Kronologi dan Video Pengusiran Syiah Sampang dari GOR

Jum’at,  21 Juni 2013 | Sindonews.com – Kasus kaum Syiah di Sampang, Jawa Timur (Jatim), kini kembali menjadi sorotan masyarakat setelah diintimidasi dan dipaksa keluar dari lokasi pengungsian di Gelanggang Olah Raga (GOR) Sampang oleh Pemerintah Kabupaten (Pemkab) dan Polres setempat.

Disebutkan, pengungsi tersebut mendapatkan perlakuan kasar dari pihak Satpol PP saat dipaksa meninggalkan GOR Sampang untuk kemudian diungsikan ke Sidoarjo.
Kelompok Kerja Advokasi Hak Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (Pokja AKBB) Jawa Timur (Jatim), menyebutkan kronologi pengusiran pengungsi Syiah dalam pernyataan resminya kepada Sindonews, Jumat (21/6/2013).

Rabu, 19 Juni 2013 Pukul 09.00 WIB

Ustaz Iklil al-Milal, tokoh Syiah dijemput oleh personel Polres Sampang dan dibawa ke mapolres dengan alasan akan dimintai keterangan. Ternyata ketika sampai di Polres, sudah berkumpul Kepala Bakesbangpol, Kepala Dinas Sosial Sampang, dan sejumlah ulama representasi Badan Silaturrahmi Ulama se-Madura (Basra).

09.30 – 13.00 WIB
Dalam pertemuan itu, Ustaz Iklil dipaksa menandatangani persetujuan untuk direlokasi, namum beliau menolak dan memilih bertahan di sana. Dia mengaku tidak bisa mewakili keputusan para pengungsi yang tetap bertekad kembali ke Kampung Nangkrenang, Desa Karang Gayam.
Sampai di akhir pembicaraan, Iklil tetap menolak menyepakati desakan yang disampaikan oleh pemda dan ulama. Perwakilan Pemkab Sampang mengancam akan mendatangi GOR untuk mendapatkan kesepakatan. Perwakilan Pemkab berdalih, relokasi dilakukan karena halaman GOR akan digunakan sebagai tempat Istighosah ulama se-Madura.
Ustaz Iklil akhirnya memaksa untuk diantar kembali ke GOR dengan alasan sedang puasa dan dalam kondisi tidak sehat.

14.00 -17.00 WIB
Kepala Bakesbangpol, Dinsos, dan Wakapolres Sampang mendatangi GOR dan mengajak Ustaz Iklil berbicara di luar gedung tepatnya di tenda UNICEF. Pembicaraan masih menyoal relokasi, namun lagi-lagi Ustaz Ikil bertahan tidak bisa mewakili suara jamaahnya. Pembicaraan berjalan cukup sengit sampai pukul 17.00 WIB, tanpa ada titik temu.
Perwakilan Pemkab dan Polres Sampang menyampaikan tidak akan bertanggung jawab bila terjadi kekerasan oleh massa yang akan menghadiri acara Istighosah. Mereka warga di sana untuk keluar dari GOR sampai pukul 20.00 WIB.
Berdasarkan sejumlah informasi, acara Istighosah diinisiasi oleh Basra dan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Dalam selebaran undangan diketahui, acara Istighosah sedianya diadakan di Pamekasan. Melalui pelbagai cara acara tersebut akhirnya diselenggarakan di depan GOR Sampang.

Kamis, 20 Juni 2013 Pukul 09.00 WIB
Wakil Bupati Sampang, Kepala Bakesbangpol Sampang, Kepala Dinsos, Kapolres Sampang, dan Kapolda Jatim mendatangi GOR. Pada saat bersamaan massa mulai berdatangan dengan pelbagai kendaran pickap dan truk. Sekitar 8.000 orang termasuk anak anak dan perempuan memadati halaman GOR.

09.45 – 10.15 WIB

Istighosah dimulai. Diawali dengan orasi Kyai Ali Karrar dalam bahasa Madura. Diduga karena orasinya berisi kemarahan terhadap warga Syiah, sang Kyai akhirnya dibujuk untuk menghentikan orasinya oleh perwakilan Pemkab.
Istighosah hanya berjalan sekitar 15 menit, dan sesudah itu dilanjutkan oleh orasi tujuh perwakilan ulama dari Sumenep, Pamekasan, Bangkalan, dan Sampang. Isi orasi ulama hampir sama yakni, menolak ajaran Ustaz Tajul Muluk dan mengharuskan jamaah Syiah keluar dari Madura.
Pada saat massa dan para ulama beristighosah, perwakilan Pemkab bersama Polisi terus menekan Ust. Iklil dan Ummi Kultsum (istri Ust. Tajul Muluk) untuk menandatangani kesediaan direlokasi mewakili pengungsi.

11.00 – 11.15 WIB

Meskipun banyak personel Polisi yang berjaga di depan pintu masuk GOR, akan tetapi mereka membiarkan sejumlah orang dari peserta Istighosah merangsek masuk ke GOR. Tujuh ulama yang merupakan representasi Basra dan MUI bahkan dibiarkan masuk ke dalam GOR.
Perwakilan Pemkab, Kapolres Sampang, Kapolda Jatim, bersama dengan ulama terus menekan Ust. Iklil dan Ummi Kultsum agar menandatangani surat kesediaan direlokasi. Para ulama bahkan setengah membentak dan mengintimidasi kedua perwakilan pengungsi tersebut. Ust Iklil tampak syok dan tidak bisa berbicara, sementara Ummi Kultsum hanya menangis.

11.30 – 12.30 WIB
Sebagian besar massa malah meninggalkan lokasi GOR, akan tetapi pemerintah, Polisi, dan tujuh ulama tidak berhenti mengintimidasi dan menekan Ust. Iklil dan Ummi Kultsum untuk meneken pernyataan menerima direlokasi. Meski keduanya perwakilan pengungsi sudah tampak shock dan tidak bisa berbicara, tekanan para ulama dan perwakilan Pemkab tidak
berhenti.
Sampai akhirnya situasi makin memanas, Ust. Iklil sampai ditarik-tarik tangannya oleh Kyai Ali Karrar. Dalam situasi yang makin keruh, Ust. Iklil sampai pingsan. Menurut keterangan Muhammad Zaini (salah satu pengungsi), ada oknum Satpol PP Sampang yang memukul kepala Ust. Iklil sampai pingsan.
Ust. Iklil akhirnya dibawa oleh personel Satpol PP dan dibawa ke mobil ambulans. Dalam situasi yang makin keruh itu, tekanan tidak mereda. perwakilan Pemkab, ulama, dan Polisi bahkan dengan keras menyampaikan bahwa pengungsi tetap harus direlokasi meskipun mereka tidak mau tanda tangan.

12.30 – 14.00 WIB
Perwakilan Pemkab dan Polisi akhirnya memaksa pengungsi untuk segera berkemas. Bus dan truk pengangkut sudah disiapkan oleh Polisi. Ust. Iklil sudah dibawa terlebih dahulu dengan mobil ambulans menuju di rumah susun Pasar Puspa Agro, Sidoarjo. Di lokasi inilah Pemkab Sampang dan Pemprov Jatim sudah berbulan-bulan yang lalu merencanakan sebagai tempat relokasi pengungsi Syiah.
Tepat 14.30 WIB semua pengungsi akhirnya diangkut dengan dua bus dan tiga truk polisi, dan dikawal dengan tiga mobil patroli menuju Pasar Puspa Agro, Sidoarjo. Tidak kurang dari 168 pengungsi diusir paksa dari GOR, benteng pertahanan terakhir sesudah kampung dan rumah mereka dibakar massa anti-Syiah pada 26 Agustus 2012 yang lalu.

18.35 WIB

Rombongan pengungsi tiba di Pasar Puspa Agro. Di tempat ini, masalah semakin menumpuk. Berdasarkan laporan relawan CMARs, di rumah susun Puspa Agro masih ada penghuni lama yang tidak mau pindah. Alasannya mereka mendapat informasi akan dipindahkan ke Gedung B baru sore harinya. Diperkirakan butuh 71-75 kamar untuk para pengungsi.
Biaya setiap kamar berkisar antara Rp220 ribu-Rp300 ribu. Sampai saat ini belum ada kepastian dari pemerintah soal siapa yang akan menanggung biasa sewa rumah susun yang ditempati pengungsi.

Untuk video pengusiran sila kunjungi:

Klik di sini Video 1 dan Video 2 

Sumber: Sindo News

Indonesia Still Struggling With Violence, Religious Intolerance

Daniella White & Eileen McInnes | February 03, 2013 

 Jakarta Globe | The year 2012 was a turbulent time for minority rights in Indonesia. Incidents of violence, sometimes resulting in death, were frequent and countless communities are still being denied the opportunity to practice their religion, despite laws guaranteeing their inherent rights. 

An annual report by Human Rights Watch released this week suggested that very little effort was being made to protect religious minorities’ rights in Indonesia. The watchdog organization says that radical decentralization as well as discriminatory and ineffective legal infrastructure are major obstacles to achieving equality. 

The report focused on Indonesia’s religious violence, discriminatory local bylaws and the imprisonment of Papuan and Moluccan activists as inhibiting Indonesia’s path to becoming a “rights-respecting democracy.” 

The group will issue a separate report on religious freedom in Indonesia at the end of the month. 

Joseph Saunders, the New York-based deputy program director at HRW, said on Thursday that President Susilo Bambang Yudhoyono’s lack of leadership on the issue was damaging. 

He said that Yudhoyono, not considering the issue a “political winner,” avoids confronting it in any meaningful manner. 

“This isn’t something that is going away quickly,” Saunders said. “This is something that has grown over time. It’s something [that has] roots a generation or two ago, and the manifestation is now. 

“And the question is, do you want it to be better in 10 years, 20 years, or do you want it to be worse? Our fear is that it’s being allowed to fester, and it’s growing worse. It could get a lot worse.” 

Figures from the Setara Institute, an Indonesian human rights watchdog, show that cases of religious intolerance have been steadily increasing over the past five years. 

The group recorded 264 incidents of intolerance last year, almost double from 135 cases in 2007. 

Setara is not optimistic for the coming year, especially taking into account the upcoming elections, according to its Report on Freedom of Religion and Belief in 2012, released in December. 

Yudhoyono has not been silent on the issue. In January, in a lecture organized by the Indonesian National Youth Committee (KNPI), he urged the country to respect minority beliefs and cultures. 

“The views and aspirations of the majority indeed have to be accepted, but we should not ignore the voice of minorities, of the different groups in this country,” the president said. “Every community should build a culture of resolving conflicts in a peaceful manner that avoids the use of force.” 

Saunders says that Yudhoyono’s words on the issue are mostly “empty rhetoric.” The president “needs to take decisive action against acts of violence,” he said. 

“That hasn’t happened at all … often it is the victim that ends up behind bars … it’s disturbing.” 

According to HRW, one of the primary barriers to minority rights and freedom of religion is “radical decentralization,” the shift of power away from a central government in favor of local administrations, since the fall of authoritarian leader Suharto. 

The power of the Supreme Court is often limited or unable to be enforced in local disputes. 

A 2012 report by the International Crisis Group, a nongovernmental organization that advises governments and intergovernmental bodies on conflict resolution, found that local institutions are allowing conflicts to simmer after being empowered by decentralization. They ignore the country’s highest courts with “impunity.” 

“If the regions become overconfident in their new powers and the central state continues to respond weakly, this lack of commitment to rule of law could encourage more conflict as the national political temperature rises ahead of the 2014 presidential election,” the report said. 

That sentiment is echoed by HRW. 

“Local officials refuse to implement laws,” Saunders said. 

He said that there needed to be a provision in the contempt of court act that “expressly gives ability to dismiss someone who doesn’t implement a ruling.” 

