Kisah Kang Jalal Soal Syiah Indonesia (Bagian 1)

Perseteruan antara penganut Sunni dan Syiah bukanlah hal baru. Konflik ini telah berjalan ribuan tahun. Lokasi bentrokan tak cuma di Indonesia saja, melainkan pada banyak negara. Karena itu, cendekiawan Jalaluddin Rakhmat menyatakan konflik Sunni-Syiah bukan problem lokal atau nasional, melainkan permasalahan internasional.

Ketika Tempo berkunjung ke kediamannya, Kamis, 29 Agustus 2012, lelaki yang biasa disapa Kang Jalal ini bercerita soal Syiah di Indonesia. Mulai dari proses penyebaran, konflik, cara beribadah, hingga ancaman yang kerap diterima pengikut Syiah. Dan inilah hasil perbincangan wartawan Tempo: Choirul Aminuddin, Erwin Zachri, Cornila Desyana, dan Praga Utama dengan Ketua Dewan Syuro ikatan Jemaah Ahlul Bait Indonesia itu.

Kapan kali pertama Syiah masuk Indonesia?
Tak ada yang tahu pasti karena tidak pernah ada sejarah yang mencatatnya. Tapi saya duga, Islam yang pertama kali masuk ke Aceh sekitar abad ke-8 atau waktu Dinasti Abbasiyah. Ketika itu, orang Hadramaut dari Arab masuk ke Aceh untuk berdakwah. Tapi mereka tak menunjukkan dirinya Syiah. Melainkan ber-taqiyah (berpura-pura) menjadi pengikut mahzhab Syafi”i. Karena itu, secara kultur Nahdlatul Ulama adalah Syiah. Tapi tak pernah ada sejarah yang merekam jejak mereka. Jadi, dianggapnya tak ada Syiah di kala itu. (Baca juga: Penyebaran Syiah di Aceh )

Kenapa mereka berpura-pura menganut Mahzab Syafi”i?
Mereka tetap orang Syiah. Tapi di luarnya mempraktikkan mahzab Syafi”i. Tujuannya untuk melindungi diri dari serangan.

Apa yang membuat Anda yakin Syiah sudah masuk Indonesia kala itu?
Anda bisa lihat dari beberapa tradisi di Indonesia. Tabot, misalnya. Tradisi itu kerap dilakukan masyarakat Bengkulu pada 1 hingga 10 Muharram tiap tahunnya. Tak kurang dari seribu orang mengikuti Tabot. Mereka melakukan drama kolosal yang mengenang tragedi pembantaian keluarga nabi dan tewasnya Imam Hussein di Karbala. 

 Awalnya, tradisi itu diperkenalkan saudagar India yang kapalnya terdampar di Bengkulu. Tapi warga tak tahu jika tabot adalah tradisi Syiah. Sampai sekarang pemerintah dan warga Bengkulu tetap menggelar tabot, meskipun mereka bukan Syiah. (Baca: Tabot, Jejak Syiah dalam Tradisi Indonesia)

Lalu kapan jejak Syiah di Indonesia mulai terbaca sejarah?
Pada penyebaran gelombang kedua, Syiah masuk sekitar 1982. Berawal dari revolusi Islam di Iran pada 1979-1980-an, yakni peristiwa perebutan kekuasaan di Iran dari pemerintahan otokrasi, Mohammad Reza Shah Pahlavi, oleh ulama tua, Ayatullah Rohullah Khomeini. (Baca juga: Syiah Berkembang di Indonesia Pasca-Evolusisi Iran)

Kakek ini (Khomeini) menarik perhatian mahasiswa. Buat gerakan Islam di Indonesia yang selalu gagal dalam pertarungan politik, Imam Khomeni dianggap sebagai harapan. Ia menjadi lambang negara dunia ketiga yang melawan Amerika.

Mahasiswa yang dilarang berkegiatan sosial oleh pemerintah kembali ke masjid. Mereka mengulas buku-buku revolusi Iran, mengenal Syiah, mempelajari ideologi serta filosofinya. Kemudian muncullah Syiah di kalangan pelajar yang berpusat pada masjid kampus. 

Kelompok Syiah pertama kali muncul di daerah mana?
Di Bandung. Lalu Syiah masuk ke HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) dan mulai tersebar ke kampus di daerah lain. Aktivis HMI menyebarkan ajaran Syiah secara sistematis, yakni melalui pelatihan kepemimpinan. (Baca juga: Bandung, Kantong Syiah Terbesar di Indonesia )

Syiah di masa itu sudah menimbulkan protes dari masyarakat?
Belum. Bahkan masyarakat tak merisaukan kesibukan mahasiswa yang mempelajari Syiah. Sebab mereka tak membicarakan soal fiqih. Jadi hanya dianggap sebagai gerakan intelektual.

Lalu kapan Syiah mulai diprotes?
Pada gelombang ketiga. Waktu orang-orang sudah mengerti ideologi dan filofosi Syiah. Kemudian mereka ingin mengenal Syiah dari segi fiqih. Mereka belajar dari habib yang pernah belajar di Khum, Iran. Karena sudah masuk ke ranah fiqih, muncullah perbedaan paham. Dan timbullah benih konflik.

Apa sampai di situ saja penyebaran Syiah di Indonesia?
Tidak. Ada gelombang keempat, ketika orang Syiah mulai membentuk ikatan. Misalnya Ikatan Jemaah Ahlul Bait Indonesia, IJABI. Berdiri 1 Juli 2000, IJABI merupakan organisasi massa yang diakui keberadaannya oleh Kementerian Dalam Negeri.

Tapi penyebaran kali ini tak mengutamakan fiqih, kami mengedepankan akhlak. Alasannya, fiqih sudah menimbulkan konflik. Sedangkan bagi kami, yang penting Islam bersatu dan Indonesia tenteram. Jadi IJABI lebih fokus pada kegiatan sosial.

