Belajar Toleransi dari Padatnya Jalanan

Hampir semua dari kita pernah berada di jalan raya. Entah di kampung, di kota, di Jakarta atau di kota-kota lain tempat kita tinggal. Kadang dengan mengendarai sepeda motor, mobil, berjalan kaki, menumpang di angkutan umum, metromini, becak, bajaj, ataupun busway yang katanya anti macet. Kondisinya pun sangat beragam, jalanan di kota-kota besar sangat berbeda dengan jalanan di kota kecilatau dengan jalan kampung. Suasana macet, berhimpit-himpitan, panas, pengap dan saling sodok/salip sangat mewarnai jalanan perkotaan. Apalagi bila sudah jam pergi dan pulang kerja, jalanan nampak seperti aliran sungai yang dipenuhi dengan sampah kendaraan, dengan polusi yang maha dahsyst. Di luar itu semua, kita semua mafhum, bahwa ada banyak jenis kendaraan dengan ragam rupa dan identitas. Dan tentunya, masing-masing identitas itu merepresentasikan pula ragam kepentingan. Bahkan tak jarang kendaraan sejenispun memiliki kepentingan yang berbeda satu sama lain, seperti saling sodok, saling salip, atau adu moncong untuk merebut sejengkal jalanan yg masih terlihat lengang.

Gambaran inilah yang menggambarkan keberagaman hidup ini. Keragaman jalanan ini pula yang mengajarkan kita bahwa multikulturalisme itu sebuah keniscayaan hidup yang tak bisa dibantah. Atau, memaksakan setiap orang memiliki satu kepentingan yang sama adalah mustahil bagi manusia yang dikenal sebagai hewan yang berbicara (hayawan nathiq).

Adakah hal lain yang juga menarik dari jalanan? Tentu ada banyak hikmah yang bisa dipetik. Salah satunya adalah perasaan kita sebagai pengguna jasa jalanan. Dengan membayar pajak setiap bulan, kita merasa bahwa kitalah yang paling berhak untuk nyaman berkendara. Ternyata kadang kita lupa bahwa orang lainpun membayar pajak, sama seperti yang kita lakukan. Tapi demi kepentingan kita, masa bodoh dengan orang lain, yang penting kepentingan kita tercapai. Tanpa disadari, semua orang seakan merasa bahwa dialah yang psling benar dansuci dari kesalahan. Dari sini pula, jalanan ibarat hutan belantara yang berisi makhluk-makhluk buas yang siap memangsa siapa yang lemah. Jalanan seakan mentashih tesisnya Hobbes bahwa “Manusia adalah serigala bagi manusia yang lain” (homo homini lupus). Melihat semrawutnya jalanan kita, tak salah pula bila kita menyatakan demikian, karena meminjam istilah teman di timeline Twitternya, “Jangan harap orang lain memikirkan anda di jalanan”.

Apakah hal ini membuat kita pesimis untuk belajar kepada jalanan? Jawabannya tentu tidak. Mari kita mulai merefleksi jalanan sebagai ajang mengstur ritme emosi kita dan lebih memaknai keragaman sebagai kodrat yang tak bisa dibantah. Kita mulai dengan sebuah pertanyaan, kendaraan apa yang paling sering anda gunakan/manfaatkan? Mobil pribadikah, sepeda motorkan, sepeda goweskah, angkutan umumkah, metro minikah, taksikah, buswaykah, bajajkah, becakkah, atau hanya berjalan kaki? Apa yang anda rasakan tatkala sedang berkendara? Tiga pertanyaan ini dulu yang harus direfleksidalam diri kita sebelum kemudian kita mengasah lagi kadar emosi kita sebagai orang-orang yangsama-sama memanfaatkan jasa jalan raya dan sangat tergantung dengannya.

Kemudian, pertanyaan berikutnya, pernahkah anda sesekali beralih ke kendaraan yang lain? Suatu ketika mobil sedang rusak atau baru keluar dari salon dan kondisi jalanan sangat becek setelah hujan, tiba-tiba anda harus menggunakan taksi. Atau anda harus menggunakan sepeda motor untuk pergike suatu tempat yang tidak terlalu jauh. Atau sebaliknya, kebiasaan anda menggunakan kendaraan umum, karena harus cepat sampai ke tujuan anda pun harus menggunakan motor atau mobil pribadi. Atau harus naik ojek demi menghindari habisnya waktu berjam-jam di jalanan. Dan seterusnya, dan seterusnya, intinya adalah pernah anda mengubah aktivitas berkendara dari yang biasa digunakan ke kendaraan lain.

Pertanyaannya kemudian adalah apa yang anda rasakan tatkala anda di kendaraan yang jarang  anda naiki itu? Ketika sering menggunakan sepeda motor dan tiba-tiba anda nebeng dengan mobil teman atau dengan mobil anda sendiri, apa yang anda rasakan tatkala melihat sebuah motor yang tiba-tiba menyalib mobil teman (anda)? Atau yang biasanya menggunakan mobil kemudian suatu hari anda harus mengeluarkan motor yang sudah satu bulan tidak terpakai ke jalanan, tiba-tiba ada sebuah mobil pribadi yang menyerobot di samping anda dan mengambil jengkalan jalan yang seharusnya bisa anda lalui. Apa pula yang anda rasakan? Apa yang terbersit di dalam hati anda sembari mata melotot ke pantat mobil pribadi itu? Atau sebaliknya, biasanya menggunakan motor, tapi untuk suatu keperluan anda harus menggunakan mobil, tiba-tiba di jalanan ada sebuah motor yang ternyata sama merk dan warnanya dengan motor anda. Apa pula yang ada di benak anda melihat motor itu melaju tanpa dosa dan mengharuskan anda menginjak pedal rem secara tiba-tiba.

