Reportase Kasus Syiah Sampang | oleh: Rusdi Mathari

oleh Rusdi Mathari

Mendatangi lokasi rumah-rumah orang-orang Syiah di Karang Gayam dan Bluuran, Sampang, Jawa Timur yang dibakar massa pada Kamis 29 Desember 2011, ternyata bukan pekerjaan mudah. Bukan saja letak lokasi kejadian yang cukup jauh dari pusat kota Sampang, melainkan yang terutama, sudah berkembang kecurigaan di masyarakat setempat kepada setiap pendatang.

Rumah-rumah itu terletak di dua desa dan kecamatan berbeda. Rumah Tajul Muluk di Dusun Nangkernang, Karang Gayam, Kecamatan Omben; dan rumah Iklil Al Milal di Bluuran, Kecamatan Karang Penang. Iklil dan Tajul adalah kakak-beradik dan dikenal sebagai ustad Syiah. Sejak kasus pembakaran rumah-rumah dan pengusiran orang-orang Syiah dari Omben, Januari silam; Tajul lalu dipersalahkan. Dia ditahan, diadili lalu divonis penjara dua tahun oleh majelis hakim PN Sampang, Juli silam karena dianggap mengajarkan aliran sesat.

Dari jalan raya Trunojoyo [arah Sampang-Ketapang], dua desa itu terletak di sebelah timur. Jaraknya sekitar 20-an kilometer ke arah utara kota Sampang. Kendaraan roda empat harus berhenti di tepi jalan raya Sampang-Ketapang itu karena jalan kecil menuju dua desa bisa dilalui hanya oleh kendaraan roda dua atau berjalan kaki. Ada sebatang sungai yang melintas di jalan kecil itu, dan rumah Tajul Muluk dan Iklil berada di sisi timur sungai.

Polisi dan beberapa tentara dari Koramil/Kodim Sampang terlihat berjaga, mulai dari jalan kecil itu hingga lokasi rumah Tajul dan Iklil. Beberapa penduduk yang ditemui di sekitar lokasi memandang curiga kepada setiap pendatang. Apalagi pendatang dengan penampilan yang berbeda dari warga sekitar. Mereka kuatir yang masuk ke desa mereka adalah penyusup; intel yang sedang mencari tahu pelaku pembakaran; atau orang-orang Syiah yang sedang mengumpulkan informasi. “Sampean Syiah ya Mas? Kok pintar ngomong? Sampean bisa lihat sendiri di sini aman. Saya heran kenapa orang-orang Jakarta meributkan kasus ini,” kata Hali.

Dia anak muda, berbadan gempal. Munif, bapaknya adalah tokoh masyarakat yang disegani di Karang Gayam dan masih kerabat jauh [paman] dari Tajul dan Iklil. Dari Hali pula diperoleh informasi, warga di Karang Gayam banyak yang tidak suka dengan Syiah yang diajarkan Tajul. “Mereka mengagung-agungkan Sayidinah Ali tapi memaki-maki tiga sahabat Nabi yang lain. Siti Aisyah disebut pelacur. Itu disiarkan lewat pengeras suara,” kata dia.

Hali akan tetapi mengaku, tidak mendengar langsung soal itu melainkan hanya dari yang dia dengar dari orang lain. “Kakak ipar saya tetangga Iklil, dia tahu persis dan bisa bercerita,” katanya.

Kakak ipar Hali bernama Dailami. Wajahnya terlihat tua dari usia yang diakuinya, 35 tahun. Dia antara lain bercerita, ajaran Syiah yang dibawa Tajul dan Iklil membolehkan berhubungan badan meskipun istri sedang datang bulan, dan melakukan salat hanya tiga waktu. “Tapi saya juga hanya mendengar dari orang,” katanya.

Dailami menyarankan untuk menghubungi Ahmadussowi alias Sowi di Bluuran. Dia anak muda, usianya baru 28 tahun lewat 3 bulan. Rumahnya di Bluuran berada persis di sebelah timur-utara rumah Iklil. Berjarak kurang-lebih 200-an meter. Orang tua Sowi [bapak] dan orang tua Iklil dan Tajul masih sepupu.

Sama seperti Hali dan Dailami, Sowi pun bercerita tentang ajaran Syiah yang dianggapnya menyimpang dari ajaran Islam. Kata dia, Syiah mengharamkan tarawih dan tadarus Alquran. Ketika ditanya apakah dia mendengar langsung ajaran seperti itu disampaikan oleh Tajul atau Iklil, dia menjawab mendengar langsung dari Muhammad Nur. “Dia pengikut Syiah, tapi sekarang jadi anak buah Rois,” kata Sowi.

Nur yang dimaksud Sowi, bertemu dengan saya di kantor Radar Madura, Jalan Diponegoro, Sampang. Dia datang menemani Roisul Hukamah alias Rois, yang datang menemui saya untuk wawancara. Rois adalah adik Iklil dan Tajul, dan disebut-sebut paling menentang ajaran Syiah yang diajarkan kakak-kakaknya. Dia mengenalkan Nur sebagai eks ustad Syiah yang sudah kembali ke Sunni.

Dari mulut Nur inilah, meluncur banyak cerita menyangkut tata cara ritual ajaran Syiah. Orangnya cenderung demonstratif dan pintar berbicara. Dia mengaku ikut Syiah sejak 2006 dan baru keluar empat tahun silam [2008] karena katanya, ajaran Syiah tidak sesuai dengan ajaran Islam. “Saya saksi hidup,” kata Nur.

Iklil yang dikonfirmasi soal pengakuan Nur itu, hanya tertawa. Dia membenarkan, Nur sebelumnya adalah pengikut Syiah. “Saya bilang ke dia, kalau mau ikut Syiah jangan karena Abah,” kata Iklil.

Abah yang dimaksud Iklil adalah KH Makmun, bapaknya. Dia kiai besar yang pernah hidup dan berpengaruh di Omben dan Karang Penang. Makmun punya 13 anak, tapi yang hidup hanya delapan, yaitu Iklil, Tajul, Rois, Ummu Kulsum, Hani, Fatimah, Achmad, dan Bujur. Delapan bersaudara itu kini pecah karena soal paham Sunni-Syiah. Tajul, Iklil dan Hani satu kelompok [Syiah], Rois dan Ummu Kulsum, kelompok lainnya [Sunni]. Achmad, Bujur dan Fatimah tidak jelas ikut yang mana. Dari pengakuan Rois, Achmad kini stres karena perseteruan keluarga itu.

Iklil bercerita, Nur keluar dari kelompok Syiah bukan karena soal benar-salahnya ajaran Syiah seperti yang selalu dia ceritakan ke mana-mana melainkan karena faktor ekonomi. Seingat Iklil, suatu hari Nur pernah mengutarakan maksud untuk memondokkan anaknya di pesantren tapi tidak punya biaya. Dia mengutarakan hal itu kepada Iklil. Lalu oleh Iklil, Nur diminta bersabar menunggu giliran karena iuran yang dikumpulkan dari jemaah terbatas. Sayangnya Nur tidak sabar dan malah memutuskan keluar dari kelompok Syiah. “Saya tahu siapa Nur,” kata Iklil.

Sunni-Syiah di Madura
Seorang kiai pengasuh pondok pesantren di Kajuk, Sampang menjelaskan, orang Madura yang NU adalah pengikut ahlus sunnah wal jamaah atau Sunni. “Madura itu ya NU. Orang Madura itu toleran. Kalau ada keyakinan di luar itu, silakan. Yang penting tidak menimbulkan keresahan di masyarakat,” katanya.

Dia lalu bercerita tentang pengikut Syiah di Tanjung Bumi, Bangkalan [sebelah barat Sampang] yang dianut oleh keluarga kiai terpandang. Mereka tetap bisa menjalankan ibadah sesuai keyakinan mereka dan tidak ada masalah dengan warga sekitar. Awalnya, kiai itu menyekolahkan anak-anaknya ke Timur Tengah. Ketika anak-anaknya itu pulang ke Tanjung Bumi, mereka mengajarkan Syiah lewat pesantren milik orang tuanya. Para santri dan warga sekitar yang tahu, anak-anak kiai itu mengajarkan Syiah yang dianggap berbeda dengan ajaran Sunni, menarik anak-anak mereka dan meninggalkan pesantren itu.

“Tidak ada kejadian apa-apa tapi para santri dan masyarakat yang tidak setuju dengan ajaran Syiah, satu per satu keluar dari pesantren, dan menjauh. Ini bukti, masyarakat Madura tidak ada persoalan dengan perbedaan. Kalau memang mau mempersoalkan Syiah, mestinya Syiah di Tanjung Bumi, Bangkalan itu sudah lebih dulu ‘meletus’ karena lebih dulu muncul sebelum Syiah di Omben,” kata dia.