******

Berapa populasi umat Syiah di Indonesia?
Berdasarkan penelitian pemerintah, paling sedikit ada 500 ribu orang. Ada juga yang memberikan perkiraan tertinggi, sekitar lima juta umat. Tapi menurut saya sekitar 2,5 juta jiwa yang tersebar di banyak daerah. (Baca: Berapa Populasi Syiah di Indonesia)

Di daerah mana saja?
Kalau berdasarkan ranking jumlah pengikut, ada tiga lokasi terbesar. Pertama, Bandung, lalu Makassar, dan Jakarta. (Baca: Bandung, Kantong Syiah Terbesar di Indonesia)

Kalau di Sampang, berapa orang?
Sedikit. Sekitar 700 orang. Karena kecil itu, Syiah di Sampang sering diserang. Coba mereka serang Bandung…. (Baca: Bagaimana Kronologi Syiah Masuk Sampang?)

Apa perbedaan Syiah di Indonesia dengan Iran?
Tidak ada. Syiah di Iran menganut Syiah Itsna Asyariyah atau Imamah, yakni ajaran yang mengutamakan masalah kepemimpinan. Ajaran itu tercantum dalam Undang-Undang Iran. Dan kami juga Syiah Itsna Asyariyah.

Lalu bagaimana hubungan Syiah di Indonesia dengan Iran?
Kami hanya punya hubungan ideologi saja. Iran adalah negara Syiah. Tapi selain itu, mereka hampir tak pernah memberikan bantuan apa pun. Saya mendirikan sekolah di berbagai tempat, tapi orang-orang memuji Kedutaan Iran. Mereka dianggap berhasil memajukan Syiah di Indonesia. (Baca: Iran Tak Pernah Bantu Syiah Indonesia)

Apa mereka tahu keberadaan IJABI?
Ya. Bahkan, pernah ada ulama Indonesia yang mengadu ke pemerintah Iran. Mereka meminta Iran membubarkan IJABI. Alasannya, IJABI menentang ideologi Iran. Memang kami menentangnya karena ideologi kami Pancasila, seperti yang dipakai Indonesia. Lalu kata utusan Iran, hal itu bukan urusannya. Sebab, Iran tak bisa membubarkan organisasi di negara lain.

Kalau hubungan dengan pemerintah, bagaimana?
Baik. Beberapa kali Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta saya menjadi perwakilan Syiah di Indonesia yang pergi ke luar negeri. Permintaan itu datang ketika ada pertemuan menyangkut Syiah di dunia internasional dan Kementerian Agama yang mengutus saya.

IJABI pun diakui secara resmi oleh Kementerian Dalam Negeri. Jadi, dalam politik, kedudukan kami sama dengan yang lain, yakni memiliki hak berserikat dan berkumpul. (Baca: Hubungan Pemerintah-Penganut Syiah Indonesia Baik )

Sumber: Tempo Online

All You Need Is Love (Ihsan Ali Fauzi & Ade Armando)

Para penulis yang esainya diterbitkan di sini adalah anak-anak muda. Kecuali satu (Irfan Mohamad, pada esai ketiga), semuanya berusia di bawah 40 tahun, dan rata-rata lahir antara akhir 1970-an dan awal 1980-an. Artinya, mereka belum lahir ketika Cak Nur menyampaikan pidatonya yang menghebohkan itu, berjudul “Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat”, di Jakarta, Januari 1970, yang menandai kiprahnya sebagai – meminjam istilah Tempo mengenainya – “penarik gerbong” gerakan pembaharuan Islam Indonesia. Sebagian penulis muda ini cukup akrab dengan Cak Nur sebagai pribadi: dia memberi khotbah nikah dalam perkawinan Burhanuddin, misalnya, dan iman Irfan “terselamatkan” berkat ceramah-ceramahnya di Paramadina (itu pula sebabnya mengapa esainya harus disertakan dalam kumpulan ini). Tapi sebagian lainnya tidak pernah melihat sosoknya secara langsung dan hanya menyaksikannya di televisi atau membacanya di media massa atau buku. Bahkan A. Sa’duddin Sabilurrasad, penulis termuda dalam kumpulan ini, baru berusia satu tahun ketika Cak Nur membentuk Paramadina, lembaga yang hampir diidentikkan dengannya, pada November 1986.

Silakan diunduh berikut:

Sumber: http://www.abad-demokrasi.com

FUUI keluarkan Fatwa Sesatnya Syi’ah

Kembali umat Islam terlihat bodoh dan tak punya pekerjaan lain, selain menyesatkan suatu kelompok keagamaan. Bukannya berbenah diri dan membangun umat Islam menjadi umat yang cerdas dan mampu menjawab permasalahan sosial kemasyarakatan, justru memprovokasi umat Islam untuk saling baku hantam dan bertumpa darah. Sesat dan menyesatkan selalu digunakan oleh kelompok Islam tertentu untuk menyebarkan kebencian terhadap kelompok Islam lain, dengan mengatasnamakan mayoritas. Entah faktor politik apa atau atas dukungan siapa kelompok ini bermain, yang jelas, menafikan kelompok Syiah dari Indonesia sama halnya menegasikan sejarah Islam di Indonesia, yang dalam pandangan sementara Ahli justru dihadirkan dari tradisi Islam Syiah, bukan Sunni. Demikian pula, menafikan Syiah dalam Islam sama halnya menghapuskan sebagian dari torehan sejarah Islam sejak masa Sahabat, tatkala umat Islam ditinggalkan oleh Rasulullah.

Dari ini, sangat disesalkan pula Gubernur Jawa Barat ikut mengurusi permasalahan keyakinan warga negara, padahal masih banyak pekerjaan lain yang seharusnya lebih penting untuk diselesaikan. Tak dapat disangkal bahwa yang memenangkan anda dalam Pilkada adalah umat Islam, tetapi hal itu bukan berarti memberikan legitimasi bagimu untuk mendiskriminasikan kelompok atau aliran lain. Kecuali, jika memang anda merasa diuntungkan dengan politisasi agama seperti ini. Sungguh, naif, semoga anda tidak termasuk orang-orang yang disebut oleh Alquran sebagai orang yang menjual ayat-ayat Allah dengan harga murah. Wallahu A’lam.

