Martin Luther King dan Gus Dur (By Cak Nun)

KOMPAS, 25 Februari 2013 

Peta berpikir Amerika Serikat meletakkan almarhum Gus Dur setataran dan sewilayah jihad dengan Martin Luther King Jr. Consulate General of the United States of America di Surabaya ”memproklamasikan” itu dalam acara ”Tribute to Gus Dur and Martin Luther King Jr: Legacy of Pluralism Diversity and Democracy”.
 
Penyelenggara menerapkan kearifan nilai yang perlu diteladani dengan meletakkan saya yang berekam jejak di wilayah perjuangan kedamaian, pluralisme, dan demokrasi justru sebagai pendamping pembicara utama, yakni Alissa, putri Gus Dur.
 
Martin Luther King terkenal dengan ungkapannya ”I have a dream”, Gus Dur termasyhur dengan”Gitu saja kok repot” yang njangkungi Indonesia, dunia, dan kehidupan.
Jangkung artinya tinggi. Njangkungi atau menjangkungi artinya mengatasi, membereskan, mengungguli. Sebesar-besar masalah, setinggi-tinggi persoalan, dijangkungi oleh Gus Dur. Martin Luther King masih berposisi ”aku mendambakan”, Gus Dur ”sudah mencapai”. Gus Dur berbaring sambil senyum-senyum dan menyeletuk, ”Gitu saja kok repot.”
 
Wakil dari komunitas Khonghucu menangis-nangis terharu oleh kasih sayang Gus Dur yang membuat mereka memperoleh ruang dan kemerdekaan menjadi dirinya sendiri di Nusantara. Beberapa tokoh HMI dan Muhammadiyah yang bernasab Masyumi mendatangi saya di pojok ketika istirahat ngopi: ”Cak, Khonghucu bagian enak. Kami ini yang dapat asem kecut. Gus Dur tidak pernah bersikap enak kepada semua yang indikatif Masyumi. ICMI belum berdiri saja sudah dimarah-marahin oleh Gus Dur.”
 
Saya menjawab, ”Itu justru karena Gus Dur meyakini kalian sudah sangat mandiri dan kuat sehingga tidak perlu disantuni, malah dikasih tantangan, kecaman, dan sinisme supaya bangkit harga diri kalian.”
 
Peta politik, perekonomian, kebudayaan, dan apa pun sangat dikendalikan oleh konstelasi kedengkian kelompok, kepentingan sepihak, dan kebodohan publik yang menciptakan pemetaan gang-gang dan jejaring intermanipulasi subyektif golongan. Atas dasar psiko-budaya politik semacam itu pulalah Reformasi 1998 dipahami dan dirumuskan. Barang siapa tidak masuk golongan, ia tidak ada. Dan itu legal konstitusional: kaum independen tidak ada dalam peta politik Indonesia.
 
Maka, kepada teman-teman yang mengeluh itu saya berfilsafat: ”Kalau Anda kain putih, kotoran sedebu akan direwelin orang. Kalau ada gombol bosok, kotor seperti apa pun tidak dianggap kotoran. Tinggal Anda mau milih jadi kain putih atau gombal.”
 
HAM
 
Di samping HAM (hak asasi manusia), ada WAM: wajib asasi manusia. Namun, itu tak saya tulis di sini. Yang pasti Martin Luther King adalah ”Mbah”-nya semangat HAM, Gus Dur penikmat HAM. Martin Luther berjuang memerdekakan manusia, Gus Dur adalah manusia paling merdeka. Kalau pakai idiom Islamnya Gus Dur sendiri: Martin Luther berjuang pada tahap da’wah bilisanil qoul (menganjurkan dengan kata-kata), sedangkan Gus Dur amal bililasil-hal (melakukan dan meneladani dengan perilaku).
 
Andaikan yang didiskriminasikan di Amerika adalah kulit putih, Martin Luther tetap begitu juga perjuangannya. Karena dia bukan memperjuangkan hak-hak kaum hitam di Amerika, melainkan menempuh perjalanan menuju keadilan universal bagi seluruh dan setiap umat manusia. Bukan hitamnya yang dibela, melainkan hak kemanusiaannya. Bukan kulitnya, melainkan manusianya.
 