Pengikut Syiah di Tanjung Bumi yang dimaksud adalah Keluarga Haidar Syarif dan Habib Ibrahim. Belum jelas benar, kapan mereka mulai mengajarkan Syiah di Tanjung Bumi. Sepekan setelah rumah-rumah orang-orang Syiah di Omben dibakar dan para pengikutnya diusir, pengikut Syiah di Bangkalan diundang Bupati Bangkalan, Fuad Amin Imron ke pendopo kabupaten. Mereka diajak bermusyawarah dengan para kiai di Bangkalan agar kejadian di Karang Gayam dan Bluuran tidak merembet ke Tanjung Bumi.

Dari cerita Iklil, Syiah mulai masuk ke Karang Gayam sekitar 1979 menyusul Revolusi Islam Iran. Orang tuanya [KH Makmun], waktu itu mendapat kiriman bacaan dan buletin tentang Syiah, juga poster-poster bergambar Khomeini. Sejak itu, orang tuanya menjadi pengikut Syiah. Keterangan Iklil dibenarkan Fanan Hasyib, Wakil Bupati Sampang yang juga seorang kiai.

Fanan menerangkan, Makmun [ayah Iklil, Tajul dan Rois] adalah penganut Syiah tapi keyakinan Makmun tidak diajarkan kepada orang lain. Fanan mengaku sudah sering mendengar sepak terjang Makmun termasuk dalam hal ibadah. Salah satunya tidak pernah salat Jumat. Alasan Makmun kata Fanan, seseorang yang akan menunaikan salat Jumat harus bersih dan wangi sehingga tidak ada alasan bagi orang yang kotor dan bau untuk menunaikan salat Jumat. “Celakanya, Kiai Makmun sejak Rabu sudah tidak mandi sehingga punya alasan untuk tidak salat Jumat,” katanya.

Dia menerangkan, ajaran Syiah yang dianut Makmun lantas ditularkan kepada anak-anaknya.

Lalu Iklil [yang tertua], Tajul dan Rois disekolahkan ke pesantren Yayasan Pesantren Islam atau YAPI di Bangil, Pasuruan, Jawa Timur, yang oleh warga Omben dikenal sebagai pesantren Syiah. Lulus dari YAPI, kakak-beradik itu disekolahkan ke Timur Tengah.  “Rois dan Tajul itu masih bersaudara, begitu juga ulama-ulama di Karang Gayam, semua masih berkerabat,” kata dia.

Dari catatan Pemda Sampang, Tajul bersekolah ke Arab Saudi dan menikah dengan Ummu Kulsum asal Malang Jawa Timur. Ketika kembali ke Karang Gayam pada 1999, Tajul dan keluarganya mulai berdakwa tentang Syiah dan mendirikan pesantren Misbahul Huda. Mulanya Rois juga ikut dan bergabung dengan Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia atau IJABI yang diketuai oleh Jalaluddin Rakhmat. Ada kabar, Rois bahkan sempat menjadi bendahara IJABI Sampang tapi Rois membantah hal ini. “Saya hanya menjadi penasihat,” kata Rois.

Iklil bercerita, justru Rois yang paling aktif dan mewakili mereka ke acara-acara yang diselenggarakan oleh IJABI termasuk ketika organisasi mengadakan kongres di Makassar. Rois mengaku keluar dari Syiah, karena menilai ajaran Syiah melenceng dari ajaran Islam. Dia menyebutkan sejumlah alasan. Antara lain soal pernyataan Tajul tentang Alquran yang dianggap sudah tidak otentik. Namun, “Saya tidak pernah mendengar langsung, juga tidak ada saksi,” kata Rois.

Dan menurut Tajul, Rois keluar dari kelompok Syiah karena merasa tidak mendapat posisi dan kesempatan. “Dia itu ditaruh di depan tidak mau, ditaruh di belakang menyeruduk,” kata Tajul.

Di Karang Gayam dan Bluuran, para pengikut Syiah disebut kompolan [kumpulan]. Di masyarakat Madura, sebutan ini diberikan kepada sekelompok orang yang rajin mengikuti acara pengajian. Suatu kegiatan yang sebetulnya jarang dilakukan oleh para santri di pesantren NU. Dengan sebutan itulah, para pengikut Syiah hidup di tengah-tengah masyarakat Omben dan Karang Penang yang mengagungkan kiai dan dikelilingi  ratusan pesantren.

Di Omben dan di kecamatan sekitarnya, warga setempat memang hidup dengan petuah kiai dan syariat Islam yang ketat. Sebagian besar dari mereka, hanya bisa berbahasa Madura dan Arab. Ada sebuah madrasah yang murid-muridnya bahkan tidak bisa menyanyikan lagu Indonesia Raya dan tidak tahu cara melaksanakan upacara bendera. “Sampang itu NU, dan Omben adalah pusarnya NU,” kata Hamid, tokoh pemuda dan eks petugas Pencatat Pemilih di Kecamatan Omben.

Cincin akik dan dua hukum
Di Omben dan sekitarnya, masjid dan pesantren memang seperti berbaris di sepanjang jalan Sampang-Ketapang. Itu belum termasuk yang ada di pelosok, di balik-balik perbukitan yang jauh dari jalan raya Sampang-Ketapang. Bila waktu salat tiba, sebelum azan akan terdengar suara orang mengaji yang diputar dari recorder dan disiarkan lewat pengeras suara, seolah sahut-menyahut antara masjid yang satu dengan masjid yang lain. Di masjid-masjid itu, orang-orang yang salat akan tetapi bisa dihitung dengan jari, hanya satu-dua orang.

Sunardi Hamid, Ketua Pusat Kajian HAM dan Lingkungan di Pamekasan menjelaskan, salah satu ciri orang Madura yang NU adalah suka mengenakan cincin akik, membaca qunnut bila subuh, suka tahlilan dan membawa jimat. “Kalau sudah seperti itu, sampean NU sejati, dan kalau ada yang mengatakan jimat itu syirik, itu bukan NU dan pasti dicap Muhammadiyah,” katanya.

Laki-laki yang juga menjadi ketua Himpunan Petani Garam Indonesia dan ketua Lembaga Pertanian NU Pamekasan itu bercerita, di Madura, saat ini banyak politik kepentingan yang dijalankan para kiai. Karena kepentingan itu, seseorang atau kelompok bisa dengan mudah dicap sesat atau alim.

Misalnya jika kepentingan seseorang atau kelompok tertentu berbenturan dengan kepentingan kiai, maka seseorang atau kelompok itu bisa dicap sesat, atau kiai itu akan mengeluarkan fatwa haram. Sebaliknya bila menguntungkan dan mendukung kepentingan kiai, seseorang atau kelompok bisa dicap alim, atau para kiai itu akan mengeluarkan fatwa halal.

“Di dunia ini, siapa yang kuat itu yang menang. Meski pun saya melihat kuning benar, tapi karena orang banyak bilang merah yang benar, saya bisa kalah,” katanya.

Kenyataan itu kata Sunardi berbeda dengan zaman ketika dia masih muda. Dulu para kiai masih menggunakan empat hukum: halal, haram, makruh, mubah, dan riba. Sekarang yang digunakan hanya dua hukum: halal dan haram, dan tidak ada yang membantah. Paham orang lain lalu dengan mudah dicap kafir, dan paham yang mereka anut dianggap paling benar.

Maka tidak usah heran, jika ada warga NU yang suka tahlilan, meski pun tidak pernah salat bisa dianggap sebagai orang alim. Sebaliknya kalau ada orang Muhammadiyah atau yang lain, yang rajin salat dan menjalankan semua ritual ibadah Islam tapi tidak suka tahlilan dan tidak suka jimat, mereka bisa dicap sesat atau kafir. “Semua karena kepentingan dan kebutuhan hidup,” kata Sunardi.

Celakanya, politik kepentingan dan hubungan kiai-umat seperti itu kemudian dipraktikkan oleh umat dengan serta-merta. Contohnya bila ada orang yang meninggal dunia.

Kebiasaan orang Madura bila ada tetangga yang ditimpa musibah kematian, akan membawa segantang beras atau sebungkus gula sebagai tanda ikut berduka. Lalu ketika pulang, pihak keluarga yang berduka akan menitipkan bingkisan berupa nasi dan sebagainya. Kalau ada pihak keluarga yang berduka lupa, atau tidak memberikan bingkisan kepada orang-orang yang ikut melawat, maka dengan mudah orang-orang akan memberi cap keluarga yang berduka itu sebagai pengikut Muhammadiyah, sesat atau kafir. “Saya pernah mencoba menjelaskan bahwa jangan mudah menuduh orang, tapi kiai dan ulama tidak mendukung, saya mau apa?” kata Sunardi.

