Ihsan Ali Fauzi: Toleransi Dan Keberagaman

Oleh: Ihsan Ali Fauzi | http://www.ahlulbaitindonesia.org. | Rabu, 24 Oktober 2012

Pekan ini diawali kabar tak menyenangkan mengenai tingkat toleransi terhadap keragaman. Minggu kemarin (21/10/2012), Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Community merilis survei yang menyebutkan, seperti dilaporkan VIVAnews, “meningkatnya populasi orang yang tidak nyaman dengan perbedaan, seperti perbedaan agama dan orientasi seksual” (cetak miring dari saya, IAF). Survei ini dilakukan terhadap 1200 responden melalui wawancara tatap muka, dengan margin of error diperkirakan sekitar 2,9 persen.

Rilis di atas membandingkan hasil survei dengan tema yang sama, intoleransi, yang dilakukan antara tahun ini dan tahun 2005, tujuh tahun lalu. Peningkatan intoleransi terjadi terhadap mereka yang berbeda agama (dari 8,2% menjadi 15,1%), penganut Syiah (dari 26,7%menjadi 41,8%), dan penganut Ahmadiyah (dari 64,7% menjadi 80,6%). Tapi yang tertinggi adalah intoleransi terhadap kalangan homoseksual, yang meningkat dari 64,7% menjadi 80,6%.

Ini peningkatan yang alarming, yang harus membuat bulu kuduk kita berdiri. Jika di bawah ini saya mengajukan catatan kritis atasnya, tujuannya tak lain kecuali untuk memperjelas masalahnya. Agar kita punya pegangan lebih pasti untuk melangkah ke depan.

Yang patut disayangkan dari rilis survei di atas adalah bahwa laporan-laporan media massa mengenainya tidak mendetailkan apakah intoleransi yang dimaksudkan ada pada level pikiran, sikap, atau perilaku. Ketiga level intoleransi ini penting dibedakan, karena semuanya berimplikasi pada dukungan yang berbeda terhadap demokrasi.

Penting diingat, yang diperlukan untuk memperteguh demokrasi adalah toleransi dalam tindakan. Meskipun jelas bahwa toleransi dalam pikiran dan sikap akan memperkuat toleransi dalam tindakan, persyaratan itu tidak mutlak. Maksudnya, agar saya bisa membiarkan orang lain melakukan apa yang menurutnya baik atau benar, saya tak perlu menyetujui atau mendukung sesuatu yang dilakukan orang itu.

Ini penting digarisbawahi, karena ada pandangan yang berkembang bahwa berperilaku toleran kepada para pemeluk agama lain sama artinya dengan memuji, mendukung atau membenarkan agama mereka, yang berbeda atau bahkan bertentangan dengan agama sendiri. Berkembang juga pandangan bahwa toleransi agama identik dengan ketidakacuhan pada kebenaran agama sendiri.

Dua pandangan di atas bukanlah pandangan yang benar tentang toleransi agama. Toleransi agama hanya berarti bahwa kita tengah menghormati hak orang-orang lain untuk beragama tanpa gangguan apa pun. Ini didasarkan atas “Prinsip Emas” yang dihormati semua manusia, yang berbunyi: “Jangan lakukan terhadap orang lain apa yang kamu sendiri tidak mau orang lain lakukan terhadapmu.”

“Prinsip Emas” ini ada pada agama-agama besar dunia. Dalam Islam ada hadis ini: “Belum beriman seseorang sampai dia mencintai saudaranya seperti dia mencintai dirinya sendiri” (Riwayat Bukhari & Muslim). Pada Kristen: “Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang berbuat kepadamu, berbuatlah demikian juga kepada mereka” (Mathius 7:12). Dalam Hinduisme ada disebutkan, “Inilah kesimpulan Dharma [tugas]: Jangan perlakukan orang lain yang akan menyakitkanmu jika itu dilakukan kepadamu” (Mahabharata 5:1517). Juga pada agama Budha: “Suatu keadaan yang tidak menyenangkan, bagaimana saya dapat melakukan yang sama terhadap orang lain?” (Samyutta nlkaya 353). Akhirnya, pada Yahudi, ada ujaran yang mirip ajaran Islam: “Cintailah tetanggamu seperti kau mencintai diri sendiri” (leviticus 19:18).