Atas aspirasi pluralisme dan anti-kekerasan yang dirintis Gus Dur, pasukan Banser selalu siap siaga menjaga gereja-gereja setiap Natal atau hari penting lainnya. Itu kesetiaan pluralistik model Gus Dur. Sementara Ahmadiyah dan Syiah, juga Masyumi atau Muhammadiyah, sudah sangat kuat dengan dirinya, tak perlu dijaga. Yang mereka perlukan adalah pelatihan-pelatihan iman, uji militansi, dan ketahanan juang. Kaum Muslimin memerlukan pukulan-pukulan untuk memperkokoh keyakinannya.
 
Gus Dur adalah seorang Bapak yang amat santun kepada tetangganya, tetapi sangat keras mendidik disiplin mental anak-anaknya sendiri dengan hajaran dan gemblengan sedemikian rupa. Kalau pakai budaya Jombang, agar anak-anak menjadi tangguh mentalnya, ia perlu diancup-ancupno ndik jeding (kepalanya dibenam-benamkan ke air kamar mandi), dibatek ilate (ditarik lidahnya keluar mulut sehingga tak bisa omong), atau disambleki mbarek sabuk lulang (dicambuki pakai ikat pinggang kulit).
 
Diskriminasi
 
Kehidupan umat manusia di permukaan bumi ini, atau mungkin memang selamanya demikian, selalu hiruk-pikuk oleh silang sengkarut diskriminasi, berbagai jenis, konteks, dan modus diskriminasinya. Ada diskriminasi rasial, diskriminasi kultural, diskriminasi eksistensial, diskriminasi primordial, bahkan diskriminasi teologis dan natural. Peristiwa diskriminasi penuh ambiguitas, melingkar-lingkar, berlipat-lipat, letaknya bersama keadilan universal sering kali berdampingan, bahkan teramu menjadi sebuah kesatuan.
 
Mungkin sekali diskriminasi dijelaskan dengan terpaksa menerapkan diskriminasi di sana sini. Diskriminasi adalah aplikasi ketidakadilan pada konteks yang berkaitan dengan identitas, eksistensi, letak keberadaan, atau posisi dalam peta kehidupan. 
 
Sedangkan keadilan dan ketidakadilan adalah puncak ilmu dan misteri yang mungkin saja tak pernah benar-benar bisa dijangkau oleh manajemen logika manusia. Kita tak boleh pernah berhenti mencari dan memperjuangkannya.
 
Kalau dua anak kita belikan baju dengan warna yang sama, itu diskriminatif terhadap hak estetika mereka. Kalau kita bebaskan mereka memilih selera masing-masing, nanti perbedaan harga di antara dua baju itu mengandung diskriminasi. Kita bikin kurungan kecil untuk burung dara dan kandang sangat besar untuk gajah: terjadi diskriminasi pada yang satu dapat gede, lainnya kecil.
 
Puluhan parpol tidak lolos KPU karena parameter teknis kuantitatif sehingga anggota parpol yang tidak lulus memperoleh dua wilayah diskriminasi: tidak bisa menggunakan aspirasi orisinalnya dalam proses bernegara, atau mendiskriminasikan aspirasinya sendiri dengan menjualnya ke lembaga aspirasi yang bertentangan dengannya. Kalau yang independen, sekali lagi: tiada.
 
Bahasa jelasnya, sejarah bukan tidak mungkin mencatat tokoh yang banyak melakukan tindakan diskriminasi justru sebagai tokoh anti-diskriminasi.
Bangsa Amerika sudah melewati kurun waktu lebih panjang untuk lebih bisa meletakkan Luther King pada makam sejarahnya, sementara bangsa Indonesia memerlukan waktu lebih panjang untuk memastikan posisi Gus Dur. Apalagi, kita sedang mengalami era abu-abu ketika masyarakat mengalami ketidakpastian pandangan tentang tokoh-tokoh kebangsaan mereka.
 
Kita mengalami ambiguitas pandangan yang sangat serius kepada Bung Karno, Pak Harto, banyak tokoh nasional lainnya termasuk M Natsir, Syafrudin Prawironegoro, atau bahkan Tan Malaka, juga Gus Dur. Di Jombang semula akan diresmikan Jalan Presiden Abdurrahman Wahid, sekarang kabarnya kata presiden dihilangkan.
 