Hari ini, dengan kendaraan pribadi, entah motor atau mobil, anda harus dipaksa menekan rem secara mendadak hanya karena ada bis kota yang berhenti tiba-tiba tepat di depan moncong kendaraan anda. Rasa marah, sebal, panik, emosi dan kesal hanya dilampiaskan pada klakson. Namun ketika harus menggunakan angkutan umum, setelah menunggu 15 menit di halte yang tak beratap dan terkadang berbau pesing, tiba-tiba lewat sang metro mini yang tenga ditunggu. Metromini atau angkot ini pun berhenti menghampiri anda. Lalu, apa yang anda rasakan tatkala angkota atau metromini ini harus berhenti mendadak karena melihat anda yang pasti mengurangi beban setoran hari ini. Salahkah seorang sopir metromini itu berhenti secara tiba-tiba dan menghalangi mobil pribadi yang terus-menerus membunyikan klakson? Sementara anda sudah 15 menit menunggu dengan penuh peluh.

Atau pernahkah anda menggunakan bajaj yang asapnya melambung ke langit biru? Pernahkah pula anda merasakan naik becak yang jalannya seperti keong sampai kendaraan dibelakangnya harus menekan gas dengan sangat hati-hati? Pernahkah pula anda dengan kendaraan pribadi harus sabar berada di belakang bejak atau bajaj sampai ada kesempatan lengang dan bisa menyalipnys? Atau pernahkah anda marah-marah bis kota seakan tak merespon teriakan STOP atau KIRI dari anda saat tiba di tempat tujuan hanya karena di belakangnya ada mobil lain yang hendak melaju cepat? Atau pernahkah anda berada di belakang metromini/angkot yang berhenti tiba-tiba karena hendak menurunkan penumpang?

Dan seterusnya dan seterusnya. Namun satu hal, bahwa terkadang kita emosi dan merasa paling benar hanya karena kita tidak pernah merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain. Harusnya kita bisa berefleksi, bahwa ketika di angkot, secara taksadar kadang kita seakan membenarkan tindakan angkot tersebut menyerobot ke kiri dan ke kanan demi kepentingan penumpang. Demikian pula ketika di taksi, seakan kita berharap agar sopir taksi bisa menginjak gas sekencang-kencangnya agar kita cepat sampai ke tujuan. Saat di motor, kita selalu ingin menyalip mobil, karena dalam pikiran kita orang-orang yang ada di mobil pasti lebih nyaman dengan AC dan full musik. Saat di mobil, kita pun menggerutu bahwa kitalah yang paling benar, karens kita sudah sabar menanti laju roda mobil yang ada di depan. Kita marah ketika ada angkot yang tiba-tiba menyodok jalur di depan kita.
Itulah jalanan, semua orang membawa kepentingannya masing-masing, sama seperti kita. Namun adalah sebuah kebijaksanaan bila kita bisa memaklumi kendaraan lain yang tiba-tiba menyerobot atau berhenti di depan kita. Itulah pula yang mengharuskan kita merasakan ragam pengalaman yang dirasakan oleh orang lain agar mengetahui apa yang dipersepsikan oleh seseorang terhadap objek yang ada di hadapannya. Upaya untuk merasakan pengalaman orang lain ini pula yang menciptakan rasa tenggang rasa antar sesama, karena kita sama-sama tahu penderitaan kita masing-masing yang hanya menjadi korban semrawutnya pengaturan jalan raya.

Terakhir, sebuah ungkapan dari Nitzsche menarik pula untuk disimak, bahwa semakin banyak informasi yang diterima oleh seseorang, semakin membuat orang itu memiliki pandangan yang terbuka, tidak fanatik dan merasa paling benar sendiri. Sehingga, ragam pandangan ini mendorong seseorang untuk menghormati ragam pandangan, sikap dan saling mentoleransi keputusan apa yang diambil orang lain. Dan, jalanan, dengan ragam kendaraan yang dapat anda gunakan dan manfaatkan, dapat meminimalisasi rasa kebencian anda terhadap orang lain dan mengarahkan kita pada sikap saling toleransi terhadap kepentingan dan pilihan orang lain. Memang jalanan ibarat hutan rimba, namun ketika anda menghormati pilihan orang lain dan memahami kondisi yang membuat pilihan itu dipilih, maka jalanan dapat menjadikan ajang untuk memperkuat rasa tenggang rasa dan toelransi di antara kita. Hal ini pula membuktikan bahwa sikap intoleran bukanlah sebuah tingkat final yang harus diterima (granted), tetapi dapat diubah melalui latihan-latihan dan eksperimen yang bersentuhan langsung dengan kehidupan sehari-hari umat manusia. Sekian.

K.H. Said Aqil Siradj: Tak Toleran Itu Melawan Tuhan

Melindungi non-Muslim adalah jihad. Musuh adalah mereka yang lalim.

Ada yang istimewa dalam perayaan Idul Fitri 1433 H kali ini. Hari raya itu hanya berselang dua hari dengan perayaan hari ulang tahun Kemerdekaan RI. Pada 67 tahun silam, kala proklamasi kemerdekaan RI dibacakan Bung Karno dan Bung Hatta, juga terjadi pada suasana Ramadan.

Tentu bukan sebuah kebetulan jika pada perayaan Idul Fitri kali ini mengajak kita memikirkan kembali kehidupan bersama dalam satu bingkai negara Republik Indonesia. Terlebih begitu banyak peristiwa gesekan antar umat beragama, atau meningkatnya intoleransi belakangan ini.

Semua seperti menggugat Indonesia sebagai rumah bersama bagi semua suku dan agama yang diakui konstitusi. Untuk merenungkan kembali makna kemerdekaan dan tugas umat beragama, khususnya Islam, dalam kehidupan berbangsa,VIVAnews mewawancarai Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH Said Aqil Siradj, pada Rabu 15 Agustus 2012 lalu di Kantor PBNU, Jakarta Pusat. Berikut petikannya:

Apa pesan Hari Kemerdekaan yang bertepatan Ramadan. Persis saat proklamasi 17 Agustus 1945?
Kita bangsa Indonesia juga harus bersyukur karena dulu kita merdeka di bulan puasa hari Jumat. Apa maknanya? Sangat besar maknanya. Kita umat Islam terutama harus betul-betul menjadi taat beribadah sekaligus warga bangsa yang baik. Ketika kita mengamalkan Islam dalam rangka memperkuat negara dan bangsa itu sama dengan ketika kita memperjuangkan negara dalam rangka mengamalkan Islam. Jadi tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Ketika kita membangun kehidupan di dunia itu juga dalam rangka ibadah, kita ibadah pun juga dalam rangka membangun dunia.