Dengan definisi di atas, toleransi agama tidak mengharuskan kita untuk menerima pandangan bahwa semua agama itu sama. Sudah sangat jelas bahwa di dunia ini ada banyak agama dan agama-agama yang ada itu memiliki ajaran dan praktik yang berbeda. Bahkan, perbedaan ajaran dan praktik juga bisa ditemukan di dalam satu agama yang sama.

Kedua, kita juga tidak harus menerima pandangan bahwa ajaran dan praktik semua agama itu sama benarnya. Lagi-lagi, ajaran dan praktik agama-agama itu saling berbeda, bahkan di dalam satu agama yang sama. Banyak kalangan agamawan yang percaya bahwa ajaran agama merekalah yang benar, atau paling benar. Toleransi agama tidak mengharuskan kita untuk bersepakat mengenai butir ini.

Ketiga, agar toleran, kita tidak perlu menerima pandangan bahwa semua agama sama-sama bermanfaat dan tidak akan mencelakai masyarakat. Beberapa agama mewajibkan atau mendorong para pengikutnya untuk melakukan praktik-praktik yang bisa berbahaya atau merusak kesehatan mental dan fisik mereka, dan memperpendek umur mereka—menghindari pertolongan medis, memukul pasangan, memukul anak-anak, dan lainnya. Ini tampak pada ajaran David Koresh, yang disebut Branch Davidian, misalnya.

Agar berperilaku toleran, keempat, kita juga tak perlu menahan diri atau menghindar dari mengeritik aksi-aksi keagamaan yang menyakiti pihak lain. Beberapa agama mengajarkan pemeluknya untuk secara aktif bertindak diskriminatif terhadap orang lain berdasarkan ras, jenis kelamin, orientasi seksual, kebangsaan, dan lainnya. Praktik-praktik seperti ini harus terbuka untuk dikritik. Banyak pemuka Muslim mengeritik, bahkan mengecam, serangan teroris pada 11 September, yang diakui sendiri oleh Osama bin Ladin, misalnya.

Akhirnya, harus juga disebutkan bahwa toleransi dalam beragama bisa jadi merupakan akibat dari tidak adanya keyakinan agama pada diri seseorang. Misalnya ketika seseorang bersikap acuh tak acuh pada agama. Orang-orang seperti ini memiliki sikap dan perilaku yang toleran hanya karena mereka tidak peduli dengan apa yang diyakini dan dijalankan oleh orang-orang lain, termasuk para penganut agama yang taat.

Tapi ini hanya satu dari banyak kemungkinan mengapa orang berlaku toleran. Kemungkinan lainnya adalah bersikap dan berlaku toleran kepada penganut agama lain, meskipun kita tetap merupakan orang-orang yang meyakini dan menjalankan agama tertentu dengan taat. (***)

Ihsan Ali-Fauzi adalah Direktur Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD), Yayasan Paramadina, dan staf pengajar pada Universitas Paramadina, Jakarta.

Menyikapi Pemberitaan Seputar Agama | By Luthfi Assyaukanie

Media memainkan peran penting bukan hanya bagi perdamaian dunia, tapi juga bagi konflik dan peperangan. Media bisa menyulut konflik yang kecil menjadi besar dan memicu ketegangan menjadi perang. Ratusan atau bahkan ribuan nyawa hilang akibat pemberitaan yang membakar (inflammatory news). Kita tentu masih ingat bagaimana pemberitaan tentang buku Ayat-Ayat Setan karya Salman Rushdi di dunia Muslim memantik kerusuhan dan kekerasan. Belasan gedung termasuk kedutaan besar dirusak dan dibakar, sejumlah penerbit dan toko buku diserang. Ratusan nyawa melayang. Begitu juga pemberitaan tentang kartun Nabi Muhammad yang –seperti menyiram api dengan bensin– membuat orang semakin marah. Di Indonesia, pemberitaan terhadap Ahmadiyah, Salamullah, Syi’ah dan kelompok-kelompok minoritas dalam Islam bukan mendinginkan masalah, tapi justru membakar kemarahan yang sejak lama terpendam.