Pak Ong, sopir yang mengantar saya berkeliling Sampang membenarkan cerita Sunardi. Dia mengaku, di hari ketiga pamannya meninggal, keluarga besarnya sudah menghabiskan tiga ekor sapi untuk selamatan. “Saya tidak tahu, bagaimana nanti kalau selamatan tujuh hari,” katanya.

Pak Ong bukan asli Sampang. Dia berasal dari Sumenep. Dia menetap di Kedungdung, Sampang [tetangga kecamatan Omben] karena istrinya berasal dari Kedungdung.

Dari Pak Ong pula keluar cerita tentang bagaimana perilaku kiai, pada saat bulan Maulid. Di Sampang, kata dia, acara memperingati hari ulang tahun Nabi Muhammad saw. diperingati bukan hanya di masjid atau musala melainkan di setiap rumah penduduk. Dalam satu hari, bahkan bisa ada 11 rumah yang mengadakan maulid meski waktunya tidak bersamaan.

Setiap istri dan setiap ibu, lalu sibuk memasak untuk menjamu undangan dan kiai, tapi makanan yang sudah dimasak oleh mereka pada akhirnya menjadi sia-sia karena tidak ada yang makan. “Bagaimana mau dimakan, dalam satu hari, setiap orang harus menghadiri acara maulid di banyak tempat,” katanya.

Musim Maulid itu biasanya juga menjadi musim panen bagi para kiai. Setiap rumah seolah berlomba-lomba mengundang para kiai, yang tentu saja harus diberi diberi uang saku. Dari uang saku yang diberikan oleh umat itu, para kiai minimal bisa membeli sepeda motor. Namun yang menyedihkan kata Pak Ong, umat yang tidak punya cukup uang untuk merayakan Maulid akan meminjam uang ke tetangga [atau bahkan ke kiai], tentu berikut bunganya meskipun dikemas dengan cara lain.

Tak usah heran jika kemudian, banyak warga yang kemudian terjebak utang hingga musim Maulid tahun berikutnya. “Itulah keadaannya di Sampang. Menyedihkan. Makanya ada orang yang sudah mulai berani bilang, lebih enak ikut Muhammadiyah atau Syiah, tidak repot-repot,” kata Pak Ong.

Muqtadir, aktivis muda NU Sampang punya cerita lain soal hubungan kiai dan umat. Dia adalah murid KH Izzad Raki, salah satu kiai di Sampang yang dianggap netral melihat kasus Syiah di Omben dan Karang Gayam. Kata dia, di Sampang, banyak kiai yang tidak mau datang bila diundang oleh orang-orang miskin, termasuk pada saat acara kematian. Sebaliknya bila yang mengundang orang kaya, mereka akan datang dan memimpin doa.

Persoalan utamanya adalah uang saku atau bingkisan yang akan diterima oleh para kiai: orang kaya dianggap pasti memberi uang saku lebih banyak, sementara orang miskin akan memberi bingkisan sekadarnya. Tentu tdak semua kiai berperilaku seperti itu, tapi Muqtadir memastikan, hal semacam itu sudah menjadi gejala umum di Sampang dan daerah lain di Madura.

“Kalau ada undangan bersamaan, para kiai akan mengutamakan undangan dari si kaya ketimbang si miskin. Padahal hal itu dilarang oleh agama, karena yang harus diutamakan adalah undangan yang lebih dulu datang,” kata Muqtadir.

Sunardi Hamid mengungkapkan, besar-kecilnya uang saku untuk para kiai itu juga ditentukan oleh kendaraan yang digunakan para kiai. Uang saku untuk kiai yang datang hanya dengan menggunakan sepeda motor misalnya, akan berbeda dengan uang saku yang diterima para kiai yang menggunakan mobil. Kiai yang bermobil pun ada kelas-kelasnya. Kalau mobilnya jelek, uang sakunya akan lebih sedikit. Kiai yang datang dengan mobil yang lebih mahal atau mewah, uang sakunya akan semakin tebal. “Kiai sekarang beda mas dengan kiai-kiai dulu,” kata Sunardi.

Dia memberi contoh. Dulu, jika pemerintah membantu pondok pesantren untuk membangun kelas atau lokal madrasah, katakanlah dua kelas, maka kiai akan menjual sapi atau harta benda lainnya agar bantuan pemerintah bisa berwujud menjadi enam kelas. Sekarang, jika kiai dibantu membangun dua kelas, yang dibangun hanya satu kelas. “Sisanya masuk ke kantong kiai,” katanya.

“Dengan kejadian di Karang Gayam ini, Syiah jadi pusat perhatian. Kalau tidak ada kejadian, Syiah tidak akan naik. Para kiai itu sekarang tidak ada yang berani ngomong, tapi kalau ngomong proyek Rp 100 juta mereka mau. Mereka itu maunya kan menambah istri dan beli mobil baru,” kata Hamid.

Pilkada dan asal-usul konflik
Isu NU dan non-NU di Sampang memang menjadi isu sensitif dan bisa dijadikan alat kepentingan. Di kota itu, bahkan seorang bupati hari-harinya harus disibukkan oleh unjuk rasa dari para demonstran yang mengatasnamakan NU. Gara-garanya, perkataan Noer Tjahja. Bupati Sampang itu dituding telah melecehkan NU. Noer yang sewaktu musim Pilkada berpasangan dengan Fanan Hasyib, lalu dituding sebagai pengikut Muhammadiyah. Asal-usul keturunannya juga dipersoalkan. Dianggap bukan keturunan Panji, bangsawan dari Sampang.

“Kalau satu kali mungkin dia salah omong, dua kali dimaklumi. Kalau berkali-kali, pasti ada sesuatu. Muhammadiyah di Sampang ini tidak ada pengikutnya. Dulu masjid Muhammadiyah di sini dilempari batu,” kata Fanan sembari menganggap Noer sudah berkali-kali melecehkan NU.

Fanan dan Noer memang tidak akur. Beberapa pegawai di Pemda Sampang menuturkan, keduanya bahkan sudah tidak kompak setelah enam bulan mereka dilantik 26 Februari 2008. Fanan kini lebih banyak tinggal di rumah dinasnya, dan praktis bisa dikatakan tidak bekerja sebagai wakil bupati. Pada musim Pilkada 2013, Fanan berniat maju sebagai calon bupati, menantang Noer, dan KH Sholahurrobbani [sepupu Fanan] yang dikabarkan juga akan maju sebagai calon bupati.

Fanan menuturkan, dirinya mengikuti berita kasus pembakaran rumah-rumah pengikut Syiah di Karang Gayam dan Bluuran. Sebagai pemimpin di daerah, dia mengaku pembakaran itu bertentangan dengan HAM, tapi sebagai pengikut Sunni dia menentang keras ajaran Syiah berkembang di Sampang.

Dia bahkan setuju, kalau pengikut Syiah seluruhnya dipulangkan ke Iran. “Seperti kata Habib Tohir dari Pekalongan, sebaiknya orang-orang Syiah itu dikembalikan saja ke Iran. Selesai. Tidak usah diajarkan di [Sampang] sini,” kata Fanan.

Di tengah masyarakat dan kiai di Sampang yang mudah memberi cap kepada orang lain yang tidak sepaham sebagai kafir dan sesat itulah, muncul Tajul dengan Syiah. Habib Umar Albayyiti, dari Desa Temoran, Omben, menggambarkan Tajul sebagai orang yang alim, dan suka membantu. “Wajahnya ganteng. Pintar. Dia banyak tamunya, dan punya banyak santri. Kiai lain, sepi. Kiai-kiai di Karang Gayam itu sebetulnya masih kerabat semua dengan Tajul,” kata Umar.

Umar bercerita, apa yang menimpa Tajul dan pengikutnya sebetulnya bisa jadi dipicu oleh faktor cemburu dari para kiai setempat. Tajul dianggap merongrong pamor para kiai yang mulai kehilangan wibawa. Kejadian itu kata dia mirip dengan yang menimpanya pada awal 1999.

Saat itu tengah malam, ratusan orang mendatangi rumah Umar di Temoran. Massa yang membawa obor dan senjata tajam berteriak-teriak meminta Umar keluar dari rumahnya. Umar yang kebetulan berada di sebuah warung yang tak jauh dari rumahnya, segera mendatangi kerumunan massa itu. Dia menanyakan maksud kedatangan orang-orang itu, yang lalu dijawab dengan tuduhan: Umar menyembunyikan maling di rumahnya. Umar mempersilakan orang-orang yang marah itu masuk ke rumahnya untuk memeriksa tapi mereka tidak menemukan yang dicari.

