Pakistani Muslims Form Human Chain To Protect Christians During Mass (PHOTOS)

The Express Tribune  |  By Web Desk / Aroosa ShaukatPosted: 10/08/2013

Hand in hand as many as 200-300 people formed a human chain outside the St Anthony’s Church adjacent to the District Police Lines at the Empress Road, in a show of solidarity with the victims of the Peshawar church attack two weeks back, which resulted in over a 100 deaths. The twin suicide attack on All Saints church occurred after Sunday mass ended and is believed to be the country’s deadliest attack on Christians.

Source: Huffington Post

MPR RI: Toleransi Beragama Harus Ditegakkan Demi Menjaga Keutuhan NKRI

[Selasa, 11/06/2013] Wakil Ketua MPR RI Lukman Hakim Saifuddin mengatakan, jika di antara umat beragama saling memusuhi dan saling menghakimi satu sama lain tentu keharmonisan bangsa tidak akan terwujud.

“Untuk itu dibutuhkan rasa saling memiliki untuk membangun bangsa di atas perbedaan yaitu perbedaan kepercayaan,” kata Lukman HaKIM saat acara Dialog Pilar Negara dengan tema, ” Toleransi Antar Ummat Beragama” di Gedung Perpustakaan MPR RI, Senin (10/6/2013), Turut hadir sebagai pembicara Romo Prof. Dr. Franz Magnis Susanto, Sj dari Rohaniawan dan Yudi Latief, PhD Direktur Eksekutip PSIK.
Untuk itu diharapkan, antara pemeluk agama dan keumatan membangun dialog-dialog konstruktif dan bekerjasama tanpa ada prasangka buruk yang dapat merenggangkan keharmonisan

“Kedepanya diharapkan, dapat meningkatkan toleransi, dengan menjaga kerukunan yang dinamis dari pihak-pihak instabilitas dan dis harmonis,” ucapnya.

Lukaman Hakim juga memuji kepada Almarhum, Mantan Ketua MPR RI Taufiq Kiemas yang tidak henti hentinya menumbuhkan rasa nasionalismenya demi melekatkan kembali nilai nilai Pancasila kepada seluruh warga.

“Saya sangat bangga kepada Almarhum Bapak Taufiq Kiemas yang jiwa nasionalisme sangat tinggi sehingga beliau tidak henti hentinya menggemakan kepada seluruh warga negara kembali tumbuh dalam jiwanya rasa pancasila, demi Keutuhan NKRI.”Tuturnya.

Lukman Juga meminta kepada suluruh umat Beragama, dalam perayaan apapun , untuk menumbuhkan rasa kesadaran antar umat beragama, dan menanamkan rasa saling menghargai dan untuk tidak mudah terprovokasi.

Lukman menyinggung kasus Rohingya, Myamnmar, yang melibatkan agama Buddha dan agama Islam. “Jauhkan sikap anarkisme dan kekerasan antara mahkluk hidup yang beragama,” ujarnya.

Dia mengatakan, seluruh agama dan umat harus saling menyikapi secara arif dan bijaksana. Sebagai manusia yang religius sepantasnya kita tidak melakukan kekerasan dan anarkisme yang dihubungkan oleh keyakinan.

“Momentum Hari kebangkitan Nasional kali ini adalah moment penting bagi semua umat beragama dan seluruh warga negara untuk mengintropeksi diri dalam rangka meningkatkan kualitas Lebih baik untuk menjaga keutuhan NKRI,” ucapnya.

Lukman juga tidak memungkiri, akibat kesenjangan soasial dan peran penegak hukum yang lemah sehingga perbedaan pendapat kerap menjadi perpecahan. “Memang peran pemerintah dalam hal toleransi beragama yang lemah, sehingga kerap terjadi bentrok antar umat beragama.”Ucapnya.

Namun Romo, Prof Dr Franz Susanto mengatakan Indonesia saat ini salah satu negara yang mampu menegakkan toleransi beragama, akan tetapi dari segi penegakan hukumnya memang dia akui di Indonesia yang masih lemah.

“Jika berbicara masalah toleransi beragama di Indonesia itu sudah sangat toleran, akan tetapi penegakan hukumnya yang masih lemah.” Tuturnya. (Erwin Siregar)

Sumber: sumbawanews.com 

Negara-negara Muslim Dorong Toleransi dan Kebebasan Beragama

[25 Juni 2013] Sekjen OKI, Eklemuddin Ihsanoglu, mengatakan negara-negara muslim mendorong toleransi dan kebebasan beragama sebagai implementasi dari Resolusi 16/18 Dewan HAM PBB. 

