KOMPAS, 25 Februari 2013
Tag Archives: pluralisme
Buku Mohamed Fathi Osman: Islam, Pluralisme, dan Toleransi Keagamaan
Fathi Osman dalam buku ini menegaskan bahwa pluralisme adalah bagian dari peradaban, yang secara teologis, didasarkan pada konsep kesamaan dasar (common platform, kalimat-un sawd) agama-agama. Sementara dîn atau esensi agama itu sama; kepada setiap golongan dari kalangan umat manusia Allah menetapkan syir`ah (atau s y a r î ’a h, yakni, jalan) dan minhâj (cara) yang berbeda-beda. Perbedaan agama-agama ini secara teologis memang disebabkan karena Allah tidak menghendaki umat manusia itu satu dan sama semua dalam segala hal. Allah malah menghendaki agar manusia dalam perbedaan yang bisa membawa rahmat ini, saling berlomba-lomba menuju kepada berbagai kebaikan.
Al-Qur’an menurut Fathi Osman menegaskan bahwa nanti seluruh umat manusia akan kembali kepada Allah dan kelak Dialah yang akan membeberkan hakikat perbedaan antara manusia itu (Q. 5:48). Sehingga, bukan hanya kesatuan yang merupakan esensi agama-agama, tetapi perbedaan juga merupakan kenyataan yang harus dihormati, bahkan dikembangkan untuk kemaslahatan bersama.
Silakan diunduh berikut:
Sumber: http://www.abad-demokrasi.com
Kolom: Basis Teologi Persaudaraan Antar-Agama
Budhy Munawar Rahman
Ayat dalam surah al-A’raf itu sering disebut sebagai ayat “perjanjian primordial” manusia dengan Tuhan. Dasar spiritualitas manusia yang paling pokok: Kita mengakui bahwa Allah adalah Pencipta, Tuhan semesta alam, dan kita juga mengakui adanya kewajiban kita kepada-Nya, yang terbawa oleh kodrat kita yang fitrah. Dan kewajiban itu bukan hanya segi-segi transendental, tetapi lebih-lebih kewajiban sosial terhadap sesama manusia. Dalam frase agama, iman dikaitkan dengan amal-saleh (yaitu kerja-kerja kemanusiaan).
Baca Online DI SINI
Cak Nur(cholis Madjid): Pidato Terakhir
“… Toleran satu sama lain mengandung semangat pluralisme, bahwa kita mengakui adanya perbedaan di antara masyarakat, tetapi perbedaan itu secara positif. Perbedaan harus dijadikan modal untuk saling berlomba menggapai kebajikan…”
Merayakan Kebebasan Beragama
Judul : Merayakan Kebebasan Beragama- Bunga Rampai 70 Tahun Djohan Effendi
Penulis : Dawam Rahardjo, Mujibur rahman, Andreas A. Yewa¬ngoe, Franz Magnis Suseno, Martin Lukito Sinaga, Noorhadi Hasan, Greg Barton, Siti Mudah Mulia, Trisno Sutanto, dkk.
Editor :Elza Peldi Taher, Anick HT
Pengantar: Budhy Munawar Rachman
Epilog : Greg Barton
Isi : xxxviii+802 halaman
Penerbit : ICRP & Buku Kompas, 2009
Djohan Effendi (DE) adalah salah satu sosok juru damai berbasis pemikiran Islam. Sepak terjangnya dalam dunia pluralisme dan kehidupan toleransi umat beragama di Indonesia tak diragukan lagi. Untuk itulah buku bunga rampai Merayakan Kebebasan Beragama ini diterbitkan sebagai peringatan atas usianya yang ke-70 tahun. Menghimpun sebanyak 40 penulis, buku inimengumpulkan seraya memetakan sepak terjang perjalanan DE dalam kerukunan dan kebebasan umat beragama dari kacamata penulis-penulis terpilih yang notabene sahabat-sahabat DE.
