebih menekankan sosialisme dan nasionalisme. Dalam isu modernisasi, ia pernah terlibat perdebatan dengan Ahmad Wahib tatkala ia sangat kritis terhadap gagasan modernisasi dan lebih tertarik pada isu keadilan sosial. Ini menarik karena sosok Dawam Rahardjo yang juga sosok pluralis ternyata berseberangan dengan sosok DE. Hal ini diungkap rada gamblang oleh Dawam satu hal yang mungkin baru terungkap setelah kita membaca buku bunga rampai ini.

Yang menariknya lagi dalam bagian ini mereka (Dawam dan DE) me¬reka termasuk memelopori gagasan menjadikan Pancasila sebagai ideologi gerakan Islam, terutama partai politik meninggalkan wacana gerakan negara Islam dan Piagam Jakarta-satu hal yang baru terungkap dalam buku ini. Di sini mereka mereka memelopori wawasan liberal-pluralis yang mengarah pada sekularisme yang menjadi topik diskusi yang diajukan Pak Mukti Ali tatkala membahas buku “Islam Negara Sekuler”.

Sebenarnya semua negara muslim yang berazas sekuler seperti di Indonesia memerlukan otoritas yang didukung oleh semua organisasi keagamaan. Tapi fungsi otoritas ini bukanlah memelihara ortodoksi dan hegemoni kelompok mayoritas, melainkan melindungi semua aliran kegamaan agar terhindar dari kesesatan. Dengan kata lain, fungsi dan tujuan otoritas keagamaan adalah melindungi kebebasan beragama dan beribadah seraya mengembangkan kerukunan dalam kehidupan beragama. Bidang inilah yang kemudian ditekuni Djohan Effendi sekarang hingga terbentuklah ICRP.

Selain dikenal sebagai sosok juru damai buku ini juga memperkenalkan ide-ide dan kiprah Djohan Effendi yang pada mulanya dianggap “tidak umum” lantaran di kalangan pemikir Islam Djohan melontarkan ide “Islam tidak perlu dijadikan ideologi politik”.
Karena pendapat ini dianggap melawan arus, maka tak heran kalau ia mendapatkan reaksi dan tanggapan yang luas, baik dari kalangan aktivis gerakan-gerakan Islam sendiri ataupun dari kalangan sarjana yang meneliti Islam di Indonesia pada masa Orde baru.

Menurut Mujiburrahman dalam Legitimasi dan Kritik: Pemikiran Keagamaan Djohan Effendi (h.46) para sarjana sepertinya kurang memperhatikan perhatian yang layak terhadap pemkiran Djohan Effendi tersebut terutama jika dibandingkan dengan perhatian pemikiran tokoh-tokoh lain seperti Nurcholish Madjid dan Gus Dur. Ini menarik karena Djohan termasuk tokoh penting di kalangan pengusung ‘Islam non-ideologis’ tersebut. (h.47). Di bagian ini Mujiburrahman mencoba memamaparkan dan menganalisis pemikiran keagamaan Djohan Effendi dilihat dari konteks sosial politik di Indonesia.

Djohan Effendi seperti pengusung Islam non-ideologis lainnya menerima Pancasila sebagai titik temu bagi berbagai elemen bangsa. Pandangan ini tentu saja sejalan dnegan rezim Orde Baru sehingga ia di terima di departemen Agama dan Sekretariat Negara dimana Djohan juga bekerja sebagai penulis pidato presiden Soeharto. Meskipun diterima di kalangan Orde Baru bukan berarti ia setuju dengan kebijakan-kebijakan Orde Baru yang tidak demokratis. Djohan justru bergabung dengan gerakan demokrasi meskipun harus “mengorbankan nama baik”nya di mata pemerintah. (h.48).

Bagi Djohan nilai-nilai Pancasila sudah sejalan dengan nilai-nilai Islam, oleh karenanya Islam sebagai ideologi politik tidak diperlukan. Apalagi menurutnya konsep ‘negara Islam’ tak lebih dari utopia yang tidak berpijak pada realitas sedangkan tidak ada negara Islam yang bisa dijadikan contoh ideal. Djohan tidak berhenti sampai di situ saja. Ia tampaknya tidak begitu puas dengan rumusan negatif mengenai hakikat negara kita yaitu ‘tidak negara sekuler, tidak pula negara agama’. Negara kita menurutnya menganut adanya ‘sosialisme religius’. Hal yang ia sampaikan melalui pidato presiden Soeharto ini mendapat sambutan hangat antara lain dari Nurcholish Madjid .

Franz Magnis Suseno dalam tulisannya Gold Talk (h.65) menilai Djohan Effendi adalah sosok agamawan abad ke-21 agamawan yang meyakinkan juga bagi mereka di luar, termasuk mereka yang sama sekali tak percaya dalam rangka salah satu agama. Bagi Magnis mereka yang bertemu dengan DE dapat merasakan bahwa agama mencerahkan, membuat kuat, mendukung apapun yang positif dan bisa menawarkan keselamatan. DE yakin pada Islamnya tapi bebas dari segala sikap sombong atau merendahkan agama lain.
Dia amat yakin bahwa agama harus betul-betul baik dalam arti menunjang tarikan kebaikan hati nurani, jadi harus menolak segala kecenderungan untuk membenci yang berbeda.(h.73)

Selain itu DE juga melihat bahwa dalam agama-agama pasti ada hal-hal baik yang bisa menjadi kepunyaan bersama. Seakan-akan kita semua, apapun agamanya, berziarah bersama di dalam perjalanan ziarah kemanusiaan, mencari nilai-nilai tertinggi. Dalam interaksi itulah kita memeproleh kekayaan spiritual bersama. (h.87, tulisan Andreas A. Yewangoe, Regulasi Toleransi dan Pluralisme Agama di Indonesia).

Kendati buku gemuk ini rata-rata menyambut aspirasi DE dalam kehidupan pluralisme dan toleransi umat beragama di Indonesia di mata para sahabat, buku ini juga menawarkan berbagai pandangan yang patut kita simak. Misalnya Multikulturalisme dan Tantangan Radikalisme (Noorhadi Hasan,h.198) sampai Tentang Alih-Agama (Conversion) di Indonesia (Martin Lukito Sinaga, h.275). Sehingga buku ini benar-benar merupakan antologi bunga rampai yang lengkap memetakan wacana pluralisme di Indonesia secara komprehensif. Meskipun demikian buku ini juga menyimpan kekurangan yaitu tidak diterjemahkannya epilog Greg Barton berjudul Modest Mensh, Virtous Intelectual (h.751). Padahal kalau diterjemahkan ke bahasa Indonesia pembaca dapat mengetahui pemikiran dan apresiasi seorang intelektual asing terhadap kiprah Djohan Effendi. Bukankah baru dia pemikir asing yang benar-benar mengamati kiprah pemikiran DE ?

Kemudian di beberapa tulisan misalnya tulisan Andreas A. Yewangoe (h.76) dan Gold Talk oleh Franz Magnis Suseno (h.65) terlihat terlalu panjang sehingga kurang menukik pada pemikiran sebenarnya tentang kiprah DE sendiri. Kalaupun ada sangat minim sehingga hanya terbaca kilasan secara umum perihal kiprah DE.

Namun di luar segala kekurangannya buku ini patut kita sambut dalam memperkaya wacana pluralisme dan toleransi umat beragama terutama di mata sahabat-sahabat salah seorang tokoh pluralis Indonesia DE. Hadirnya buku ini memperkaya kita bahwa keragaman beragama di Indonesia adalah satu hal yang patut disyukuri. *

Oleh Donny Anggoro

Sumber: ICRP