Pemberitaan adalah soal cara dan pilihan. Anda bisa menyampaikan sebuah berita dengan netral, tapi juga bisa mengemasnya dengan pesan yang membuat orang marah. Jika sebuah pemberitaan yang netral dirasa tidak cukup mendamaikan situasi yang panas, cara lain yang lebih proaktif harus diusahakan. Inilah apa yang belakangan ini disebut dengan “jurnalisme damai.” Peran media dan wartawan dalam memberitakan isu-isu krusial, khususnya yang melibatkan ketegangan, bukan hanya menjadi penyampai informasi, tapi juga berusaha menjadi penengah dan juru damai. Dalam jurnalisme damai, wartawan dituntut bukan hanya memberitakan secara netral, tapi juga dianjurkan untuk menyelesaikan persoalan lewat cara pemberitaan yang menyejukkan.

Jurnalisme damai adalah sebuah konsep yang kontroversial. Pertama kali diperkenalkan oleh Johan Galtung, sosiolog asal Norwegia, jurnalisme damai berusaha memberikan alternatif pada cara pemberitaan yang cenderung bias dalam konflik dan perang. Galtung melihat bahwa pemberitaan media dalam meliput peristiwa konflik dan perang –baik disengaja maupun tidak –kerap kali memberi andil bagi terawatnya sebuah konflik. Pemberitaan yang hanya fokus pada arena konflik, kelompok-kelompok yang bersitegang, serta mengabaikan latar belakang masalah, merupakan ciri apa yang Galtung sebut sebagai “jurnalisme perang.” Wartawan yang cinta damai tidak cukup hanya dengan memberitakan sebuah peristiwa “secara netral” dan apa adanya di medan perang, tapi dia juga harus punya missi untuk mengakhiri perang.

Jurnalisme damai tidak hanya digunakan dalam memberitakan peristiwa-peristiwa konflik dalam skala besar, seperti perang Iran-Iraq, perang AS-Afghanistan, dan konflik Israel-Palestina, tapi juga menyangkut isu dalam skala yang lebih kecil. Menurut saya, berbagai konflik dan ketegangan yang melibatkan hubungan antar-agama dan isu-isu yang terkait dengan masalah agama memerlukan pendekatan dan cara pemberitaan khusus. Jurnalisme damai bisa memainkan peran aktifnya di sini. Memberitakan peristiwa atau isu yang terkait dengan agama tidak sama dengan memberitakan isu dalam perkara lain, seperti peristiwa ekonomi, olahraga, atau hiburan. Diperlukan pemahaman tambahan dan pendekatan yang lebih hati-hati dalam menangani isu yang kerap melibatkan sentimen masyarakat ini.

Cara Pemberitaan

Media di Indonesia memiliki kontribusi bagi pasang-surutnya hubungan antar-agama dan perilaku keberagamaan di Indonesia. Setiap kali ada ketegangan atau masalah menyangkut hubungan antar-agama, media menjadi corong pemberitaan kepada publik. Cara pemberitaan media tentang ketegangan atau konflik antar-agama menjadi penting, karena dari sanalah masyarakat kemudian mengambil sikap. Jika pemberitaan media berusaha menengahi atau mendinginkan suasana, ada kemungkinan ketegangan akan reda dan masyarakat tak akan bereaksi, tapi jika pemberitaan media bersifat membakar atau mengompori, ketegangan akan pecah menjadi konflik dengan skala yang lebih luas. Pilihan cara penyampaian berita dan penggunaan bahasa dalam pemberitaan tentang isu agama, karenanya, menjadi penting.

Kontribusi media-media Islam yang berat sebelah, seperti Sabili, Hidayatullah, dan –dalam tingkat tertentu —Republika dalam mengompori kemarahan kaum Muslim sangat terasa. Dengan memilih angle tertentu, media-media itu berusaha bukan hanya menyampaikan suatu fakta yang terjadi di lapangan, tapi juga memaknainya dengan pesan-pesan pembelaan atau pemihakan. Media-media seperti itu sejak semula bersikap bias dan menyiapkan diri menjadi corong bagi kepentingan golongan Islam tertentu. Alih-alih mendamaikan suasana, media-media Islam jenis ini kerap membuat suasana yang sudah panas menjadi lebih panas lagi.