“Resolusi tersebut adalah sebuah resolusi tentang memerangi intoleransi, diskriminasi, xenofobia dan kekerasan terhadap seseorang berbasis pada agama dan keyakinan, yang diusulkan oleh negara-negara OKI pada tahun 2011,” kata Eklemuddin Ihsanoglu dalam surat elektroniknya yang disampaikan M. Choirul Anam, Wakil Direktur Eksekutif HRWG, dan yang diterima Antara Riau, Selasa.

Hal itu berkaitan dengan Organisasi Kerjasama Islam (OKI) yang telah menyelenggarakan pertemuan para ahli untuk tindaklanjut implementasi Resolusi 16/18 Dewan HAM PBB. 

Kali ini, adalah pertemuan ketiga, setelah sebelumnya diselenggarakan di Washington DC, Amerika Serikat (12/2011) dan London, Inggris (12/2012).

Menurut OKI, Eklemuddin Ihsanoglu dalam statemennya menyatakan bahwa intoleransi merupakan tantangan terbesar dunia saat ini sehingga dalam satu dekade ini permasalahan ini pun telah menjadi salah satu perhatian utama media dan wacana politik. 

Konsensus dalam Resolusi 16/18, katanya, yang diakui secara luas merupakan perkembangan positif. Hal ini menunjukkan bahwa OKI mampu membentuk kesepakatan dalam isu-isu penting dalam hubungan internasional.

Dengan demikian, katanya, menyampaikan dalam pembukaan Pertemuan Ketiga Istanbul Process on the follow-up of Implementation of HRC Resolution 16/18, di Jenewa.

Pertemuan ini juga dihadiri oleh Ketua Komisi Independen Permanen HAM OKI (IPHRC), Siti Ruhaini Dzuhayatin. Menurut Ruhaini, Resolusi 16/18 menjadi jembatan bagi komunitas Muslim dan non-Muslim di dunia untuk membangun peradaban yang toleran. 

Ia menambahkan, bahwa keberadaan resolusi ini tidak dapat dipisahkan dari praktik diskriminasi dan intoleransi yang banyak terjadi sekarang ini, baik di Eropa dan Amerika terhadap non-Muslim ataupun di Negara-negara Anggota OKI terhadap minoritas agama ataupun mazhab.

“Resolusi ini yang diusung oleh OKI ini harus dilihat dalam hubungan resiprositas atau hubungan timbal balik. Artinya, Resolusi ini dapat mencegah umat Islam di negara-negara non anggota OKI, tetapi di sisi yang lain resolusi juga melindungi non-muslim di negara-negara OKI,” demikian menurutnya. 

Dengan kata lain, “Resolusi ini juga harus digunakan oleh negara-negara OKI untuk memerangi praktik intoleransi di negara-negara anggotanya, karena juga intoleransi menjadi tantangan terbesar negara muslim dewasa ini,” imbuhnya. 

Bagi Indonesia, Ruhaini menambahkan, bahwa Resolusi 16/18 sangat relevan dan sejak awal, sebagai anggota negara OKI, Indonesia sangat mendukung resolusi ini. 

Bahkan, menurutnya, Indonesia dapat menjadi contoh bagi negara-negara lain untuk praktik toleransi dan kebebasan beragama.

“Indonesia seharusnya pula menjadikan Resolusi ini sebagai rujukan dalam membangun toleransi. Beban yang ada di belakang saya sebagai wakil Indonesia di IPHRC sangat berat, yaitu tradisi Islam yang selalu identik dengan toleransi, kemajemukan dan ramah, sehingga bila citra tersebut dirusak dengan praktik intoleransi, diskriminasi dan kekerasan berlatar belakang agama, justru makin mempersulit kita mengajak negara lain untuk mencontoh Indonesia,” demikian Ruhaini menambahkan dari Jenewa, Swiss.

Dalam kesempatan lain di Jakarta, Choirul Anam, Wakil Direktur Eksekutif HRWG, mengatakan, bahwa HRWG mendukung pernyataan Sekjen OKI dan Ketua IPHRC tersebut untuk mendorong implementasi Resolusi 16/18. 

Hal ini karena relevansi Resolusi 16/18 dengan praktik intoleransi dan kekerasan berbasis agama yang kian meningkat di Indonesia, katanya. 