Buku ini juga tak melulu membicarakan sosok DE sehingga terhindar dari jebakan penulisan “biografi” DE semata melainkan juga membicarakan jejak-jejak toleransi dan pluralisme di Indonesia yang pastinya digiatkan oleh Djohan sendiri. Terbagi dalam enam bagian, bagian pertama Jejak Djohan Effendi dalam Wacana dan gerakan Keagamaan di Indonesia (h.1), bagian kedua Membumikan Toleransi dan Pluralisme (h.75), bagian ketiga Wacana Pluralisme Agama (h.145), bagian keempat Negara dan Kebebasan Beragama (h.313), bagian kelima Gerakan Dialog Agama (h.495) dan bagian keenam Agama, Teologi, dan Demokrasi (h.675).
Yang menarik pada bagian pertamanya (h.2) Dawam Rahardjo menulis bahwa pemikirannnya agak berbeda dengan DE dan Ahmad Wahib, sejoli kelompok pemikir HMI. DE-Wahib lebih memperhatikan masalah demokrasi dan modernisasi sedangkan Dawam lebih menekankan sosialisme dan nasionalisme. Dalam isu modernisasi, ia pernah terlibat perdebatan dengan Ahmad Wahib tatkala ia sangat kritis terhadap gagasan modernisasi dan lebih tertarik pada isu keadilan sosial. Ini menarik karena sosok Dawam Rahardjo yang juga sosok pluralis ternyata berseberangan dengan sosok DE. Hal ini diungkap rada gamblang oleh Dawam satu hal yang mungkin baru terungkap setelah kita membaca buku bunga rampai ini.
Yang menariknya lagi dalam bagian ini mereka (Dawam dan DE) me¬reka termasuk memelopori gagasan menjadikan Pancasila sebagai ideologi gerakan Islam, terutama partai politik meninggalkan wacana gerakan negara Islam dan Piagam Jakarta-satu hal yang baru terungkap dalam buku ini. Di sini mereka mereka memelopori wawasan liberal-pluralis yang mengarah pada sekularisme yang menjadi topik diskusi yang diajukan Pak Mukti Ali tatkala membahas buku “Islam Negara Sekuler”.
Sebenarnya semua negara muslim yang berazas sekuler seperti di Indonesia memerlukan otoritas yang didukung oleh semua organisasi keagamaan. Tapi fungsi otoritas ini bukanlah memelihara ortodoksi dan hegemoni kelompok mayoritas, melainkan melindungi semua aliran kegamaan agar terhindar dari kesesatan. Dengan kata lain, fungsi dan tujuan otoritas keagamaan adalah melindungi kebebasan beragama dan beribadah seraya mengembangkan kerukunan dalam kehidupan beragama. Bidang inilah yang kemudian ditekuni Djohan Effendi sekarang hingga terbentuklah ICRP.
Selain dikenal sebagai sosok juru damai buku ini juga memperkenalkan ide-ide dan kiprah Djohan Effendi yang pada mulanya dianggap “tidak umum” lantaran di kalangan pemikir Islam Djohan melontarkan ide “Islam tidak perlu dijadikan ideologi politik”.
Karena pendapat ini dianggap melawan arus, maka tak heran kalau ia mendapatkan reaksi dan tanggapan yang luas, baik dari kalangan aktivis gerakan-gerakan Islam sendiri ataupun dari kalangan sarjana yang meneliti Islam di Indonesia pada masa Orde baru.
Menurut Mujiburrahman dalam Legitimasi dan Kritik: Pemikiran Keagamaan Djohan Effendi (h.46) para sarjana sepertinya kurang memperhatikan perhatian yang layak terhadap pemkiran Djohan Effendi tersebut terutama jika dibandingkan dengan perhatian pemikiran tokoh-tokoh lain seperti Nurcholish Madjid dan Gus Dur. Ini menarik karena Djohan termasuk tokoh penting di kalangan pengusung ‘Islam non-ideologis’ tersebut. (h.47). Di bagian ini Mujiburrahman mencoba memamaparkan dan menganalisis pemikiran keagamaan Djohan Effendi dilihat dari konteks sosial politik di Indonesia.