Kita bisa memahami jika media-media Islam seperti disebutkan di atas melakukan provokasi dan mengompori pembacanya. Salah satu misi mereka memang mengajak kaum Muslim mendukung agenda Islamis mereka yang intoleran dan anti-kebebasan. Yang patut dikhawatirkan adalah jika pemberitaan semacam itu dilakukan oleh media-media umum. Sudah pasti media-media umum seperti Kompas, Media Indonesia, Seputar Indonesia, Jawa Pos danbeberapasaluran TVseperti TVOne, MetroTV, RCTI, dan SCTV, tidak secara terang-terangan dan terbuka dalam memihak suatu kelompok yang bertikai, seperti dilakukan media-media Islam itu. Tapi, beberapa pemberitaan mereka soal isu agama, kerap kali tergelincir dalam pemberitaan yang sumir dan berpotensi memperkeruh suasana.

Sebagian “kekeliruan” pemberitaan itu mungkin tidak disengaja karena ketidaktahuan (ignorance) pembuat beritanya, sebagian lain mungkin muncul dari semangat keagamaan bawah sadar (subconsciousness) seorang wartawan akibat interaksi yang intens dengan agama yang dipeluknya. Secara umum, ada dua isu besar dalam pemberitaan keagamaan yang kerap menyita perhatian media: yang pertama menyangkut agama Kristen di mana isu utamanya adalah soal Kristenisasi dan pendirian rumah ibadah. Yang kedua menyangkut isu minoritas dalam Islam seperti Ahmadiyah, Syi’ah, dan Salamullah, yang kerap dianggap sesat atau menyebarkan ajaran yang bertentangan dengan keyakinan mainstream Islam.

Pemberitaan Seputar Kristen

Sejak sebelum merdeka, isu Kristenisasi di Indonesia sudah ada. Isu itu selalu dihembuskan kelompok-kelompok Islam yang sangat peduli dengan jumlah. Merasa sebagai mayoritas, kelompok-kelompok itu sangat waspada dan begitu sensitif setiap kali isu Kristenisasi muncul. Anehnya, sambil terus merasa terusik dengan kegiatan Kristenisasi, kelompok-kelompok itu tak pernah merasa bersalah dengan agenda “Islamisasi” yang terang-terangan didukung oleh lembaga-lembaga seperti Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII). Yang patut diperhatikan di sini adalah, secara demografis, meski ada Islamisasi dan Kristenisasi, prosentase jumlah Islam-Kristen sejak merdeka tak pernah berubah. Dalam beberapa kali sensus, range populasi kaum Muslim selalu antara 87% hingga 90% dan range populasi kaum Kristen selalu antara 5% hingga 9%. Kristenisasi dan Islamisasi sama-sama terjadi. Keduanya membentuk pola yang seimbang, sampai sekarang.

Bagaimana sikap wartawan menghadapi isu semacam ini? Membuang sentimen keagamaan adalah langkah pertama yang harus diambil setiap wartawan dalam memberitakan isu semacam ini. Sentimen keagamaan kerap kali menggelincirkan wartawan pada pemberitaan yang subyektif dan memihak pada satu kelompok. Wartawan yang memainkan sentimen Kristen akan bersikap defensif dan berusaha menjustifikasi kegiatan-kegiatan misionaris, sementara wartawan yang memainkan sentimen Islam akan menyerang setiap kegiatan Kristenisasi dan menggunakan retorika-retorika yang dapat memunculkan ketegangan. Langkah berikutnya adalah memahami konsep kebebasan beragama yang dijamin dalam konstitusi bahwa hak menyiarkan agama bukanlah milik suatu kelompok saja, tapi juga milik semua pengikut agama.