Sampai sekarang Umar mengaku tidak tahu, mengapa orang-orang itu datang ke rumahnya dengan marah. Dia hanya bisa menduga, kedatangan orang-orang ke rumahnya malam itu bisa jadi karena dipicu oleh rasa cemburu dari para kiai di sekitar rumahnya. Pemicunya, rumah Umar sering dan banyak kedatangan tamu. Dari mana saja. Ada yang minta tolong, ada yang cuma silaturahmi dan macam-macam.

“Kejadian [pembakaran rumah-rumah dan pengusiran orang-orang Syiah] di Karang Gayam itu, saya kira juga demikian. Ada faktor kecemburuan dari salah satu pihak. Siapa yang iri? Dari cerita Husein kepada saya, Rois itu yang cemburu,” kata Umar.

Husein yang dimaksud Umar adalah salah satu orang kepercayaan Tajul yang menurut Umar sering datang berkunjung ke rumah Umar. Namun menurut Munif, terlalu jauh kalau dikatakan para ulama dan kiai di Omben tersinggung karena Tajul punya banyak pengikut.

Feri Ferdiansyah, Kepala Biro Radar Madura di Sampang menuturkan, Tajul memang beda dengan Rois adiknya. Bukan saja lebih pintar, tapi penampilan Tajul juga lebih tenang. “Nanti kalau bertemu dengan keduanya, sampean bisa lihat sendiri,” kata Feri.

Secara tidak langsung, Mas’udi Cholili Sekretaris PCNU Sampang juga mengakui perilaku dan kepintaran Tajul. Pernah dalam sebuah perdebatan dengan para ulama di Omben, Tajul bahkan hampir mematahkan semua argumen para kiai yang menyesatkan Syiah. Tajul kata Mas’udi menjawab semua pertanyaan kiai, tapi tidak bisa menjawab satu hal. Mas’udi mengaku lupa, satu hal yang tidak bisa dijawab Tajul.

Umar bercerita, suatu hari dirinya menerima undangan dari para kiai di Omben untuk melakukan musyawarah. Undangan itu berkali-kali disampaikan ke Umar tapi Umar tidak pernah memenuhinya karena musyawarah yang diadakan di rumah mendiang Haji Sa’bi [tokoh masyarakat Omben] dinilainya hanya bertujuan untuk mendesak Tajul agar kembali ke Sunni. “Kiai-kiai yang tidak mau ikut dianggap sama dengan Tajul, tapi saya tidak pernah datang. Saya tidak mau,” kata Umar.

Umar tidak ingat kapan pertemuan di rumah Sa’bi dilakukan tapi dari keterangan yang disampaikan Zainal Hambali, Sekretaris Intelijen Daerah Sampang; pertemuan di rumah Sa’bi, kali pertama terjadi pada 20 Februari 2006. Konon hadir para kiai se-Madura dan pejabat Muspika. Penggagasnya adalah KH Ali Kharrar Sinhaji, pengasuh PP Darul Tauhid di Propon, Sampang. Dia masih terbilang paman dari Iklil, Tajul dan Rois.

Belum jelas, mengapa para kiai itu berkumpul di rumah Sa’bi kecuali dengan satu alasan: ajaran Syiah yang dibawa Tajul dianggap telah meresahkan masyarakat. Juga tidak terang mengapa Ali Kharar menggagas pertemuan itu dan Sa’bi kemudian bersedia menjadi tuan rumah pertemuan. Iklil melarang saya menghubungi Ali Kharar.

Satu hal yang agak jelas, pertemuan di rumah Sa’bi itu adalah pertemuan pertama yang khusus menyoal Tajul dan Syiah di Omben dan Karang Penang. Hasil dari pertemuan itu adalah para kiai sepakat untuk meminta Tajul kembali ke Sunni dan melarangnya melakukan aktivitas dakwah [Syiah] untuk sementara waktu. Tajul diberi waktu seminggu untuk menjawab keputusan para kiai itu dan diharuskan datang ke rumah Sa’bi.

Tanggal 26 Februari 2006, Tajul tidak datang ke rumah Sa’bi seperti yang diminta para kiai. Dia mewakilkan dirinya kepada Busry dan KH. Wahab [pamannya]. Dua orang yang mewakili Tajul itu membawa pesan, Tajul bersedia kembali ke Sunni. Selesai.

Masalah muncul kembali pada musim Maulid 2007. Saat itu Tajul berniat mengundang beberapa ustad untuk berceramah di acara Maulid di rumahnya, tapi sebelum acara berlangsung, massa sudah lebih dulu mendatangi rumah Tajul dan meminta para penceramah tidak berceramah di desa mereka. Tajul tidak mengerti,  alasan warga menolak para penceramah Maulid yang didatangkan olehnya.

Di bulan puasa dua tahun kemudian, terjadi kasus ancam-mengancam antara pengikut Tajul dan Rois. Dari catatan Zainal, pemicunya adalah ancaman dari Mat Siri, salah seorang pengikut Tajul kepada Amin. Nama yang terakhir adalah seorang ustad yang berniat mengadakan pengajian Ramadan. Rumah Amin kebetulan berdekatan dengan Mat Siri. Kepada tetangganya itu, Mat Siri kabarnya menyampaikan ancaman, kalau pengajian di rumah Amin menyinggung-nyinggung soal ajaran Syiah, maka dia dan yang lain akan berunjuk rasa ke rumah Amin.

Kasus Mat Siri itu tidak ada kelanjutannya, tapi sebulan kemudian muncul perselisihan antara Zainul Jakfar [anak asuh Rois] dan Mudawi [anak asuh Tajul]. Konon, Mudawi mengacungkan celurit kepada Zainul. Kejadian itu disaksikan oleh para tetangga, sehingga hampir memicu bentrok antara pengikut Rois dan Tajul.

Lalu entah apa hubungannya, FPI Pamekasan dan Ikatan Santri Karang Gayam melaporkan Tajul ke Polwil Madura pada 16 Oktober 2009. Alasan laporan mereka, ajaran Syiah yang dibawa Tajul telah membuat resah masyarakat. Laporan FPI ke polisi itu disertai ancaman, jika polisi tidak memberikan keputusan soal Tajul dan ajarannya, maka mereka akan berunjuk rasa mendatangi kediaman Tajul. Karena laporan FPI itu, kapolres Sampang bersama pejabat lain di Sampang membuat lima keputusan, yang intinya melarang Tajul menyebarkan ajaran Syiah.

Kasus berikutnya muncul 21 Januari 2011 di Bluuran. Gara-garanya, seorang ibu bernama Mitsirah menolak pemberian Rustami, anaknya yang Syiah. Rustami tersinggung dan kabarnya mengucapkan kata-kata yang intinya memutuskan hubungan silaturahmi antara orang tua dengan anak. Saudara Rustami bernama Mistari, yang mendengar ucapan Rustami kepada ibunya, tidak terima. Dia mengancam membunuh Rustami. Para tetangga datang untuk melerai tapi kasus itu tidak berkelanjutan, hingga terjadi kasus pada Kamis 29 Desember 2011: rumah-rumah dibakar dan orang-orang Syiah diusir.

Sembilan perempuan
Rudy Setiadhi, Kepala Bakesbangpol Pemkab Sampang menjelaskan, kasus pembakaran di Karang Gayam dan Bluuran hanya puncak dari perseteruan panjang antara satu keluarga: Tajul dan Rois. Kali ini yang menjadi akar masalah adalah perempuan. “Bukan cuma satu perempuan, tapi masih ada sembilan perempuan. Halimah itu salah satunya. Dia itu masih anak-anak, masih SD. Rois itu suka kawin cerai, begitulah. Tajul itu tahu kebiasaan Rois, dan Rois tahu isi dapur Syiah,” kata Rudy.

Dia menjelaskan, pihaknya sudah berkali-kali berusaha mendamaikan keduanya, tapi perseteruan terus berlangsung. Beberapa hari setelah Lebaran tahun lalu, keduanya bahkan dipertemukan di ruang kerja Rudy. “Saya bilang ke mereka, ‘Ayolah rukun, tak usah berantam, kalian kan bersaudara’,” kata Rudy.

Rois mengaku tidak tahu persis, penyebab atau pemicu pembakaran rumah-rumah milik saudaranya, di Kamis yang nahas itu. Dia hanya mengatakan, penyebabnya banyak. “Saudara saya Tajul sering mengkhianati perjanjian musyawarah dengan pemerintah dan masyarakat,” katanya.