However, the existing constitution can at times be considered discriminatory in itself, recognizing only six official faiths. 

“If you don’t fit into the category you are much more vulnerable,” Saunders said. 

Yudhoyono’s most recent attempts to quell various conflicts have been his Presidential Instructions on security. As a result, governors, mayors and district heads will have greater powers in dealing with communal conflicts. He said they were intended to increase the ability of administrations to “swiftly” solve conflicts. 

“There should be no more delays in addressing [conflicts] and no one is allowed to stop something preventable from being prevented. Something that could be solved should also not be left unsolved. Don’t keep a time bomb,” he said on Monday in a meeting with government officials in Jakarta. 

However, the move has been criticized by some rights groups. 

Rights lawyer Asfinawati Ajub said the newest security measures from the president will only result in further weakening of the rights of minorities, as local governments gain more power to take decisive action in conflicts. Local governments, she explained, are usually representative of the majority. 

“The local governments should not arrange security. It should be the Indonesian government that has the power, not the local government,” she said. 

In two well-known cases, the Filadelfia Batak Christian Protestant Church (HKBP Filadelfia) in Bekasi and the Yasmin Indonesian Christian Church (GKI Yasmin) in Bogor have been closed since 2007 and 2006 respectively, denied permits to operate by local authorities. 

Even after a ruling in its favor was handed down by the Supreme Court, GKI Yasmin has still not been granted permission by the Bogor administration to reopen. 

Every two weeks, the churches come together and hold a service outside the State Palace in Central Jakarta to remind Yudhoyono of their constitutional right to worship, and his obligation to uphold it. 

In some Christian-majority areas, similar problems exist for Muslim citizens. In Kupang, the predominantly Christian capital of East Nusa Tenggara, construction of a mosque was halted in 2011 as a result of public protests.

Source: Jakarta Globe

Kronik Sampang Berdarah di Bulan Syawal | Syiah

Kelompok Kerja Advokasi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan (Pokja AKBB) Jawa Timur

Berikut ini merupakan informasi detail dan mendalam yang diperoleh melalui proses investigasi.

Investigator CMARs berhasil merekam secara detail keseluruhan kronologi Syawal Berdasar di Dusun Nangkrenang, Karang Gayam, Omben Sampang. Invetigasi dilakukan pada tanggal 26-27 Agustus 2012.

Pelbagai temuan di lapangan memperlihatkan bahwa proses penyerangan terjadi secara sistematis dan serentak di dua titik: Desa Karang Gayam dan Bluuran. Pernyataan pemerintah bahwa intelijen Polisi dan TNI gagal, sungguh mengaburkan fakta sebenarnya. Menurut informasi yang berhasil dihimpun menegaskan bahwa pihak kepolisian sudah mengetahui akan terjadi penyerangan, bahkan mengingat sebagian jamaah Syiah untuk berhati-hati. Sekali lagi, pihak kepolisian telah dengan sengaja membiarkan proses penyerangan terjadi yang mengakibatkan korban jiwa dan kerugian material yang tidak terhitung.

Kepolisian juga hanya diam menyaksikan proses serangan terjadi dan pembakaran rumah jamaah Syiah. Berikut adalah kronologi lengkap peristiwa Syawal Berdarah.

Kronologi Penyerangan
1. Pada hari Minggu, 26 Agustus 2012, pukul 08.00 WIB, jamaah Syiah Desa Karang Gayam, Kecamatan Omben, Kabupaten Sampang, sedang berkumpul di rumah Ust. Tajul Muluk. Mereka melakukan persiapan untuk mengantar sejumlah 20 anak menuju Pasuruan. Ke-20 anak tersebut berencana kembali menuntut ilmu di Yayasan Pesantren Islam (YAPI), Bangil, Pasuruan. Jamaah Syiah tersebut menyewa sebuah minibus untuk mengantar anak mereka.

2. Pukul 10.00 WIB, rombongan anak jamaah Syiah berangkat menuju Bangil, Pasuruan. Dalam minibus juga terdapat Hani (adik Ust. Tajul Muluk) dan Ummu Kulsum (Ibu Ust. Tajul Muluk). Belum sampai keluar gerbang desa Karang Gayam, minibus dihadang oleh sekitar 500 orang. Massa penghadang memaksa rombongan untuk mengurungkan niat mereka berangkat ke Pasuruan. Saat itu, terjadi perang mulut antara massa penghadang dengan jamaah Syiah Sampang. Sejumlah massa kemudian melempari minibus dengan batu. Selain itu, massa juga membakar ban minibus tersebut. Jamaah Syiah yang berada di dalam minibus kemudian berlarian pulang ke rumah untuk menyelamatkan diri.

3. Pukul 10.30 WIB, sebelum pembakaran terjadi, massa anti-Syiah tersebut mengurung rumah Ust. Tajul Muluk, tempat para jamaah Syiah bersembunyi. Massa masih belum melakukan pelemparan pada saat itu. Mereka hanya berhadap-hadapan dengan sorot mata saling mengintai. Seorang jamaah Syiah bernama Muhammad Hasyim alias Hamamah keluar menghampiri massa anti-Syiah untuk mengajak berunding. Sementara jamaah Syiah lainnya berjaga dalam kepungan massa anti-syiah tersebut. Hamamah mengajak berunding 3 orang perwakilan massa anti-Syiah. Namun, mereka justru mengeroyok Hamamah seketika itu juga. Hamamah terkena sabetan celurit di perutnya hingga terjatuh ke tanah. Setelah itu, 3 orang lainnya (massa anti-syiah) ikut menyerang Hamamah.

Melihat Hamamah dikeroyok oleh 6 orang massa anti-syiah, seorang jamaah Syiah bernama Muhammad Thohir ikut membantu menyelamatkannya. Namun sialnya, pertarungan yang tidak seimbang itu menyebabkan Muhammad Thohir juga terkena sabetan celurit di bagian punggung. Ia menderita luka sobek sepanjang 20 cm di bagian punggung hingga tulang punggungnya terlihat. Hamamah akhirnya meninggal dunia akibat luka celurit di perutnya dan di lehernya yang sampai mau putus, sedangkan Muhammad Thohir kondisinya kritis.

4. Pukul 10.45 WIB, melihat pertarungan tersebut, 500 massa anti-Syiah langsung merangsek maju dan melempari rumah Ust. Tajul Muluk dengan batu. Bahkan, beberapa saksi menyatakan bahwa massa anti-Syiah juga melempar bondet (sejenis petasan yang berisi paku, beling dan benda tajam lainnya). Syukurlah, bondet tersebut meledak sedikit jauh dari jamaah Syiah yang sedang berkumpul. Selain melempari batu, massa juga memukul beberapa jamaah Syiah dengan kayu. Banyak perempuan dan anak-anak yang terluka akibat lemparan batu dari massa anti-Syiah. Bahkan, kepala Ummu Kulsum (ibu Ust. Tajul Muluk) bocor akibat terkena lemparan batu. Ia juga dipukuli oleh sejumlah massa, meski telah berusaha dilindungi oleh Hani (adik Ust. Tajul Muluk). Ummu Kulsum sendiri akhirnya pingsan dan harus diselamatkan menuju SDN 4 Karang Gayam.

Sebagian jamaah Syiah Sampang memang menyelamatkan diri di gedung SDN 4 Karang Gayam. Tetapi, beberapa jamaah Syiah yang panik akhirnya melarikan diri menuju gunung dan rumah saudaranya. Sejumlah anggota kepolisian, Brimob, dan Koramil yang ada di lokasi hanya diam dan duduk-duduk melihat penyerangan tersebut. Bahkan seorang jamaah Syiah mengaku melihat salah satu anggota Kepolisian yang berkata, “sudah, bakar habis semuanya! biar nggak ada masalah lagi!”.

5. Pukul 11.00-17.00 WIB, massa anti-Syiah mulai membakar rumah. Perlu diketahui, bahwa serangan tersebut tidak hanya terjadi di Desa Karang Gayam. Aksi penyerangan dan pembakaran juga dilakukan di tempat lain, yaitu Desa Bluuran. Berdasarkan keterangan para saksi, penyerangan di dua desa tersebut dilakukan dalam waktu yang hampir bersamaan. Artinya, massa anti-syiah memang sengaja membagi dirinya menjadi dua kelompok. Sebanyak 500 orang berkonsentrasi menyerang jamaah Syiah di Desa Karang Gayam, sebagian lainnya di Desa Bluuran. Kemudian, massa anti-Syiah mulai membakar rumah jamaah Syiah satu per-satu. Bahkan beberapa ekor sapi, sejumlah motor, dan kendaraan milik jamaah Syiah juga ikut terbakar bersama rumah mereka. Sejumlah manula yang berada di dalam rumah dilempar begitu saja oleh massa anti-Syiah sebelum membakar bangunan rumah mereka.

Jumlah rumah yang habis dibakar memang masih simpang siur. Pihak kepolisian mengatakan bahwa 32 rumah dibakar. Sedangkan berdasarkan hasil wawancara tim investigasi dengan korban, lebih dari 50 rumah jamaah Syiah habis dibakar. Rumah Ust. Iklil Al-Milal (adik Ust. Tajul Muluk) di Desa Bluuran juga termasuk yang dibakar massa anti-Syiah. Setelah aksi pembakaran tersebut berhenti, hanya tersisa 5 rumah jamaah Syiah yang tidak dibakar oleh massa.

6. Pukul 17.30 WIB, sebagian jamaah Syiah yang menyelamatkan diri di gedung SDN 4 Karang Gayam akhirnya dievakuasi menuju Polres Sampang dengan menggunakan truk kepolisian. Jenazah Hamamah juga ikut dibawa dengan menggunakan mobil Ambulance menuju RSUD Sampang, Jl. Rajawali No.10, Kota Sampang. Muhammad Thohir yang sedang dalam keadaan kritis juga dibawa menggunakan mobil kepolisian menuju RSUD bersama korban luka lainnya.

Berdasarkan pantauan tim investigasi, jumlah korban di RSUD Sampang adalah sebagai berikut:
a. Sejumlah 1 orang meninggal dunia. 1 orang yang meninggal dunia dari jamaah Syiah Sampang (Muhammad Hasyim alias Hamamah),
b. Sejumlah 1 orang dalam keadaan kritis (Muhammad Muhammad Thohir).
c. Sejumlah 4 orang mengalami luka berat, sehingga harus menjalani rawat inap
d. Sejumlah 3 orang mengalami luka ringan, dan sudah bisa dievakuasi menuju tempat pengungsian.

7. Pukul 18.30 WIB, jamaah Syiah yang berada di Markas Polres Sampang akhirnya dibawa menuju GOR Sampang, tempat pengungsian sementara. Jumlah jamaah yang diungsikan ke GOR Sampang pada malam itu adalah sebagai berikut:
a. Jumlah Total Pengungsi = 105 orang
b. Jumlah Laki-Laki = 51 orang
c. Jumlah Perempuan = 54 orang
d. Jumlah Anak = 36 orang
e. Jumlah Balita = 9 orang
f. Jumlah Manula = 3 orang
g. Jumlah Orang Dewasa = 57 orang

Para pengungsi tersebut harus menahan makan semalaman, karena bantuan makanan baru datang keesokan hari. Bantuan berupa air bersih juga baru diberikan keesokan harinya. Malam itu, mereka tidur tanpa menggunakan selimut. Padahal angin cukup kencang dan dingin. Beberapa balita bahkan menangis karena kedinginan. Semalaman, pengungsi diisolasi di dalam GOR Sampang. Masyarakat luar, termasuk pekerja sosial tidak diperbolehkan memasuki tempat pengungsian.