Kemerdekaan manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan seperti apa?
Manusia itu subjek dan objek. Sebagai subjek dia adalah khalifatullah, wakil Allah, atau mandataris-Nya. Dimana dia diberikan kebebasan seluas-luasnya membangun dunia ini. Allah menyerahkan bumi ini kepada manusia dan masing-masing punya status yang berbeda-beda. Maka manusia diharuskan melakukan upaya terus menerus sesuai dengan proporsi dan kesempatannya membangun dunia ini.

Tapi sebagai mahluk Tuhan, setiap manusia itu sama. Mulai dari presiden sampai tukang sayur. Sebagai mahluk, objek harus beribadah kepada Tuhan. Memang ada perbedaan di dunia ini, ada yang lebih rendah ada yang lebih tinggi. Tapi manusia dilahirkan sebagai mahluk yang merdeka. Tidak boleh ada perbudakan. Manusia dilarang memperbudak satu sama lain.

Apakah ajaran Islam mengajarkan cinta kasih terhadap sesama manusia?
Awal dakwah itu adalah la ilaha ilallah, kita harus menolak selain daripada Allah. Artinya, ketaatan kepada selain Allah itu adalah nisbi dan sangat relatif. Ketaatan yang mutlak dan tanpa ditawar adalah hanya kepada Allah. Kepada sesama manusia kita merdeka. Kepada Allah kita tidak merdeka. Ketika kita berhubungan satu sama lain ada batasan dan aturannya. Hubungan kita dengan Tuhan ya semaunya Tuhan, wong Dia yang menciptakan kita kok. Tuhan perintahkan kita salat lima kali, haji, dan lain-lain itu memang kemauan-Nya. Tapi kalau kita sesama mahluk misalnya saya atasan dan anda bawahan. Jika saya perintah anda maka yang mengatur itu adalah sistem, bukan saya selaku pribadi.

Lantas kenapa ada gejala umat Islam semakin tidak toleran dengan yang lain di sekitarnya?
Ya mereka itu menyalahi Islam. Ajaran Islam ini luar biasa, mereka saja yang tidak mengerti. Pemahamannya yang salah atau belum paham. Alquran itu luar biasa. Tidak mungkin di dunia ini hanya satu agama. Seandainya Allah menghendaki semua jadi orang beriman atau mukmin, semua jadi satu agama. Tapi apakah boleh menggunakan kekerasan untuk membuat orang lain beriman? Tidak. Kalau Allah mau dunia ini satu umat, satu bangsa, satu suku, tapi Tuhan kan tidak menghendaki itu.

Jadi dengan keadaan itu ada, bila masih ada orang yang tidak mau toleran berarti melawan kehendak Tuhan. Kalau kita benci dengan orang nonmuslim misalnya, itu melawan Tuhan. Kata nabi, tidak boleh ada permusuhan kecuali terhadap zalimin atau orang yang melanggar hukum.

Peristiwa yang menimpa etnis Rohingya di Myanmar, bagaimana?
Jelas salah.

Muslim yang terpengaruh isu Rohingya lalu melampiaskannya pada kelompok lain, bagaimana?
Semua itu salah. Kita orang Islam bakar gereja, salah. Orang Kristen bakar masjid, salah. Orang Islam membunuh orang kristen, salah. Orang Kristen bunuh orang Islam, salah. Jangan lihat agamanya. Lihat kriminalnya. Pokoknya kita tak boleh menganggap orang lain adalah musuh kecuali kepada yang zalim, yang melanggar hukum, pelaku kejahatan, pelaku kriminal. Pembunuh misalnya itu jelas pelaku kriminal, harus dijadikan musuh bersama baik muslim maupun nonmuslim. Koruptor, itu menjadi musuh bersama dan seterusnya.

Indonesia merupakan negara muslim terbesar, apakah perlu merawat keberagaman?
Memberi perlindungan terhadap warga masyarakat yang baik-baik tanpa melihat dia muslim atau nonmuslim, itu termasuk jihad. Melindungi orang Kristen yang baik, itu jihad. Kristen minoritas, kita lindungi hidupnya di Indonesia, itu jihad. Memberi perlindungan itu jihad, asal orang itu orang baik-baik. Jadi kita umat Islam wajib melindungi nonmuslim, asal orang itu maksum atau baik atau bukan pelanggar hukum.

Bagaimana caranya?
Ya dengan melayani atau mencukupi apa yang dibutuhkan. Kalau kita lebih kaya dan mereka miskin, makan mereka bagaimana itu harus dipikirkan, juga tempat tinggal, pakaian, serta kesehatan. Makanya Shalahuddin Al-Ayyubi melindungi orang Kristen arab, karena kristen arab memang tidak mengajak musuhan. Tapi Kristen romawi yang mengajak perang ya itu yang diperangi.

Jika khazanah peradaban Islam digali, apa yang ideal agar kehidupan lebih ramah ke depan?
Agama ini kalau tanpa diintegralkan atau disatukan dengan budaya, bisa bubar. Bisa langgengnya agama itu karena menyatu dengan budaya. Agama sebagai sesuatu yang sakral, datang dari Tuhan, turun dari langit, kepada manusia yang parsial, lemah, terbatas, terikat ruang dan waktu. Oleh karena itu agama harus sesuai dengan kondisi manusia, bukan kondisi Tuhan. Ya dong. Wong agama itu untuk manusia. Jadi agama ya harus sesuai dengan tantangannya manusia. Artinya, harus menyatu dengan budaya manusia.