Terakhir, kata Rois perjanjian itu dibuat di Kecamatan Omben, 17 Desember 2011 atau 12 hari sebelum terjadi pembakaran. Pihak Tajul diwakili oleh Iklil. Isinya berupa pernyataan dari Tajul yang berjanji tidak akan mengadakan aktivitas dakwah demi kemaslahatan umat. Tajul mengonfirmasi surat pernyataan yang dibuat di Kantor Kecamatan Omben sebagai tulisannya, tapi menolak mengakui pernyataan-pernyataan lain karena dianggap rekayasa dan dibuat sepihak oleh orang-orang yang tidak senang kepada dirinya.

Rois akan tetapi tidak menolak, masalah kali ini bisa jadi juga dipicu soal perempuan bernama Halimah yang disebutkan oleh Rudy. Halimah adalah putri Mat Badri. Rois mengaku, perempuan itu telah dipinangnya karena permintaan istrinya Kholifah. Sewaktu dipinang, usia Halimah baru 12 tahun, masih duduk di bangku SD. “Saya sudah tidak mau, tapi istri saya yang meminta agar saya menikahi Halimah,” kata Rois.

Kholifah membenarkan bahwa Halimah sudah dipinang olehnya untuk suaminya. Belakangan, menurut Rois, Tajul meminta dirinya untuk melepaskan Halimah karena mau dinikahi oleh Tajul. “Saya mengalah,” katanya.

Tentu saja cerita Rois dan Kholifah dibantah oleh Tajul, Iklil, dan Mat Badri [orang tua Halimah]. Tajul menjelaskan, Halimah sebetulnya hanya diminta membantu di rumah Rois, bukan dipinang. Karena Rois dikenal sebagai kiai, orang tua Halimah mengizinkan anaknya ikut Rois.

Suatu hari, Tajul didatangi Zainal yang meminta tolong agar meminangkan Halimah untuk Dul Azid, anaknya. Tajul memenuhi keinginan Zainal tersebut dan pinangannya diterima oleh Mat Badri. Karena mengetahui Halimah telah dipinang oleh orang lain, Rois tidak terima dan memanggil Mat Badri, Zainal dan Dul Azid.

Sebelum memenuhi panggilan Rois, tiga orang itu meminta pendapat Tajul: apakah memenuhi panggilan Rois atau tidak. Tajul menyarankan agar tidak memenuhi panggilan Rois, dengan alasan Rois adalah orang yang temperamental dan suka memukul orang. “Saya kuatir mereka dipukul, dan mereka tidak memenuhi panggilan Rois,” kata Tajul.

Kini Halimah tinggal bersama suaminya di Surabaya. Iklil meminta anak perempuan itu tidak usah diekspos, karena kuatir mengganggu sekolahnya.

Preman dan adu jangkrik
Rudy menjelaskan, pembakaran rumah-rumah orang Syiah di Karang Gayam dan Bluuran juga diprovokasi oleh Rois. Dari catatan Zainal yang intel dari Pemda Sampang itu, Rois selama ini memang sering memutar rekaman video soal ajaran Syiah dan mempertontonkannya kepada warga yang ikut pengajian rutin di rumahnya. Rekaman video itu, antara lain berisi soal pembantaian pengikut Sunni oleh pengikut Syiah, dan ritual salat yang konon dilakukan pengikut Tajul di sebuah gereja di Malang.

Dari cerita Iklil, pembakaran atas rumahnya, rumah Tajul dan rumah Saiful adik ipar Iklil [suami Hani] terjadi sistematis. Awalnya dia mendapat kabar dari Bu Misnawi bahwa ada sekelompok orang bersenjata tajam yang menuju rumah Tajul. Itu sekitar jam 9 pagi. Misnawi adalah tetangga Tajul, dia mendapat informasi dari Bu Ali yang melihat ada sekelompok orang bergerombol di jalan menuju rumah Tajul.

Mereka pura-pura memperbaiki jalan, tapi menurut Iklil, sebetulnya justru merusak jalan. Tujuannya agar polisi tidak segera tiba  ke lokasi. “Saat itu saya sudah berusaha menghubungi kapolsek Omben tapi tidak ada di tempat. Saya lalu menghubungi kapolsek Karang Penang agar segera datang ke Karang Gayam. ‘Tolong ke sini, karena saya mendengar informasi ada orang-orang yang hendak datang ke rumah Tajul’,” kata Iklil.

Upaya Iklil sia-sia, karena massa sudah muncul di rumah Tajul dan langsung merusak dan membakarnya. Dari jarak 20 meter, dia melihat dan mengenali beberapa orang yang ikut membakar. Antara lain Hosen dan Hasbullah. Orang-orang itu mengacungkan celurit kepada Iklil.

Di rumah Saiful yang juga ikut dibakar, Iklil mengenali Arifin, Sahrudin, Hudali, Masdi sebagai orang yang ikut membakar. Mereka semua menghunus celurit. Sebelum dibakar, tiga anak Saiful masih berada di dalam rumah. Berkat pertolongan tetangga, tiga anak itu bisa diselamatkan.

Hamid, tokoh pemuda Omben itu bercerita, sebelum massa membakar rumah Iklil, pada siang harinya, rumah itu sebetulnya sudah dijaga 13 polisi tapi karena kalah jumlah dengan massa, polisi itu tidak berdaya. Kapolres Sampang yang datang ke lokasi pada saat kejadian, bahkan juga ikut diancam. Hamid mengaku mengetahui semua itu dari cerita iparnya yang polisi dan ikut berjaga di rumah Iklil. Sementara Munif menjelaskan, salah seorang anak Rois juga ikut membakar.

Hali dan Dailami bercerita, orang-orang yang membakar itu mengenakan tutup wajah. Mereka tiba-tiba muncul dari balik bukit. Munif mendengar, anak Rois ikut pula membakar.

Umar menduga, mereka yang membakar rumah Tajul dan saudaranya bukan hanya berasal dari Karang Gayam, melainkan juga dari Karang Penang. “Mereka itu bukan santri. Itu para bromocorah. Mana ada, santri bawa-bawa celurit dan membakar rumah orang?” kata Umar.

Seorang pengurus PCNU Sampang punya cerita lain soal pelaku pembakaran. Dia mendengar, KH Syafiuddin Wahid, Rois Syuriah PCNU menyampaikan kasus pembakaran itu ada indikasi berhubungan dengan pembebasan Gunjeg dari tahanan polisi. Syafiuddin tak mau memberi penjelasan.

Gunjeg adalah tokoh preman. Dia warga Kecamatan Camplong, Sampang yang ditangkap polisi karena kasus judi sabung ayam. Kono, beberapa politisi berusaha membebaskan Gunjeg dari tahanan tapi Kapolres Sampang, Solehan bersikukuh tak mau melepaskan Gunjeg. Entah bagaimana ceritanya, Gunjeng kemudian bebas. Itu terjadi beberapa hari sebelum peristiwa pembakaran rumah-rumah milik orang Syiah di Karang Gayam dan Bluuran.

Seorang tokoh di Omben yang rumahnya sering dijadikan tempat berkumpul kepala desa mengungkapkan, setidaknya ada delapan kepala desa yang berpatungan masing-masing Rp 5 juta untuk membebaskan Gunjeng, tapi dia tidak melihat ada hubungan Gunjeg dengan kasus pembakaran di Karang Gayam dan Bluuran. Tajul dan Rois mengaku tahu siapa Gunjeg, tapi Rois menolak keras anggapan dirinya kenal dan berkawan dengan Gunjeg. Iklil mengungkapkan kebiasaan Rois adalah mengadu jangkrik.

Munif punya cerita berbeda. Dia mengaku pernah diminta untuk mendamaikan Rois dan Tajul oleh pihak kepolisian, tapi dia menolak. Alasannya, perseteruan kakak-beradik itu sudah ditunggangi kepentingan politik menjelang Pilkada 2013.

Kiai dari Kajuk Sampang, juga berpendapat, kasus di Karang Gayam dan Bluuran itu telah menjadi dagangan banyak pihak. Dari semula hanya persoalan keluarga, lalu ditarik atau digiring menjadi isu Syiah dan Sunni. Dengan menggiring perselisihan keluarga menjadi isu Syiah-Sunni, ada yang berharap mendapat dukungan.

Dia bercerita, kasus antara Rois dan Tajul sebetulnya sudah berkali-kali dicoba didamaikan tapi tidak selesai, dan sekarang menjadi semakin terbuka. Maka ketika persoalan keluarga ditarik menjadi persoalan paham, yang diuntungkan kata dia, adalah pihak yang selama ini tidak diuntungkan dari sengketa keluarga itu.