Utamanya kaum Nahdliyin (umat NU) perlu menggiatkan upaya ilmiah obyektif, penelitian yang saksama dan rinci mengenai sejarah sosial Gus Dur. Secara keseluruhan umat Islam perlu membuktikan kejernihan intelektual dan keadilan sejarah untuk membuka wacana adil kesejarahan demi keselamatan generasi mendatang. Pemeo ”sejarah itu milik mereka yang menang” perlu ditakar persentasenya pada peta pengetahuan sejarah bangsa Indonesia.
 
Para pencinta Gus Dur juga perlu segera mengeksplorasi upaya penelitian sejarahnya, untuk mendapatkan ketegasan persepsi tentang Gus Dur. Perlu ada semacam Buku Besar Gus Dur tentang benar-salah beliau selama kepresidenannya dan pemakzulan atas kedudukan beliau.
 
Dipertegas data sejarah dan fakta-fakta sosial di mana dan kapan saja Gus Dur memperjuangkan keadilan, mendamaikan bangsa, dan mempertahankan kejujuran kemanusiaan. Dibuktikan secara faktual dan rinci bahwa Gus Dur adalah pluralis pemersatu: pada peristiwa apa, kapan, di mana, Gus Dur mendamaikan, dan mempersatukan ini-itu. Supaya punya bahan faktual untuk tegas menjawab pertanyaan sinis: ”Sebutkan apa saja yang tidak pecah setelah Gus Dur hadir.”
 
Terkadang ada niat saya bertanya langsung kepada Gus Dur di alam barzakh soal ini, tetapi khawatir dijawab, ”Gitu saja kok repot!” Di samping itu, saya khawatir juga sebab di alam sana Marthin Luther King tinggal sewilayah dengan Gus Dur. Orang-orang memanggilnya ”Gus Martin”.
Sumber: http://www.caknun.com/2013/martin-luther-king-dan-gus-dur/
Gambar oleh Membumikan Toleransi dari http://www.berita8.com

Buku Mohamed Fathi Osman: Islam, Pluralisme, dan Toleransi Keagamaan

Fathi Osman dalam buku ini menegaskan bahwa pluralisme adalah bagian dari peradaban, yang secara teologis, didasarkan pada konsep kesamaan dasar (common platform, kalimat-un sawd) agama-agama. Sementara dîn atau esensi agama itu sama; kepada setiap golongan dari kalangan umat manusia Allah menetapkan syir`ah (atau s y a r î ’a h, yakni, jalan) dan minhâj (cara) yang berbeda-beda. Perbedaan agama-agama ini secara teologis memang disebabkan karena Allah tidak menghendaki umat manusia itu satu dan sama semua dalam segala hal. Allah malah menghendaki agar manusia dalam perbedaan yang bisa membawa rahmat ini, saling berlomba-lomba menuju kepada berbagai kebaikan.

Al-Qur’an menurut Fathi Osman menegaskan bahwa nanti seluruh umat manusia akan kembali kepada Allah dan kelak Dialah yang akan membeberkan hakikat perbedaan antara manusia itu (Q. 5:48). Sehingga, bukan hanya kesatuan yang merupakan esensi agama-agama, tetapi perbedaan juga merupakan kenyataan yang harus dihormati, bahkan dikembangkan untuk kemaslahatan bersama.

Silakan diunduh berikut:

Sumber: http://www.abad-demokrasi.com

Kolom: Basis Teologi Persaudaraan Antar-Agama

Budhy Munawar Rahman

Ayat dalam surah al-A’raf itu sering disebut sebagai ayat “perjanjian primordial” manusia dengan Tuhan. Dasar spiritualitas manusia yang paling pokok: Kita mengakui bahwa Allah adalah Pencipta, Tuhan semesta alam, dan kita juga mengakui adanya kewajiban kita kepada-Nya, yang terbawa oleh kodrat kita yang fitrah. Dan kewajiban itu bukan hanya segi-segi transendental, tetapi lebih-lebih kewajiban sosial terhadap sesama manusia. Dalam frase agama, iman dikaitkan dengan amal-saleh (yaitu kerja-kerja kemanusiaan).