—————————————

Senin, 23 April 2012

Ratusan Ulama di Indonesia Sepakat Bubarkan Syiah

Ratusan ulama dari berbagai daerah berkumpul di masjid Al Fajr-Kota Bandung, Ahad (22/4/2012), mereka datang atas undangan Forum Ulama Umat Indonesia (FUUI) dalam acara Musyawarah ‘Ulama dan Ummat Islam Indonesia ke-2 dengan agenda“Merumuskan Langkah Strategis Untuk Menyikapi Penyesatan dan Penghinaan Para Penganut Syi’ah”. Sebagaimana diberitakan oleh Hidayatullah.
Dalam acara itu,  tak kurang 200 ulama dari berbagai wilayah di Indonesia hadir. Ulama-ulama tersebut dari berbagai pesantren dan ormas Islam yang ada di Indonesia seperti Persis, Muhamadiyah, NU, Hidayatullah, Al Irsyad, DDII, PUI, termasuk MUI Pusat.

Musyawarah ini dihadiri Wali Kota Bandung, Dada Rosada dan Gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawawan Lc.

Dalam sambutannya Ahmad Heryawan menyambut baik acara tersebut. Lebih lanjut dia menegaskan bahwa salah satu tugas ulama adalah menjaga aqidah umat.

“Fatwa ulama sudah jelas tentang posisi Syi’ah ini dalam keyakinan Ahlu Sunnah wal Jamaah,maka sikap kita juga harus jelas juga,”katanya.

Untuk itu dirinya berharap rekomendasi dari ulama yang akan mengadakan musyawarah hingga malam hari nanti diharapkan menghasilkan hal yang mampu menyelesaikan masalah umat ada, sehingga bisa direkomendasikan kepada pemerintah Kota Bandung maupun langsung kepada Pemerintah Jawa Barat.

Menurutnya, rekomendasi tersebut bisa menjadi acuan gubernur dalam mengeluarkan peraturan jika dianggap perlu.Hingga menjelang shalat dhuhur peserta mendengarkan pandangan umum dari elemen ormas Islam yang hadir tentang posisi Syi’ah dalam pandangan Sunni. Hasilnya semua ormas Islam memberi pandangan bahwa Syi’ah sesat dan menyesatkan.

Musyawarah dilanjutkan usai shalat dhuhur, peserta yang hadir di bagi ke dalam tiga komisi, yakni: Komisi Strategis, Komisi Taktis dan Komisi Sosialisasi.Masing-masing komisi mempresentasi hasil dari musyawarahnya tentang rekomendasi penanganan Syi’ah di Indonesia.

Komisi Strategis merumuskan langkah-langkah antisipasi penyesatan dan penghinaan kelompok Syiah melalui bidang politik dan hukum. Adapun Komisi taktis merumuskan strategi untuk menghadapi kegiatan penyesatan dan penghinaan kaum Syiah. Sedangkan Komisi Sosialisasi, membahas tentang langkah sosialisasi kepada masayarakat, baik  perorangan atau lembaga, menjelaskan akan bahaya Syiah.
Ketua FUUI, KH Athian Ali menegaskan acara ini merupakan bentuk respon dari banyaknya pertanyaan kaum muslimin ihwal kesesatan Syiah. Terlebih ajaran ini seperti bernilai Islam, padahal sesungguhnya sesat menyesatkan. “Kami berupaya untuk membentengi dan menyelamatkan umat Islam dari bahaya Syiah di negeri ini,” tegas Athian saat menyampaikan Fatwa FUUI tentang Sesatnya Syiah.
Dari pimpinan ormas Islam yang hadir, sepakat bahwa Syiah adalah paham sesat menyesatkan serta berada di luar Islam. Kaum muslimin diimbau waspada dalam menghadapi kaum Syiah. Mereka juga sepakat untuk bekerjasama dan sinergi dalam membentengi akidah umat./ yusuf-istiqomah.blogspot.co.

***

Hari Ini di Bandung, FUII Keluarkan Fatwa Sesat Syiah

Ahad, 22 Apr 2012

Bandung– Hari ini, Ahad (22/4), di Bandung, Forum Ulama Ummat Indonesia (FUUI) yang diketuai oleh KH. Athian Ali M Dai, mengeluarkan fatwa sesat Syiah. Fatwa ini untuk merespon pertanyaan kaum muslimin, sekaligus menyikapi gerakan Syiah di Bandung, Jawa Barat dan sekitarya. Demikian dilaporkan oleh koresponden Voa-Islam di Bandung.

Pada 28 Februari 2012, ulama di Bandung berkumpul untuk merumuskan langkah strategis dalam menyikapi pergerakan dan penghinaan kepada para sahabatr Nabi saw oleh kaum Syiah. Sehingga disepakati untuk segera mengeluarkan fatwa tentang Syiah.

Selanjutnya, pada 17 Maret 2012, kembali berkumpul para ulama, diantaranya: Ustadz Amin Jamaludin, Ustadz Hartono Ahmad Jaiz, Ustadz Luthfi Basori, Ustadz Daud Rasyid, Ustadz Ihsan Setiadi Latief, sedangkan Ustadz Adian Husaini berhalangan hadir. Semua membicarakan tentang perlunya Fatwa Syiah.

Pada 22 Maret 2012 telah dirumuskan Fatwa tentang Kesesatan Syiah yang ditandatangani oleh Ketua FUUI KH Athian Ali M Dai dan penasihat FUUI, KH Abdul Qodir Sodiq. Fatwa tersebut akan dipublish di Masjid al-Fajar Cicagra, hari ini, Ahad, 22 April 2012.

Berikut, isi Fatwa Forum Ulama Ummat Indonesia (FUUI) nomor 04/Rabiuts Tsani/1433 tentang Syiah:

1)    Pribadi/kelompok yang meyakini, mengajarkan dan menyebarkannya secara keseluruhan maupun sebagian dari faham Syiah di atas, yang meyakini dirinya pengikut syiah maupun tidak, adalah sesat dan menyesatkan serta berada di luar Islam.

2)  Umat Islam wajib membatasi interaksi, baik pribadi maupun kelompok dengan pengikut faham Syiah untuk menghindarkan diri dan keluarga dari pengaruh ajaran sesat mereka.