Ada beberapa ibadah manusia yang menjadi kehendak Tuhan seperti salat, haji, lempar jumrah dan lain-lain. Tapi sisanya agama itu soal sosial atau kemasyarakatan, ada zakat, berhubungan baik dengan sesama manusia, tidak boleh sombong, tidak boleh dengki, dan lain-lain. Itu semua demi kehidupan manusia di dunia ini.

Apakah sekarang ini agama tidak menyatu dengan budaya?
Ada beberapa kelompok Islam radikal di Indonesia itu mereka bukan lakukan Islamisasi, tapi Arabisasi. Ada lagi yang sangat rigid, sulit, memberatkan: tidak boleh lihat perempuan misalnya. Kita ini yang tidak bisa kita capai dengan sempurna ya apa adanya saja kita lakukan. Hidup ini biar mengalir saja, hayati saja, tetap giat bekerja.

Source: Media Indonesia

Said Agil Siraj: Tasawuf Alternatif Kebhinekaan Indonesia

Menarik menyimak pernyataan Ketua Umum PBNU, Said Aqil Siraj, pada pembukaan MTQ Antarpesantren di Pontianak, Kalimantan Barat (3/7/2012), menyatakan bahwa Alquran menganjutkan umat Islam untuk bersikap modern dan bukan menjadi ekstrem, apalagi melakukan tindakan teror. Demikian diberitakan oleh Harian Kompas pada 3 Juli 2012.

Kiai NU yang menempuh studinya di Mekah, Saudi Arabia, ini menyatakan pula bahwa sebagai organisasi keagamaan terbesar di Indonesia, NU menentang semua gerakan radilan, anarkis atau terorisme. Islam, menurutnya, tidak pernah mengajarkan kekerasan, namun mengedepankan toleransi. Untuk itu, Harian Tempo (3/7/2012) menyebutkan, bahwa Said Aqil mengajak seluruh umat Islam untuk memberantas semua gerakan-gerakan radikal secara bersama-sama.

Sebagai alternatif, yang menurutku cukup relevan, Kiai Said menganjurkan agar umat Islam mengikuti cara beragama kaum sufi (tasawuf) yang sangat mengedepankan toleransi, karena corak keberagamaan seperti ini sangat cocok dengan kondisi Indonesia yang berbhineka. Seperti diucap oleh kiai Said, bukan Indonesia bila di dalamnya tidak ada umat Katolik, Kristen, Budha, Hindu, bahkan Kaharingan (salah satu agama tradisional Indonesia) sekalipun.

Kembali Kiai Said menegaskan apa yang tertera di dalam Alquran, ayat 99 surat Yunus/10, bahwa bisa saja Tuhan menjadikan seluruh umat di muka bumi adalah Islam bila Tuhan menghendaki, namun Allah menyatakan kepada Muhammad SAW bahwa Ia mengizinkan adanya tempat ibadah lain di muka Bumi.

Dengan demikian, penting untuk menyambut pesan dari Kiai Said untuk kembali mengkaji Alquran secara benar dan mendalam terutama berkaitan dengan makna toleransi, karena menurutnya, banyak sekali ayat-ayat Alquran yang memerintahkan umat Islam untuk bersikap toleran kepada pemeluk keyakinan yang berbeda.

Sumber: Harian Tempo dan Kompas, 3 Juli 2012.

Said Aqil Siroj: Sesat dan Menyesatkan

“Artikel yang ditulis oleh, Said Aqil Siradj-Ketua PBNU, ini penting untuk dibaca bagi seluruh umat Islam dan masyarakat Indonesia untuk menciptakan Indonesia yang lebih damai dan toleran. Mengharuskan adanya keseragaman sama halnya menyalahi kodrat alam dan hukum Tuhan”
—————————-
Opini Kompas, 13 April 2012
Ada celotehan yang muncul: mengapa perbedaan—khususnya di ranah internal agama—saat ini terlihat semakin ganas. Mudah bersitegang, tidak pernah tuntas, ujungnya saling menyalahkan. Jangan murka dulu. Keluh kesah itu layak ditanggapi secara bijak. Seeing is believing, fakta yang bicara.
 
Apanya yang fakta? Kepenasaran kembali meluncur. Bukankah beda pendapat dalam segala hal sah-sah saja?
 
Dunia ini diciptakan sudah bermacam rupa. Mustahil untuk bisa dipersatukan. Tuhan menciptakan manusia dan seisi alam ini beragam supaya manusia saling memahami dan mengenali satu sama lain (lita’arafu). Penyeragaman terjadi karena ulah manusia yang didasari unsur luaran, semisal kepentingan politik.
 
Menyejarah
 
Sulit dielak, fakta keragaman dalam pemahaman internal keagamaan sering kali mencuat. Sungguh, fakta tersebut sudah terjadi jauh-jauh silam.
 
Dalam sejarah Islam, perbedaan pemikiran bukan sesuatu yang ”najis”. Vonis penajisan hanya ”dibakukan” dalam kelompok yang meyakini kebenaran pendapatnya, lalu menvonis pihak lain sebagai sesat. Baku hantam pun kerap mewarnai perjalanan dalam pencarian kebenaran.
 
Sejarah juga mencatat, hiruk-pikuk polemik dan kontroversi telah mewarnai pemikiran umat Islam sedari dulu. Sengitnya perdebatan antara Muktazilah, Murjiah, Rafidhah, dan Ahlussunnah, misalnya, telah direkam rinci oleh Abdul Qohir ibn Thahir ibn Muhammad al-Baghdadi dalam kitab al-Farqu bain al-Firaq. Dalam kitab tersebut terpapar dengan jelas kemajemukan pemahaman keagamaan.
 
Masyhur diketahui, dulu ada sekte khawarij yang mengaku pembela Islam yang paling orisinal. Mereka ini berslogan ’la hukma illa Allah’, tidak ada hukum kecuali yang datang dari Allah. Mereka hendak memancangkan kedaulatan hukum Allah.
 
Saking militannya untuk membela Islam, mereka jadi kalap dan tega-teganya mengafirkan kubu Ali bin Abu Thalib dan kubu Muawiyah bin Abu Sufyan yang terlibat dalam Perang Shiffin. Dalihnya, kedua kubu tersebut telah keluar dari Islam karena menempuh ”tahkim” (arbitrase) demi mengakhiri perang saudara di antara mereka.
 