8. Pada hari Senin, 27 Agustus 2012, pukul 01.30 WIB sebanyak 70 orang pengungsi jamaah Syiah Sampang dievakuasi menuju GOR Sampang dengan menggunakan truk Kepolisian. Terdapat 1 orang laki-laki yang mengalami luka bocor di kepala, dan 1 orang perempuan mengalami luka sobek di mulut dan wajahnya. Sebanyak 3 balita muntah-muntah dan mengalami luka lecet di lututnya. Beberapa orang lainnya mengalami luka di sejukur kakinya. Semua korban luka tersebut tidak mendapatkan perawatan yang layak dari petugas kesehatan. Mereka hanya diberi obat seadanya, hanya 2 orang saja yang dirujuk ke rumah sakit.

9. Pada hari Senin, 27 Agustus 2012, pukul 16.50 WIB rombongan pejabat berkunjung ke tempat pengungsian. Dari beberapa rombangan tersebut adalah: Mentri Agama Republik Indonesia, Mentri Dalam Negeri RI, Kapoda Jawa Timur, dan ketua Bangkesbagpol. Dalam kunjugan tersebut, Surya Dharma Ali (Mentri Agama) untuk mempermudah komunkasi dengan korban didampingi oleh Rudi Setiadi (Ketua Bangkesbangpol). Surya Dharma Ali bertanya kepada beberapa korban dan hanya berkata sangat menyesal dengan kejadian ini.

Selain itu Surya Dharma Ali juga bertanya kepada Ummu Kultsum (Ibu Ust. Tajul Muluk), ”Apakah yang diinginkan oleh Ibu?” Ummu Kultsum menjawab dengan mengunakan bahasa daerah (Bahasa Madura), yang kemudian diterjemahkan berbeda oleh Rudi Setiyadi (ketua Bangkesbangpol). Dalam pernyataan tersebut Rudi menegaskan bahwa, anak-anak ingin hidup nyaman dan korban inilah yang akan diambil oleh YAPI. Selain itu, Rudi menganggap bahwa jamaah Syiah menginginkan untuk transmigrasi.

Dalam waktu dan suasana yang sama, Kapolda Jawa Timur juga bertanya kepada korban tentang kronologi kejadian dan keinginan korban. Korban berkata bahwa polisi waktu di lapangan melihat kejadian tersebut hanya diam saja. Tanggapan dari Kapolda, kejadian itu sangat cepat dan kalah banyak personil polisi dibanding massa penyerang. Selain itu, korban disuruh tenang saja, karena orang yang menghadang perjalanan rombongan jamaah Syiah sudah meninggalkan lokasi. Kunjungan para pejabat terhadap korban kurang dari satu jam. Dalam kunjungan tersebut, mereka tidak memeriksa terhadap sarana dan prasarana yang ada di tempat pengungsian.

10. Hingga pukul 19.30 WIB, jumlah Pengungsi mencapai 220 orang. Kondisi di pengungsian juga tidak layak. Selama di pengungsian Jamaah Syiah melaksanakan ibadah, seperti sholat hanya di tempat seadanya dengan beralaskan ala kadarnya.

Kronologis Korban Di RSUD Sampang
11. Mohammad Thohir dievakuasi ke RSUD Sampang pada pukul 14.00 WIB. Selama di RSUD korban tidak mendapatkan perawatan yang layak. Hingga pukul 22.30 WIB korban tidak bisa kencing. Pihak Rumah Sakit menyatakan bahwa tidak ada air panas dan Dr. Mulyono tidak berada di tempat. Pada pukul 04.25 WIB korban (Mohammad Thohir) mengerang kesakitan dan sudah tidak kuat menahan rasa sakit. Di kamar korban tidak ada perawat yang ikut merawat korban. Korban hanya dirawat oleh anak dan istrinya. Hingga pukul 06.00 WIB, tidak ada tindakan yang sangat serius dari pihak Rumah Sakit. Maksudnya, dalam situasi yang sangat kritis, oleh RSUD korban tidak dirujuk ke rumah sakit lain atau kepastian korban akan dioperasi.

12. Mohammad Hasyim alias Hamamah adalah korban dari jamaah Syiah yang meninggal. Setelah diotopsi selama kurang lebih 2 jam tidak mendapatkan perawatan terhadap jenazah. Artinya setelah diotopsi jenazah langsung dimasukkan ke ruang janazah. Di Ruang Jenazah, mayat jenazah langsung dikasih es tanpa dibersihkan luka dan penyumbatan terhadap darah yang keluar dari luka. Darah berceceran ke sana ke mari, ke lantai-lantai. Selain itu, keluarga kebingungan untuk memakamkan jenazah. Karena, ada penolakan dari pihak penyerang yang menolak jenazah dimakamkan di Karang Gayam. Sampai pukul 07.00 WIB pada tanggal 27 Agustus 2012 jenazah belum dimandikan dan dikafani. Pada pukul 15.00 WIB tanggal 27 Agustus 2012 jenazah baru bisa dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum Sampang.

13. Rumah sakit yang menjadi tempat evakuasi korban dari jamaah Syiah tidak mendapat pengawalan yang serius. Di RS tersebut hanya ada 2 polisi dari Polres Sampang yang berjaga di pintu masuk. Selain itu hanya ada 2 Polisi yang berjaga di pintu gerbang RS.

14. Sampai akhir dari invetigasi pada tanggal 28 Agustus 2012 tidak ada pernyataan yang jelas dari pihak negara mengenai korban yang masuk ke Rumah Sakit.

Berdasarkan hal-hal di atas, kami dari Kelompok Kerja Aliansi Kebebasan Beragama Berkeyakinan (POKJA AKBB) Jatim menyatakan hal-hal sebagai berikut:

1. Menuntut Kapolri untuk melakukan evaluasi internal atas kegagalan Polres Sampang dalam menjamin rasa aman bagi jamaah Syiah, bahkan bila perlu memecat Kapolres Sampang karena kegagalannya dalam menciptakan rasa aman bagi masyarakat.

2. Menuntut Polisi segera bertindak untuk menghentikan penyerang dan menyelamatkan para korban. Perlu dicatat sebagian jamaah Syiah sampai saat ini keberadaanya belum diketahui.

3. Meminta aparat penegak hukum segera menjalankan proses peradilan terhadap para penyerang, pembakar, dan pembunuh demi terpenuhinya keadilan bagi korban dan masyarakat luas tanpa memperdulikan tekanan massa.

4. Meminta negara melakukan upaya pemulihan kepada para korban baik fisik, psikologis, keadilan dan ketidakberulangnya kejadian kekerasan.

5. Mendesak pelbagai institusi hukum untuk meninjau ulang posisi Ust. Tajul Muluk sebagai korban yang telah dikriminalisasi dan ditahan oleh PN Sampang. Terbukti secara meyakinkan bahwa Ust. Tajul Muluk bukanlah penyebab atas semua kekerasan yang terjadi di Sampang.

Surabaya, 28 Agustus 2012

Hormat Kami,

Pokja AKBB
Akhol Firdaus

Pokja AKBB Jatim
1. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya
2. Center for Marginalized Communities Studies (CMARs) Surabaya
3. GKI Sinode Jatim
4. Pusham Unair
5. JIAD Jatim
6. Gus Durian Jatim
7. KPI Jatim
8. Yayasan Maryam
9. Sapulidi Surabaya
10. PMII Jawa Timur
11. KSGK
12. KPPD Surabaya

Sumber: Saidiman WordPress

Reportase Kasus Syiah Sampang | oleh: Rusdi Mathari

oleh Rusdi Mathari

Mendatangi lokasi rumah-rumah orang-orang Syiah di Karang Gayam dan Bluuran, Sampang, Jawa Timur yang dibakar massa pada Kamis 29 Desember 2011, ternyata bukan pekerjaan mudah. Bukan saja letak lokasi kejadian yang cukup jauh dari pusat kota Sampang, melainkan yang terutama, sudah berkembang kecurigaan di masyarakat setempat kepada setiap pendatang.

Rumah-rumah itu terletak di dua desa dan kecamatan berbeda. Rumah Tajul Muluk di Dusun Nangkernang, Karang Gayam, Kecamatan Omben; dan rumah Iklil Al Milal di Bluuran, Kecamatan Karang Penang. Iklil dan Tajul adalah kakak-beradik dan dikenal sebagai ustad Syiah. Sejak kasus pembakaran rumah-rumah dan pengusiran orang-orang Syiah dari Omben, Januari silam; Tajul lalu dipersalahkan. Dia ditahan, diadili lalu divonis penjara dua tahun oleh majelis hakim PN Sampang, Juli silam karena dianggap mengajarkan aliran sesat.

Dari jalan raya Trunojoyo [arah Sampang-Ketapang], dua desa itu terletak di sebelah timur. Jaraknya sekitar 20-an kilometer ke arah utara kota Sampang. Kendaraan roda empat harus berhenti di tepi jalan raya Sampang-Ketapang itu karena jalan kecil menuju dua desa bisa dilalui hanya oleh kendaraan roda dua atau berjalan kaki. Ada sebatang sungai yang melintas di jalan kecil itu, dan rumah Tajul Muluk dan Iklil berada di sisi timur sungai.

Polisi dan beberapa tentara dari Koramil/Kodim Sampang terlihat berjaga, mulai dari jalan kecil itu hingga lokasi rumah Tajul dan Iklil. Beberapa penduduk yang ditemui di sekitar lokasi memandang curiga kepada setiap pendatang. Apalagi pendatang dengan penampilan yang berbeda dari warga sekitar. Mereka kuatir yang masuk ke desa mereka adalah penyusup; intel yang sedang mencari tahu pelaku pembakaran; atau orang-orang Syiah yang sedang mengumpulkan informasi. “Sampean Syiah ya Mas? Kok pintar ngomong? Sampean bisa lihat sendiri di sini aman. Saya heran kenapa orang-orang Jakarta meributkan kasus ini,” kata Hali.

Dia anak muda, berbadan gempal. Munif, bapaknya adalah tokoh masyarakat yang disegani di Karang Gayam dan masih kerabat jauh [paman] dari Tajul dan Iklil. Dari Hali pula diperoleh informasi, warga di Karang Gayam banyak yang tidak suka dengan Syiah yang diajarkan Tajul. “Mereka mengagung-agungkan Sayidinah Ali tapi memaki-maki tiga sahabat Nabi yang lain. Siti Aisyah disebut pelacur. Itu disiarkan lewat pengeras suara,” kata dia.

Hali akan tetapi mengaku, tidak mendengar langsung soal itu melainkan hanya dari yang dia dengar dari orang lain. “Kakak ipar saya tetangga Iklil, dia tahu persis dan bisa bercerita,” katanya.

Kakak ipar Hali bernama Dailami. Wajahnya terlihat tua dari usia yang diakuinya, 35 tahun. Dia antara lain bercerita, ajaran Syiah yang dibawa Tajul dan Iklil membolehkan berhubungan badan meskipun istri sedang datang bulan, dan melakukan salat hanya tiga waktu. “Tapi saya juga hanya mendengar dari orang,” katanya.

Dailami menyarankan untuk menghubungi Ahmadussowi alias Sowi di Bluuran. Dia anak muda, usianya baru 28 tahun lewat 3 bulan. Rumahnya di Bluuran berada persis di sebelah timur-utara rumah Iklil. Berjarak kurang-lebih 200-an meter. Orang tua Sowi [bapak] dan orang tua Iklil dan Tajul masih sepupu.

Sama seperti Hali dan Dailami, Sowi pun bercerita tentang ajaran Syiah yang dianggapnya menyimpang dari ajaran Islam. Kata dia, Syiah mengharamkan tarawih dan tadarus Alquran. Ketika ditanya apakah dia mendengar langsung ajaran seperti itu disampaikan oleh Tajul atau Iklil, dia menjawab mendengar langsung dari Muhammad Nur. “Dia pengikut Syiah, tapi sekarang jadi anak buah Rois,” kata Sowi.