3)    Pemerintah Indonesia berkewajiban mengambil tindakan terhadap pribadi maupun kelompok Syiah, karena telah menodai kemurnian ajaran Islam sekaligus untuk menghindarkan konflik yang lebih besar sebagaimana terjadi di negara-negara lain.

Bandung, 22 Maret 2012 bertepatan dengan 29 Rabiuts Tsani 1433

Ditanda tangani KH Athian Ali M Dai selaku Ketua FUUI dan KH Abdul Qodir Sodiq (Penasihat FUUI) (Dendy/Desas) (Voa-Islam)

***

Ragu Kesesatan Syiah Berarti Melecehkan Ulama Sedunia

(Bandung)-Press conference yang dilaksanakan setelah selesai acara musyawarah Ulama Umat Islam Indonesia Ke-2 dihadiri oleh para wartawan dari berbagai media. Dilaksanakan di lantai dasar gedung masjid Al-Fajr Bandung Jawa Barat. Dalam hal ini, yang menjadi penjawab pertanyaan wartawan adalah KH. Athian Ali Da’i, Ustadz Hartono Ahmad Jaiz, dan KH. DR. Muhammad Rizal Ismail.

Di akhir acara tersebut, KH. Athian Ali Da’i menyatakan : “Semangat lahirnya musyawarah hari ini kita ingin para ulama berkumpul lalu kemudian merumuskan langkah-langkah kongkrit untuk menghentikan gerakan syiah. Bukan untuk mendiskusikan sesat dan tidaknya, karena itu semua sudah sepakat. Jadi kita sudah tidak akan melayani lagi diskusi soal sesat tidak sesat, Karena itu, malah kita jadi melecehkan ulama sedunia. Seolah-olah kita masih meragukan”.

“kita sudah tidak akan melayani lagi diskusi soal sesat tidak sesat, Karena itu, malah kita jadi melecehkan ulama sedunia. Seolah-olah kita masih meragukan”

Selain itu shoutussalam juga sempat meminta pesan kepada para Ulama yang akan disampaikan kepada kaum pemuda dan mahasiswa tentang penolakan syiah ini. Kemudian dalam hal ini pesan diwakilkan oleh KH. DR. Muhammad Rizal Ismail. Beliau berpesan agar

1. lebih memperkuat keimanan, jangan sampai termakan oleh doktrin-doktrin pemikiran kaum syiah dan kemudian menganggap kaum syiah sebagai tokoh pemersatu umat islam atau tokoh pimpinan umat Islam, tokoh idola. Terlebih lagi menjadikan seolah-olah Iran itu sebagi symbol kekuatan umat Islam.

2. Tidak terpesona dengan usaha-usaha rayuan mereka seperti nikah mut’ah, juga dengan didirikannyaIranian Corner di beberapa kampus-kampus dan juga beasiswa-beasiswa kuliah di Iran. Karena dari situlah program pen-syiah-an mereka.

3. Mengajak mahasiswa untuk ikut serta mendukung penolakan Syiah. Dimungkinkan untuk dibentuk semacam forum mahasiswa anti syiah. (ayyas/ Shoutussalam.com)

***

Memperingatkan bahaya penerbitan dan media massa pro syiah

Sementara itu di antara rekomendasi yang dihasilkan dari musyawarah mengenai langkah-langkah strategis untuk menghadapi aliran sesat syiah itu memperingatkan bahaya penerbitan dan media massa pro syiah.

Dalam rekomendasinya disebutkan:

  • Memperingatkan masyarakat terhadap bahaya penerbit-penerbit yang terindikasi terlibat   gerakan syiah; seperti Mizan, Al Huda Jakarta, Al Bayan dll
  • Memperingatkan Masyarakat terhadap media cetak dan elektronik yang terindikasi mensponsori gerakan syiah di Indonesia : antara lain TV Al Hadi, Radio Rasil, Majalah Syiar dll

Masalah media massa yang terindikasi pro syiah tersebut sempat mendapatkan perhatian dan komentar, karena ada yang menjelaskan bahwa habib Zen Al-Kaf dari Al-Bayyinat Surabaya yang juga hadir dalam musyawarah ini telah menyatakan dalam seminar tentang syiah di Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) beberapa waktu lalu bahwa radio Rasil di Cibubur Jakarta mengusung faham syiah.

Dijelaskan pula bahwa ketika Ustadz Husen Alatas menjawab sebuah pertanyaan dari pendengar yang dibacakan pembawa acara Rasil AM720, yang terjadi pada Selasa malam (sekitar jam 23:00 wib) tanggal 25 Oktober 2011 (28 Dzulqa’dah 1432H), Ustadz Husen Alatas kala itu pernah mengatakan salah satu hadits riwayat Muslim dengan tudingan sebagai hadits palsu. Yaitu, hadits yang isinya antara lain mengatakan bahwa “orang tua Nabi di neraka”. Juga, ada satu hadits riwayat Bukhari yang dikatakannya menjijikkan. Yaitu, salah satu hadits yang mengatakan bahwa “Fathimah datang ke Nabi Muhammad dan berkata agar Nabi bersikap adil kepada istri-istrinya sebagaimana kepada Aisyah, dan ketika Fathimah datang kepada Nabi Muhammad, beliau sedang berada di pangkuan Aisyah”.

menurut Husen Alatas, Bukhari dan Muslim hanya mengumpulkan riwayat. Sedang yang menentukan shahih atau tidaknya hadits adalah ulama rabbaniyyin berdasarkan Al-Qur’an dan akal, tanpa menyebut siapa yang dia maksud ulama rabbaniyyin itu.

Sementara itu, mengenai Ustadz Zen Al-Hady, yang juga pernah menjadi nara sumber di Rasil AM 720, masyarakat sudah lama mengenali beliau sebagai misionaris Syi’ah, antara lain melalui kedudukannya sebagai Dewan Pembina di Yayasan Fathimah yang bermarkas di Jalan Batu Ampar III No.14, Condet, Jakarta Timur 13520. Yayasan Fathimah adalah salah satu dari sekian puluh Yayasan Syi’ah yang bertebaran di Indonesia.