“Untuk itu, Kementerian yang terkait, seperti Kementerian Agama, Kemenhuk dan HAM serta parlemen, harus pula mendukung terlaksananya resolusi tersebut di level nasional,” katanya.(F011)

Editor: B Kunto Wibisono

Source: Antara News

RESOLUSI DEWAN HAK ASASI MANUSIA PBB 16/18 Tentang Memerangi Intoleransi dan Diskriminasi

Diadopsi oleh Dewan HAM PBB pada Sesi Keenam Belas, Pokok Agenda Item 9 (Rasisme, diskriminasi rasial, xenophobia, dan bentuk ketidaktoleranan terkait, tindak lajut dan implementasi Deklarasi dan Program Aksi Durban) pada Pertemuan ke-46, 24 Maret 2011. Resolusi diadopsi tanpa pemungutan suara dan didistibusikan secara umum pada 12 April 2011. Resolusi ini diusulkan oleh Negara-negara Anggota Organisasi Kerjasama Islam (OKI) melalui Pakistan.

RESOLUSI DEWAN HAK ASASI MANUSIA PBB 16/18

Tentang

MELAWAN INTOLERANSI, STEREOTYPING NEGATIF, PEMBERIAN STIGMA, DISKRIMINASI, HASUTAN KEKERASAN, DAN TINDAK KEKERASAN TERHADAP PERSEORANGAN ATAS DASAR AGAMA ATAU KEPERCAYAAN

Dewan Hak Asasi Manusia,

Menegaskan komitmen yang dibuat oleh seluruh negara dibawah Piagam PBB untuk memajukan dan mendorong penghormatan umum untuk dan ketaatan terhadap seluruh Hak Asasi Manusia (HAM) dan kebebasan dasar tanpa pembedaan terhadap, antara lain, agama atau kepercayaan,

Menegaskan juga kewajiban Negara-Negara untuk melarang diskriminasi atas dasar agama atau kepercayan dan untuk mengimplementasikan langkah-langkah untuk menjamin perlindungan hukum yang setara dan efektif,

Menegaskan lebih jauh bahwa Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik menjelaskan, antara lain, bahwa setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, akal dan agama atau kepercayaan, yang termasuk kebebasan untuk memiliki atau menerapkan agama atau kepercayaan yang diyakini dan kebebasan, baik itu perseorangan atau dalam kelompok dengan penganut lainnya maupun secara pribadi atau umum, untuk mewujudkan agama atau kepercayaan yang dia yakini dalam bentuk ibadah, ketaatan, praktek atau pengajaran,

Menegaskan peran positif penerapan hak atas kebebasan berbicara dan berpendapat serta penghormatan penuh atas kebebasan untuk mencari, menerima dan menyampaikan informasi yang dapat berperan  dalam memperkuat demokrasi dan melawan ketidaktoleranan agama,

Sangat prihatin terhadap kejadian-kejadian ketidaktoleranan, diskriminasi dan kekerasan terhadap perseorangan atas dasar agama atau kepercayaan di berbagai wilayah di dunia,

Menyesalkan pembelaan apapun terhadap diskriminasi atau kekerasan atas dasar agama atau kepercayaan,

Sangat menyesalkan seluruh bentuk kekerasan terhadap perseorangan atas dasar agama atau kepercayaan, sebagaimana tindakan apapun yang ditujukan atas rumah, tempat usaha, properti, sekolah, pusat kebudayaan atau tempat peribadatan,

Prihatin terhadap tindakan-tindakan yang secara disengaja mengeksploitasi ketegangan atau menyasar perseorangan atas dasar agama atau kepercayaan,

Mencatat dengan keprihatinan mendalam contoh-contoh ketidaktoleranan, diskriminasi, dan tindak kekerasan di berbagai belahan dunia, termasuk kasus-kasus yang dimotivasi oleh diskriminasi terhadap perseorangan yang menganut agama minoritas, termasuk proyeksi negatif terhadap penganut agama tertentu dan penerapan langkah-langkah yang secara khusus mendiskriminasi seseorang atas dasar agama atau kepercayaan,

Mengakui sumbangsih berharga masyarakat dunia dari berbagai agama dan kepercayaan terhadap kemanusiaan dan sumbangsih dialog antar kelompok agama terhadap peningkatan kesadaran dan pemahaman atas nilai-nilai dasar seluruh umat manusia,