Djohan Effendi seperti pengusung Islam non-ideologis lainnya menerima Pancasila sebagai titik temu bagi berbagai elemen bangsa. Pandangan ini tentu saja sejalan dnegan rezim Orde Baru sehingga ia di terima di departemen Agama dan Sekretariat Negara dimana Djohan juga bekerja sebagai penulis pidato presiden Soeharto. Meskipun diterima di kalangan Orde Baru bukan berarti ia setuju dengan kebijakan-kebijakan Orde Baru yang tidak demokratis. Djohan justru bergabung dengan gerakan demokrasi meskipun harus “mengorbankan nama baik”nya di mata pemerintah. (h.48).
Bagi Djohan nilai-nilai Pancasila sudah sejalan dengan nilai-nilai Islam, oleh karenanya Islam sebagai ideologi politik tidak diperlukan. Apalagi menurutnya konsep ‘negara Islam’ tak lebih dari utopia yang tidak berpijak pada realitas sedangkan tidak ada negara Islam yang bisa dijadikan contoh ideal. Djohan tidak berhenti sampai di situ saja. Ia tampaknya tidak begitu puas dengan rumusan negatif mengenai hakikat negara kita yaitu ‘tidak negara sekuler, tidak pula negara agama’. Negara kita menurutnya menganut adanya ‘sosialisme religius’. Hal yang ia sampaikan melalui pidato presiden Soeharto ini mendapat sambutan hangat antara lain dari Nurcholish Madjid .
Franz Magnis Suseno dalam tulisannya Gold Talk (h.65) menilai Djohan Effendi adalah sosok agamawan abad ke-21 agamawan yang meyakinkan juga bagi mereka di luar, termasuk mereka yang sama sekali tak percaya dalam rangka salah satu agama. Bagi Magnis mereka yang bertemu dengan DE dapat merasakan bahwa agama mencerahkan, membuat kuat, mendukung apapun yang positif dan bisa menawarkan keselamatan. DE yakin pada Islamnya tapi bebas dari segala sikap sombong atau merendahkan agama lain.
Dia amat yakin bahwa agama harus betul-betul baik dalam arti menunjang tarikan kebaikan hati nurani, jadi harus menolak segala kecenderungan untuk membenci yang berbeda.(h.73)
Selain itu DE juga melihat bahwa dalam agama-agama pasti ada hal-hal baik yang bisa menjadi kepunyaan bersama. Seakan-akan kita semua, apapun agamanya, berziarah bersama di dalam perjalanan ziarah kemanusiaan, mencari nilai-nilai tertinggi. Dalam interaksi itulah kita memeproleh kekayaan spiritual bersama. (h.87, tulisan Andreas A. Yewangoe, Regulasi Toleransi dan Pluralisme Agama di Indonesia).
Kendati buku gemuk ini rata-rata menyambut aspirasi DE dalam kehidupan pluralisme dan toleransi umat beragama di Indonesia di mata para sahabat, buku ini juga menawarkan berbagai pandangan yang patut kita simak. Misalnya Multikulturalisme dan Tantangan Radikalisme (Noorhadi Hasan,h.198) sampai Tentang Alih-Agama (Conversion) di Indonesia (Martin Lukito Sinaga, h.275). Sehingga buku ini benar-benar merupakan antologi bunga rampai yang lengkap memetakan wacana pluralisme di Indonesia secara komprehensif. Meskipun demikian buku ini juga menyimpan kekurangan yaitu tidak diterjemahkannya epilog Greg Barton berjudul Modest Mensh, Virtous Intelectual (h.751). Padahal kalau diterjemahkan ke bahasa Indonesia pembaca dapat mengetahui pemikiran dan apresiasi seorang intelektual asing terhadap kiprah Djohan Effendi. Bukankah baru dia pemikir asing yang benar-benar mengamati kiprah pemikiran DE ?