Bagi khawarij, model arbitrase dianggap identik dengan berhukum berdasar aturan manusia, bukan aturan Allah. Karena itu, hukum yang pantas adalah vonis kekufuran dan hukum mati. Tak ayal, pada Ahad pagi, 17 Ramadhan 40 H, Ali bin Abi Thalib dibunuh di Kuffah. Pembunuhnya adalah Abdurrahman Ibnu Muljam. Sebenarnya yang akan dibunuh ada dua orang lagi, yakni Gubernur Syam (Suriah) Muawiyah bin Abu Sofyan dan Gubernur Mesir Amr bin Ash. Kedua pemimpin Islam ini akan dibunuh masing-masing oleh Abdul Mubarok dan Bakr Attamimi.
 
Saat ini pun muncul jemaah-jemaah Islam yang dengan ”pede”-nya tidak henti memojokkan Muslim lain sebagai ahli bidah, bahkan musyrik. Presiden SBY dan Negara Kesatuan Republik Indonesia ini pun sudah sering ditunjuk-tunjuk sebagai penguasa dan negeri thoghut karena tidak mau menerapkan hukum syariah. Tuduhan-tuduhan terhadap ulama di luar kelompoknya juga kerap meluncur seperti tuduhan ulama sesat (su’) hanya karena berbeda cara pengambilan dasar pemikiran (istinbath al-hukm). Ada pula doktrin dari suatu jemaah tertentu yang melarang menikahi seseorang yang jarang atau tidak pernah menjalankan shalat berjemaah. Kumpul-kumpul dengan kelompok yang dicap ahli bidah juga dilarang. Ukuran ’jidat hitam” atau beda cara berbusana pun bisa menjadi arena pertikaian.
 
Sebenarnya, jauh sebelumnya, di negeri kita muncul beberapa kelompok Islam yang kehadirannya menghebohkan sehingga dilarang. Contoh yang terkenal adalah Islam Jamaah, DI/TII, Baha’i, Inkarus Sunnah, Darul Arqam, gerakan Usroh, aliran-aliran tasawuf berpaham wahdatul wujud, tarekat Mufarridiyah, juga gerakan Bantaqiyah (Aceh). Termasuk di dalamnya Ahmadiyah dan Syiah.
 
Sederet fakta di atas kiranya bisa jadi gambaran betapa sikap saling sesat-menyesatkan terus bergulir selaju derap perkembangan zaman. Porosnya adalah sikap yang mengklaim terhadap kebenaran pendapatnya serta merasa diri sebagai yang paling benar dan selamat (firqah al-najy).
 
Di Balik Penyesatan
 
Kelompok yang divonis sesat atau sempalan selalu dipandang sebagai kelompok yang memisahkan diri dari ortodoksi yang berlaku. Di sini menebal keyakinan bahwa yang sesat adalah sesat; ada fatwanya atau tidak. Dulu, kita ingat saat panas-panasnya ribut antara kalangan Islam modernis dan kalangan tradisionalis, selalu muncul sikap saling tuding sesat-menyesatkan. Dari sudut pandangan ulama tradisional, kaum modernis adalah sesat, sedangkan kaum modernis justru menuduh lawannya menyimpang dari jalan yang lurus.
 
Kelompok yang dituduh sesat tentu saja juga menganggap dirinya lebih benar daripada lawannya. Biasanya mereka justru merasa lebih yakin akan kebenaran paham atau pendirian mereka. Bahkan, sering kali mereka cenderung eksklusif dan kritis terhadap para ulama yang mapan.
 
Sepanjang sejarah Islam telah terjadi berbagai pergeseran dalam paham dominan, yang tidak lepas dari situasi politik. Dalam banyak hal, ortodoksi didukung oleh penguasa, sedangkan paham yang tak disetujui dicap sesat. Persoalan ortodoksi atau otoritas keagamaan terlihat sebagai sesuatu yang bisa berubah menurut zaman dan tempat. Ada kadar kontekstual.
 
Paham Asy’ariyah pada masa Abbasiyah pernah dianggap sesat saat ulama Mu’tazililah yang waktu itu didukung penguasa merupakan golongan yang dominan. Bahwa akhirnya paham Asy’ari-lah yang menang juga tidak lepas dari faktor politik.
 
Contoh lain di Iran. Syiah berhasil menggantikan Ahlussunnah sebagai paham dominan baru lima abad belakangan. Seperti diketahui, Syiah Itsna ’asyara kini merupakan ortodoksi di Iran. Sampai abad ke-10 H (abad ke-16 M), mayoritas penduduk Iran masih menganut mazhab Syafi’i. Paham ini baru dominan setelah dinasti Safawiyah memproklamasikan Syiah sebagai mazhab resmi negara dan mendatangkan ulama Syi’ah dari Irak Selatan.
 
Komunikasi
 
Dalam agama selalu ada yang sifatnya dogma (ma’lumun min al-diny bi al-dharurah). Ini jangan diulik-ulik, sebaliknya harus dihampiri dengan iman. Makanya, ketika muncul aliran-aliran ”aneh” seperti Lia Eden atau Al-Qiyadah yang mengaku-aku ”nabi” dengan menafikan ajaran yang sifatnya ritual, seperti tak wajib shalat lima waktu, sontak disikapi secara tandas. Aliran-aliran tersebut dihukum melenceng dari ajaran Islam yang baku.
 
Kata ”sesat” sendiri di dalam Al Quran berasal dari akar kata dhalalah, yang dengan segala bentuk derivasinya disebutkan 193 kali. Bermacam-macam sifat dan perilaku manusia oleh Al Quran dinyatakan sebagai orang-orang yang sesat. Jangan lupa, ”penyesatan” juga dibidikkan kepada orang-orang zalim serta orang yang suka hidup mewah, berlebihan, dan korupsi.
 