“Saya menduga Rois mendapat keuntungan. Dia tahu, masyarakat Madura adalah Sunni. Ini bombastis. Kalau kami, para kiai di Sampang sudah tahu dan paham ada perbedaan antara Syiah dan Sunni, tapi masyarakat yang awam sekarang mulai bertanya-tanya: Syiah itu apa, dan apa perbedaannya dengan Sunni?” kata dia.

Kasus [pembakaran] rumah-rumah orang-orang Syiah di Karang Gayam dan Bluuran kata dia sudah diprovokasi. “Sudah ada dan terjadi penggiringan opini kepada masyarakat dan berhasil. MUI Sampang, kemarin sudah menyatakan Syiah ajaran sesat. Loh, kenapa baru sekarang setelah terjadi pembakaran?” katanya.

NU dan Albayyinat
Menyusul kasus pembakaran rumah-rumah orang-orang Syiah dan pengusiran mereka, MUI dan PCNU Sampang, juga PWNU Jawa Timur mengambil kesimpulan dan menyebutkan ajaran Syiah sesat. Benar, PCNU dan PWNU tidak secara khusus menyebut Syiah dan hanya menyebutkan ajaran yang dibawa Tajul. Namun pernyataan itu hanya permainan semantik, yang intinya menolak Syiah karena faktanya Tajul adalah pengikut paham Syiah.

Seorang pengurus PCNU pernah mendengar, ada kesepakatan antara PWNU Jatim dan kapolda Jatim untuk tidak lagi menyebut Syiah melainkan hanya akan menyebut ajaran sesat. Informasi ini belum dikonfirmasi. “Kalau menyebut Syiah, itu berbahaya karena ada organisasinya,” katanya.

PCNU dan PWNU mengaku punya alasan mengeluarkan pernyataan ajaran Tajul sesat. M Faidhol, Ketua Tanfiziah PCNU Sampang yang ditunjuk menjadi juru bicara menjelaskan, alasan PCNU antara lain karena masyarakat luas menunggu, pendapat dan sikap NU terhadap ajaran dan provokasi Tajul. Alasan lainnya, agar tidak memperluas wilayah konflik akibat ajaran sesat Tajul dan provokasinya di masyarakat. “Kami meminta Pemkab Sampang mengeluarkan perda sesat karena tujuannya, agar tidak ada keresahan dan konflik atas nama agama,” kata Faidhol.

Dia menyampaikan hal itu dalam pertemuan di pendopo kabupaten Sampang, Selasa 3 Januari 2012. Hadir dalam pertemuan itu, antara lain, Irjen Hadiatomo [Kapolda Jatim], Palty Simanjuntak [Kajati Jatim], Noer Tjahja [Bupati Sampang], Kapolres Sampang, KH. Abdus Samad Bukhori [Ketua MUI Jatim], KH. Miftahul Akhyar [Rois Syuriah PWNU Jatim], KH. Mutawakil Alallah [Ketua PWNU Jatim], KH. Muhaimin Abdul Bari [Ketua PCNU Sampang], dan Faidol Mubarok [pengurus PCNU Sampang.

Miftahul Akhyar menjelaskan, PWNU Jatim memang mendukung pernyataan PCNU Sampang. Dia mengaku, sudah menurunkan tim ke Sampang untuk mencari tahu akar masalah. Hasilnya: Tajul dinilai mengajarkan aliran sesat, karena antara lain mengajarkan salat hanya 3 kali sehari semalam, mengecam para auliya Batu Ampar Madura, ulama dan kiai dianggap anak zina. “Ini hasil sebagian investigasi Tim kami. Manakala ada kesalahan, kurang akurat, kami siap memperbaiki,” kata Miftah.

Dia menolak anggapan, PCNU dan PWNU sedang berpolitik dalam kasus ini. Dia juga membantah, bahwa PWNU mendapat dukungan dana dari al Bayyinat. “Tolong sebutkan, siapa yang menfitnah tentang dukungan dana itu? NU lebih kaya daripada al Bayyinat. Boleh diaudit, kalau perlu diperiksa KPK. Kebenaran tetap kebenaran. Anda dapat cerita darimana?” katanya.

Al Bayyinat adalah organisasi yang dipimpin Achmad Zein Alkaf. Dia juga pengurus di PWNU Jawa Timur. Kelompok Syiah di Indonesia menuding, organisasi itu sangat anti-syiah dan paling aktif menggalang dukungan untuk menentang Syiah.

Lewat wawancara melalui email, Zein tidak menjawab soal dukungan dana kepada NU. Namun, apakah Al Bayyinat dirancang khusus untuk mewaspadai dan menentang Syiah di Indonesia?

“Para pendiri Albayyinat kebanyakan alumni Mesir, Mekah, Madinah, Yaman dan dari dalam negeri, didukung tokoh tokoh habaib di Indonesia dan luar Indonesia. Kami berkewajiban melaksanakan amar ma’ruf nahi mungkar [mengajak kebaikan dan mencegah perbuatan keji], ” kata Zein.

Dia pun menolak anggapan bahwa mengusir Syiah dari Indonesia dan menyatakannya sebagai aliran sesat bertentangan dengan Pansila dan UUD 1945. “Yang berbahaya bagi Pancasila dan UUD 45 adalah Syiah, karena mereka patuh hanya kepada Imam mereka di Iran,” kata Zein.

Dari semua teori dan penyebab konflik, kemarin kembali pecah kerusuhan di Karang Gayam dan Bluuran. Dua pengikut Syiah tewas, 3 luka-luka. Di kelompok penyerang, dikabarkan 2 orang luka berat. Orang-orang Syiah itu diserang ketika bersikeras kembali ke kampung halaman mereka untuk berlebaran dan bersilaturahmi dengan sanak famili, setelah terusir sekian bulan.

Karena kasus di Omben dan Karang Gayam itu, kini warga  awam pun mulai dengan mudah memberi cap orang-orang Syiah sebagai penganut aliran sesat. Mereka menilai paham mereka benar, sementara paham orang lain yang tidak sama adalah keliru dan kafir. Seperti kata Zein, mereka juga mengaku mengajak ke kebaikan dan mencegah kekejian.

Padahal kata seorang kiai di Omben, menegakkan amar ma’ruf nahi munkar tentu dan pasti tidak membakar, tidak merusak, dan tidak membunuh. Dalam ungkapan bahasa Madura, kiai itu berkata: emok ngetong jhelenna ajem, kaloppae sokona dhibhik niddhek tamaccok [mereka hanya sibuk menghitung langkah ayam, tapi lupa kaki mereka justru menginjak tahi ayam].

Sumber: Rusdi Mathari WordPress

 

 

 

Komunitas Syiah Sampang Kembali Diserang

TEMPO.COSurabaya – Sekelompok pemuda komunitas Syiah bentrok dengan pemuda antisyiah di Kabupaten Sampang, Jawa Timur, Minggu, 26 Agustus 2012 pagi hari. Mereka saling melempar batu, membakar rumah dan berkelahi menggunakan clurit.

“Terjadi aksi pelemparan batu dan bentrok serta pembakaran sisa-sisa rumah istri Tajul Muluk di Dusun Nankernang, Desa Karanggayam, Kecamatan Omben Sampang dibakar,” kata Kordinator Komisi Untuk Orang Hilang (Kontras) Jawa Timur, Andy Irfan, kepada Tempo, Minggu siang, 26 Agustus 2012.

Andy menjelaskan bahwa insiden berawal pada pukul 08.00. Saat itu, dia melanjutkan, rombongan siswa dari komunitas Syiah akan berangkat menuju ke luar kota untuk melanjutkan aktivitas sekolah (pondok pesantren) pascalibur Lebaran. “Dua mobil rombongan pemuda dan pemudi kemudian dihadang oleh sekelompok massa. Mereka dilarang masuk ke dalam kampung Nankernang,” ujarnya.

Sekelompok massa itu kemudian menyerbu dan mendatangi rumah istri Tajul Muluk. Tajul Muluk adalah pimpinan dari komunitas Syiah Sampang yang telah divonis dua tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Sampang karena dituduh melakukan penodaan agama.

Adapun rumah Tajul Muluk sebelumnya pernah dibakar oleh sekelompok pemuda antisyiah pada akhir Desember 2011 lalu. Namun rumah dari sisa-sia kebakaran yang ditempati oleh ibu, istri Tajul Muluk, beserta dua anaknya kembali dibakar oleh para pemuda antisyiah.

Aksi pembakaran, kata Andy, mengakibatkan bentrok antara dua kelompok tidak bisa dihindari. Pemuda dari komunitas syiah Sampang yang ingin melindungi keluarga Tajul Muluk membalas aksi pelemparan dari sekelompok massa tersebut. “Delapan orang mengalami luka-luka dan empat orang pingsan dan kondisi saat ini masih mencekam,” ujar Andy.