Kemudian di beberapa tulisan misalnya tulisan Andreas A. Yewangoe (h.76) dan Gold Talk oleh Franz Magnis Suseno (h.65) terlihat terlalu panjang sehingga kurang menukik pada pemikiran sebenarnya tentang kiprah DE sendiri. Kalaupun ada sangat minim sehingga hanya terbaca kilasan secara umum perihal kiprah DE.
Namun di luar segala kekurangannya buku ini patut kita sambut dalam memperkaya wacana pluralisme dan toleransi umat beragama terutama di mata sahabat-sahabat salah seorang tokoh pluralis Indonesia DE. Hadirnya buku ini memperkaya kita bahwa keragaman beragama di Indonesia adalah satu hal yang patut disyukuri. *
Oleh Donny Anggoro
Sumber: ICRP
Mengenang Kembali Nurcholish Madjid
Oleh Bawono Kumoro
“Inilah salah satu kontribusi penting Cak Nur dalam mendekonstruksi paradigma berpikir umat Islam Indonesia. Jika kita melihat keengganan yang meluas terhadap ide negara Islam dan formalisasi syariat Islam di Indonesia dewasa ini, ataupun menyaksikan trend keberagamaan yang lebih menekankan sisi substantif ketimbang sisi simbolisnya, maka tidak ada keraguan sedikitpun dalam diri kita untuk menyebut nama Nurcholish Madjid sebagai seorang pioneer yang memungkinkan itu semua dapat terjadi.”
Pada tanggal 29 Agustus 2006 lalu, tepat setahun sudah bangsa Indonesia kehilangan salah satu putra terbaiknya, yaitu Almarhum Nurcholish Madjid atau yang lebih akrab disapa Cak Nur. Semasa hidupnya ia dikenal sebagai seorang cendikiawan Muslim Indonesia yang punya ketajaman pemikiran dan kaya akan gagasan-gagasan pembaharuan, khususnya dalam bidang keislaman. Yudi Latif mengibaratkan Cak Nur seperti Socrates, kepada kita semua Cak Nur meninggalkan sebuah warisan berupa the empire of mind. Seperti halnya sejarah perjalanan orang-orang besar, berbagai gagasan yang dihasilkan Cak Nur pun telah menyulut berbagai polemik di tengah-tengah masyarakat.
Sejak menyampaikan butir-butir pemikirannya yang tertuang dalam dua tema besar, yaitu Keharusan Pembaharuan Pemikiran dan Masalah Integrasi Ummat dan Menyegarkan Paham Keagamaan di Kalangan Umat Islam Indonesia, Cak Nur sudah membuka pintu polemik. Pada dasarnya, dalam makalah yang pertama Cak Nur mengangkat dua gagasan utama, yakni perihal jargon Islam Yes Partai Islam No dan konsep tauhid sebagai titik pangkal dari sekularisasi. Sedangkan dalam makalah yang kedua ia menyatakan sikap atas ketidaksetujuaannya (baca: menolak) terhadap ide negara Islam. Tiga gagasan besar itulah yang kemudian menempatkan Cak Nur sebagai pemikir Islam Indonesia pertama yang berikhtiar secara sungguh-sungguh guna memisahkan antara Islam sebagai sebuah agama dan Islam sebagai sebuah institusi.
Tidak seperti sekarang, pada masa itu gagasan tersebut sangatlah tidak lazim dan berada di luar arus utama pemikiran Islam Indonesia. Umat Islam Indonesia ketika itu terbiasa dengan penyetaraan Islam sebagai agama dan Islam sebagai institusi sehingga secara tak langsung terjadi sakralisasi terhadap Islam sebagai Institusi. Misalnya, tingkat kesetiaan seseorang terhadap partai Islam dijadikan tolok ukur apakah orang tersebut muslim yang taat atau tidak.