Secara teoretis kita bisa meramalkan, semakin dekat ortodoksi kepada kemapanan politik dan ekonomi, semakin kuat kecenderungan radikalisme gerakan kelompok yang diinisiasi sesat. Nah, disinilah perlunya dialog dan komunikasi secara terus-menerus, tidak hanya bereaksi dengan melarang-larang. Terputusnya komunikasi akan mengandung bahaya. Para tokoh agama perlu kembali memberikan perhatian lebih kepada umat dengan memberikan pemahaman keagamaan yang lebih mendalam agar masyarakat merasakan keteduhan dalam beragama serta meminimalkan ketegangan yang merusak harmoni keindonesiaan.
Said Aqil Siroj, Ketua Umum PBNU

KH. Said Aqil Siradj: Radikalisme Bukan “Makhluk” Baru

Wawancara oleh: M. Syafiq Syeirozi

Dalam sejarah politik Islam, sejak masa hidup sahabat Nabi Muhammad SAW, kelompok-kelompok keagamaan radikal yang menghalalkan darah saudara sesama muslim hanya lantaran perbedaan paham politik telah muncul, salah satu dari mereka adalah kelompok Khawarij.
Bahkan Imam Ali bin Abi Thalib KW, pemimpin keempat dalam sistem Khulafau Al-Rasyidin dan menantu Nabi juga dibunuh oleh seorang radikalis Khawarij bernama Abdurrahman bin Muljam.
Secara personal Abdurrahman adalah sosok yang salih. Tak hanya rajin ibadah wajib, amalan sunah seperti puasa Senin dan Kamis serta shalat tahajjud rutin ia kerjakan, hingga seolah menjadi kewajiban pribadinya. Tak hanya itu, ia juga penghafal Alquran. Namun lantaran menganggap Ali bin Abu Thalib telah kafir sehingga darahnya halal untuk ditumpahkan, maka ia lakukan pembunuhan itu
Paparan itu membuka perbincangan Lazuardi Birru dengan KH. Said Aqiel Siradj, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) beberapa waktu lalu. Sore itu, di kantor PBNU di Jalan Kramat Raya Salemba, sembari ditemani sebungkus rokok mild, Kang Said, demikian sapaan akrabnya di kalangan Nahdliyyin (warga NU) menjawab tangkas pertanyaan-pertanyaan dari LB seputar problem radikalisme dan terorisme berlabel agama.
Berikut petikan perbincangan Lazuardi Birru dengan peraih gelar Doktoral bidang filsafat Islam dari Universitas Ummu al-Qura Mekah itu.

Mengenai Khawarij, bisa diterangkan lebih jauh?
Khawarij awalnya adalah para pengikut Imam Ali bin Abi Thalib KW. Namun ketika pecah perang Shiffin untuk menumpas kelompok pimpinan Muawiyah bin Abu Sufyan (Gubernur Syam) yang membangkang terhadap kepemimpinan Imam Ali, mereka berbeda pendapat dengan Imam Ali.
Ketika pertempuran hampir saja dimenangkan pasukan Ali, kelompok Muawiyah mengajukan Tahkim (gencatan senjata), dan Ali menerima itu. Namun sebagian pasukan yang tidak setuju atas keputusan tersebut lantas memilih keluar dari barisan Ali dan membentuk golongan sendiri.
Mereka berargumen bahwa Ali telah menerima hukum hasil musyawarah manusia, bukan hukum Allah. Dengan merujuk pada QS. Al Maidah: 44 bahwa barang siapa yang menerima hukum selain hukum Allah maka telah kafir, kelompok Khawarij menghalalkan pembunuhan terhadap Imam Ali bin Abi Thalib.
Dalam kelompok Khawarij sendiri ada beberapa faksi. Faksi yang agak lunak menyebut bahwa yang kafir hanyalah orang dewasa, yang anak-anak tidak. Namun ada faksi shafariyah yang sangat radikal yang memandang bahwa semua orang di luar kelompok khawarij, baik anak kecil maupun dewasa semua kafir dan halal darahnya. Perempuan dan anak-anak boleh dijadikan budak.

Artinya radikalisme berbasis agama itu bukan sesuatu yang baru?
Ya. Pemahaman yang menghalalkan tindak kekerasan dan penumpahan darah sesama muslim dengan merujuk pada dalil-dalil Alquran dan hadis itu sudah ada presedennya dalam sejarah politik Islam awal.
Bukan cuma dalam Islam, di setiap agama dan peradaban manusia, kelompok  radikal itu selalu ada. Dan itu bertentangan bahkan mencoreng serta membikin kotor agama itu sendiri

Apakah benar agama mengajarkan kekerasan?
Tidak ada agama yang mengajarkan kekerasan dan main hakim sendiri, baik itu Islam, Kristen, Hindu, Budha, dan lainnya. Islam memiliki ajaran rahmatan lil alamin (rahmat bagi semesta) dan tasamuh (toleransi). Kristen mengajarkan cinta kasih, di Hindu ada Ahimsa, Budha ada moksa.
Dalam Islam sendiri, jangankan kepada sesama muslim kepada non muslim pun tidak boleh main hakim sendiri. Nabi Muhammad SAW pernah bersabda; “Man qotala dzimmiyan fa ana khosmuhu, wa man kuntu khosmahu fa lam yasyumma roihatal jannah (barang siapa yang membunuh non muslim maka ia akan berhadapan [memusuhi] dengan saya [Nabi]. Dan barang siapa yang berhadapan dengan saya, maka ia tidak akan mencium bau surga.” Itu statemen Nabi yang luar biasa dalam melindungi hak hidup manusia, siapa pun dia.
Nabi pernah menerima hadiah dari Muqauqis (Gubernur Mesir) berupa kuda dan budak perempuan perempuan bernama Mariah Al Qibtiah yang kemudian dinikahi oleh Nabi. Mariah ini seorang pemeluk Kristen Koptik.
Beliau berpesan kepada sahabat Umar Bin Khattab R.A bahwa Islam akan tersebar di Mesir berkat  perjuangan Umar. Jika itu terjadi maka saya berwasiat agar keluarga Mariyah yang beragama Kristen itu jangan diganggu, artinya pemeluk Kristen jangan diganggu. Terbukti hingga sekarang kota Alexandria Mesir menjadi basis pemeluk Kristen ini.
Maka  begitu sahabat Umar menerima penyerahan kota Palestina beliau menjamin tidak akan ada satu gereja pun yang dibongkar atau dihancurkan. Beliau memberikan garansi kebebasan beribadah kepada pemeluk Kristen.
Begitupun dengan Salahuddin Al Ayubi. Ketika ia memimpin pertempuran melawan pasukan Romawi yang Katolik maka pemeluk Kristen di tanah Arab tidak diganggu sama sekali.