Mengakui juga bahwa kerja sama untuk meningkatkan implementasi aturan hukum yang ada yang melindungi perseorangan dari diskriminasi dan hate crimes, meningkatkan upaya-upaya antar-keyakinan dan antar-kebudayaan, dan memperluas pendidikan mengenai HAM adalah langkah-langkah awal penting dalam melawan kejadian-kejadian ketidaktoleranan, diskriminasi dan kekerasan terhadap perseorangan atas dasar agama atau kepercayaan,

  1. Menyatakan keprihatinan mendalam atas contoh-contoh serius berkelanjutan terkait stereotip yang bersifat menghina, pencitraan negatif, dan pemberian stigma terhadap perseorangan atas dasar agama atau kepercayaan, sebagaimana program-program atau agenda-agenda yang dijalankan oleh organisasi-organisasi dan kelompok-kelompok ekstrimis yang bertujuan untuk menciptakan dan melestarikan stereotip negatif tentang kelompok agama tertentu, khususnya apabila diabaikan oleh pemerintah;
  2. Menyatakan keprihatinannya bahwa kejadian-kejadian ketidaktoleranan agama, diskriminasi dan kekerasan terkait, sebagaimana halnya dengan stereotip negatif terhadap perseorangan atas dasar agama atau kepercayaan terus meningkat di seluruh dunia, serta mengutuk, dalam konteks ini, pembelaan apapun mengenai kebencian terhadap agama perseorangan yang mendorong diskriminasi, kekejaman atau kekerasan, dan mendorong Negara-Negara untuk mengambil langkah-langkah efektif, sebagaimana ditetapkan dalam resolusi ini, sejalan dengan kewajiban-kewajiban di bawah hukum HAM internasional, untuk menghadapi dan melawan insiden-insiden tersebut;
  3. Mengutuk pembelaan terhadap kebencian keagamaan apapun yang mendasari dorongan tindak diskriminasi, kekejaman atau kekerasan, baik itu melibatkan penggunaan media cetak, audio-visual, elektronik atau  media lain apapun;
  4. Mengakui bahwa debat publik terbuka, sebagaimana dialog antar-keyakinan dan antar-kebudayaan pada tataran lokal, nasional dan internasional dapat menjadi salah satu dari bentuk perlindungan terbaik terhadap ketidaktoleranan agama, dan dapat berperan positif dalam penguatan demokrasi dan perlawanan terhadap kebencian keagamaan, serta meyakini bahwa dialog berkelanjutan mengenai isu-isu ini dapat membantu mengatasi mispersepsi yang ada;
  5. Mencatat pidato yang diberikan oleh Sekretaris Jenderal Organisasi Konferensi Islam pada sesi ke-15 Dewan Hak Asasi Manusia, dan memanggil Negara-Negara untuk mengambil langkah-langkah berikut untuk mengembangkan lingkungan domestik dengan toleransi agama, perdamaian dan penghormatan, dengan:

(a) Mendorong terciptanya jaringan kerjasama untuk membangun pemahaman bersama, memajukan dialog dan mengilhami tindakan konstruktif menuju sasaran kebijakan bersama serta tuntutan terhadap hasil akhir yang nyata, seperti proyek-proyek pelayanan dalam bidang pendidikan, kesehatan, pencegahan konflik, tenaga kerja, integrasi dan pendidikan media;

(b) Menciptakan mekanisme yang tepat di dalam kepemerintahan untuk, antara lain, mengidentifikasi dan menghadapi area-area yang berpotensi konflik antara anggota komunitas keagamaan yang berbeda, dan membantu dalam pencegahan konflik dan mediasi;

(c) Mendorong pelatihan pejabat pemerintah dalam hal strategi outreach yang efektif;

(d) Mendorong usaha-usaha pemimpin untuk berdiskusi dalam komunitas masing-masing mengenai penyebab-penyebab diskriminasi dan strategi-strategi yang berkembang untuk menghadapi penyebab-penyebab ini;

(e) Menentang ketidaktoleranan, termasuk pembelaan terhadap kebencian keagamaan yang mengarah kepada hasutan untuk melakukan tindakan dikriminasi, permusuhan, dan kekerasan;

(f) Mengadopsi langkah-langkah untuk mengkriminalisasikan hasutan yang mendekati kekerasan atas dasar agama dan kepercayaan;

(g) Memahami pentingnya melawan pencemaran dan stereotip negatif terhadap agama seseorang, serta hasutan terhadap kebencian keagamaan, dengan upaya harmonisasi di tingkat lokal, nasional, regional, dan internasional, antara lain melalui, pendidikan dan pembentukan kesadaran;

(h) Mengakui bahwa debat bersifat terbuka, konstruktif, dan saling menghormati, serta dialog antar-keyakinan dan antar-budaya di tingkat lokal, nasional, regional, dan internasional, berperan positif dalam melawan kebencian keagamaan, hasutan, dan kekerasan.