Sumber: nahimunkar.com melalui Syiah Indonesia

Intelektual dan Ulama Muda Indonesia Dukung Fatwa Syiah Sesat

 

Sengaja kutipan berita ini dibuat berwarna merah. Hal ini untuk menunjukkan permasalahan serius yang telah menjangkiti umat Islam Indonesia saat ini. Tuduhan dan stigma terhadap kelompok tertentu, secara khusus Syiah, telah membutakan mata sebagian umat Islam terhadap Islam itu sendiri. Dengan alasan bahwa Syiah seringkali menuduh para sahabat Nabi Muhammad dan dengan beragam hal lain yang dipandang sesat, sekelompok umat Islam yang mengatasnamakan Intelektual dan Ulama Muda Indonesia mendukung fatwa Syiah sebagai aliran Sesat. Suatu sikap yang tergesa-gesa dan tanpa mengkaji lebih jauh tentang permasalahan. Lebih dari itu, kelompok ini telah melupakan permasalahan terbesar umat Islam saat ini yang tengah dilanda krisis multidimensi, tetapi sibuk mengurusi permasalahan keyakinan yang hanya Tuhan sendiri mengetahui kadar dan ukurannya. Secara historis, para Ulama teologis/kalam memosisikan Syiah sebagai salah satu aliran teologis, bukan aliran yang sesat. Namun nampaknya, anak-anak muda sekarang merasa lebih pintar dan jago dari para Ulama terdahulu, bila tidak karena adanya faktor politik atau kepentingan tertentu segelintir orang.  Wallahu A’lam.

Masihkah kita harus mengambil hak Tuhan untuk menjustifikasi benar tidaknya suatu pemahaman? Bukankah memberikan label sesat kepada kelompok Islam tertentu adalah menandingi kekuasaan dan pengetahuan Allah yang Maha segalanya? Bukankah pula Rasulullah sangat menjaga agar umatnya tidak saling menuduh dan menyesatkan, dengan sebuah ungkapan “Barang siapa yang mengkafirkan seorang Muslim, maka ia telah menjadi kafir” (man kaffara mukminan fa qad kafar)? Mengapa kita justru tidak saling berdialog dan memecahkan masalah secara bijak dan memandang bahwa setiap orang punya hak untuk meyakini apa yang dianggapnya benar? Bila Rasulullah tidak pernah marah dan merasa terhina dengan cercaan, hinaan dan penganiayaan terhadapnya, lalu mengapa kita sebagai umatnya yang justru lebih marah? Dan, bila orang-orang Syiah telah dianggap menghina para sahabat Nabi SAW, lalu tidakkah sejarah membuktikan bahwa hina-menghina, tuduh-menuduh dan fitnah-memfitnah telah terjadi sejak berakhirnya masa kehidupan Rasulullah?

Dalam kondisi demikian, yakinlah dengan apa yang engkau imani? Tambah kadar keimananmu dari waktu ke waktu! Jangan pula menghakimi keimanan dan keyakinan seseorang yang hanya diketahui oleh Allah SWT semata.

—————————————————–

Jakarta, Rabu, 21 Mar 2012

Para intelektual dan ulama muda Indonesia mendukung fatwa MUI Kabupaten Sampang dan MUI Propinsi Jawa Timur tentang sesatnya ajaran Syi’ah.

Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) terus memantau secara ilmiah dan syar’iyah penanganan kasus Syiah di Sampang-Madura yang meresahkan warga masyarakat dan mengancam persatuan dan keutuhan bangsa. Berdasarkan investigasi MIUMI, doktrin Syi’ah yang dikembangkan di Madura adalah pemicu pertikaian di Madura. Pasalnya, doktrin Syi’ah itu mengusik akidah warga Sunni Nahdlatul Ulama (NU).

“Dari kasus Syi’ah Sampang ini, kita dapat memetik pelajaran penting bahwa masyarakat warga Sunni NU yang dikenal sangat toleran pun merasa sangat terusik dengan ajaran-ajaran Syi’ah yang dikembangkan Tajul Muluk yang bersumber dari doktrin-doktrin utama Syi’ah Imamiyah Itsna ‘Asyariyah,” jelas Ketua MIUMI Dr Hamid Fahmy Zarkasyi, dalam rilis yang diterima voa-islam.com, Rabu (21/3/2012).

MIUMI juga menyesalkan sikap elit politik hanya memanfaatkan dukungan suara umat Islam yang mayoritas dalam setiap kebijakan pembangunan Indonesia, tapi tidak melindungi akidah mayoritas umat Islam. “Pemerintah RI dan elit politik lalai dan tak peduli untuk melindungi akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang dianut oleh mayoritas umat Islam. Akidah bagi umat adalah persoalan hak asasi yang paling fundamental,” ujar Fahmy.

Menurut MIUMI, akidah Aswaja itu telah menyatu dan tertanam kuat menjadi bagian terpenting kultur Islam di Indonesia. Umat yang terusik akidahnya bisa melakukan apa pun untuk membela dan mempertahankan akidah yang dianutnya.

Karenanya, MIUMI mendukung dua fatwa MUI tentang kesesatan syi’ah, yang dirilis pasca peristiwa pembakaran rumah pendakwah Syiah Tajul Muluk dan beberapa fasilitas lainnya yang terjadi pada 29 Desember 2011.

“Alhamdulillah, Fatwa dari kedua institusi ulama yang dihormati oleh masyarakat Madura dan Jawa Timur itu mampu meredam aksi massa paska Kasus Syi’ah di Sampang yang sempat menjadi isu nasional menjelang pergantian tahun lalu,” ujar Dr Hamid Fahmy Zarkasyi didampingi Sekjen MIUMI, Bachtiar Nasir Lc. MM.