***********
11 September 2011, dunia dikejutkan oleh serangan yang diduga kuat dilakukan oleh jaringan Al Qaeda pimpinan Osama bin Laden terhadap gedung WTC (World Trade Center) di New York dan sebagian kecil gedung Pentagon (markas pertahanan Amerika Serikat). Ribuan warga sipil meninggal. Pemerintah AS murka dan mengeluarkan kebijakan War on Terror (perang melawan terorisme). Bagi sebagian aktivis muslim, kebijakan itu kerap dianggap sebagai war on Islam. Pasalnya Al Qaeda adalah kelompok muslim militan.

Di Indonesia, aksi terorisme yang menelan jumlah terbesar adalah Bom Bali I, 12 Oktober 2002. 202 nyawa melayang, sebagian besar adalah wisatawan mancanegara.
Sebelum itu beberapa aksi teror bom sudah berlangsung di bumi pertiwi sejak tahun 2000, diawali pengeboman rumah Kedutaan Besar Filipina di Jakarta pada 1 Agustus 2000. Banyak pengamat menyebut bahwa aksi-aksi teror bom di tanah air dipicu oleh fatwa Osama bin Laden pada Februari 1998. Kala itu Osama mendeklarasikan World Islamic Front dan mengeluarkan fatwa yang menyerukan kewajiban berjihad melawan tentara dan warga sipil Amerika Serikat di mana pun berada.
Melihat fenomena itu, Kiai Said merasa geram. “Saya pikir ada big design untuk memojokkan Islam sebagai teroris. Di Indonesia kan umat Islam mayoritas. Karena banyak aksi bom di sini seolah-olah muncul pencitraan bahwa Islam itu radikal, ekstrem, dan gemar melakukan aksi teror. Padahal pelakunya cuma segelintir muslim,” cetusnya.
Terlepas dari itu, banyak pelaku terorisme, Imam Samudra dan Mukhlas (dalang Bom Bali I) misalnya, menggunakan ayat-ayat Al Quran dan teks hadis untuk menjustifikasi tindakannya. Jadilah aksi terorisme bertameng agama.
Lantas bagaimana seorang Kiai Said, sosok yang sangat lama mendalami ajaran Islam, dari bilik pesantren Lirboyo, Kediri, kemudian Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta, hingga menempuh studi sarjana hingga doktoral di Universitas Umm al Qura Makkah, terhadap fenomena terorisme?
Para pelaku teror di indonesia sering mengutip ayat-ayat Al Quran yang menyerukan perang terhadap kaum kafir, Bagaimana pandangan Anda?
Ayat-ayat perang itu turun ketika sedang pecah peperangan antara umat Islam dengan kaum kafir. Fungsi ayat tersebut untuk memberikan dorongan moral dan mental kepada pasukan Islam.
Alasan Islam membolehkan perang, itu yang harus dimengerti. Perang terjadi lantaran dakwah Islam terhalang oleh kekuatan tertentu. Nah, demi menghancurkan kekuatan itu, perang diperbolehkan. Hanya dalam rangka sebatas itu, artinya kalau dakwah Islam sudah bisa dilaksanakan, maka tidak boleh ada peperangan.

Berarti ada kesalahan tafsir?
Jelas. Kelompok-kelompok radikalis dan teroris ini dangkal memahami ajaran Islam. Dan itu sudah diprediksikan oleh Nabi Muhammad SAW.
Ada sebuah peristiwa di mana Rasulullah lantas memprediksikan lahirnya kelompok-kelompok yang dangkal memahami ajaran Islam. Cerita ini termaktub dalam Syarah Shahih Muslim karya Imam Nawawi, pada Kitab Zakat, Bab al Qismah (pembagian).
Ketika Rasulullah mendapatkan rampasan perang Hunain dan Thoif yang banyak, kemudian dibagi setelah Fathul Makkah (penaklukan Mekah) di daerah Ja’ronah, ada seorang sahabat bernama Dzil Khuwaisyir  yang marah dan protes atas pola pembagian Nabi yang dilihatnya aneh.
Pejuang senior tidak mendapatkan bagian, namun orang-orang yang baru masuk Islam bahkan konglomerat seperti Abu Sufyan dan Al Bakhtari masing-masing diberi jatah 100 ekor unta.
Dengan congkaknya Dzil Khuwaisyir maju ke depan dan berkata, “I’dil ya Muhammad, bagi-bagi yang adil hai Muhammad jangan semaunya sendiri.”
Nabi Muhammad SAW pun menjawab bahwa yang beliau lakukan itu adalah perintah Allah bukan semaunya sendiri. Sebab tindakan Nabi yang seperti itupun bukan berdasarkan nafsu sebagaimana dijamin dalam surat An Najm.
Ketika orang itu pergi meninggalkan majelis pertemuan, Nabi Muhammad bersabda, akan muncul dari umat Islam orang seperti lelaki itu, yang hafal Al Quran tetapi tidak melewati tenggorokannya, mereka adakah sejelek manusia bahkan lebih jelek dari binatang.
Tidak melewati tenggorokan artinya mereka hanya memahami Al Quran secara dangkal atau sangat literal. Maka tak heran lahirlah kelompok khawarij yang sebagian adalah penghafal Al Quran tapi gemar mengkafirkan kelompok muslim lain.
Dalam syarah (penjelasan) hadis tersebut, Imam Nawawi menggambarkan sosok Dzil Khuwaisyir itu berkepala botak, jenggotnya panjang, jidatnya hitam, dan memakai gamis setengah kaki.