Dalam penilaian Cak Nur, sakralisasi tersebut sangatlah bertolak belakang dengan konsep tauhid yang dibawa Islam itu sendiri. Jika selama ini tauhid lebih dimaknai sebagai suatu sikap pengesaan Allah atau pengakuan bahwa hanya Allah satu-satunya Tuhan yang harus disembah, maka Cak Nur menarik lebih jauh konsekuensi dari konsep tauhid tersebut. Menurutnya, tauhid berarti mengesakan Allah sebagai satu-satunya yang sakral, sedangkan obyek-obyek lain sifatnya profan. Jika hanya Allah yang sakral, maka yang lain tidak sakral termasuk dalam hal ini institusi-institusi Islam, seperti partai Islam.
Dengan demikian, maka tingkat kesetian seseorang terhadap partai Islam bukanlah menjadi penentu mutu keislaman orang yang bersangkutan. Berpijak dari sana, selanjutnya Cak Nur menolak dengan tegas ide negara Islam. Baginya ide tersebut apologetik sifatnya, muncul dari perasaan rendah diri umat Islam terhadap kemajuan Barat. Ada sebagian umat Islam yang kagum dan terpesona kepada ideologi-ideologi modern yang bersifat menyeluruh dan secara terperinci mengatur setiap bidang kehidupan, mulai dari ekonomi, politik, sosial, sampai budaya. Kekaguman itu kemudian mendorong umat yang ideologis tersebut untuk juga membawa Islam sebagai agama (dîn) menjadi sebuah ideologi politik yang secara menyeluruh dan totalistik mengatur setiap bidang kehidupan.
Dalam pandangan Cak Nur hal tersebut tidaklah tepat. Menurutnya, dîn adalah sebuah bentuk kepasrahan diri kepada Tuhan sebagai inti dan pondasi dasar keberagamaan yang otentik. Sedangkan negara adalah soal duniawi di mana dalam mengelolanya umat Islam dapat belajar dari bangsa-bangsa lain yang telah unggul dalam hal itu terlepas dari apapun agamanya, seiman atau tidak. Melalui pandangannya mengenai negara Islam, sesungguhnya Cak Nur telah memperkenalkan keberagamaan yang terbuka atau inklusif kepada kita semua.
Inilah salah satu kontribusi penting Cak Nur dalam mendekonstruksi paradigma berpikir umat Islam Indonesia. Jika kita melihat keengganan yang meluas terhadap ide negara Islam dan formalisasi syariat Islam di Indonesia dewasa ini, ataupun menyaksikan trend keberagamaan yang lebih menekankan sisi substantif ketimbang sisi simbolisnya, maka tidak ada keraguan sedikitpun dalam diri kita untuk menyebut nama Nurcholish Madjid sebagai seorang pioneer yang memungkinkan itu semua dapat terjadi. Keberagamaan umat Islam Indonesia pun menampilkan wajah baru yang jauh lebih sejuk.
Namun, kiprah intelektual Cak Nur sebagai seorang pembaharu bukannya tanpa sandungan dan ganjalan. Banyak pihak yang menudingnya bahwa melalui gagasan-gagasan pembaharuan, Cak Nur telah tercerabut dari akar dan tradisi intelektual keislaman yang sesungguhnya. Bahkan, ia dianggap telah menginjak-injak Islam sebagai sebuah risalah suci yang dibawa Rasulullah. Tak hanya sampai di situ, tuduhan kafir dan antek-antek zionis pun dialamatkan kepadanya.
Pada tahun 1984—sepulangnya dari studi di Amerika Serikat—Cak Nur bersama beberapa koleganya mendirikan Yayasan Wakaf Paramadina. Melalui wadah inilah ia kemudian secara lebih intens mencurahkan energi pemikirannya bagi upaya-upaya pembaharuan pemikiran Islam dan juga bagi kemajuan umat Islam di Indonesia. Menjelang akhir tahun 1992 bertempat di Taman Ismail Marzuki (TIM), Cak Nur menyampaikan pidato kebudayaan yang berjudul Beberapa Renungan tentang Kehidupan Keagamaan di Indonesia untuk Generasi Mendatang. Pidato kebudayaan tersebut sekaligus menandai munculnya polemik jilid dua dalam perjalanan intelektual Cak Nur.