Baca Online DI SINI

Cak Nur(cholis Madjid): Pidato Terakhir

“… Toleran satu sama lain mengandung semangat pluralisme, bahwa kita mengakui adanya perbedaan di antara masyarakat, tetapi perbedaan itu secara positif. Perbedaan harus dijadikan modal untuk saling berlomba menggapai kebajikan…”

Merayakan Kebebasan Beragama

 

Judul : Merayakan Kebebasan Beragama- Bunga Rampai 70 Tahun Djohan Effendi

Penulis : Dawam Rahardjo, Mujibur rahman, Andreas A. Yewa¬ngoe, Franz Magnis Suseno, Martin Lukito Sinaga, Noorhadi Hasan, Greg Barton, Siti Mudah Mulia, Trisno Sutanto, dkk.

Editor :Elza Peldi Taher, Anick HT

Pengantar: Budhy Munawar Rachman

Epilog : Greg Barton

Isi : xxxviii+802 halaman

Penerbit : ICRP & Buku Kompas, 2009

Djohan Effendi (DE) adalah salah satu sosok juru damai berbasis pemikiran Islam. Sepak terjangnya dalam dunia pluralisme dan kehidupan toleransi umat beragama di Indonesia tak diragukan lagi. Untuk itulah buku bunga rampai Merayakan Kebebasan Beragama ini diterbitkan sebagai peringatan atas usianya yang ke-70 tahun. Menghimpun sebanyak 40 penulis, buku inimengumpulkan seraya memetakan sepak terjang perjalanan DE dalam kerukunan dan kebebasan umat beragama dari kacamata penulis-penulis terpilih yang notabene sahabat-sahabat DE.

Buku ini juga tak melulu membicarakan sosok DE sehingga terhindar dari jebakan penulisan “biografi” DE semata melainkan juga membicarakan jejak-jejak toleransi dan pluralisme di Indonesia yang pastinya digiatkan oleh Djohan sendiri. Terbagi dalam enam bagian, bagian pertama Jejak Djohan Effendi dalam Wacana dan gerakan Keagamaan di Indonesia (h.1), bagian kedua Membumikan Toleransi dan Pluralisme (h.75), bagian ketiga Wacana Pluralisme Agama (h.145), bagian keempat Negara dan Kebebasan Beragama (h.313), bagian kelima Gerakan Dialog Agama (h.495) dan bagian keenam Agama, Teologi, dan Demokrasi (h.675).

Yang menarik pada bagian pertamanya (h.2) Dawam Rahardjo menulis bahwa pemikirannnya agak berbeda dengan DE dan Ahmad Wahib, sejoli kelompok pemikir HMI. DE-Wahib lebih memperhatikan masalah demokrasi dan modernisasi sedangkan Dawam lebih menekankan sosialisme dan nasionalisme. Dalam isu modernisasi, ia pernah terlibat perdebatan dengan Ahmad Wahib tatkala ia sangat kritis terhadap gagasan modernisasi dan lebih tertarik pada isu keadilan sosial. Ini menarik karena sosok Dawam Rahardjo yang juga sosok pluralis ternyata berseberangan dengan sosok DE. Hal ini diungkap rada gamblang oleh Dawam satu hal yang mungkin baru terungkap setelah kita membaca buku bunga rampai ini.

Yang menariknya lagi dalam bagian ini mereka (Dawam dan DE) me¬reka termasuk memelopori gagasan menjadikan Pancasila sebagai ideologi gerakan Islam, terutama partai politik meninggalkan wacana gerakan negara Islam dan Piagam Jakarta-satu hal yang baru terungkap dalam buku ini. Di sini mereka mereka memelopori wawasan liberal-pluralis yang mengarah pada sekularisme yang menjadi topik diskusi yang diajukan Pak Mukti Ali tatkala membahas buku “Islam Negara Sekuler”.

Sebenarnya semua negara muslim yang berazas sekuler seperti di Indonesia memerlukan otoritas yang didukung oleh semua organisasi keagamaan. Tapi fungsi otoritas ini bukanlah memelihara ortodoksi dan hegemoni kelompok mayoritas, melainkan melindungi semua aliran kegamaan agar terhindar dari kesesatan. Dengan kata lain, fungsi dan tujuan otoritas keagamaan adalah melindungi kebebasan beragama dan beribadah seraya mengembangkan kerukunan dalam kehidupan beragama. Bidang inilah yang kemudian ditekuni Djohan Effendi sekarang hingga terbentuklah ICRP.