Nur yang dimaksud Sowi, bertemu dengan saya di kantor Radar Madura, Jalan Diponegoro, Sampang. Dia datang menemani Roisul Hukamah alias Rois, yang datang menemui saya untuk wawancara. Rois adalah adik Iklil dan Tajul, dan disebut-sebut paling menentang ajaran Syiah yang diajarkan kakak-kakaknya. Dia mengenalkan Nur sebagai eks ustad Syiah yang sudah kembali ke Sunni.

Dari mulut Nur inilah, meluncur banyak cerita menyangkut tata cara ritual ajaran Syiah. Orangnya cenderung demonstratif dan pintar berbicara. Dia mengaku ikut Syiah sejak 2006 dan baru keluar empat tahun silam [2008] karena katanya, ajaran Syiah tidak sesuai dengan ajaran Islam. “Saya saksi hidup,” kata Nur.

Iklil yang dikonfirmasi soal pengakuan Nur itu, hanya tertawa. Dia membenarkan, Nur sebelumnya adalah pengikut Syiah. “Saya bilang ke dia, kalau mau ikut Syiah jangan karena Abah,” kata Iklil.

Abah yang dimaksud Iklil adalah KH Makmun, bapaknya. Dia kiai besar yang pernah hidup dan berpengaruh di Omben dan Karang Penang. Makmun punya 13 anak, tapi yang hidup hanya delapan, yaitu Iklil, Tajul, Rois, Ummu Kulsum, Hani, Fatimah, Achmad, dan Bujur. Delapan bersaudara itu kini pecah karena soal paham Sunni-Syiah. Tajul, Iklil dan Hani satu kelompok [Syiah], Rois dan Ummu Kulsum, kelompok lainnya [Sunni]. Achmad, Bujur dan Fatimah tidak jelas ikut yang mana. Dari pengakuan Rois, Achmad kini stres karena perseteruan keluarga itu.

Iklil bercerita, Nur keluar dari kelompok Syiah bukan karena soal benar-salahnya ajaran Syiah seperti yang selalu dia ceritakan ke mana-mana melainkan karena faktor ekonomi. Seingat Iklil, suatu hari Nur pernah mengutarakan maksud untuk memondokkan anaknya di pesantren tapi tidak punya biaya. Dia mengutarakan hal itu kepada Iklil. Lalu oleh Iklil, Nur diminta bersabar menunggu giliran karena iuran yang dikumpulkan dari jemaah terbatas. Sayangnya Nur tidak sabar dan malah memutuskan keluar dari kelompok Syiah. “Saya tahu siapa Nur,” kata Iklil.

Sunni-Syiah di Madura
Seorang kiai pengasuh pondok pesantren di Kajuk, Sampang menjelaskan, orang Madura yang NU adalah pengikut ahlus sunnah wal jamaah atau Sunni. “Madura itu ya NU. Orang Madura itu toleran. Kalau ada keyakinan di luar itu, silakan. Yang penting tidak menimbulkan keresahan di masyarakat,” katanya.

Dia lalu bercerita tentang pengikut Syiah di Tanjung Bumi, Bangkalan [sebelah barat Sampang] yang dianut oleh keluarga kiai terpandang. Mereka tetap bisa menjalankan ibadah sesuai keyakinan mereka dan tidak ada masalah dengan warga sekitar. Awalnya, kiai itu menyekolahkan anak-anaknya ke Timur Tengah. Ketika anak-anaknya itu pulang ke Tanjung Bumi, mereka mengajarkan Syiah lewat pesantren milik orang tuanya. Para santri dan warga sekitar yang tahu, anak-anak kiai itu mengajarkan Syiah yang dianggap berbeda dengan ajaran Sunni, menarik anak-anak mereka dan meninggalkan pesantren itu.

“Tidak ada kejadian apa-apa tapi para santri dan masyarakat yang tidak setuju dengan ajaran Syiah, satu per satu keluar dari pesantren, dan menjauh. Ini bukti, masyarakat Madura tidak ada persoalan dengan perbedaan. Kalau memang mau mempersoalkan Syiah, mestinya Syiah di Tanjung Bumi, Bangkalan itu sudah lebih dulu ‘meletus’ karena lebih dulu muncul sebelum Syiah di Omben,” kata dia.

Pengikut Syiah di Tanjung Bumi yang dimaksud adalah Keluarga Haidar Syarif dan Habib Ibrahim. Belum jelas benar, kapan mereka mulai mengajarkan Syiah di Tanjung Bumi. Sepekan setelah rumah-rumah orang-orang Syiah di Omben dibakar dan para pengikutnya diusir, pengikut Syiah di Bangkalan diundang Bupati Bangkalan, Fuad Amin Imron ke pendopo kabupaten. Mereka diajak bermusyawarah dengan para kiai di Bangkalan agar kejadian di Karang Gayam dan Bluuran tidak merembet ke Tanjung Bumi.

Dari cerita Iklil, Syiah mulai masuk ke Karang Gayam sekitar 1979 menyusul Revolusi Islam Iran. Orang tuanya [KH Makmun], waktu itu mendapat kiriman bacaan dan buletin tentang Syiah, juga poster-poster bergambar Khomeini. Sejak itu, orang tuanya menjadi pengikut Syiah. Keterangan Iklil dibenarkan Fanan Hasyib, Wakil Bupati Sampang yang juga seorang kiai.

Fanan menerangkan, Makmun [ayah Iklil, Tajul dan Rois] adalah penganut Syiah tapi keyakinan Makmun tidak diajarkan kepada orang lain. Fanan mengaku sudah sering mendengar sepak terjang Makmun termasuk dalam hal ibadah. Salah satunya tidak pernah salat Jumat. Alasan Makmun kata Fanan, seseorang yang akan menunaikan salat Jumat harus bersih dan wangi sehingga tidak ada alasan bagi orang yang kotor dan bau untuk menunaikan salat Jumat. “Celakanya, Kiai Makmun sejak Rabu sudah tidak mandi sehingga punya alasan untuk tidak salat Jumat,” katanya.

Dia menerangkan, ajaran Syiah yang dianut Makmun lantas ditularkan kepada anak-anaknya.

Lalu Iklil [yang tertua], Tajul dan Rois disekolahkan ke pesantren Yayasan Pesantren Islam atau YAPI di Bangil, Pasuruan, Jawa Timur, yang oleh warga Omben dikenal sebagai pesantren Syiah. Lulus dari YAPI, kakak-beradik itu disekolahkan ke Timur Tengah.  “Rois dan Tajul itu masih bersaudara, begitu juga ulama-ulama di Karang Gayam, semua masih berkerabat,” kata dia.

Dari catatan Pemda Sampang, Tajul bersekolah ke Arab Saudi dan menikah dengan Ummu Kulsum asal Malang Jawa Timur. Ketika kembali ke Karang Gayam pada 1999, Tajul dan keluarganya mulai berdakwa tentang Syiah dan mendirikan pesantren Misbahul Huda. Mulanya Rois juga ikut dan bergabung dengan Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia atau IJABI yang diketuai oleh Jalaluddin Rakhmat. Ada kabar, Rois bahkan sempat menjadi bendahara IJABI Sampang tapi Rois membantah hal ini. “Saya hanya menjadi penasihat,” kata Rois.

Iklil bercerita, justru Rois yang paling aktif dan mewakili mereka ke acara-acara yang diselenggarakan oleh IJABI termasuk ketika organisasi mengadakan kongres di Makassar. Rois mengaku keluar dari Syiah, karena menilai ajaran Syiah melenceng dari ajaran Islam. Dia menyebutkan sejumlah alasan. Antara lain soal pernyataan Tajul tentang Alquran yang dianggap sudah tidak otentik. Namun, “Saya tidak pernah mendengar langsung, juga tidak ada saksi,” kata Rois.

Dan menurut Tajul, Rois keluar dari kelompok Syiah karena merasa tidak mendapat posisi dan kesempatan. “Dia itu ditaruh di depan tidak mau, ditaruh di belakang menyeruduk,” kata Tajul.

Di Karang Gayam dan Bluuran, para pengikut Syiah disebut kompolan [kumpulan]. Di masyarakat Madura, sebutan ini diberikan kepada sekelompok orang yang rajin mengikuti acara pengajian. Suatu kegiatan yang sebetulnya jarang dilakukan oleh para santri di pesantren NU. Dengan sebutan itulah, para pengikut Syiah hidup di tengah-tengah masyarakat Omben dan Karang Penang yang mengagungkan kiai dan dikelilingi  ratusan pesantren.

Di Omben dan di kecamatan sekitarnya, warga setempat memang hidup dengan petuah kiai dan syariat Islam yang ketat. Sebagian besar dari mereka, hanya bisa berbahasa Madura dan Arab. Ada sebuah madrasah yang murid-muridnya bahkan tidak bisa menyanyikan lagu Indonesia Raya dan tidak tahu cara melaksanakan upacara bendera. “Sampang itu NU, dan Omben adalah pusarnya NU,” kata Hamid, tokoh pemuda dan eks petugas Pencatat Pemilih di Kecamatan Omben.

Cincin akik dan dua hukum
Di Omben dan sekitarnya, masjid dan pesantren memang seperti berbaris di sepanjang jalan Sampang-Ketapang. Itu belum termasuk yang ada di pelosok, di balik-balik perbukitan yang jauh dari jalan raya Sampang-Ketapang. Bila waktu salat tiba, sebelum azan akan terdengar suara orang mengaji yang diputar dari recorder dan disiarkan lewat pengeras suara, seolah sahut-menyahut antara masjid yang satu dengan masjid yang lain. Di masjid-masjid itu, orang-orang yang salat akan tetapi bisa dihitung dengan jari, hanya satu-dua orang.

Sunardi Hamid, Ketua Pusat Kajian HAM dan Lingkungan di Pamekasan menjelaskan, salah satu ciri orang Madura yang NU adalah suka mengenakan cincin akik, membaca qunnut bila subuh, suka tahlilan dan membawa jimat. “Kalau sudah seperti itu, sampean NU sejati, dan kalau ada yang mengatakan jimat itu syirik, itu bukan NU dan pasti dicap Muhammadiyah,” katanya.

Laki-laki yang juga menjadi ketua Himpunan Petani Garam Indonesia dan ketua Lembaga Pertanian NU Pamekasan itu bercerita, di Madura, saat ini banyak politik kepentingan yang dijalankan para kiai. Karena kepentingan itu, seseorang atau kelompok bisa dengan mudah dicap sesat atau alim.

Misalnya jika kepentingan seseorang atau kelompok tertentu berbenturan dengan kepentingan kiai, maka seseorang atau kelompok itu bisa dicap sesat, atau kiai itu akan mengeluarkan fatwa haram. Sebaliknya bila menguntungkan dan mendukung kepentingan kiai, seseorang atau kelompok bisa dicap alim, atau para kiai itu akan mengeluarkan fatwa halal.

“Di dunia ini, siapa yang kuat itu yang menang. Meski pun saya melihat kuning benar, tapi karena orang banyak bilang merah yang benar, saya bisa kalah,” katanya.

Kenyataan itu kata Sunardi berbeda dengan zaman ketika dia masih muda. Dulu para kiai masih menggunakan empat hukum: halal, haram, makruh, mubah, dan riba. Sekarang yang digunakan hanya dua hukum: halal dan haram, dan tidak ada yang membantah. Paham orang lain lalu dengan mudah dicap kafir, dan paham yang mereka anut dianggap paling benar.

Maka tidak usah heran, jika ada warga NU yang suka tahlilan, meski pun tidak pernah salat bisa dianggap sebagai orang alim. Sebaliknya kalau ada orang Muhammadiyah atau yang lain, yang rajin salat dan menjalankan semua ritual ibadah Islam tapi tidak suka tahlilan dan tidak suka jimat, mereka bisa dicap sesat atau kafir. “Semua karena kepentingan dan kebutuhan hidup,” kata Sunardi.