Kesalahan terbesar sebagian orang (termasuk beberapa wartawan) adalah menganggap bahwa Kristenisasi sebagai tindakan ilegal sementara Islamisasi sebagai tindakan yang sah. Pemberitaan tentang Kristenisasi kerap dibungkus dengan sentiman kecurigaan atau kebencian, sementara pemberitaan tentang orang mauk Islam (Islamisasi) selalu dikemas dengan rasa bangga dan suka-cita. Yang harus dipahami setiap wartawan adalah masuk Islam atau masuk Kristen merupakan hak setiap warga dan penyiaran agama adalah bagian dari kebebasan beragama yang dilindungi undang-undang. Jika negara memberikan kebebasan pada kaum Muslim untuk menyiarkan agamanya, maka negara juga wajib memberikan hak yang sama bagi kaum Kristen dan penganut agama-agama lain.

Isu lain seputar Kristen adalah tentang pendirian dan penggunaan rumah ibadah. Pemberitaan yang salah menyangkut isu ini kerap memantik ketegangan dan bahkan konflik antar-warga berbeda agama. Beberapa kelompok Islam, termasuk –sangat disayangkan– Menteri Agama Suryadarma Ali, selalu berdalih bahwa orang-orang Kristen sering membangun gereja dan menggunakan rumah ibadah dengan jumlah yang semakin besar. Dengan berfokus hanya pada jumlah pertumbuhan gereja, kelompok-kelompok itu, dan juga Menteri Agama, menjustifikasi kekerasan terhadap beberapa kelompok Kristen (misalnya HKBP). Alasan mereka, kaum Kristenlah yang memicu ketegangan dengan mendirikan gereja dan rumah-rumah ibadah.

Wartawan yang tidak cerdas akan termakan dengan retorika Menteri Agama dan kelompok-kelompok Islam ekstrim itu. Tapi wartawan yang cerdas akan mencari tahu mengapa terjadi pembangunan gereja dan mengapa kaum Kristen dilarang menyelenggarakan ibadah di perumahan mereka. Satu hal yang jarang dipahami kaum Muslim (yang ekstrim maupun yang tidak) adalah bahwa Kristen berbeda dengan Islam dalam hal penggunaan rumah ibadah. Dalam Islam, kaum Muslim bisa menggunakan mesjid atau mushalla dari kelompok/organisasi yang berbeda, sementara dalam Kristen, orang yang berbeda denominasi tidak bisa menggunakan gereja yang sama. Mereka harus membangun gereja atau rumah ibadahnya sendiri. Sebuah kelompok dari Gereja Huria, misalnya, tak bisa ikut ibadah dengan pengikut Gereja Methodis, begitu juga kelompok dari Gereja HKBP tak bisa ikut beribadah dengan Gereja Pasundan.

Akibat dari kendala itu, kelompok Kristen yang berbeda denominasi akan membangun gereja atau rumah ibadah baru. Bukan karena mereka hendak melakukan Kristenisasi atau membangun rumah ibadah sebanyak-banyaknya, tapi kendala perbedaan denominasi mendorong mereka melakukan hal itu. Orang yang tidak memahami kompleksitas ini akan dengan mudah mencurigai dan menuduh adanya upaya Kristenisasi. Sikap seorang wartawan, tentu saja, harus memberikan penjelasan kepada publik tentang hal ini dan berusaha memberikan informasi yang benar setiap peristiwa yang memicu konflik antar umat beragama.

Patut diperhatikan di sini bahwa hak beribadah setiap warga dijamin konstitusi dan penyelenggaraan ibadah diatur oleh undang-undang. Jika kaum Muslim bisa melakukan pengajian dan ibadah di perumahan dan bahkan di jalan-jalan yang mengganggu lalu-lintas, maka hak yang sama harus diberikan kepada warga dari agama lain. Jika kita keberatan dengan sekelompok warga yang mengadakan kebaktian di suatu rumah, maka sikap yang sama harus diperlihatkan menyangkut kegiatan pengajian yang dilakukan kelompok lain. Inilah sikap yang adil dan obyektif yang harus dimiliki para wartawan.

Pemberitaan Seputar Sekte Islam

Isu kedua yang sering menyita perhatian media dan kerap memerangkap wartawan dalam pemberitaan yang keliru adalah tentang sekte-sekte Islam, seperti Ahmadiyah, Syi’ah, dan Salamullah. Bagaimana wartawan menyikapi isu ini? Sama seperti penyikapan terhadap isu Kristenisasi, menghilangkan sentimen agama adalah sikap pertama yang harus diambil oleh setiap wartawan, baik dia beragama Kristen, Hindu, atau Islam, maupun bermazhab Sunni, Syi’ah, atau Ahmadiyah. Seorang wartawan harus mengenyampingkan sentimen agamanya dalam memberitakan tentang sebuah isu agama.