Selain dikenal sebagai sosok juru damai buku ini juga memperkenalkan ide-ide dan kiprah Djohan Effendi yang pada mulanya dianggap “tidak umum” lantaran di kalangan pemikir Islam Djohan melontarkan ide “Islam tidak perlu dijadikan ideologi politik”.
Karena pendapat ini dianggap melawan arus, maka tak heran kalau ia mendapatkan reaksi dan tanggapan yang luas, baik dari kalangan aktivis gerakan-gerakan Islam sendiri ataupun dari kalangan sarjana yang meneliti Islam di Indonesia pada masa Orde baru.

Menurut Mujiburrahman dalam Legitimasi dan Kritik: Pemikiran Keagamaan Djohan Effendi (h.46) para sarjana sepertinya kurang memperhatikan perhatian yang layak terhadap pemkiran Djohan Effendi tersebut terutama jika dibandingkan dengan perhatian pemikiran tokoh-tokoh lain seperti Nurcholish Madjid dan Gus Dur. Ini menarik karena Djohan termasuk tokoh penting di kalangan pengusung ‘Islam non-ideologis’ tersebut. (h.47). Di bagian ini Mujiburrahman mencoba memamaparkan dan menganalisis pemikiran keagamaan Djohan Effendi dilihat dari konteks sosial politik di Indonesia.

Djohan Effendi seperti pengusung Islam non-ideologis lainnya menerima Pancasila sebagai titik temu bagi berbagai elemen bangsa. Pandangan ini tentu saja sejalan dnegan rezim Orde Baru sehingga ia di terima di departemen Agama dan Sekretariat Negara dimana Djohan juga bekerja sebagai penulis pidato presiden Soeharto. Meskipun diterima di kalangan Orde Baru bukan berarti ia setuju dengan kebijakan-kebijakan Orde Baru yang tidak demokratis. Djohan justru bergabung dengan gerakan demokrasi meskipun harus “mengorbankan nama baik”nya di mata pemerintah. (h.48).

Bagi Djohan nilai-nilai Pancasila sudah sejalan dengan nilai-nilai Islam, oleh karenanya Islam sebagai ideologi politik tidak diperlukan. Apalagi menurutnya konsep ‘negara Islam’ tak lebih dari utopia yang tidak berpijak pada realitas sedangkan tidak ada negara Islam yang bisa dijadikan contoh ideal. Djohan tidak berhenti sampai di situ saja. Ia tampaknya tidak begitu puas dengan rumusan negatif mengenai hakikat negara kita yaitu ‘tidak negara sekuler, tidak pula negara agama’. Negara kita menurutnya menganut adanya ‘sosialisme religius’. Hal yang ia sampaikan melalui pidato presiden Soeharto ini mendapat sambutan hangat antara lain dari Nurcholish Madjid .

Franz Magnis Suseno dalam tulisannya Gold Talk (h.65) menilai Djohan Effendi adalah sosok agamawan abad ke-21 agamawan yang meyakinkan juga bagi mereka di luar, termasuk mereka yang sama sekali tak percaya dalam rangka salah satu agama. Bagi Magnis mereka yang bertemu dengan DE dapat merasakan bahwa agama mencerahkan, membuat kuat, mendukung apapun yang positif dan bisa menawarkan keselamatan. DE yakin pada Islamnya tapi bebas dari segala sikap sombong atau merendahkan agama lain.
Dia amat yakin bahwa agama harus betul-betul baik dalam arti menunjang tarikan kebaikan hati nurani, jadi harus menolak segala kecenderungan untuk membenci yang berbeda.(h.73)

Selain itu DE juga melihat bahwa dalam agama-agama pasti ada hal-hal baik yang bisa menjadi kepunyaan bersama. Seakan-akan kita semua, apapun agamanya, berziarah bersama di dalam perjalanan ziarah kemanusiaan, mencari nilai-nilai tertinggi. Dalam interaksi itulah kita memeproleh kekayaan spiritual bersama. (h.87, tulisan Andreas A. Yewangoe, Regulasi Toleransi dan Pluralisme Agama di Indonesia).