Celakanya, politik kepentingan dan hubungan kiai-umat seperti itu kemudian dipraktikkan oleh umat dengan serta-merta. Contohnya bila ada orang yang meninggal dunia.

Kebiasaan orang Madura bila ada tetangga yang ditimpa musibah kematian, akan membawa segantang beras atau sebungkus gula sebagai tanda ikut berduka. Lalu ketika pulang, pihak keluarga yang berduka akan menitipkan bingkisan berupa nasi dan sebagainya. Kalau ada pihak keluarga yang berduka lupa, atau tidak memberikan bingkisan kepada orang-orang yang ikut melawat, maka dengan mudah orang-orang akan memberi cap keluarga yang berduka itu sebagai pengikut Muhammadiyah, sesat atau kafir. “Saya pernah mencoba menjelaskan bahwa jangan mudah menuduh orang, tapi kiai dan ulama tidak mendukung, saya mau apa?” kata Sunardi.

Pak Ong, sopir yang mengantar saya berkeliling Sampang membenarkan cerita Sunardi. Dia mengaku, di hari ketiga pamannya meninggal, keluarga besarnya sudah menghabiskan tiga ekor sapi untuk selamatan. “Saya tidak tahu, bagaimana nanti kalau selamatan tujuh hari,” katanya.

Pak Ong bukan asli Sampang. Dia berasal dari Sumenep. Dia menetap di Kedungdung, Sampang [tetangga kecamatan Omben] karena istrinya berasal dari Kedungdung.

Dari Pak Ong pula keluar cerita tentang bagaimana perilaku kiai, pada saat bulan Maulid. Di Sampang, kata dia, acara memperingati hari ulang tahun Nabi Muhammad saw. diperingati bukan hanya di masjid atau musala melainkan di setiap rumah penduduk. Dalam satu hari, bahkan bisa ada 11 rumah yang mengadakan maulid meski waktunya tidak bersamaan.

Setiap istri dan setiap ibu, lalu sibuk memasak untuk menjamu undangan dan kiai, tapi makanan yang sudah dimasak oleh mereka pada akhirnya menjadi sia-sia karena tidak ada yang makan. “Bagaimana mau dimakan, dalam satu hari, setiap orang harus menghadiri acara maulid di banyak tempat,” katanya.

Musim Maulid itu biasanya juga menjadi musim panen bagi para kiai. Setiap rumah seolah berlomba-lomba mengundang para kiai, yang tentu saja harus diberi diberi uang saku. Dari uang saku yang diberikan oleh umat itu, para kiai minimal bisa membeli sepeda motor. Namun yang menyedihkan kata Pak Ong, umat yang tidak punya cukup uang untuk merayakan Maulid akan meminjam uang ke tetangga [atau bahkan ke kiai], tentu berikut bunganya meskipun dikemas dengan cara lain.

Tak usah heran jika kemudian, banyak warga yang kemudian terjebak utang hingga musim Maulid tahun berikutnya. “Itulah keadaannya di Sampang. Menyedihkan. Makanya ada orang yang sudah mulai berani bilang, lebih enak ikut Muhammadiyah atau Syiah, tidak repot-repot,” kata Pak Ong.

Muqtadir, aktivis muda NU Sampang punya cerita lain soal hubungan kiai dan umat. Dia adalah murid KH Izzad Raki, salah satu kiai di Sampang yang dianggap netral melihat kasus Syiah di Omben dan Karang Gayam. Kata dia, di Sampang, banyak kiai yang tidak mau datang bila diundang oleh orang-orang miskin, termasuk pada saat acara kematian. Sebaliknya bila yang mengundang orang kaya, mereka akan datang dan memimpin doa.

Persoalan utamanya adalah uang saku atau bingkisan yang akan diterima oleh para kiai: orang kaya dianggap pasti memberi uang saku lebih banyak, sementara orang miskin akan memberi bingkisan sekadarnya. Tentu tdak semua kiai berperilaku seperti itu, tapi Muqtadir memastikan, hal semacam itu sudah menjadi gejala umum di Sampang dan daerah lain di Madura.

“Kalau ada undangan bersamaan, para kiai akan mengutamakan undangan dari si kaya ketimbang si miskin. Padahal hal itu dilarang oleh agama, karena yang harus diutamakan adalah undangan yang lebih dulu datang,” kata Muqtadir.

Sunardi Hamid mengungkapkan, besar-kecilnya uang saku untuk para kiai itu juga ditentukan oleh kendaraan yang digunakan para kiai. Uang saku untuk kiai yang datang hanya dengan menggunakan sepeda motor misalnya, akan berbeda dengan uang saku yang diterima para kiai yang menggunakan mobil. Kiai yang bermobil pun ada kelas-kelasnya. Kalau mobilnya jelek, uang sakunya akan lebih sedikit. Kiai yang datang dengan mobil yang lebih mahal atau mewah, uang sakunya akan semakin tebal. “Kiai sekarang beda mas dengan kiai-kiai dulu,” kata Sunardi.

Dia memberi contoh. Dulu, jika pemerintah membantu pondok pesantren untuk membangun kelas atau lokal madrasah, katakanlah dua kelas, maka kiai akan menjual sapi atau harta benda lainnya agar bantuan pemerintah bisa berwujud menjadi enam kelas. Sekarang, jika kiai dibantu membangun dua kelas, yang dibangun hanya satu kelas. “Sisanya masuk ke kantong kiai,” katanya.

“Dengan kejadian di Karang Gayam ini, Syiah jadi pusat perhatian. Kalau tidak ada kejadian, Syiah tidak akan naik. Para kiai itu sekarang tidak ada yang berani ngomong, tapi kalau ngomong proyek Rp 100 juta mereka mau. Mereka itu maunya kan menambah istri dan beli mobil baru,” kata Hamid.

Pilkada dan asal-usul konflik
Isu NU dan non-NU di Sampang memang menjadi isu sensitif dan bisa dijadikan alat kepentingan. Di kota itu, bahkan seorang bupati hari-harinya harus disibukkan oleh unjuk rasa dari para demonstran yang mengatasnamakan NU. Gara-garanya, perkataan Noer Tjahja. Bupati Sampang itu dituding telah melecehkan NU. Noer yang sewaktu musim Pilkada berpasangan dengan Fanan Hasyib, lalu dituding sebagai pengikut Muhammadiyah. Asal-usul keturunannya juga dipersoalkan. Dianggap bukan keturunan Panji, bangsawan dari Sampang.

“Kalau satu kali mungkin dia salah omong, dua kali dimaklumi. Kalau berkali-kali, pasti ada sesuatu. Muhammadiyah di Sampang ini tidak ada pengikutnya. Dulu masjid Muhammadiyah di sini dilempari batu,” kata Fanan sembari menganggap Noer sudah berkali-kali melecehkan NU.

Fanan dan Noer memang tidak akur. Beberapa pegawai di Pemda Sampang menuturkan, keduanya bahkan sudah tidak kompak setelah enam bulan mereka dilantik 26 Februari 2008. Fanan kini lebih banyak tinggal di rumah dinasnya, dan praktis bisa dikatakan tidak bekerja sebagai wakil bupati. Pada musim Pilkada 2013, Fanan berniat maju sebagai calon bupati, menantang Noer, dan KH Sholahurrobbani [sepupu Fanan] yang dikabarkan juga akan maju sebagai calon bupati.

Fanan menuturkan, dirinya mengikuti berita kasus pembakaran rumah-rumah pengikut Syiah di Karang Gayam dan Bluuran. Sebagai pemimpin di daerah, dia mengaku pembakaran itu bertentangan dengan HAM, tapi sebagai pengikut Sunni dia menentang keras ajaran Syiah berkembang di Sampang.

Dia bahkan setuju, kalau pengikut Syiah seluruhnya dipulangkan ke Iran. “Seperti kata Habib Tohir dari Pekalongan, sebaiknya orang-orang Syiah itu dikembalikan saja ke Iran. Selesai. Tidak usah diajarkan di [Sampang] sini,” kata Fanan.

Di tengah masyarakat dan kiai di Sampang yang mudah memberi cap kepada orang lain yang tidak sepaham sebagai kafir dan sesat itulah, muncul Tajul dengan Syiah. Habib Umar Albayyiti, dari Desa Temoran, Omben, menggambarkan Tajul sebagai orang yang alim, dan suka membantu. “Wajahnya ganteng. Pintar. Dia banyak tamunya, dan punya banyak santri. Kiai lain, sepi. Kiai-kiai di Karang Gayam itu sebetulnya masih kerabat semua dengan Tajul,” kata Umar.

Umar bercerita, apa yang menimpa Tajul dan pengikutnya sebetulnya bisa jadi dipicu oleh faktor cemburu dari para kiai setempat. Tajul dianggap merongrong pamor para kiai yang mulai kehilangan wibawa. Kejadian itu kata dia mirip dengan yang menimpanya pada awal 1999.

Saat itu tengah malam, ratusan orang mendatangi rumah Umar di Temoran. Massa yang membawa obor dan senjata tajam berteriak-teriak meminta Umar keluar dari rumahnya. Umar yang kebetulan berada di sebuah warung yang tak jauh dari rumahnya, segera mendatangi kerumunan massa itu. Dia menanyakan maksud kedatangan orang-orang itu, yang lalu dijawab dengan tuduhan: Umar menyembunyikan maling di rumahnya. Umar mempersilakan orang-orang yang marah itu masuk ke rumahnya untuk memeriksa tapi mereka tidak menemukan yang dicari.

Sampai sekarang Umar mengaku tidak tahu, mengapa orang-orang itu datang ke rumahnya dengan marah. Dia hanya bisa menduga, kedatangan orang-orang ke rumahnya malam itu bisa jadi karena dipicu oleh rasa cemburu dari para kiai di sekitar rumahnya. Pemicunya, rumah Umar sering dan banyak kedatangan tamu. Dari mana saja. Ada yang minta tolong, ada yang cuma silaturahmi dan macam-macam.

“Kejadian [pembakaran rumah-rumah dan pengusiran orang-orang Syiah] di Karang Gayam itu, saya kira juga demikian. Ada faktor kecemburuan dari salah satu pihak. Siapa yang iri? Dari cerita Husein kepada saya, Rois itu yang cemburu,” kata Umar.

Husein yang dimaksud Umar adalah salah satu orang kepercayaan Tajul yang menurut Umar sering datang berkunjung ke rumah Umar. Namun menurut Munif, terlalu jauh kalau dikatakan para ulama dan kiai di Omben tersinggung karena Tajul punya banyak pengikut.

Feri Ferdiansyah, Kepala Biro Radar Madura di Sampang menuturkan, Tajul memang beda dengan Rois adiknya. Bukan saja lebih pintar, tapi penampilan Tajul juga lebih tenang. “Nanti kalau bertemu dengan keduanya, sampean bisa lihat sendiri,” kata Feri.

Secara tidak langsung, Mas’udi Cholili Sekretaris PCNU Sampang juga mengakui perilaku dan kepintaran Tajul. Pernah dalam sebuah perdebatan dengan para ulama di Omben, Tajul bahkan hampir mematahkan semua argumen para kiai yang menyesatkan Syiah. Tajul kata Mas’udi menjawab semua pertanyaan kiai, tapi tidak bisa menjawab satu hal. Mas’udi mengaku lupa, satu hal yang tidak bisa dijawab Tajul.

Umar bercerita, suatu hari dirinya menerima undangan dari para kiai di Omben untuk melakukan musyawarah. Undangan itu berkali-kali disampaikan ke Umar tapi Umar tidak pernah memenuhinya karena musyawarah yang diadakan di rumah mendiang Haji Sa’bi [tokoh masyarakat Omben] dinilainya hanya bertujuan untuk mendesak Tajul agar kembali ke Sunni. “Kiai-kiai yang tidak mau ikut dianggap sama dengan Tajul, tapi saya tidak pernah datang. Saya tidak mau,” kata Umar.