Dua fatwa yang dimaksud MIUMI adalah Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Sampang dan Fatwa MUI Propinsi Jawa Timur. Fatwa MUI Kabupaten Sampang No. 035/MUI/Spg/I/2012, tertanggal 1 Januari 2012 menyatakan kesesatan ajaran yang Syiah yang diisebarluaskan Tajul Muluk di Kecamatan Omben Kabupaten Sampang. Sedangkan Fatwa MUI Jawa Timur No. Kep-01/SKF-MUI/JTM/I/2012, tertanggal 21 Januari 2012 secara tegas menyatakan kesesatan ajaran Syi’ah.

Dua fatwa tersebut, menurut MIUMI adalah bukti kesigapan para ulama MUI Madura dan MUI Propinsi Jawa Timur, sebagai bentuk tanggung jawab keulamaan dalam membimbing umat. “MIUMI mengungkapkan terimakasih kepada para Ulama Madura dan Jawa Timur yang cepat tanggap menyikapi Ajaran Syi’ah sebagai bentuk tanggung jawab keulamaan dalam membimbing umat,” ujar Fahmi. [A. Mumtaz]

Sumber: voa-islam.com

 

Memanfaatkan Keterlibatan Indonesia di OKI untuk Kepentingan Nasional

Oleh Muhammad Hafiz

Politik diplomasi luar negeri Negeri Indonesia mulai meletakkan Organisasi Kerjasama Islam (OKI) sebagai salah satu sasarannya. Selain menjadi tuan rumah sejumlah pertemuan OKI pada 2012, keketuaan Marzuki Alie untuk Persatuan Parlemen OKI dan terpilihnya perwakilan Indonesia untuk Anggota Komisi HAM OKI menjadi pertanda kecenderungan ini. Hanya saja, pertanyaan yang mengemuka adalah apakah pemerintah akan mengambil peranan tersebut untuk kepentingan Nasional atau tidak?

Dua hal yang harus menjadi perhatian Pemerintah terkait keterlibatan di OKI ini, yaitu upaya untuk menginternasionalisasikan Islam Indonesia dan memaknai OKI dalam konteks nasional. Untuk yang pertama, telah diketahui bersama bahwa akhir-akhir ini muncul suatu harapan baru agar Indonesia dapat menjadi contoh bagi Negara-negara Muslim. Hal ini semakin menguat tatkala gelombang demokratisasi marak terjadi di wilayah Timur Tengah dengan Arab Springnya. Sebagai Negara-negara yang berpenduduk Muslim terbesar di dunia dan paling demokratis tentu tawaran ini menjadi peluang bagi Indonesia untuk lebih mewarnai perkembangan geopolitik di komunitas Muslim global. Jika dahulu Indonesia menerima transfer perabadan dari Barat dan telah mampu mengkontekstualisasikannya dengan kebudayaan lokal yang sarat dengan tradisi keagamaan dan ketimuran, maka sekarang saatnya bagi Indonesia untuk mentransfer nilai-nilai tersebut kepada Negara-negara yang tengah membutuhkannya.

Dengan beberapa alasan, posisi ini penting untuk diraih oleh Indonesia. Pertama, efek dari tesis Samuel Hungtinton tentang clash of civilitation telah memberikan jarak psikologis bagi komunitas Islam untuk menerima apa yang dihasilkan oleh masyarakat Barat, meskipun pada sisi lain mereka mengakui pentingnya produk tersebut dalam pembangunan peradaban dan kebudayaan mereka. Dalam hal ini, nilai-nilai modern yang diambil dari godokan Islam Indonesia akan mengurangi resistensi tersebut, selain karena ditransfer melalui komunitas muslim.

Kedua, dengan menjadi rujukan Negara-negara Muslim, Indonesia telah pula menjadi kiblat ajaran Islam modern yang sesuai dengan perkembangan zaman. Hal ini semakin relevan tatkala masyarakat dan Pemerintah di Negara-negara Barat tengah dilanda ketakutan yang sangat terhadap Islam (Islamfobia), seperti yang terjadi di Belanda akhir-akhir ini. Dengan menghadirkan wajah Islam yang sejuk dan damai, Islam Indonesia dapat mentransfer peradaban ini ke komunitas internasional, baik Timur atau pun Barat.

Kedua hal di atas setidaknya telah dibuktikan oleh Indonesia ketika mengusung sebuah Resolusi tentang “Penghapusan Intoleransi, stigmatisasi, diskriminasi dan tindakan kekerasan berdasarkan agama/keyakinan” di Dewan HAM bersama dengan Negara-negara OKI pada 2011. Sebagai Organisasi terbesar kedua setelah PBB, OKI dapat dijadikan sarana bagi Indonesia untuk mencapai harapan-harapan tersebut.

Hal kedua yang tidak kalah pentingnya diperhatikan oleh Pemerintah adalah mengoptimalkan Organisasi tersebut untuk kepentingan Nasional agar kebijakan luar negeri Indonesia lebih substantif dan bermanfaat secara lokal.

Optimalisasi OKI tersebut dapat dilakukan dengan dua pendekatan. Pertama, membawa permasalahan Nasional ke level yang lebih tinggi di tingkat multilateral, seperti perlindungan TKI yang sebagian besar ada di Negara-negara Muslim. Pemerintah Indonesia – atau juga DPR RI yang saat ini tengah mengadakan pertemuan dengan Parlemen OKI di Palembang – harus menjadikan OKI sebagai kerangka kerja perlindungan TKI, baik melalui kebijakan kelembagaan OKI dengan membangun sistem dan mekanisme perlindungan ataupun melalui hubungan diplomatik informal. Keterlibatan Indonesia harus memberikan hasil konkret bagi kepentingan Nasional dan warga negara secara luas, tidak hanya pada urusan keagamaan, seperti penambahan kuota haji.

Pendekatan kedua yang dapat digunakan adalah memanfaatkan OKI dalam mewujudkan masyarakat yang toleran dan demokratis di Indonesia. Seiring dengan reformasi yang dilakukan oleh OKI, Organisasi ini telah cukup banyak menyediakan modalitas bagi pembangunan masyarakat Muslim modern. Di antara yang cukup penting adalah Resolusi yang telah disinggung di atas.