6. Menyerukan kepada seluruh Negara

(a) Untuk mengambil langkah-langkah efektif dalam rangka memastikan pejabat negara dalam melaksanakan tugasnya tidak mendiskriminasikan perseorangan atas dasar agama atau kepercayaan;

(b) Untuk mengembangkan kebebasan beragama dan pluralisme dengan memajukan kemampuan seluruh anggota komunitas beragama untuk memanifestasikan agama mereka dan memberikan kontribusi yang terbuka dan setara bagi masyarakat;

(c)  Untuk mendorong representasi dan partisipasi yang berarti dari perseorangan, terlepas dari agama mereka, di segala sektor dalam masyarakat;

(d) Untuk mengambil upaya kuat untuk melawan bahaya pemberian gambaran keagamaan, yang dapat dipahami sebagai penggunaan agama secara riteria sebagai riteria dalam melakukan pertanyaan, penelitian, dan prosedur investigasi penegakan hukum lainnya;

7. Mendorong seluruh Negara untuk menyiapkan perkembangan terkini mengenai upaya-upaya yang telah dilakukan terkait isu-isu tersebut  sebagai bagian pelaporan berkelanjutan kepada Kantor Komisioner Tinggi HAM, PBB;

8. Menyerukan seluruh Negara untuk mengadopsi langkah-langkah dan kebijakan-kebijakan untuk memajukan penghormatan dan perlindungan terhadap tempat peribadatan dan situs agama, makam, dan kuil, serta untuk mengambil langkah atas kasus-kasus dimana tempat tersebut rentan terhadap tindakan vandalisme atau perusakan;

9. Menyerukan untuk memperkuat upaya internasional untuk mengembangkan dialog global dalam rangka memajukan toleransi budaya dan perdamaian di segala tingkatan, berdasarkan penghormatan terhadap HAM dan keberagaman agama dan kepercayaan, serta menentukan untuk menyelenggarakan diskusi panel terksit isu ini pada sesi ke-17 dengan menggunakan sumber-sumber yang ada.

Ihsan Ali Fauzi: Muharram, Islamofobia, dan Toleransi

Oleh Ihsan Ali-Fauzi

Dua hari dalam pekan ini merupakan hari-hari penting dalam kalender Muslim dan umat manusia. Kita perlu memanfaatkan momen baik ini untuk merenungkan di mana situasi kita sekarang terkait dengan dua hal yang disimbolkan dua hari penting itu. Lalu kita perlu merancang, sekecil dan sesederhana apa pun, akan ke mana kita melangkah.

Yang pertama dari dua hari itu, yang jatuh bersamaan dengan Kamis ini, 15 November 2012, adalah hari pertama bulan Muharram. Ini hari istimewa karena Muharram adalah bulan pertama dalam kalender Islam. Muharram juga dianggap satu di antara bulan-bulan paling penting di dalam tahun Islam.

Muharram berasal dari akar kata “h-r-m” yang artinya “dilarang” dan “berdosa”. Menurut sebagian riwayat, disebut demikian karena kaum Muslim dilarang berperang di bulan ini.

Kaum Muslim Syiah khususnya merayakan hari Asyura di bulan ini, yang jatuh pada hari keselupuh. Ini hari sangat penting bagi mereka, karena persis pada hari itulah, beberapa ratus tahun lalu, Imam Husein dan pengikutnya yang tinggal sedikit dibantai oleh penguasa Bani Umayyah yang dianggap zalim. Karena pentingnya Imam Husein dalam ajaran Islam Syiah, hari ini dirayakan dengan merenungkan, bahkan ikut merasakan, penderitaan yang dialami sang imam dan pengikutnya di dalam memperjuangkan keadilan.

Sementara itu, hari penting yang kedua adalah Hari Toleransi Internasional, yang jatuh pada 16 November 2012. Ini hasil ketetapan UNESCO (Badan PBB yang mengurusi masalah pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan) pada 1995, dengan tujuan membangkitkan kesadaran publik mengenai bahaya intoleransi. Dalam deklarasinya, UNESCO antara lain menyatakan: “We, the people of the United Nations determined to save succeeding generations from the scourge of war, … to reaffirm faith in fundamental human rights, in the dignity and worth of the human person, … and for these ends to practice tolerance and live together in peace with one another as good neighbours.”