Umar tidak ingat kapan pertemuan di rumah Sa’bi dilakukan tapi dari keterangan yang disampaikan Zainal Hambali, Sekretaris Intelijen Daerah Sampang; pertemuan di rumah Sa’bi, kali pertama terjadi pada 20 Februari 2006. Konon hadir para kiai se-Madura dan pejabat Muspika. Penggagasnya adalah KH Ali Kharrar Sinhaji, pengasuh PP Darul Tauhid di Propon, Sampang. Dia masih terbilang paman dari Iklil, Tajul dan Rois.

Belum jelas, mengapa para kiai itu berkumpul di rumah Sa’bi kecuali dengan satu alasan: ajaran Syiah yang dibawa Tajul dianggap telah meresahkan masyarakat. Juga tidak terang mengapa Ali Kharar menggagas pertemuan itu dan Sa’bi kemudian bersedia menjadi tuan rumah pertemuan. Iklil melarang saya menghubungi Ali Kharar.

Satu hal yang agak jelas, pertemuan di rumah Sa’bi itu adalah pertemuan pertama yang khusus menyoal Tajul dan Syiah di Omben dan Karang Penang. Hasil dari pertemuan itu adalah para kiai sepakat untuk meminta Tajul kembali ke Sunni dan melarangnya melakukan aktivitas dakwah [Syiah] untuk sementara waktu. Tajul diberi waktu seminggu untuk menjawab keputusan para kiai itu dan diharuskan datang ke rumah Sa’bi.

Tanggal 26 Februari 2006, Tajul tidak datang ke rumah Sa’bi seperti yang diminta para kiai. Dia mewakilkan dirinya kepada Busry dan KH. Wahab [pamannya]. Dua orang yang mewakili Tajul itu membawa pesan, Tajul bersedia kembali ke Sunni. Selesai.

Masalah muncul kembali pada musim Maulid 2007. Saat itu Tajul berniat mengundang beberapa ustad untuk berceramah di acara Maulid di rumahnya, tapi sebelum acara berlangsung, massa sudah lebih dulu mendatangi rumah Tajul dan meminta para penceramah tidak berceramah di desa mereka. Tajul tidak mengerti,  alasan warga menolak para penceramah Maulid yang didatangkan olehnya.

Di bulan puasa dua tahun kemudian, terjadi kasus ancam-mengancam antara pengikut Tajul dan Rois. Dari catatan Zainal, pemicunya adalah ancaman dari Mat Siri, salah seorang pengikut Tajul kepada Amin. Nama yang terakhir adalah seorang ustad yang berniat mengadakan pengajian Ramadan. Rumah Amin kebetulan berdekatan dengan Mat Siri. Kepada tetangganya itu, Mat Siri kabarnya menyampaikan ancaman, kalau pengajian di rumah Amin menyinggung-nyinggung soal ajaran Syiah, maka dia dan yang lain akan berunjuk rasa ke rumah Amin.

Kasus Mat Siri itu tidak ada kelanjutannya, tapi sebulan kemudian muncul perselisihan antara Zainul Jakfar [anak asuh Rois] dan Mudawi [anak asuh Tajul]. Konon, Mudawi mengacungkan celurit kepada Zainul. Kejadian itu disaksikan oleh para tetangga, sehingga hampir memicu bentrok antara pengikut Rois dan Tajul.

Lalu entah apa hubungannya, FPI Pamekasan dan Ikatan Santri Karang Gayam melaporkan Tajul ke Polwil Madura pada 16 Oktober 2009. Alasan laporan mereka, ajaran Syiah yang dibawa Tajul telah membuat resah masyarakat. Laporan FPI ke polisi itu disertai ancaman, jika polisi tidak memberikan keputusan soal Tajul dan ajarannya, maka mereka akan berunjuk rasa mendatangi kediaman Tajul. Karena laporan FPI itu, kapolres Sampang bersama pejabat lain di Sampang membuat lima keputusan, yang intinya melarang Tajul menyebarkan ajaran Syiah.

Kasus berikutnya muncul 21 Januari 2011 di Bluuran. Gara-garanya, seorang ibu bernama Mitsirah menolak pemberian Rustami, anaknya yang Syiah. Rustami tersinggung dan kabarnya mengucapkan kata-kata yang intinya memutuskan hubungan silaturahmi antara orang tua dengan anak. Saudara Rustami bernama Mistari, yang mendengar ucapan Rustami kepada ibunya, tidak terima. Dia mengancam membunuh Rustami. Para tetangga datang untuk melerai tapi kasus itu tidak berkelanjutan, hingga terjadi kasus pada Kamis 29 Desember 2011: rumah-rumah dibakar dan orang-orang Syiah diusir.

Sembilan perempuan
Rudy Setiadhi, Kepala Bakesbangpol Pemkab Sampang menjelaskan, kasus pembakaran di Karang Gayam dan Bluuran hanya puncak dari perseteruan panjang antara satu keluarga: Tajul dan Rois. Kali ini yang menjadi akar masalah adalah perempuan. “Bukan cuma satu perempuan, tapi masih ada sembilan perempuan. Halimah itu salah satunya. Dia itu masih anak-anak, masih SD. Rois itu suka kawin cerai, begitulah. Tajul itu tahu kebiasaan Rois, dan Rois tahu isi dapur Syiah,” kata Rudy.

Dia menjelaskan, pihaknya sudah berkali-kali berusaha mendamaikan keduanya, tapi perseteruan terus berlangsung. Beberapa hari setelah Lebaran tahun lalu, keduanya bahkan dipertemukan di ruang kerja Rudy. “Saya bilang ke mereka, ‘Ayolah rukun, tak usah berantam, kalian kan bersaudara’,” kata Rudy.

Rois mengaku tidak tahu persis, penyebab atau pemicu pembakaran rumah-rumah milik saudaranya, di Kamis yang nahas itu. Dia hanya mengatakan, penyebabnya banyak. “Saudara saya Tajul sering mengkhianati perjanjian musyawarah dengan pemerintah dan masyarakat,” katanya.

Terakhir, kata Rois perjanjian itu dibuat di Kecamatan Omben, 17 Desember 2011 atau 12 hari sebelum terjadi pembakaran. Pihak Tajul diwakili oleh Iklil. Isinya berupa pernyataan dari Tajul yang berjanji tidak akan mengadakan aktivitas dakwah demi kemaslahatan umat. Tajul mengonfirmasi surat pernyataan yang dibuat di Kantor Kecamatan Omben sebagai tulisannya, tapi menolak mengakui pernyataan-pernyataan lain karena dianggap rekayasa dan dibuat sepihak oleh orang-orang yang tidak senang kepada dirinya.

Rois akan tetapi tidak menolak, masalah kali ini bisa jadi juga dipicu soal perempuan bernama Halimah yang disebutkan oleh Rudy. Halimah adalah putri Mat Badri. Rois mengaku, perempuan itu telah dipinangnya karena permintaan istrinya Kholifah. Sewaktu dipinang, usia Halimah baru 12 tahun, masih duduk di bangku SD. “Saya sudah tidak mau, tapi istri saya yang meminta agar saya menikahi Halimah,” kata Rois.

Kholifah membenarkan bahwa Halimah sudah dipinang olehnya untuk suaminya. Belakangan, menurut Rois, Tajul meminta dirinya untuk melepaskan Halimah karena mau dinikahi oleh Tajul. “Saya mengalah,” katanya.

Tentu saja cerita Rois dan Kholifah dibantah oleh Tajul, Iklil, dan Mat Badri [orang tua Halimah]. Tajul menjelaskan, Halimah sebetulnya hanya diminta membantu di rumah Rois, bukan dipinang. Karena Rois dikenal sebagai kiai, orang tua Halimah mengizinkan anaknya ikut Rois.

Suatu hari, Tajul didatangi Zainal yang meminta tolong agar meminangkan Halimah untuk Dul Azid, anaknya. Tajul memenuhi keinginan Zainal tersebut dan pinangannya diterima oleh Mat Badri. Karena mengetahui Halimah telah dipinang oleh orang lain, Rois tidak terima dan memanggil Mat Badri, Zainal dan Dul Azid.

Sebelum memenuhi panggilan Rois, tiga orang itu meminta pendapat Tajul: apakah memenuhi panggilan Rois atau tidak. Tajul menyarankan agar tidak memenuhi panggilan Rois, dengan alasan Rois adalah orang yang temperamental dan suka memukul orang. “Saya kuatir mereka dipukul, dan mereka tidak memenuhi panggilan Rois,” kata Tajul.

Kini Halimah tinggal bersama suaminya di Surabaya. Iklil meminta anak perempuan itu tidak usah diekspos, karena kuatir mengganggu sekolahnya.

Preman dan adu jangkrik
Rudy menjelaskan, pembakaran rumah-rumah orang Syiah di Karang Gayam dan Bluuran juga diprovokasi oleh Rois. Dari catatan Zainal yang intel dari Pemda Sampang itu, Rois selama ini memang sering memutar rekaman video soal ajaran Syiah dan mempertontonkannya kepada warga yang ikut pengajian rutin di rumahnya. Rekaman video itu, antara lain berisi soal pembantaian pengikut Sunni oleh pengikut Syiah, dan ritual salat yang konon dilakukan pengikut Tajul di sebuah gereja di Malang.

Dari cerita Iklil, pembakaran atas rumahnya, rumah Tajul dan rumah Saiful adik ipar Iklil [suami Hani] terjadi sistematis. Awalnya dia mendapat kabar dari Bu Misnawi bahwa ada sekelompok orang bersenjata tajam yang menuju rumah Tajul. Itu sekitar jam 9 pagi. Misnawi adalah tetangga Tajul, dia mendapat informasi dari Bu Ali yang melihat ada sekelompok orang bergerombol di jalan menuju rumah Tajul.

Mereka pura-pura memperbaiki jalan, tapi menurut Iklil, sebetulnya justru merusak jalan. Tujuannya agar polisi tidak segera tiba  ke lokasi. “Saat itu saya sudah berusaha menghubungi kapolsek Omben tapi tidak ada di tempat. Saya lalu menghubungi kapolsek Karang Penang agar segera datang ke Karang Gayam. ‘Tolong ke sini, karena saya mendengar informasi ada orang-orang yang hendak datang ke rumah Tajul’,” kata Iklil.

Upaya Iklil sia-sia, karena massa sudah muncul di rumah Tajul dan langsung merusak dan membakarnya. Dari jarak 20 meter, dia melihat dan mengenali beberapa orang yang ikut membakar. Antara lain Hosen dan Hasbullah. Orang-orang itu mengacungkan celurit kepada Iklil.

Di rumah Saiful yang juga ikut dibakar, Iklil mengenali Arifin, Sahrudin, Hudali, Masdi sebagai orang yang ikut membakar. Mereka semua menghunus celurit. Sebelum dibakar, tiga anak Saiful masih berada di dalam rumah. Berkat pertolongan tetangga, tiga anak itu bisa diselamatkan.

Hamid, tokoh pemuda Omben itu bercerita, sebelum massa membakar rumah Iklil, pada siang harinya, rumah itu sebetulnya sudah dijaga 13 polisi tapi karena kalah jumlah dengan massa, polisi itu tidak berdaya. Kapolres Sampang yang datang ke lokasi pada saat kejadian, bahkan juga ikut diancam. Hamid mengaku mengetahui semua itu dari cerita iparnya yang polisi dan ikut berjaga di rumah Iklil. Sementara Munif menjelaskan, salah seorang anak Rois juga ikut membakar.

Hali dan Dailami bercerita, orang-orang yang membakar itu mengenakan tutup wajah. Mereka tiba-tiba muncul dari balik bukit. Munif mendengar, anak Rois ikut pula membakar.