Dalam pidato kebudayaan itu ia mengolah kembali gagasan-gagasannya tentang Islam sebagai agama yang hanîf dan inklusif serta melancarkan kritik keras terhadap gejala fundamentalisme dan radikalisme agama. Cak Nur juga melontarkan gagasan tentang kepasrahan sebagai inti dasar keislaman. Islam dalam pandangannya bukan hanya sebutan khusus bagi suatu agama, tetapi juga sebutan yang berlaku untuk semua bentuk keberagamaan yang berdasarkan pada kepasrahan terhadap Kebenaran Mutlak. Melalui gagasan tersebut, Cak Nur memberikan sebuah definisi baru atas Islam dengan cara yang sama sekali tidak biasa sehingga oleh para pengkritiknya ia dinilai telah mengaburkan makna Islam itu sendiri.
Namun, Cak Nur berargumen bahwa gagasan tersebut ia gali dari khazanah klasik Islam–dalam hal ini pemikiran Ibnu Taimiyyah—dan juga Alqur’an serta Hadis yang dalam beberapa kesempatan berbicara perihal warisan nabi Ibrahim yang mengalir dalam tiga agama besar, yakni Yahudi, Kristen, dan Islam. Warisan itu berupa al-hanîfîyah al-samâhah ataukehanifan yang lapang.
Gagasan Cak Nur ini sebenarnya adalah kelanjutan dari pemikirannya tentang sekularisasi. Ia selalu ingin membedakan antara Islam sebagai nilai yang universal dan Islam sebagai institusi yang partikular. Cak Nur berpihak pada yang aspek Islam yang pertama dan keberpihakan ini bukannya tanpa alasan. Pada dasarnya, Cak Nur hanya ingin menghilangkan efek-efek buruk yang lahir dari sikap fanatisme buta terhadap aspek Islam yang kedua itu. Tatkala menyapaikan pidato kebudayaan itu, hemat saya, tidak tertutup kemungkinan Cak Nur sudah menyadari bahwa fundamentalisme dan radikalisme agama telah muncul sebagai bentuk keagamaan yang dominan dan menyebar luas di kalangan umat Islam Indonesia. Dan Cak Nur menilai hal tersebut sebagai suatu hal yang tidak menguntungkan dilihat dari kacamata harmonisasi hubungan antarumat beragama. Ini dikarenanakan, baik fundamentalisme maupun radikalisme agama membawa cara keberagamaan yang cenderung tertutup.
Terlepas dari segala kontroversi yang menyelimutinya, gagasan-gagasan Cak Nur telah membentuk mazhab keberislaman yang sama sekali berbeda dengan arus-arus sebelumnya. Tak hanya itu, gagasan-gagasan Cak Nur pun–sebagaimana yang dipaparkan Bahtiar Effendy—turut mendorong terjadinya transformasi pemikiran dan praktik politik Islam di Indonesia. Ia adalah seorang pioneer dan pembuka jalan, yang mana jalan itu kini sudah menjadi jalan rutin yang dilintasi banyak orang. Kini, mayoritas umat Islam Indonesia sudah menerima klaim bahwa Islam di Indonesia ialah Islam yang moderat. Seolah-olah, Islam moderat itu hadir begitu saja dengan sendirinya tanpa adanya ikhtiar dari para perintisnya.
Atas dasar itu, tidak berlebihan kiranya jika kita menempatkan Nurcholish Madjid sebagai bagian terpenting dari kehadiran Islam moderat di Indonesia. Di samping itu, Cak Nur juga layak untuk menyandang gelar Guru Bangsa karena kegigihan dan kesabarannya dalam mengingatkan kita semua tentang pentingnya menegakkan standar moral bangsa.
** BAWONO KUMORO, Mahasiswa Fakultas Ushuluddin Filsafat UIN Jakarta dan Peneliti Laboratorium Politik Islam UIN Jakarta.
Disadur dari laman http://islamlib.com/id/artikel/mengenang-kembali-nurcholish-madjid