* * *

Apa yang secara khusus patut kita renungkan di dua hari penting ini? Saya duga, ada yang sifatnya subyektif, tergantung masing-masing orang. Tapi ada juga yang bisa kita bagi bersama.

Sebagai seorang Muslim yang merasa peduli dan bergiat pada isu toleransi dan kebebasan beragama, saya ingin berbagi di sini mengenai penderitaan kaum Muslim di negara-negara di mana mereka merupakan kelompok minoritas. Saya ingin mengingatkan bahwa sikap diskriminatif terhadap kalangan minoritas agama bisa terjadi pada siapa saja, termasuk saudara-saudara kita seiman.

Ada banyak segi yang bisa dibicarakan di sini. Salah satunya yang sedang meningkat belakangan ini adalah Islamofobia di Eropa dan Amerika.

Konsep ini, Islamofobia, pertama kali muncul pada akhir 1990-an dan awal 2000-an untuk menunjukkan terdapatnya retorika dan aksi yang bersikap diskriminatif terhadap Islam dan kaum Muslim di negara-negara demokrasi liberal di Barat. Konsep itu pertama-tama dikembangkan para aktivis hak-hak asasi manusia (HAM), khususnya para pegiat kebebasan sipil, untuk menarik perhatian publik terhadap bahaya di atas.

Sekarang istilah itu sudah umum digunakan di media-media massa populer. Sudah mulai diakui bahwa ada realitas sosial di mana Islam dan kaum Muslim tumbuh sebagai obyek yang harus dijauhi, ditakuti, bahkan dimusuhi. Ada semacam kecurigaan, ketidaksukaan, bahkan kebencian terhadap Islam dan kaum Muslim di sana.

Ada banyak faktor yang disebut turut menumbuhkan Islamofobia. Ada krisis ekonomi global yang menyebabkan orang mencari kambing hitam, dan kaum Muslim – yang jumlahnya terus meningkat di Eropa dan Amerika – jadi salah satu sasaran tembaknya. Kompetisi sengit di antara kalangan liberal dan konservatif di banyak negara Barat, seperti tampak pada pilpres di Amerika Serikat pekan lalu, mendorong satu pihak untuk bersikap ekstrem dengan mengedepankan ideologi Kristen Kanan, yang sangat anti-imigran. Tentu ada faktor-faktor lainnya juga.

Lepas dari itu, yang menyejukkan, Islamofobia juga sudah masuk menjadi salah satu kepedulian utama para pemimpin dan sarjana di banyak tanki pemikir (think tanks) dan universitas besar. Di Eropa, beberapa tahun terakhir Dewan Eropa meminta sejumlah ilmuwan terkemuka untuk meneliti masalah ini dan mengajukan rekomendasi untuk mengatasinya. Salah satu laporannya, Living Together: Combining Diversity and Freedom in 21st Century Europe, terbit tahun lalu.

Di Amerika, baru-baru ini bahkan sebuah jurnal baru khusus diterbitkan untuk membahas masalah Islamofobia ini. Jurnal itu, Islamophobia Studies Journal, diterbitkan oleh The Islamophobia Research & Documentation Project pada Universitas California di Berkeley, salah satu universitas besar di Amerika, tempat para ekonom Indonesia dulu belajar.

Sampul jurnal baru itu menampilkan foto yang diambil dari Istana Al-Alhambradi Granada, peninggalan peradaban Islam di Spanyol dulu, disertai teks bahasa Arab yang diterjemahan ke dalam bahasa Inggris sebagai “No One is Truly Victorious Except God!” Teks itu, tulis editorial edisi perdana jurnal tersebut, “lebih dari sekadar motif estetis atau artefak arkeologis,” tapi juga “sebuah deklarasi filosofis, spiritual dan Islami yang berakar pada gagasan mengenai pengelolaan diri-sendiri dengan penuh rendah hati dan keadilan.” Dengan motto itu, jurnal ini berharap bisa menampilkan hasil-hasil studi mengenai Islamofobia yang tidak melupakan hubungan akrab dan saling berbagi di antara dunia Islam dan Eropa di masa lalu.
Dengan makin mapannya Islamofobia sebagai konsep, orang makin menyadari bahaya intoleransi terhadap kaum Muslim. Dan dengan prakarsa-prakarsa seperti di atas, saya merasa optimis bahwa para pemimpin politik, aktivis HAM dan sarjana terus berusaha mencari jalan keluar agar kaum Muslim akhirnya diterima sebagai warganegara yang tidak mengancam di Eropa dan Amerika.