Sumber: Tempo

 

 

 

Kafir Menjadi Pemimpin?

Agak rancu mendengar pernyataan Imam Mustofa Yakub dalam Indonesia Lawyer Club beberapa hari yang lalu terkait dengan ayat larangan menjadikan orangg kafir sebagai pemimpin, bahwa ayat tersebut qathi (pasti). KH Mustofa Yakub mengatakan, bahwa ayat ini jelas dan tidak  menerima penafsiran. Maknanya terang dan tidak dapat diperdebatkan.  Namun, di luar dari pernyataan ini, dengan mendasarkan kepada kaidah-kaidah Ushuliyah (Ushul Fiqh) dan Ilmu Alquran (Ulum al-Quran), ada beberapa hal yang harus lebih diperjelas dari pernyataan ini. 

Pertama, ayat Qathi (pasti) ada , yaitu: qathi dilihat dari segi turunnya ayat (proses) dan qathi yg dilihat dari segi pemaknaan (dilalah). Qathi dari segi proses, para Ulama sepakat bahwa seluruh Alquran diturunkan secara mutawatir (bersambung) dan semuanya sebagai kalam Allah SWT. KH Mustofa Yakub tepat bila menyatakan ayat yang dibacakan Rhoma Irama adalah qathi, yaitu secara prosesnya. Namun belum tentu secara substantif (dilalah), karena qathi secara proses turunya (wurud) ayat telah disetujui dan di-tashih (dibenarkan) oleh para sahabat, tabiin dan ulama, berabad-abad lamanya.

Sementara Qath’i secara makna (dilalah) menjadi sangat samar dan sumir, karena hanya Allah SWT dan Muhammad saja yang  mengetahui maksud dari Alquran. Hanya beberapa teks dan kata saja yang disepakati oleh Ulama tentang kejelasannya dan bahwa ayat itu tak membutuhkan lagi akal pikiran untuk menafsirkannya, apalagi takwil. Dalam konteks Alquran hanya diketahui oleh Allah dan Rasul inilah umat Islam tidak bisa mengklaim pemahamannya terhadap Alquran adalah benar atau bahkan paling benar. Sebaliknya, KH. Mustofa Yakub, Rhoma Irama, atau siapapun yang memberikan makna terhadap ayat tersebut adalah sebatas penafsiran belaka. Bukan bersifat qathi. Ada potensi benar di dalamnya, sebagaimana potensi salah tak dapat dihindarkan. 

Kedua, bahwa kafir dalam  Alquran justru masih sangat debatable, kepada siapa dia ditujukan. Apalagi, ayat yang dikutip oleh Roma Irama, sang Raja Dangdut itu, tidak secara tegas melarang untuk mengambil pemimpin dari Nasrani, atau Yahudi atau nama agama tertentu. Yang digunakan ayat ini adalah “sifat” dari seorang pemimpin, yaitu “kafir”. 

Kembali ke beberpa penafsiran Ulama, kafir diartikan sebagai “penutup”. Penutup di sini dpt diartikan dengan ragam pemaknaan. Kafir dapat saja dimaknai dengan pengingkaran, penolakan atau yang lebih  ekstrem lagi  adalah penyerangan (Untuk lebih jelasnya tentang makna kafir dapat dilihat Tafsir Alquran Kontemporer, halaman 83). Maka itu, makna kafir harusnya disematkan dengan sifat, bukan dengan identitas agama atau keyakinan tertentu.

Ketiga, hal ini semakin kuat tatkala di akhir ayat ini, kata kafir dikaitkan dg kata munafik, yang di dalam sumber-sumber Islam disebutkan dengan 3 karakter, yaitu berkata ia bohong, berjanji ia ingkar dan diberi amanah ia khianat. Lagi-lagi, ayat ini menyebutkan sifat orang yang  hendak dijadikan pemimpin. Bukan dengan identitas pemimpin apa yang tidak boleh didukung. 

Selanjutnya, bukti lain yang dapat diungkap adalah, bahwa Rasulullah sebelum Hijrah dan membentuk komunitas Muslim di Madinah, memerintahkan para sahabat untuk meminta perlindungan kepada Raja-raja yang ada di sekitar jazirah Arab. Tidak semua raja itu Muslim, bahkan hampir semuanya non-Muslim. Lalu, apakah dengan menyuruh sahabat untuk menjadikan para raja-raja itu sebagai pelindungnya Rasul telah melanggar Alquran? Tidak mungkin Rasul melanggar Alquran. Mustahil. 

Sehingga, pemaknaan kafir dalam ayat itu yang harus diperkuat. Pendefinisiannya harus dengan sifat, bukan identitas suku, ras, warna kulit, ataupun agama. Bila tidak, maka umat Islam akan terjebak pada kepicikan penafsiran. Apalagi, untuk kepentingan politikus  yang bau tikus. Terus terang saya katakan, bahwa saya bukan pendukung Jokowi atau Foke, tapi ketika Alquran dijual dengan harga murah untuk kepentingan politik, saya merasa tidak rela dan kurang pas di hati. Di luar dari tulisan ini, terima kasih pula kepada mas Akhmad Sahal yang sudah menuliskan secara terang dan gamblang tentang kebolehan pemimpin non-Muslim (Pemimpin Non-Muslim Haram?), agar pada masa yang sudah jauh dari masa Rasulullah ini, umat Islam dapat betul-betul mengetahui hakikat ajaran Islam yang paling dekat dengan kehendak Allah SWT, Tuhan Alam Semesta. 

Oleh: Hafiz Muhammad

 

 

 

Akhmad Sahal: Pemimpin Non-Muslim Haram?

Oleh: Akhmad Sahal
Wakil Ketua Pengurus Cabang Istimewa NU Amerika-Kanada

Benarkah memilih pemimpin non muslim haram? Setidaknya begitulah pendapat sebagian kalangan Islam seperti yang mengemuka dalam kisruh isu SARA di pemilukada DKI akhir-akhir ini. Dalil Al-Qur’an yang mereka pakai di antaranya adalah surah Ali Imran 28 dan Al Ma’idah 51 . Dalam terjemahan Indonesia, ayat

 terakhir berbunyi : “Hai Orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” 

Kata “pemimpin-pemimpin” pada ayat di atas adalah terjemahan dari kata auliya’. Pertanyaannya, tepatkah terjemahan tersebut? Coba kita telusuri terjemahan ayat ini dalam bahasa Inggris. Yusuf Ali dalam The Meaning of the Holy Qur’an menerjemahkan auliya’ dengan friends and protectors (teman dan pelindung). Muhammad Asad dalam The Message of the Qur’an dan M.A.S Abdel Haleem dalam The Qur’an sama-sama menerjemahkannya dengan allies (sekutu). Bagaimana dengan penerjemah Inggris yang lain? Muhammad Marmaduke Pickthal dalam The Glorious Qur’an mengalihbahaskan kata auliya’ menjadi friends. Begitu juga N.J. Dawood dalam The Koran dan MH. Shakir dalam The Qur’an. Sedangkan berdasar The Qur’an terjemahan T.B. Irving, auliya’ diartikan sebagai sponsors. 

Walhasil, tak satupun terjemahan Inggris yang saya sebutkan tadi mengartikan auliya’ sebagai “pemimpin.” Dan secara bahasa Arab, versi terjemahan Inggris ini agaknya lebih akurat. Perlu diingat, kata auliya’, bentuk plural dari waliy, bertaut erat dengan konsep wala’ atau muwalah yang mengandung dua arti: satu, pertemanan dan aliansi; kedua proteksi atau patronase (dalam kerangka relasi patron-klien). 

Karena itulah agak mengherankan ketika dalam terjemahan Indonesia pengertian auliya’ disempitkan, kalau bukan didistorsikan, menjadi “pemimpin”, yang maknanya mengarah pada pemimpin politik. Bisa jadi karena kata tersebut dianggap berasal dari akar kata wilayah, yang memang artinya kepemimpinan atau pemerintahan. 

Selintas masuk akal. Tapi kalau kita perhatikan lebih teliti, akan kelihatan bahwa anggapan ini tidak tepat. Mengapa? Kalau memang kata auliya’ bertolak dari kata wilayah, mestinya kata itu disertai dengan preposisi ‘ala. Dengan begitu, kalau QS 5:51 berbunyi ba’dhuhum auliya’ ‘ala ba’dh, auliya’ pada ayat tersebut bermakna pemimpin.Tapi ternyata redaksi ayat tersebut berbunyi ba’dhuhum auliya’u ba’dh, tanpa kata ‘ala setelah auliya’. Jadi tidak pas kalau akar katanya wilayah. Yang tepat, seperti sudah saya sebut di atas, adalah wala.’ Singkat kata, penerjemahan auliya’ sebagai pemimpin terbukti tak berdasar.