Yang pertama harus diperhatikan adalah penggunaan istilah. Kelompok mayoritas dalam agama apapun cenderung menggunakan kata “sesat” kepada kelompok-kelompok minoritas yang berbeda keyakinan. Sudah sejak lama kaum Sunni menganggap pengikut Ahmadiyah sesat dan keluar dari Islam. Sebagian besar kaum Sunni meyakini bahwa Ahmadiyah telah keluar dari Islam karena mengingkari doktrin Muhammad Nabi terakhir. Tak peduli bagaimana Ahmadiyah memahami doktrin kenabian, bagi orang Sunni, Ahmadiyah pokoknya sesat dan mereka hanya punya dua pilihan: bertobat dan bergabung ke dalam Sunni atau keluar sama sekali dari Islam dan tak boleh menggunakan istilah-istilah Islam.

Sesat-menyesatkan adalah perilaku umat beragama dari sejak dulu. Yahudi menganggap Kristen sesat, Kristen menganggap Islam sesat, Sunni menganggap Syi’ah sesat, Syi’ah mengaggap Druz sesat, dan seterusnya. Wartawan bukanlah teolog yang ikut-ikutan menebar cap sesat kepada kelompok-kelompok yang berbeda dengan mayoritas. Wartawan harus mewaspadai dirinya agar tidak diperalat para teolog untuk ikut-ikutan menyesatkan suatu kelompok. Komitmen wartawan bukan pada suatu agama, tapi pada kepentingan publik dan kebebasan. Sesat-menyesatkan adalah pekerjaan teolog dan kaum beragama, bukan pekerja media. Tugas pekerja media adalah memberitakan dan membantu masyarakat memahami persoalan sejernih mungkin.

Sama seperti agama atau aliran apapun di negeri ini, Ahmadiyah mempunyai hak hidup yang dilindungi konstitusi. Bahwa mereka dianggap sesat oleh kelompok mayoritas, hal ini tidak boleh menjadi alasan untuk mencederai hak-hak dasar mereka. Ahmadiyah berhak hidup dan menjalankan ibadahnya, temasuk mendirikan rumah ibadah, sekolah, dan kegiatan-kegiatan lainnya. Tugas wartawan bukannya ikut larut dalam retorika memusuhi Ahmadiyah, tapi menjelaskan duduk perkara sambil mengingatkan publik bahwa anggota Ahmadiyah adalah juga warganegara yang memiliki hak yang sama seperti warga lainnya di negeri ini.

Satu hal yang patut dicamkan oleh para wartawan adalah bahwa tidak ada satu aliran agama apapun di negeri ini yang boleh dilarang atau dicederai hak-haknya. Satu-satunya alasan untuk melarang atau menghukum suatu kelompok atau aliran agama adalah jika kelompok itu terang-terangan melakukan kekerasan dan pelanggaran hukum. Tidak ada satu kelompok pun yang berhak dan dibenarkan menghakimi kelompok lain. Penghakiman harus diserahkan kepada negara dan aparaturnya.

Salah satu retorika yang dikembangkan kaum ekstrimis adalah bahwa Ahmadiyah telah melakukan penodaan terhadap Islam. Alasan ini tidak bisa diterima karena setiap agama cenderung melakukan penodaan terhadap agama lainnya. Jika retorika itu kita terima, maka kita juga harus menerima retorika kaum Kristen ekstrim yang merasa dinodai oleh Islam karena menganggap Nabi Isa tidak disalib. Kita juga harus menerima retorika kaum Syi’ah yang keberatan dengan kaum Sunni yang tidak menerima kekhususan Ali bin Abi Thalib dibanding sahabat-sahabat Nabi yang lainnya. “Penodaan” adalah istilah insinuatif yang digunakan oleh orang-orang yang tengah bertikai. Wartawan tidak semestinya termakan dengan retorika semacam ini. Sama seperti “penyesatan,” tuduhan “penodaan” dimaksudkan untuk membenarkan tindak permusuhan atau kekerasan terhadap suatu kelompok.