Kendati buku gemuk ini rata-rata menyambut aspirasi DE dalam kehidupan pluralisme dan toleransi umat beragama di Indonesia di mata para sahabat, buku ini juga menawarkan berbagai pandangan yang patut kita simak. Misalnya Multikulturalisme dan Tantangan Radikalisme (Noorhadi Hasan,h.198) sampai Tentang Alih-Agama (Conversion) di Indonesia (Martin Lukito Sinaga, h.275). Sehingga buku ini benar-benar merupakan antologi bunga rampai yang lengkap memetakan wacana pluralisme di Indonesia secara komprehensif. Meskipun demikian buku ini juga menyimpan kekurangan yaitu tidak diterjemahkannya epilog Greg Barton berjudul Modest Mensh, Virtous Intelectual (h.751). Padahal kalau diterjemahkan ke bahasa Indonesia pembaca dapat mengetahui pemikiran dan apresiasi seorang intelektual asing terhadap kiprah Djohan Effendi. Bukankah baru dia pemikir asing yang benar-benar mengamati kiprah pemikiran DE ?

Kemudian di beberapa tulisan misalnya tulisan Andreas A. Yewangoe (h.76) dan Gold Talk oleh Franz Magnis Suseno (h.65) terlihat terlalu panjang sehingga kurang menukik pada pemikiran sebenarnya tentang kiprah DE sendiri. Kalaupun ada sangat minim sehingga hanya terbaca kilasan secara umum perihal kiprah DE.

Namun di luar segala kekurangannya buku ini patut kita sambut dalam memperkaya wacana pluralisme dan toleransi umat beragama terutama di mata sahabat-sahabat salah seorang tokoh pluralis Indonesia DE. Hadirnya buku ini memperkaya kita bahwa keragaman beragama di Indonesia adalah satu hal yang patut disyukuri. *

Oleh Donny Anggoro

Sumber: ICRP

 

Mengenang Kembali Nurcholish Madjid

Oleh Bawono Kumoro

“Inilah salah satu kontribusi penting Cak Nur dalam mendekonstruksi paradigma berpikir umat Islam Indonesia. Jika kita melihat keengganan yang meluas terhadap ide negara Islam dan formalisasi syariat Islam di Indonesia dewasa ini, ataupun menyaksikan trend keberagamaan yang lebih menekankan sisi substantif ketimbang sisi simbolisnya, maka tidak ada keraguan sedikitpun dalam diri kita untuk menyebut nama Nurcholish Madjid sebagai seorang pioneer yang memungkinkan itu semua dapat terjadi.”

Pada tanggal 29 Agustus 2006 lalu, tepat setahun sudah bangsa Indonesia kehilangan salah satu putra terbaiknya, yaitu Almarhum Nurcholish Madjid atau yang lebih akrab disapa Cak Nur. Semasa hidupnya ia dikenal sebagai seorang cendikiawan Muslim Indonesia yang punya ketajaman pemikiran dan kaya akan gagasan-gagasan pembaharuan, khususnya dalam bidang keislaman. Yudi Latif mengibaratkan Cak Nur seperti Socrates, kepada kita semua Cak Nur meninggalkan sebuah warisan berupa the empire of mind. Seperti halnya sejarah perjalanan orang-orang besar, berbagai gagasan yang dihasilkan Cak Nur pun telah menyulut berbagai polemik di tengah-tengah masyarakat.

Sejak menyampaikan butir-butir pemikirannya yang tertuang dalam dua tema besar, yaitu Keharusan Pembaharuan Pemikiran dan Masalah Integrasi Ummat dan Menyegarkan Paham Keagamaan di Kalangan Umat Islam Indonesia, Cak Nur sudah membuka pintu polemik. Pada dasarnya, dalam makalah yang pertama Cak Nur mengangkat dua gagasan utama, yakni perihal jargon Islam Yes Partai Islam No dan konsep tauhid sebagai titik pangkal dari sekularisasi. Sedangkan dalam makalah yang kedua ia menyatakan sikap atas ketidaksetujuaannya (baca: menolak) terhadap ide negara Islam. Tiga gagasan besar itulah yang kemudian menempatkan Cak Nur sebagai pemikir Islam Indonesia pertama yang berikhtiar secara sungguh-sungguh guna memisahkan antara Islam sebagai sebuah agama dan Islam sebagai sebuah institusi.