* * *

Dengan latar belakang itulah saya miris melihat bagaimana kita, mayoritas Muslim di negeri ini, gagal memberi rasa aman kepada kelompok-kelompok minoritas di sini. Kita sudah berkali-kali bertindak intoleran terhadap mereka.

Sepertinya, makin hari makin sering terjadi diskriminasi kepada kelompok-kelompok minoritas di sini. Beberapa tahun belakangan ini, yang menjadi korban Jamaah Ahmadiyah Indonesia. Lalu, baru-baru ini, kelompok Syiah. Nanti entah kelompok mana lagi.

Apakah kita mau saudara-saudara Muslim kita di Eropa dan Amerika diperlakukan seperti kita memerlakukan kelompok-kelompok minoritas di sini? Apakah kita lupa bahwa urusan hati dan kebenaran hanya Allah Yang Mahatahu?

Di dua hari penting di pekan ini, yang mengaitkan kesucian Muharram dan keagungan toleransi, mari kita renungkan apakah kita sudah cukup rendah hati dan adil dalam sikap dan tindakan kita terutama kepada kalangan minoritas. Apakah itu sudah mencerminkan apa yang tertulis di tembok-tembok Istana Al-Alhambra dulu, “No One is Truly Victorious Except God”? (* * *)

Penulis adalah Direktur Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD), Yayasan Paramadina, dan staf pengajar pada Universitas Paramadina, Jakarta.

Sumber: Yayasan Paramadina

Ihsan Ali Fauzi: Toleransi Dan Keberagaman

Oleh: Ihsan Ali Fauzi | http://www.ahlulbaitindonesia.org. | Rabu, 24 Oktober 2012

Pekan ini diawali kabar tak menyenangkan mengenai tingkat toleransi terhadap keragaman. Minggu kemarin (21/10/2012), Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Community merilis survei yang menyebutkan, seperti dilaporkan VIVAnews, “meningkatnya populasi orang yang tidak nyaman dengan perbedaan, seperti perbedaan agama dan orientasi seksual” (cetak miring dari saya, IAF). Survei ini dilakukan terhadap 1200 responden melalui wawancara tatap muka, dengan margin of error diperkirakan sekitar 2,9 persen.

Rilis di atas membandingkan hasil survei dengan tema yang sama, intoleransi, yang dilakukan antara tahun ini dan tahun 2005, tujuh tahun lalu. Peningkatan intoleransi terjadi terhadap mereka yang berbeda agama (dari 8,2% menjadi 15,1%), penganut Syiah (dari 26,7%menjadi 41,8%), dan penganut Ahmadiyah (dari 64,7% menjadi 80,6%). Tapi yang tertinggi adalah intoleransi terhadap kalangan homoseksual, yang meningkat dari 64,7% menjadi 80,6%.

Ini peningkatan yang alarming, yang harus membuat bulu kuduk kita berdiri. Jika di bawah ini saya mengajukan catatan kritis atasnya, tujuannya tak lain kecuali untuk memperjelas masalahnya. Agar kita punya pegangan lebih pasti untuk melangkah ke depan.

Yang patut disayangkan dari rilis survei di atas adalah bahwa laporan-laporan media massa mengenainya tidak mendetailkan apakah intoleransi yang dimaksudkan ada pada level pikiran, sikap, atau perilaku. Ketiga level intoleransi ini penting dibedakan, karena semuanya berimplikasi pada dukungan yang berbeda terhadap demokrasi.

Penting diingat, yang diperlukan untuk memperteguh demokrasi adalah toleransi dalam tindakan. Meskipun jelas bahwa toleransi dalam pikiran dan sikap akan memperkuat toleransi dalam tindakan, persyaratan itu tidak mutlak. Maksudnya, agar saya bisa membiarkan orang lain melakukan apa yang menurutnya baik atau benar, saya tak perlu menyetujui atau mendukung sesuatu yang dilakukan orang itu.

Ini penting digarisbawahi, karena ada pandangan yang berkembang bahwa berperilaku toleran kepada para pemeluk agama lain sama artinya dengan memuji, mendukung atau membenarkan agama mereka, yang berbeda atau bahkan bertentangan dengan agama sendiri. Berkembang juga pandangan bahwa toleransi agama identik dengan ketidakacuhan pada kebenaran agama sendiri.