Selama ini, OKI seringkali dijadikan rujukan untuk mendeligitimasi kelompok minoritas tertentu di Indonesia, sementara di sisi lain capaian positif dan modalitas yang telah dihasilkan oleh OKI tidak pernah disosialisasikan atau dijadikan rujukan oleh umat Islam dan pemerintah Indonesia.  Padahal, sebagai Organisasi tingkat dunia yang didukung oleh seluruh Negara-negara Muslim, OKI memiliki pengaruh yang kuat bagi masyarakat Muslim Indonesia. Dalam hal demikianlah pemerintah harus menjadi perantara antara OKI dan masyarakat untuk menghadirkan Islam yang sejuk, damai dan toleran, sehingga ruang publik tidak justru diisi oleh wacana-wacana Islam yang mengedepankan pendekatan kekerasan dan sikap intoleran.

Semakin luas dan masifnya pergaulan antar Negara dan komunitas global mengharuskan Indonesia juga harus terlibat di dalamnya, namun keterlibatan itu tentu harus pula mempertimbangkan kepentingan Nasional dan manfaatnya bagi pembangunan bangsa Indonesia yang lebih baik.

Mengenang Kembali Nurcholish Madjid

Oleh Bawono Kumoro

“Inilah salah satu kontribusi penting Cak Nur dalam mendekonstruksi paradigma berpikir umat Islam Indonesia. Jika kita melihat keengganan yang meluas terhadap ide negara Islam dan formalisasi syariat Islam di Indonesia dewasa ini, ataupun menyaksikan trend keberagamaan yang lebih menekankan sisi substantif ketimbang sisi simbolisnya, maka tidak ada keraguan sedikitpun dalam diri kita untuk menyebut nama Nurcholish Madjid sebagai seorang pioneer yang memungkinkan itu semua dapat terjadi.”

Pada tanggal 29 Agustus 2006 lalu, tepat setahun sudah bangsa Indonesia kehilangan salah satu putra terbaiknya, yaitu Almarhum Nurcholish Madjid atau yang lebih akrab disapa Cak Nur. Semasa hidupnya ia dikenal sebagai seorang cendikiawan Muslim Indonesia yang punya ketajaman pemikiran dan kaya akan gagasan-gagasan pembaharuan, khususnya dalam bidang keislaman. Yudi Latif mengibaratkan Cak Nur seperti Socrates, kepada kita semua Cak Nur meninggalkan sebuah warisan berupa the empire of mind. Seperti halnya sejarah perjalanan orang-orang besar, berbagai gagasan yang dihasilkan Cak Nur pun telah menyulut berbagai polemik di tengah-tengah masyarakat.

Sejak menyampaikan butir-butir pemikirannya yang tertuang dalam dua tema besar, yaitu Keharusan Pembaharuan Pemikiran dan Masalah Integrasi Ummat dan Menyegarkan Paham Keagamaan di Kalangan Umat Islam Indonesia, Cak Nur sudah membuka pintu polemik. Pada dasarnya, dalam makalah yang pertama Cak Nur mengangkat dua gagasan utama, yakni perihal jargon Islam Yes Partai Islam No dan konsep tauhid sebagai titik pangkal dari sekularisasi. Sedangkan dalam makalah yang kedua ia menyatakan sikap atas ketidaksetujuaannya (baca: menolak) terhadap ide negara Islam. Tiga gagasan besar itulah yang kemudian menempatkan Cak Nur sebagai pemikir Islam Indonesia pertama yang berikhtiar secara sungguh-sungguh guna memisahkan antara Islam sebagai sebuah agama dan Islam sebagai sebuah institusi.

Tidak seperti sekarang, pada masa itu gagasan tersebut sangatlah tidak lazim dan berada di luar arus utama pemikiran Islam Indonesia. Umat Islam Indonesia ketika itu terbiasa dengan penyetaraan Islam sebagai agama dan Islam sebagai institusi sehingga secara tak langsung terjadi sakralisasi terhadap Islam sebagai Institusi. Misalnya, tingkat kesetiaan seseorang terhadap partai Islam dijadikan tolok ukur apakah orang tersebut muslim yang taat atau tidak.

Dalam penilaian Cak Nur, sakralisasi tersebut sangatlah bertolak belakang dengan konsep tauhid yang dibawa Islam itu sendiri. Jika selama ini tauhid lebih dimaknai sebagai suatu sikap pengesaan Allah atau pengakuan bahwa hanya Allah satu-satunya Tuhan yang harus disembah, maka Cak Nur menarik lebih jauh konsekuensi dari konsep tauhid tersebut. Menurutnya, tauhid berarti mengesakan Allah sebagai satu-satunya yang sakral, sedangkan obyek-obyek lain sifatnya profan. Jika hanya Allah yang sakral, maka yang lain tidak sakral termasuk dalam hal ini institusi-institusi Islam, seperti partai Islam.

Dengan demikian, maka tingkat kesetian seseorang terhadap partai Islam bukanlah menjadi penentu mutu keislaman orang yang bersangkutan. Berpijak dari sana, selanjutnya Cak Nur menolak dengan tegas ide negara Islam. Baginya ide tersebut apologetik sifatnya, muncul dari perasaan rendah diri umat Islam terhadap kemajuan Barat. Ada sebagian umat Islam yang kagum dan terpesona kepada ideologi-ideologi modern yang bersifat menyeluruh dan secara terperinci mengatur setiap bidang kehidupan, mulai dari ekonomi, politik, sosial, sampai budaya. Kekaguman itu kemudian mendorong umat yang ideologis tersebut untuk juga membawa Islam sebagai agama (dîn) menjadi sebuah ideologi politik yang secara menyeluruh dan totalistik mengatur setiap bidang kehidupan.

Dalam pandangan Cak Nur hal tersebut tidaklah tepat. Menurutnya, dîn adalah sebuah bentuk kepasrahan diri kepada Tuhan sebagai inti dan pondasi dasar keberagamaan yang otentik. Sedangkan negara adalah soal duniawi di mana dalam mengelolanya umat Islam dapat belajar dari bangsa-bangsa lain yang telah unggul dalam hal itu terlepas dari apapun agamanya, seiman atau tidak. Melalui pandangannya mengenai negara Islam, sesungguhnya Cak Nur telah memperkenalkan keberagamaan yang terbuka atau inklusif kepada kita semua.