Lantas, bagaimana cara efektif menanggulangi terorisme?
Kalau yang sudah menyakini jalan kekerasan sebagai kebenaran, itu sulit untuk disadarkan. Orang-orang militan yang percaya betul bahwa ketika mati akibat aksi bom bunuh diri akan langsung disambut oleh 70 bidadari itu sudah sangat sulit disadarkan.
Tugas kini sekarang adalah melakukan antisipasi agar doktrin-doktrin radikalisme tidak menjerat generasi muda, remaja masjid, pegiat majelis taklim, dan sekolah-sekolah.
Apa yang sudah dilakukan oleh NU dalam upaya penanggulangan radikalisme?
Selamanya NU ini kan membangun masyarakat yang wasaton (moderat). Mazhab kita ahlus sunnah wal jamaah itu supaya masyarakat berislam secara benar sesuai ajaran Nabi Muhammad SAW yaitu membangun masyarakat yang beradab, berakhlak, berilmu, bukan hanya secara akidah dan syariah saja.
Dasarnya adalah firman Allah dalam QS At Taubah: 122 yang artinya “Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.”
Nah NU dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara ini mendapat bagian tafaqquh fiddin yang bertugas menjaga moral umat, pengawal agama, kebudayaan, ahlus sunnah, NKRI dan pancasila. Itulah mengapa NU tidak terjun di dunia politik praktis.
Dan itu bukan barang kecil. Sikap moderat itu butuh pengorbanan. Dan kiai-kiai NU sudah berkorban dengan meninggalkan sekitar 50 juta anak bangsa yang taat beribadah tapi punya komitmen tinggi dengan kebangsaan. Muslim yang agamis sekaligus nasionalis. Itu persembahan NU terhadap bangsa,kemanusiaan, dan peradaban dunia

Ada sebagian pelaku tindak pidana terorisme yang berasal dari keluarga NU?
Ya, namanya orang banyak kan nggak semuanya benar. Tetapi sekali orang sudah terjerat terorisme berarti dia bukan NU lagi.
Apa saran NU kepada pemerintah?
UU Antiterorisme harus diperkuat. Saya setuju bahwa siapa pun yang dicurigai akan melakukan aksi teror boleh ditangkap, tetapi jangan sampai ada penyiksaan. Jika memang ditemukan bukti yang memerkuat dugaan ya silakan diteruskan, jika tidak ada ya harus dilepas. Tidak masalah intelijen melakukan penangkapan. Terorisme itu berbeda dengan tindak kriminal biasa.
Kalau menunggu orang melakukan aksinya baru bisa ditangkap, ya akibatnya  bom meledak di mana-mana baru dicari.
Saya yakin polisi dan intelijen itu tahu kok. Nyatanya setiap aksi demonstrasi polisi bisa tahu bahwa provokatornya si A, berasal dari kelompok mana, dan latar belakangnya apa. Maka kalau bekerja serius, bisa kok polisi menangkap sebelum kelompok itu berbuat.
Saya pernah mengkritik keras polisi ketika terjadi teror bom buku pertengahan tahun 2011. Waktu itu Kapolri langsung mengirim pesan singkat (SMS) dan mengucapkan terima kasih atas kritiknya dan berjanji akan segera menangkap pelakunya. Betul, seminggu kemudian puluhan orang tertangkap. Artinya polisi sebenarnya tahu, cuma nggak bisa menangkap karena belum ada payung hukumnya.
Oh ya, saya juga usul. Orang-orang yang suka melakukan caci-maki dengan kata-kata kotor terhadap tradisi-tradisi seperti perayaan Maulid Nabi, tahlil, dan sebagainya itu juga bisa ditangkap. Itu membuat resah masyarakat. Tradisi-tradisi itu sudah membudaya dan terbukti baik kok disebut bid’ah, perbuatan orang kafir dan musyrik.
Apakah pemerintah harus melibatkan masyarakat sipil?
Harus. Karena organisasi kemasyarakatan seperti NU dan Muhammadiyah itu lebih tahu tentang gerakan-gerakan di masyarakat yang di luar mainstream. Kebijakan pemerintah yang menyangkut kepentingan besar itu harus mengikutsertakan NU, Muhammadiyah, dan Ormas lain yang memiliki komitmen besar pada NKRI.

******
Tak terasa, perbincangan seputar radikalisme-terorisme bertopeng Islam dan NKRI mengalir hingga sore terus beranjak menuju petang. Waktu di alat recorder menunjukkan, wawancara telah berlangsung lebih dari 45 menit. Tentu itu belum termasuk obrolan pembuka.
Pak Kiai, tolong berikan closing statement dari wawancara ini…
Mari kita teruskan perjuangan membangun bangsa dengan mengamalkan Islam secara benar. Kita harus terus meningkatkan kualitas kita untuk mengembangkan kebudayaan dan negara ini. Kewajiban kita adalah membangun masyarakat wasathon (moderat) yang tidak mengenal  ekstrim kanan maupun ekstrim kiri. Dan itu telah berhasil diberi contoh oleh Nabi Muhammad ketika membangun masyarakat Madinah yang beradab dengan pluralitas etnisnya.
Nabi Muhammad berhasil membuat konstitusi kita kenal sebagai Shahifa Madinah (Piagam Madinah). Di dalamnya, seperti dikutip oleh Abdul Malik Ibnu Syam Al Anshary dalam Sirah Nabawiyyah juz 2 hal 219-221, tidak ada satu pun kata Islam demi kesetaraan.
Nabi berhasil membangun masyarakat yang solid, hak dan kewajiban masyarakat sama. Perlakukan di mata hukum sama, tak pandang bulu apakah muslim atau non muslim, pribumi atau pendatang.
Dan kita wajib meniru sunnah Nabi itu.[]

Sumber: Lazuardi Birru