Umar menduga, mereka yang membakar rumah Tajul dan saudaranya bukan hanya berasal dari Karang Gayam, melainkan juga dari Karang Penang. “Mereka itu bukan santri. Itu para bromocorah. Mana ada, santri bawa-bawa celurit dan membakar rumah orang?” kata Umar.

Seorang pengurus PCNU Sampang punya cerita lain soal pelaku pembakaran. Dia mendengar, KH Syafiuddin Wahid, Rois Syuriah PCNU menyampaikan kasus pembakaran itu ada indikasi berhubungan dengan pembebasan Gunjeg dari tahanan polisi. Syafiuddin tak mau memberi penjelasan.

Gunjeg adalah tokoh preman. Dia warga Kecamatan Camplong, Sampang yang ditangkap polisi karena kasus judi sabung ayam. Kono, beberapa politisi berusaha membebaskan Gunjeg dari tahanan tapi Kapolres Sampang, Solehan bersikukuh tak mau melepaskan Gunjeg. Entah bagaimana ceritanya, Gunjeng kemudian bebas. Itu terjadi beberapa hari sebelum peristiwa pembakaran rumah-rumah milik orang Syiah di Karang Gayam dan Bluuran.

Seorang tokoh di Omben yang rumahnya sering dijadikan tempat berkumpul kepala desa mengungkapkan, setidaknya ada delapan kepala desa yang berpatungan masing-masing Rp 5 juta untuk membebaskan Gunjeng, tapi dia tidak melihat ada hubungan Gunjeg dengan kasus pembakaran di Karang Gayam dan Bluuran. Tajul dan Rois mengaku tahu siapa Gunjeg, tapi Rois menolak keras anggapan dirinya kenal dan berkawan dengan Gunjeg. Iklil mengungkapkan kebiasaan Rois adalah mengadu jangkrik.

Munif punya cerita berbeda. Dia mengaku pernah diminta untuk mendamaikan Rois dan Tajul oleh pihak kepolisian, tapi dia menolak. Alasannya, perseteruan kakak-beradik itu sudah ditunggangi kepentingan politik menjelang Pilkada 2013.

Kiai dari Kajuk Sampang, juga berpendapat, kasus di Karang Gayam dan Bluuran itu telah menjadi dagangan banyak pihak. Dari semula hanya persoalan keluarga, lalu ditarik atau digiring menjadi isu Syiah dan Sunni. Dengan menggiring perselisihan keluarga menjadi isu Syiah-Sunni, ada yang berharap mendapat dukungan.

Dia bercerita, kasus antara Rois dan Tajul sebetulnya sudah berkali-kali dicoba didamaikan tapi tidak selesai, dan sekarang menjadi semakin terbuka. Maka ketika persoalan keluarga ditarik menjadi persoalan paham, yang diuntungkan kata dia, adalah pihak yang selama ini tidak diuntungkan dari sengketa keluarga itu.

“Saya menduga Rois mendapat keuntungan. Dia tahu, masyarakat Madura adalah Sunni. Ini bombastis. Kalau kami, para kiai di Sampang sudah tahu dan paham ada perbedaan antara Syiah dan Sunni, tapi masyarakat yang awam sekarang mulai bertanya-tanya: Syiah itu apa, dan apa perbedaannya dengan Sunni?” kata dia.

Kasus [pembakaran] rumah-rumah orang-orang Syiah di Karang Gayam dan Bluuran kata dia sudah diprovokasi. “Sudah ada dan terjadi penggiringan opini kepada masyarakat dan berhasil. MUI Sampang, kemarin sudah menyatakan Syiah ajaran sesat. Loh, kenapa baru sekarang setelah terjadi pembakaran?” katanya.

NU dan Albayyinat
Menyusul kasus pembakaran rumah-rumah orang-orang Syiah dan pengusiran mereka, MUI dan PCNU Sampang, juga PWNU Jawa Timur mengambil kesimpulan dan menyebutkan ajaran Syiah sesat. Benar, PCNU dan PWNU tidak secara khusus menyebut Syiah dan hanya menyebutkan ajaran yang dibawa Tajul. Namun pernyataan itu hanya permainan semantik, yang intinya menolak Syiah karena faktanya Tajul adalah pengikut paham Syiah.

Seorang pengurus PCNU pernah mendengar, ada kesepakatan antara PWNU Jatim dan kapolda Jatim untuk tidak lagi menyebut Syiah melainkan hanya akan menyebut ajaran sesat. Informasi ini belum dikonfirmasi. “Kalau menyebut Syiah, itu berbahaya karena ada organisasinya,” katanya.

PCNU dan PWNU mengaku punya alasan mengeluarkan pernyataan ajaran Tajul sesat. M Faidhol, Ketua Tanfiziah PCNU Sampang yang ditunjuk menjadi juru bicara menjelaskan, alasan PCNU antara lain karena masyarakat luas menunggu, pendapat dan sikap NU terhadap ajaran dan provokasi Tajul. Alasan lainnya, agar tidak memperluas wilayah konflik akibat ajaran sesat Tajul dan provokasinya di masyarakat. “Kami meminta Pemkab Sampang mengeluarkan perda sesat karena tujuannya, agar tidak ada keresahan dan konflik atas nama agama,” kata Faidhol.

Dia menyampaikan hal itu dalam pertemuan di pendopo kabupaten Sampang, Selasa 3 Januari 2012. Hadir dalam pertemuan itu, antara lain, Irjen Hadiatomo [Kapolda Jatim], Palty Simanjuntak [Kajati Jatim], Noer Tjahja [Bupati Sampang], Kapolres Sampang, KH. Abdus Samad Bukhori [Ketua MUI Jatim], KH. Miftahul Akhyar [Rois Syuriah PWNU Jatim], KH. Mutawakil Alallah [Ketua PWNU Jatim], KH. Muhaimin Abdul Bari [Ketua PCNU Sampang], dan Faidol Mubarok [pengurus PCNU Sampang.

Miftahul Akhyar menjelaskan, PWNU Jatim memang mendukung pernyataan PCNU Sampang. Dia mengaku, sudah menurunkan tim ke Sampang untuk mencari tahu akar masalah. Hasilnya: Tajul dinilai mengajarkan aliran sesat, karena antara lain mengajarkan salat hanya 3 kali sehari semalam, mengecam para auliya Batu Ampar Madura, ulama dan kiai dianggap anak zina. “Ini hasil sebagian investigasi Tim kami. Manakala ada kesalahan, kurang akurat, kami siap memperbaiki,” kata Miftah.

Dia menolak anggapan, PCNU dan PWNU sedang berpolitik dalam kasus ini. Dia juga membantah, bahwa PWNU mendapat dukungan dana dari al Bayyinat. “Tolong sebutkan, siapa yang menfitnah tentang dukungan dana itu? NU lebih kaya daripada al Bayyinat. Boleh diaudit, kalau perlu diperiksa KPK. Kebenaran tetap kebenaran. Anda dapat cerita darimana?” katanya.

Al Bayyinat adalah organisasi yang dipimpin Achmad Zein Alkaf. Dia juga pengurus di PWNU Jawa Timur. Kelompok Syiah di Indonesia menuding, organisasi itu sangat anti-syiah dan paling aktif menggalang dukungan untuk menentang Syiah.

Lewat wawancara melalui email, Zein tidak menjawab soal dukungan dana kepada NU. Namun, apakah Al Bayyinat dirancang khusus untuk mewaspadai dan menentang Syiah di Indonesia?

“Para pendiri Albayyinat kebanyakan alumni Mesir, Mekah, Madinah, Yaman dan dari dalam negeri, didukung tokoh tokoh habaib di Indonesia dan luar Indonesia. Kami berkewajiban melaksanakan amar ma’ruf nahi mungkar [mengajak kebaikan dan mencegah perbuatan keji], ” kata Zein.

Dia pun menolak anggapan bahwa mengusir Syiah dari Indonesia dan menyatakannya sebagai aliran sesat bertentangan dengan Pansila dan UUD 1945. “Yang berbahaya bagi Pancasila dan UUD 45 adalah Syiah, karena mereka patuh hanya kepada Imam mereka di Iran,” kata Zein.

Dari semua teori dan penyebab konflik, kemarin kembali pecah kerusuhan di Karang Gayam dan Bluuran. Dua pengikut Syiah tewas, 3 luka-luka. Di kelompok penyerang, dikabarkan 2 orang luka berat. Orang-orang Syiah itu diserang ketika bersikeras kembali ke kampung halaman mereka untuk berlebaran dan bersilaturahmi dengan sanak famili, setelah terusir sekian bulan.

Karena kasus di Omben dan Karang Gayam itu, kini warga  awam pun mulai dengan mudah memberi cap orang-orang Syiah sebagai penganut aliran sesat. Mereka menilai paham mereka benar, sementara paham orang lain yang tidak sama adalah keliru dan kafir. Seperti kata Zein, mereka juga mengaku mengajak ke kebaikan dan mencegah kekejian.

Padahal kata seorang kiai di Omben, menegakkan amar ma’ruf nahi munkar tentu dan pasti tidak membakar, tidak merusak, dan tidak membunuh. Dalam ungkapan bahasa Madura, kiai itu berkata: emok ngetong jhelenna ajem, kaloppae sokona dhibhik niddhek tamaccok [mereka hanya sibuk menghitung langkah ayam, tapi lupa kaki mereka justru menginjak tahi ayam].

Sumber: Rusdi Mathari WordPress

 

 

 

Komunitas Syiah Sampang Kembali Diserang

TEMPO.COSurabaya – Sekelompok pemuda komunitas Syiah bentrok dengan pemuda antisyiah di Kabupaten Sampang, Jawa Timur, Minggu, 26 Agustus 2012 pagi hari. Mereka saling melempar batu, membakar rumah dan berkelahi menggunakan clurit.

“Terjadi aksi pelemparan batu dan bentrok serta pembakaran sisa-sisa rumah istri Tajul Muluk di Dusun Nankernang, Desa Karanggayam, Kecamatan Omben Sampang dibakar,” kata Kordinator Komisi Untuk Orang Hilang (Kontras) Jawa Timur, Andy Irfan, kepada Tempo, Minggu siang, 26 Agustus 2012.

Andy menjelaskan bahwa insiden berawal pada pukul 08.00. Saat itu, dia melanjutkan, rombongan siswa dari komunitas Syiah akan berangkat menuju ke luar kota untuk melanjutkan aktivitas sekolah (pondok pesantren) pascalibur Lebaran. “Dua mobil rombongan pemuda dan pemudi kemudian dihadang oleh sekelompok massa. Mereka dilarang masuk ke dalam kampung Nankernang,” ujarnya.

Sekelompok massa itu kemudian menyerbu dan mendatangi rumah istri Tajul Muluk. Tajul Muluk adalah pimpinan dari komunitas Syiah Sampang yang telah divonis dua tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Sampang karena dituduh melakukan penodaan agama.

Adapun rumah Tajul Muluk sebelumnya pernah dibakar oleh sekelompok pemuda antisyiah pada akhir Desember 2011 lalu. Namun rumah dari sisa-sia kebakaran yang ditempati oleh ibu, istri Tajul Muluk, beserta dua anaknya kembali dibakar oleh para pemuda antisyiah.

Aksi pembakaran, kata Andy, mengakibatkan bentrok antara dua kelompok tidak bisa dihindari. Pemuda dari komunitas syiah Sampang yang ingin melindungi keluarga Tajul Muluk membalas aksi pelemparan dari sekelompok massa tersebut. “Delapan orang mengalami luka-luka dan empat orang pingsan dan kondisi saat ini masih mencekam,” ujar Andy.