Tidak seperti sekarang, pada masa itu gagasan tersebut sangatlah tidak lazim dan berada di luar arus utama pemikiran Islam Indonesia. Umat Islam Indonesia ketika itu terbiasa dengan penyetaraan Islam sebagai agama dan Islam sebagai institusi sehingga secara tak langsung terjadi sakralisasi terhadap Islam sebagai Institusi. Misalnya, tingkat kesetiaan seseorang terhadap partai Islam dijadikan tolok ukur apakah orang tersebut muslim yang taat atau tidak.

Dalam penilaian Cak Nur, sakralisasi tersebut sangatlah bertolak belakang dengan konsep tauhid yang dibawa Islam itu sendiri. Jika selama ini tauhid lebih dimaknai sebagai suatu sikap pengesaan Allah atau pengakuan bahwa hanya Allah satu-satunya Tuhan yang harus disembah, maka Cak Nur menarik lebih jauh konsekuensi dari konsep tauhid tersebut. Menurutnya, tauhid berarti mengesakan Allah sebagai satu-satunya yang sakral, sedangkan obyek-obyek lain sifatnya profan. Jika hanya Allah yang sakral, maka yang lain tidak sakral termasuk dalam hal ini institusi-institusi Islam, seperti partai Islam.

Dengan demikian, maka tingkat kesetian seseorang terhadap partai Islam bukanlah menjadi penentu mutu keislaman orang yang bersangkutan. Berpijak dari sana, selanjutnya Cak Nur menolak dengan tegas ide negara Islam. Baginya ide tersebut apologetik sifatnya, muncul dari perasaan rendah diri umat Islam terhadap kemajuan Barat. Ada sebagian umat Islam yang kagum dan terpesona kepada ideologi-ideologi modern yang bersifat menyeluruh dan secara terperinci mengatur setiap bidang kehidupan, mulai dari ekonomi, politik, sosial, sampai budaya. Kekaguman itu kemudian mendorong umat yang ideologis tersebut untuk juga membawa Islam sebagai agama (dîn) menjadi sebuah ideologi politik yang secara menyeluruh dan totalistik mengatur setiap bidang kehidupan.

Dalam pandangan Cak Nur hal tersebut tidaklah tepat. Menurutnya, dîn adalah sebuah bentuk kepasrahan diri kepada Tuhan sebagai inti dan pondasi dasar keberagamaan yang otentik. Sedangkan negara adalah soal duniawi di mana dalam mengelolanya umat Islam dapat belajar dari bangsa-bangsa lain yang telah unggul dalam hal itu terlepas dari apapun agamanya, seiman atau tidak. Melalui pandangannya mengenai negara Islam, sesungguhnya Cak Nur telah memperkenalkan keberagamaan yang terbuka atau inklusif kepada kita semua.

Inilah salah satu kontribusi penting Cak Nur dalam mendekonstruksi paradigma berpikir umat Islam Indonesia. Jika kita melihat keengganan yang meluas terhadap ide negara Islam dan formalisasi syariat Islam di Indonesia dewasa ini, ataupun menyaksikan trend keberagamaan yang lebih menekankan sisi substantif ketimbang sisi simbolisnya, maka tidak ada keraguan sedikitpun dalam diri kita untuk menyebut nama Nurcholish Madjid sebagai seorang pioneer yang memungkinkan itu semua dapat terjadi. Keberagamaan umat Islam Indonesia pun menampilkan wajah baru yang jauh lebih sejuk.

Namun, kiprah intelektual Cak Nur sebagai seorang pembaharu bukannya tanpa sandungan dan ganjalan. Banyak pihak yang menudingnya bahwa melalui gagasan-gagasan pembaharuan, Cak Nur telah tercerabut dari akar dan tradisi intelektual keislaman yang sesungguhnya. Bahkan, ia dianggap telah menginjak-injak Islam sebagai sebuah risalah suci yang dibawa Rasulullah. Tak hanya sampai di situ, tuduhan kafir dan antek-antek zionis pun dialamatkan kepadanya.

Pada tahun 1984—sepulangnya dari studi di Amerika Serikat—Cak Nur bersama beberapa koleganya mendirikan Yayasan Wakaf Paramadina. Melalui wadah inilah ia kemudian secara lebih intens mencurahkan energi pemikirannya bagi upaya-upaya pembaharuan pemikiran Islam dan juga bagi kemajuan umat Islam di Indonesia. Menjelang akhir tahun 1992 bertempat di Taman Ismail Marzuki (TIM), Cak Nur menyampaikan pidato kebudayaan yang berjudul Beberapa Renungan tentang Kehidupan Keagamaan di Indonesia untuk Generasi Mendatang. Pidato kebudayaan tersebut sekaligus menandai munculnya polemik jilid dua dalam perjalanan intelektual Cak Nur.