Dua pandangan di atas bukanlah pandangan yang benar tentang toleransi agama. Toleransi agama hanya berarti bahwa kita tengah menghormati hak orang-orang lain untuk beragama tanpa gangguan apa pun. Ini didasarkan atas “Prinsip Emas” yang dihormati semua manusia, yang berbunyi: “Jangan lakukan terhadap orang lain apa yang kamu sendiri tidak mau orang lain lakukan terhadapmu.”

“Prinsip Emas” ini ada pada agama-agama besar dunia. Dalam Islam ada hadis ini: “Belum beriman seseorang sampai dia mencintai saudaranya seperti dia mencintai dirinya sendiri” (Riwayat Bukhari & Muslim). Pada Kristen: “Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang berbuat kepadamu, berbuatlah demikian juga kepada mereka” (Mathius 7:12). Dalam Hinduisme ada disebutkan, “Inilah kesimpulan Dharma [tugas]: Jangan perlakukan orang lain yang akan menyakitkanmu jika itu dilakukan kepadamu” (Mahabharata 5:1517). Juga pada agama Budha: “Suatu keadaan yang tidak menyenangkan, bagaimana saya dapat melakukan yang sama terhadap orang lain?” (Samyutta nlkaya 353). Akhirnya, pada Yahudi, ada ujaran yang mirip ajaran Islam: “Cintailah tetanggamu seperti kau mencintai diri sendiri” (leviticus 19:18).

Dengan definisi di atas, toleransi agama tidak mengharuskan kita untuk menerima pandangan bahwa semua agama itu sama. Sudah sangat jelas bahwa di dunia ini ada banyak agama dan agama-agama yang ada itu memiliki ajaran dan praktik yang berbeda. Bahkan, perbedaan ajaran dan praktik juga bisa ditemukan di dalam satu agama yang sama.

Kedua, kita juga tidak harus menerima pandangan bahwa ajaran dan praktik semua agama itu sama benarnya. Lagi-lagi, ajaran dan praktik agama-agama itu saling berbeda, bahkan di dalam satu agama yang sama. Banyak kalangan agamawan yang percaya bahwa ajaran agama merekalah yang benar, atau paling benar. Toleransi agama tidak mengharuskan kita untuk bersepakat mengenai butir ini.

Ketiga, agar toleran, kita tidak perlu menerima pandangan bahwa semua agama sama-sama bermanfaat dan tidak akan mencelakai masyarakat. Beberapa agama mewajibkan atau mendorong para pengikutnya untuk melakukan praktik-praktik yang bisa berbahaya atau merusak kesehatan mental dan fisik mereka, dan memperpendek umur mereka—menghindari pertolongan medis, memukul pasangan, memukul anak-anak, dan lainnya. Ini tampak pada ajaran David Koresh, yang disebut Branch Davidian, misalnya.

Agar berperilaku toleran, keempat, kita juga tak perlu menahan diri atau menghindar dari mengeritik aksi-aksi keagamaan yang menyakiti pihak lain. Beberapa agama mengajarkan pemeluknya untuk secara aktif bertindak diskriminatif terhadap orang lain berdasarkan ras, jenis kelamin, orientasi seksual, kebangsaan, dan lainnya. Praktik-praktik seperti ini harus terbuka untuk dikritik. Banyak pemuka Muslim mengeritik, bahkan mengecam, serangan teroris pada 11 September, yang diakui sendiri oleh Osama bin Ladin, misalnya.

Akhirnya, harus juga disebutkan bahwa toleransi dalam beragama bisa jadi merupakan akibat dari tidak adanya keyakinan agama pada diri seseorang. Misalnya ketika seseorang bersikap acuh tak acuh pada agama. Orang-orang seperti ini memiliki sikap dan perilaku yang toleran hanya karena mereka tidak peduli dengan apa yang diyakini dan dijalankan oleh orang-orang lain, termasuk para penganut agama yang taat.

Tapi ini hanya satu dari banyak kemungkinan mengapa orang berlaku toleran. Kemungkinan lainnya adalah bersikap dan berlaku toleran kepada penganut agama lain, meskipun kita tetap merupakan orang-orang yang meyakini dan menjalankan agama tertentu dengan taat. (***)

Ihsan Ali-Fauzi adalah Direktur Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD), Yayasan Paramadina, dan staf pengajar pada Universitas Paramadina, Jakarta.