Lantas bagaimana kita mesti memahami ayat wala’ seperti QS 5:51 dan QS 3:28 yang secara harfiah melarang kaum mu’min untuk menjalin pertemanan dan aliansi dengan kaum non muslim, apalagi minta perlindungan dari mereka? Apakah ini larangan yang berlaku mutlak atau situasional? 
Memahami ayat tersebut secara leterlek dan berlaku mutlak di manapun dan kapanpun akan sangat bermasalah. Ada tiga alasan. 

Pertama, makna harfiah ayat itu bertentangan dengan ayat lain yang justru menyatakan kebalikannya. Misalnya ayat yang menghalalkan laki-laki muslim menikah dengan perempuan Yahudi atau Kristen. Dalam ayat yang sama juga ditegaskan bolehnya kaum muslim untuk memakan makanan mereka, dan sebaliknya (Q 5:5) Selain itu, ada juga ayat lain yang menegaskan bahwa Allah tidak melarang umat Islam untuk “berbuat baik dan berlaku adil” terhadap pemeluk agama lain yang tidak memerangi mereka dan mengusir dari tanah kelahiran mereka (QS: 8). 

Kedua, Nabi sendiri pernah menjalin aliansi dan meminta perlindungan dari kalangan non Muslim. Kita ingat cerita hijrah para Sahabat ke Abessina (Habasyah) yang saat itu diperintah oleh seorang raja Kristen. Kisah ini menunjukkan bahwa Nabi pernah meminta perlindungan kepada non muslim. Ketika di Madinah, Rasulullah memelopori pakta aliansi dengan komunitas Yahudi kota itu dalam bentuk Piagam Madinah. Bahkan pada level personal, Nabi bermertuakan orang Yahudi, yakni dari istrinya Sofiah binti Huyai.

Ketiga, kalau QS 3:28 dan QS 5:51 dipahami secara harfiah dan mutlak, lalu bagaimana dengan pendirian Republik Indonesia yang dalam arti tertentu merupakan hasil kerjasama antara kaum muslim dengan pemeluk agama lain? Kasus lain: bagaimana dengan keterlibatan negara-negara Islam di PBB yang nota bene terdiri dari banyak negara non muslim sedunia? Bagaimana pula dengan Saudi Arabia, negara yang tak mungkin berdiri tanpa sokongan dari imperialisme Inggris untuk menghancurkan Khilafah Utsmaniyah pada awal abad 20? Sampai sekarang pun kita tahu Saudi mendapat perlindungan dari Amerika Serikat. Bukankah semua itu termasuk dalam kategori menjadikan non muslim sebagai auliya’? Berarti haram? Oh alangkah absurdnya jalan pikiran semacam ini! 

Karena itulah ayat tersebut mesti ditafsirkan secara kontekstual. Penerapannya pun tak bisa sembarangan. Di sini ada baiknya saya mengutip Rashid Rida. Menurutnya, ayat-ayat pengharaman aliansi dengan, dan minta proteksi dari non muslim sejatinya hanyalah berlaku untuk non muslim yang nyata-nyata memerangi kaum muslim. Aliansi yang dilarang juga yang nyata-nyata merugikan kepentingan umat Islam ( Tafsir Al Manar, Vol.3, 277). 

Pandangan Rida ini juga sejalan dengan pendapat Fahmi Huwaydi, pemikir Islam kontemporer dari Mesir. Dalam karyanya Muwathinun La Dimmiyyun (Warga Negara, Bukan Dzimmi) Huwaydi menyatakan bahwa Islam sejatinya tidak melarang umatnya untuk membangun solidaritas kebangsaan yang berprinsip kesetaraan dengan non muslim, khususnya Kristen Koptik di Mesir. Ayat wala’/muwalah, di mata Huwaydi, mestinya tidak dilihat sebagai larangan terhadap solidaritas semacam itu. Ayat 5: 51, misalnya, sebenarnya diarahkan kepada kaum munafiq yang ternyata membantu pihak non muslim yang kala itu berperang dengan umat Islam. 

Dengan kata lain, dalam pandangan Rashid Rida dan Fahmi Huwaydi, QS 3:28 dan QS 5:51 tidak berlaku secara mutlak, melainkan situasional. Artinya, larangan menempatkan non muslim sebagai sekutu atau protektor hanya berlaku manakala pihak non muslimnya jelas-jelas memerangi umat Islam. Adapun jika mereka tidak seperti itu, maka berarti larangan tadi otomatis tidak berlaku. 
Menarik untuk dicatat, argumen Rida dan Huwaydi ini sebenarnya bisa dipakai juga untuk membantah klaim sejumlah kalangan Islam yang bergeming untuk memaknai kata auliya’ dalam QS 3:28 dan 5:51 dengan bersandar pada terjemahan Indonesia yang saya kutip di awal tulisan, yakni sebagai “pemimpin.” Dengan demikian, mereka tetap ngotot untuk mengharamkan memilih pemimpin non-muslim. Terhadap mereka kita bisa katakan bahwa ayat tersebut tidaklah berlaku mutlak melainkan situasional. Artinya, larangan menjadikan non-muslim sebagai pemimpin berlaku manakala si non muslim tersebut nyata-nyata memerangi umat Islam. Di luar itu, larangan tersebut tidak berlaku. 

Tapi lepas dari itu, kalaupun auliya’ tetap diartikan sebagai “pemimpin,” penerapan QS 3:28 dan 5:51 untuk konteks Indonesia modern juga salah sasaran. Perlu diingat, negara kita berbentuk republik yang menerapkan demokrasi langsung, sesuatu yang sama seklai tidak dikenal dalam sistem politik Islam klasik. Dalam sistem politik Islam klasik yang lazimnya berbentuk kerajaan, otoritas kepemimpinan yang dipegang khaliafah didasarkan pada legitimasi kuasa dari Tuhan, bukan dari rakyat. Pemimpin dianggap sebagai pemegang kedaulatan tertinggi, dengan kekuasan yang absolut. Tidak ada yang namanya pembagian kekuasaan ala Trias Politica sehingga sang pemimpin memegang kekuasaan tertinggi dalam ranah legislatif, eksekutif, dan yudikatif sekaligus. Dengan kata lain, kepemimpinan dengan model “Daulat Tuanku.”

Ini secara diametral berbeda dengan sistem republik yang menganut asas kepemimpinan bersendi “Daulat Rakyat.” Di sini pemimpin bukanlah pemegang kedaulatan tertinggi, karena legitimasinya justru berasal dari rakyat yang memberinya mandat melalui pemilu. Kekuasaannya tidak tak terbatas, karena ia bekerja dalam sistem demokrasi yang menerapkan pembagian kekuasaan. Dalam sistem semacam ini, presiden atau gubernur hanyalah pemegang kuasa eksekutif saja alias “hanya” pelaksana. Sebagai pemimpin, ia hanya berkuasa sepertiga. 

Dengan demikian, kalau memang pemimpin non-muslim hukumnya haram, mestinya penerapannya untuk konteks negara kita bukan hanya berlaku untuk lembaga eksekutif saja, melainkan juga legislatif dan yudikatif. Ini karena kepemimpinan dalam sistem republik modern bukanlah bersifat personal melaiankan kolektif dan sistemik. Tapi kalau itu dilakukan, maka sejatinya yang diharamkan bukan hanya memilih pemimpin non muslim, melainkan juga bisa mengarah pada pengharaman terhadap republik kita. 

Hal lain, kalau memang dipimpin oleh non Muslim hukumnya haram, bagaimana dengan umat Islam yang menjadi warga negara di India, Amerika atau Eropa? Apakah mereka semuanya berdosa hanya karena jadi warga negara di negara-negara yang dipimpin oleh non muslim? Apakah para pemain bola seperti Zinedine Zidane, Mesut Oziel, Sami Khedira, Samir Nasri, Ibrahim Afellay, yang semuanya dipimpin oleh presiden atau perdana menteri non muslim, harus hijrah ke negara orang tuanya masing-masing di Timur Tengah? 

Dengan paparan di atas, saya ingin menunjukkan bahwa wacana pengharaman pemimpin non-muslim bukan hanya berbahaya karena membawa kita berkubang dalam isu SARA yang berpotensi memecah belah Indonesia. Yang tak kalah problematis, wacana tersebut ternyata tidak punya pijakan yang kokoh dari kacamata Islam itu sendiri, karena pedomannya adalah terjemahan ayat secara tidak akurat, penafsiran yang sempit, dan penerapan yang salah alamat. 

*Dimuat di Majalah TEMPO, Edisi 16 Agustus 2012