Dalam pidato kebudayaan itu ia mengolah kembali gagasan-gagasannya tentang Islam sebagai agama yang hanîf dan inklusif serta melancarkan kritik keras terhadap gejala fundamentalisme dan radikalisme agama. Cak Nur juga melontarkan gagasan tentang kepasrahan sebagai inti dasar keislaman. Islam dalam pandangannya bukan hanya sebutan khusus bagi suatu agama, tetapi juga sebutan yang berlaku untuk semua bentuk keberagamaan yang berdasarkan pada kepasrahan terhadap Kebenaran Mutlak. Melalui gagasan tersebut, Cak Nur memberikan sebuah definisi baru atas Islam dengan cara yang sama sekali tidak biasa sehingga oleh para pengkritiknya ia dinilai telah mengaburkan makna Islam itu sendiri.

Namun, Cak Nur berargumen bahwa gagasan tersebut ia gali dari khazanah klasik Islam–dalam hal ini pemikiran Ibnu Taimiyyah—dan juga Alqur’an serta Hadis yang dalam beberapa kesempatan berbicara perihal warisan nabi Ibrahim yang mengalir dalam tiga agama besar, yakni Yahudi, Kristen, dan Islam. Warisan itu berupa al-hanîfîyah al-samâhah ataukehanifan yang lapang.

Gagasan Cak Nur ini sebenarnya adalah kelanjutan dari pemikirannya tentang sekularisasi. Ia selalu ingin membedakan antara Islam sebagai nilai yang universal dan Islam sebagai institusi yang partikular. Cak Nur berpihak pada yang aspek Islam yang pertama dan keberpihakan ini bukannya tanpa alasan. Pada dasarnya, Cak Nur hanya ingin menghilangkan efek-efek buruk yang lahir dari sikap fanatisme buta terhadap aspek Islam yang kedua itu. Tatkala menyapaikan pidato kebudayaan itu, hemat saya, tidak tertutup kemungkinan Cak Nur sudah menyadari bahwa fundamentalisme dan radikalisme agama telah muncul sebagai bentuk keagamaan yang dominan dan menyebar luas di kalangan umat Islam Indonesia. Dan Cak Nur menilai hal tersebut sebagai suatu hal yang tidak menguntungkan dilihat dari kacamata harmonisasi hubungan antarumat beragama. Ini dikarenanakan, baik fundamentalisme maupun radikalisme agama membawa cara keberagamaan yang cenderung tertutup.

Terlepas dari segala kontroversi yang menyelimutinya, gagasan-gagasan Cak Nur telah membentuk mazhab keberislaman yang sama sekali berbeda dengan arus-arus sebelumnya. Tak hanya itu, gagasan-gagasan Cak Nur pun–sebagaimana yang dipaparkan Bahtiar Effendy—turut mendorong terjadinya transformasi pemikiran dan praktik politik Islam di Indonesia. Ia adalah seorang pioneer dan pembuka jalan, yang mana jalan itu kini sudah menjadi jalan rutin yang dilintasi banyak orang. Kini, mayoritas umat Islam Indonesia sudah menerima klaim bahwa Islam di Indonesia ialah Islam yang moderat. Seolah-olah, Islam moderat itu hadir begitu saja dengan sendirinya tanpa adanya ikhtiar dari para perintisnya.

Atas dasar itu, tidak berlebihan kiranya jika kita menempatkan Nurcholish Madjid sebagai bagian terpenting dari kehadiran Islam moderat di Indonesia. Di samping itu, Cak Nur juga layak untuk menyandang gelar Guru Bangsa karena kegigihan dan kesabarannya dalam mengingatkan kita semua tentang pentingnya menegakkan standar moral bangsa.

** BAWONO KUMORO, Mahasiswa Fakultas Ushuluddin Filsafat UIN Jakarta dan Peneliti Laboratorium Politik Islam UIN Jakarta.

Disadur dari laman http://islamlib.com/id/artikel/mengenang-kembali-nurcholish-madjid