Sumber: Tempo

 

 

 

Kronologi Kasus Kriminalisasi Keyakinan Ust. Tajul Muluk, Syiah Sampang

 

Kasus kekerasan terhadap Jamaah Syiah Dusun Nangkrenang, Karang Gayam, Omben, Sampang sebenarnya sudah berlangsung sejak 2004. Akibat hate speech yang terus dilakukan oleh tokoh-tokoh agama dan masyarakat, kebencian terhadap jamaah Syi’ah akhirnya benar-benar meledak menjadi aksi kekerasan massa. Rumah ketua Ikatan Jamaah Ahl al-Bait (IJABI), Ustad Tajul Muluk, beserta dengan dua rumah Jamaah Syi’ah lainnya dan Mushalla yang digunakan sebagai sarana peribadatan, dibakar oleh 500an orang yang mengklaim diri sebagai kelompok ahl as-sunnah wa al-Jamaah pada 29 Desember 2011, pukul 8.30 WIB.

Aksi pembakaran ini merupakan yang kedua kalinya dalam bulan Desember 2011. Sebelumnya, aksi pembakaran rumah Jamaah Syi’ah juga terjadi di Desa Blu’uran, Karang Penang, Sampang pada 17 Desember 2011, dini hari. Pada saat itu, massa bahkan membuat palang pada pintu rumah Moh. Sirri sebelum membakarnya. Massa secara sengaja ingin mencelakai dan membunuh Moh. Sirri sekeluarga.

Aksi-aksi pembakaran ini merupakan mata rantai kekerasan yang dialami oleh Jamaah Syi’ah di Omben dan Karang Penang sejak 2004 akibat pewacanaan sesat atas ajaran Syi’ah dan aktivitas dakwah yang dilakukan oleh Ust. Tajul Muluk. Pada bulan Oktober 2009, serangan serupa terhadap Jamaah Syi’ah sebenarnya sudah terjadi. Pada saat itu, 3000an massa sudah siap menyerang Nangkrenang. Ancaman serangan terjadi kembali pada 4 April 2011, ketika Jamaah Syi’ah hendak memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW.

Semua kekerasan terjadi akibat syi’ar kebencian (hate speech) yang diintensifikasi oleh para tokoh agama di Omben, dan direproduksi secara terus menerus oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sampang dan MUI se-Madura, Pimpinan Cabang Nahdhatul Ulama (PCNU) Sampang, dan Badan Silaturahmi Ulama se- Madura (Basra).

Setelah menerima tindakan kekerasan dan intimidasi sedemikian rupa, Ust. Tajul Muluk masih harus dikorbankan untuk kesekian kalinya akibat dilaporkan oleh Roisul Hukama kepada Kepolisian Sektor Omben atas tuduhan Penodaan Agama (pasal 156a KUHP jo. 335 KUHP). Proses hukum Ustad Tajul Muluk pun berjalan dengan berbagai penyimpangan. Berikut adalah proses hukum atas kriminalisasi keyakinan Ustad Tajul Muluk:

  1. Minggu, 1 Januari 2012 MUI Sampang yang diketuai oleh KH. Bukhori Maksum mengeluarkan fatwa penyesatan Ajaran Ustad Tajul Muluk. Fatwa inilah yang pada akhirnya menjadi rujukan atas penahan dan pengadilan terhadap Ust. Tajul Muluk oleh Pengadilan Negeri Sampang. Di dalam fatwa tersebut juga tidak dijelaskan secara rinci tentang ajaran Ust. Tajul Muluk yang dianggap sesat. Fatwa tersebut hanya mengatakan bahwa ajaran Tajul Muluk sesat menyesatkan, tanpa ada keterangan lanjutan tentang apa saja yang dianggap sebagai penyesatan.
  2. Selasa, 3 Januari 2012 Roisul Hukama melaporkan Ust. Tajul Muluk kepada Polres Sampang atas tuduhan penodaan agama. Laporan tersebut selanjutnya ditindaklanjuti dengan penyelidikan oleh Polres Sampang.
  3. Penyelidikan ini juga terkesan dipaksakan, karena berdasarkan keterangan Otman Ralibi (Kuasa Hukum Ustad Tajul Muluk) Polres Sampang sebenarnya tidak dapat membuktikan unsur-unsur tindak pidana yang telah dilaporkan oleh Roisul Hukama. Oleh karenanya seminggu kemudian, Polres Sampang melimpahkan kasus tersebut kepada Kepolisian Daerah (Polda) Jatim.
  4. Jumat, 27 Januari 2012 Polda Jatim mengeluarkan surat perintah penyidikan serta surat  pemanggilan pemeriksaan terhadap Ust. Tajul Muluk sebagai saksi.
  5. Kamis, 1 Maret 2012 Ust. Tajul Muluk didampingi kuasa hukumnya, Otman Ralibi memenuhi panggilan dalam pemeriksaan saksi di Polda Jatim.
  6. Kamis, 15 Maret 2012, Polda Jatim mengadakan gelar perkara terkait tuduhan penodaan agama Ust. Tajul Muluk. Pelbagai pihak hadir dalam gelar perkara tersebut, diantaranya utusan Kejaksaan Tinggi Jatim, anggota Polres Sampang, dan perwakilan Kejaksaan Negeri Sampang. Bersamaan dengan gelar perkara tersebut, Penyidik (Polda Jatim) mengeluarkan Surat Penetapan Tersangka terhadap Ust. Tajul Muluk dengan jeratan pasal 156a KUHP tentang penodaan agama, dan pasal 335 KUHP tentang perbuatan tidak menyenangkan.
  7. Jumat, 16 Maret 2012, Penyidik (Polda Jatim) mulai melakukan pemanggilan saksi Berita Acara Pemeriksaan (BAP) (dari saksi yang memberatkan).
  8. Senin, 19 Maret 2012, Otman Ralibi selaku kuasa hukum Ust. Tajul Muluk mendatangi Polda Jatim untuk meminta penundaan pemeriksaan terhadap kliennya. Alasannya bahwa Ust. Tajul Muluk masih dalam keadaan trauma dan belum siap untuk diperiksa.
  9. Senin, 26 Maret 2012, pengacara dan beberapa lembaga non-pemerintah melakukan pertemuan dengan Kapolda Jatim untuk mencari solusi agar kasus ini tidak dilanjutkan. Dalam pertemuan tersebut, Kapolda Jatim mengatakan bahwa kasus ini sebenarnya bisa tidak bisa dilanjutkan ke pengadilan karena perbuatan Ust. Tajul Muluk tidak memenuhi unsur yang bisa dijerat dengan pasal 156a dan pasal 335 KUHP. Namun berdasarkan keterangan Kapolda Jatim, Bupati Sampang sering datang ke Polda untuk memaksa penyidik agar kasus ini terus dilanjutkan. “Bupati itu datang ke kantor sambil ngamuk-ngamuk dan memaksa kasus ini terus dilanjutkan,” ujar Otman menirukan perkataan Kapolda Jatim.
  10. Rabu, 28 Maret 2012, Ust. Tajul Muluk memenuhi panggilan pemeriksaan dirinya sebagai tersangka. Dengan pertimbangan bahwa Ust. Tajul Muluk selama ini kooperatif dan tidak menghilangkan barang bukti, maka penyidik (Polda Jatim) tidak melakukan penahanan terhadap dirinya.
  11. Sabtu, 31 Maret 2012, Otman Ralibi selaku kuasa hukum Ust. Tajul Muluk mengajukan 2 saksi meringankan kepada Polda Jatim.
  12. Kamis, 5 April 2012, Berkas Perkara Ust. Tajul Muluk dilimpahkan oleh Penyidik (Polda Jatim) kepada Kejaksaan Tinggi Jawa Timur untuk dikonsultasikan terlebih dahulu.
  13. Selasa, 10 April 2012, Berkas Perkara Ust. Tajul Muluk dinyatakan telah memenuhi syarat (P-21) oleh Kejaksaan Tinggi Jawa Timur. Pengesahan berkas perkara (P-21) yang dilakukan oleh Kejaksaan Tinggi Jawa Timur juga kontroversial. Karena dalam kasus biasa, untuk mengesahkan (P-21) berkas perkara oleh Kejaksaan Tinggi membutuhkan waktu yang lama, bisa berminggu-minggu, bahkan sampai berbulan-bulan. Namun dalam kasus ini, Kejaksaan Tinggi Jawa Timur dalam waktu 2 hari (Kamis dan Senin—karena Jumat, Sabtu, Minggu adalah hari libur) dapat menyatakan bahwa berkas perkara telah P-21.
  14. Selain itu, keganjilan juga terjadi di Sampang. Pagi hari, Selasa, 10 April 2012 dalam acara pelantikan Kepala Kecamatan seluruh Kabupaten Sampang, Bupati Sampang berpidato bahwa Ust. Tajul Muluk sudah ditahan oleh pihak kepolisian. Pernyataan Bupati Sampang ini bersamaan dengan pengesahan P-21 yang dilakukan Kejaksaan Tinggi Jawa Timur. Itu artinya, ada arus informasi yang sistematis antara Aparat Penegak Hukum dengan Pemerintah Daerah Sampang dalam skema kriminalisasi keyakinan terhadap Ustad Tajul Muluk.
  15. Kamis, 12 April 2012, Berkas Perkara Ustad Tajul dilimpahkan oleh Kejaksaan Tinggi Jawa Timur kepada Kejaksaan Negeri Sampang. Bersamaan dengan pelimpahan berkas perkara tersebut, Kejaksaan Negeri Sampang mengeluarkan Surat Perintah Penahanan terhadap Ust. Tajul Muluk. Ust. Tajul Muluk sendiri akhirnya ditahan oleh Kejaksaan Negeri Sampang. Penahanan tersebut dikarenakan pihak Kejaksaan Negeri Sampang takut Ustad Tajul Muluk kabur dari Madura.
  16. Setelah ditahan didalam sel, Ustad Tajul Muluk mendapatkan intimidasi dan teror oleh napi-napi lainnya. Ia sempat diancam akan dibunuh oleh napi lain jika berani macam-macam. ”Kalau dia berani macam-macam disini, kugorok lehernya,” ujar salah satu Napi yang tidak mau disebutkan namanya. Selain itu, sel di mana Ustad Tajul ditahan juga dilempari batu oleh napi lainnya.
  17. Pada Selasa, 24 April 2012, sidang perdana Ust. Tajul Muluk mulai digelar di Pengadilan Negeri Sampang. Hal ini sama sekali tidak mengindahkan keberatan banyak pihak yang menghendaki sidang dilaksanakan di Pengadilan Negeri Surabaya mempertimbangkan situasi keamanan di Sampang yang tidak kondusif untuk persidangan. Kelompok-kelompok sipil keberatan dengan keputusan tersebut karena memaksakan pelaksanaan sidang di Sampang akan berpotensi membuat persidangan tidak netral dan berada dalam intimidasi massa.
  18. Pemimpin Syiah di Sampang, Tajul Muluk (tengah) menjalani Sidang Vonis Majelis Hakim Pengadilan Negeri Sampang, Madura, Jawa Timur.Kamis (12/7/2012) PN Sampang memvonis Tajul Muluk alias Ali Murtadho asal Desa Nangkernang, Kabupaten Sampang, Jawa Timur, Dua tahun penjara dengan dakwaan Dugaan penodaan agama. Vonis ini lebih awal dibandingkan jadual persidangan Tajul Muluk yang seharunya berakhir pada 21 Juli 2012. Dalam hal ini pula, Hakim telah mengenyampingkan banyak fakta di persidangan yang justru tidak membuktikan bahwa ustaz Tajul Muluk tidak bersalah. Demikian pula, kuasa hukum memandang bahwa pengadilan telah memvonis Tajul Muluk dengan kesaksian dan bukti palsu, sehingga kuasa hukum akan mengajukan banding.

 

Surabaya, 25 Juni 2012

Pokja AKBB Jatim (Sumber)