Penutup: Jurnalisme Damai

Isu agama agak berbeda dengan isu-isu lain yang biasa diliput media massa. Wartawan mungkin bisa menyuguhkan fakta apa adanya menyangkut isu ekonomi, olahraga, atau hiburan. Tapi, wartawan dituntut lebih cerdas dan berhati-hati dalam meliput isu agama. Netralitas saja mungkin tidak cukup dalam memberitakan sebuah isu agama, khususnya jika isu itu melibatkan ketegangan atau konflik. Diperlukan pendekatan yang lebih dari sekadar reportase biasa. Sejumlah dosis jurnalisme damai agaknya diperlukan dalam setiap pemberitaan tentang konflik antar-agama. Tugas wartawan bukan hanya sekadar melaporkan ketegangan, tapi juga berusaha mendamaikan dan mendinginkan suasana agar potensi konflik yang lebih luas tidak terjadi.

Selama ini, jurnalisme damai dicoba-terapkan dalam memberitakan konflik-konflik dengan skala luas, seperti konflik di Aceh, Maluku, dan Poso. Sudah saatnya, konsep ini juga ditularkan dalam memberitakan isu-isu agama dalam skala yang lebih kecil, seperti pemberitaan soal pendirian rumah ibadah, reportase tentang Ahmadiyah, dan liputan tentang kegiatan-kegiatan keagamaan lainnya. Semangat yang harus ditekankan di sini bukan hanya memberikan reportase yang benar, tapi juga melakukan pencerdasan kepada masyarakat. Jurnalisme damai, tentu saja, bukanlah sebuah genre baru dalam jurnalisme, ia hanyalah cara dan pilihan sikap dalam pemberitaan. Di tengah dunia yang penuh prasangka, jurnalisme damai adalah alternatif yang menyejukkan.

Bahan Bacaan

  1. Ade Alawi. Kabar dari Poso: Menggagas Jurnalisme Damai. Jakarta: Lembaga Studi Pers dan Pembangunan, 2001.
  2. Agus Sudibyo, Ibnu Hamad, dan Muhammad Qodari. Kabar-Kabar Kebencian: Prasangka Agama di Media Massa. Utan Kayu: Institut Studi Arus Informasi, 2001.
  3. Annabel McGoldrick and Jake Lynch. “What is Peace Journalism?” Activate, Winter 2001.
  4. Budhy Munawar Rachman. Dari Keseragaman Menuju Keberagaman: Wacana Multikultural dalam Media. Jakarta: Lembaga Studi Pers & Pembangunan, 1999.
  5. Iswandi Syahputra. Jurnalisme Damai: Meretas Ideologi Peliputan di Area Konflik. Yogyakarta: Pilar Media, 2006.
  6. Jake Lynch. Debates in Peace Journalism. Sydney: Sydney University Press, 2008.
  7. Jan S. Aritonang and Karel A. Steenbrink. A History of Christianity in Indonesia. Leiden: Brill, 2008.
  8. Jan S. Aritonang. Berbagai Aliran di Dalam dan di Sekitar Gereja. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1995.
  9. Johan Galtung. “Peace Journalism as Ethical Challenge.” Asteriskos, No 3/4, 2007.
  10. Maria Hartiningsih. Jurnalisme Damai: Media Massa untuk Transformasi Sosial. Jakarta: British Council, 2002.

Makalah ini disampaikan pada “Workshop Jurnalis untuk Isu Keberagaman,” diselenggarakan oleh Serikat Jurnalis Untuk Keberagaman (SEJUK). Pondok Remaja Cipayung, 30 Juni – 1 Juli 2012.

Sumber: Sejuk

Mukhamad Zulfa: Menebar Jurnalisme Keberagaman

“Jurnalis harus memahami nilai-nilai keberagaman dan harus senantiasa berjuang untuk memberi kenyataan yang seimbang terhadap pembaca”

Menilai keberagaman merupakan sebuah keberanian yang menjadi tanggung jawab aktifis jurnalis. Memberikan sudut pandang yang proporsional. Mengangkat kesamaan hak antara minoritas dan mayoritas, korban dan pelaku, yang bersalah dan tidak. Melakukan penelusuran, pengungkapan, pembuktian sebuah fakta peristiwa yang terjadi di lapangan.