Inilah salah satu kontribusi penting Cak Nur dalam mendekonstruksi paradigma berpikir umat Islam Indonesia. Jika kita melihat keengganan yang meluas terhadap ide negara Islam dan formalisasi syariat Islam di Indonesia dewasa ini, ataupun menyaksikan trend keberagamaan yang lebih menekankan sisi substantif ketimbang sisi simbolisnya, maka tidak ada keraguan sedikitpun dalam diri kita untuk menyebut nama Nurcholish Madjid sebagai seorang pioneer yang memungkinkan itu semua dapat terjadi. Keberagamaan umat Islam Indonesia pun menampilkan wajah baru yang jauh lebih sejuk.

Namun, kiprah intelektual Cak Nur sebagai seorang pembaharu bukannya tanpa sandungan dan ganjalan. Banyak pihak yang menudingnya bahwa melalui gagasan-gagasan pembaharuan, Cak Nur telah tercerabut dari akar dan tradisi intelektual keislaman yang sesungguhnya. Bahkan, ia dianggap telah menginjak-injak Islam sebagai sebuah risalah suci yang dibawa Rasulullah. Tak hanya sampai di situ, tuduhan kafir dan antek-antek zionis pun dialamatkan kepadanya.

Pada tahun 1984—sepulangnya dari studi di Amerika Serikat—Cak Nur bersama beberapa koleganya mendirikan Yayasan Wakaf Paramadina. Melalui wadah inilah ia kemudian secara lebih intens mencurahkan energi pemikirannya bagi upaya-upaya pembaharuan pemikiran Islam dan juga bagi kemajuan umat Islam di Indonesia. Menjelang akhir tahun 1992 bertempat di Taman Ismail Marzuki (TIM), Cak Nur menyampaikan pidato kebudayaan yang berjudul Beberapa Renungan tentang Kehidupan Keagamaan di Indonesia untuk Generasi Mendatang. Pidato kebudayaan tersebut sekaligus menandai munculnya polemik jilid dua dalam perjalanan intelektual Cak Nur.

Dalam pidato kebudayaan itu ia mengolah kembali gagasan-gagasannya tentang Islam sebagai agama yang hanîf dan inklusif serta melancarkan kritik keras terhadap gejala fundamentalisme dan radikalisme agama. Cak Nur juga melontarkan gagasan tentang kepasrahan sebagai inti dasar keislaman. Islam dalam pandangannya bukan hanya sebutan khusus bagi suatu agama, tetapi juga sebutan yang berlaku untuk semua bentuk keberagamaan yang berdasarkan pada kepasrahan terhadap Kebenaran Mutlak. Melalui gagasan tersebut, Cak Nur memberikan sebuah definisi baru atas Islam dengan cara yang sama sekali tidak biasa sehingga oleh para pengkritiknya ia dinilai telah mengaburkan makna Islam itu sendiri.

Namun, Cak Nur berargumen bahwa gagasan tersebut ia gali dari khazanah klasik Islam–dalam hal ini pemikiran Ibnu Taimiyyah—dan juga Alqur’an serta Hadis yang dalam beberapa kesempatan berbicara perihal warisan nabi Ibrahim yang mengalir dalam tiga agama besar, yakni Yahudi, Kristen, dan Islam. Warisan itu berupa al-hanîfîyah al-samâhah ataukehanifan yang lapang.

Gagasan Cak Nur ini sebenarnya adalah kelanjutan dari pemikirannya tentang sekularisasi. Ia selalu ingin membedakan antara Islam sebagai nilai yang universal dan Islam sebagai institusi yang partikular. Cak Nur berpihak pada yang aspek Islam yang pertama dan keberpihakan ini bukannya tanpa alasan. Pada dasarnya, Cak Nur hanya ingin menghilangkan efek-efek buruk yang lahir dari sikap fanatisme buta terhadap aspek Islam yang kedua itu. Tatkala menyapaikan pidato kebudayaan itu, hemat saya, tidak tertutup kemungkinan Cak Nur sudah menyadari bahwa fundamentalisme dan radikalisme agama telah muncul sebagai bentuk keagamaan yang dominan dan menyebar luas di kalangan umat Islam Indonesia. Dan Cak Nur menilai hal tersebut sebagai suatu hal yang tidak menguntungkan dilihat dari kacamata harmonisasi hubungan antarumat beragama. Ini dikarenanakan, baik fundamentalisme maupun radikalisme agama membawa cara keberagamaan yang cenderung tertutup.

Terlepas dari segala kontroversi yang menyelimutinya, gagasan-gagasan Cak Nur telah membentuk mazhab keberislaman yang sama sekali berbeda dengan arus-arus sebelumnya. Tak hanya itu, gagasan-gagasan Cak Nur pun–sebagaimana yang dipaparkan Bahtiar Effendy—turut mendorong terjadinya transformasi pemikiran dan praktik politik Islam di Indonesia. Ia adalah seorang pioneer dan pembuka jalan, yang mana jalan itu kini sudah menjadi jalan rutin yang dilintasi banyak orang. Kini, mayoritas umat Islam Indonesia sudah menerima klaim bahwa Islam di Indonesia ialah Islam yang moderat. Seolah-olah, Islam moderat itu hadir begitu saja dengan sendirinya tanpa adanya ikhtiar dari para perintisnya.

Atas dasar itu, tidak berlebihan kiranya jika kita menempatkan Nurcholish Madjid sebagai bagian terpenting dari kehadiran Islam moderat di Indonesia. Di samping itu, Cak Nur juga layak untuk menyandang gelar Guru Bangsa karena kegigihan dan kesabarannya dalam mengingatkan kita semua tentang pentingnya menegakkan standar moral bangsa.

** BAWONO KUMORO, Mahasiswa Fakultas Ushuluddin Filsafat UIN Jakarta dan Peneliti Laboratorium Politik Islam UIN Jakarta.

Disadur dari laman http://islamlib.com/id/artikel/mengenang-kembali-nurcholish-madjid