“Panduan jurnalis kampus dalam memberitakan Isu Keberagaman” merupakan tema yang diangkat oleh Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK). Sebagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang berdiri sejak tahun 2008 bergerak dalam jurnalisme media untuk keberagaman sesuai dengan namanya.

“Organisasi kami telah melakukan berbagai pendekatan terhadap berbagai macam media, mulai media mainstream (stasiun televisi nasional, surat kabar nasional, media online) hingga media penerbitan kampus”. Tutur Ahmad Junaidi selaku koordinator SEJUK.

“Kegiatan semacam ini sudah terlaksana delapan kali sejak kali pertama berdiri”. Tambah Junaidi. Kami berharap kejadian yang kami alami tidak menimpa seseorang atau kelompok lain. Akibat perlakuan yang belum adanya pemahaman keberagaman yang tumbuh dalam kebersamaan.

Materi yang disampaikan lebih menekankan bagaimana insan jurnalis mempunyai perspektif yang lebih dalam memahami nilai-nilai keberagaman. Hubungan antara media dengan hak asasi manusia (HAM), media dengan keberagaman, media dengan agama, media dengan perempuan, serta bekal teknis peliputan terhadap isu keberagaman.

Daniel Awigra selaku pembicara tentang HAM memberikan pernyataan bahwa “jurnalis hidup dalam kungkungan segitiga setan. Titik pertama terdapat pemilik media, kedua pembaca, dan ketiga pembuat regulasi (pemerintah). Di sinilah kita harus berjuang untuk memberikan kenyataan yang seimbang terhadap pembaca. Kita tak bisa memihak diantara ketiga titik tersebut”.

“Pemilik media tentu mempunyai kepentingan industri medianya berkembang pesat. Sedangkan pembaca butuh informasi, hiburan dan tentunya pendidikan. Pihak ketiga sebagai pemerintah perlu untuk mengatur kehidupan bernegara agar tidak terjadi ketimpangan dalam kehidupan bermasyarakat. Sebagai jurnalis yang baik tentu jiwa mendidik masyarakat tentu harus ditumbuhkan”. Imbuh Awigra.

Terdapat beberapa sudut pandang yang perlu ditanamkan dalam meliput keberagaman sebagaimana dibeberkan oleh Ade Armando. “Pertama, kita sadar tidak hanya sekadar pewarta, meninggalkan newsworthy, menggunakan pandangan yang lebih dari cover both side (pelaku dan korban), mendidik konsumen berita, memperhatikan konteks, dan sebagainya”.

Armando yang juga pemerhati media mengatakan “Sikap prasangka, dan stereotip yang berlebihan perlu dihindari. Kita harus bersikap empatik, memperhatikan konteks dan latar belakang sebuah peristiwa”.

Yang menarik dari pelatihan ini adalah keberagaman asal dari peserta itu sendiri. Sehingga gesekan dan dialektika paradigma dari peserta sudah memberikan nilai keberagaman tersendiri. Mereka tidak hanya dihadiri oleh mahasiswa dari perguruan tinggi di Solo saja.

Dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Universitas Madura, Sekolah Tinggi Islam Mathaliul Falah (STAIMAFA) Pati, Universitas Airlangga (UNAIR) Malang, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga (UIN SUKA), Universitas Kristen Indonesia (UKI) Jakarta, Universitas Indonesia (UI) Jakarta, Universitas Patimura (Unpati) Ambon, Universitas Jember dan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo Semarang.

Panitia SEJUK bekerjasama dengan lembaga penerbitan mahasiswa (LPM) Kentingan Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo. Diskusi dimulai pada hari Kamis (24/11) di gedung A aula fakultas keguruan dan ilmu pendidikan. Kemudian Jum’at hingga Minggu dilanjutkan di hotel Sahid Jaya Solo.

 

Bisa dibaca di Harian Semarang edisi Kamis 08 Desember 2011

Sumber: Sejuk