Toleransi tanpa Apologi (Bagian II)

lanjutan dari Bagian I

Mengobati Apologi

Sulit memang menghindari sikap apologi, apalagi bila umat Islam berhenti untuk belajar dan menggali kekayaan intelektualnya. Sikap ini tak jarang muncul dalam pergaulan sehari-hari, diskusi-diskusi, ataupun omong-omong di waktu senggang, dari seseorang yang sebetulnya menolak apologi. Untuk itu, menurut Wahib, sikap non-apologi harus dilatih dalam praktik keseharian, pergaulan, mulai dari yang sederhana sampai yang paling kompleks.

Dalam catatan harian yang sama (17 Juli 1971),Wahib mengakhiri tulisannya:  

“Nah, untuk itu perlu dilatih: 1. Berdada lebar dalam arti optimis dan sabar; 2. Mendengarkan pikiran-pikiran orang lain dengan baik terlebih dulu sebelum memberikan pendapat: 3. Percaya pada diri sendiri dengan memperkuat bakat-bakat diri: 4. Memandang masa depan dengan tersenyum; 5. Aktif mengambil inisiatif; 6. Aktif berbuat dan bereksperimen.”

Dari penggalan catatan yang tidak lebih lima baris ini, Wahib mengemukakan enam hal penting untuk mengobati sikap apologetik. Yang paling utama adalah bagaimana seorang muslim “berdada lebar” yang diartikannya sebagai sikap optimis dan kesabaran. Untuk tidak melampaui pemaknaan Wahib terhadap kalimat ini, saya memaknainya dengan “berbesar hati, yang dipenuhi dengan sikap optimistis dan kesabaran”. Kiranya benar apa yang diungkap oleh Thomas Scanlon dalam bukunya The Difficulty of Tolerance (Cambridge, tth: 187), yang menyatakan, bahwa “… Toleransi dengan demikian melibatkan sebuah tingkah laku intermediasi antara penerimaan sepenuh hati…,” adalah sebuah wujud dari penerimaan terhadap apapun yang telah diraih, dicapai atau dilakukan oleh orang di luar “kita”. Hal ini meniscayakan pula adanya keikhlasan diri terhadap apa yang telah digariskan oleh Tuhan terhadap hamba-hambanya sebagai implikasi dari penyerahan diri (al-Islaam) secara sempurna kepada Sang Khalik.  

Penerimaan ini pula yang menjadi pendulum optimisme bagi setiap individu untuk tetap berusaha meraih segala kebaikan yang dikaruniakan oleh Tuhan. Bukankah Tuhan adalah satu-satunya Zat yang menjadi tujuan utama sehingga menghalangi kita untuk memikirkan keistimewaan dan kebanggaan lain dari makhluk yang bersifat profan? Optimisme hidup dalam keberagamaan mendorong kita untuk selalu berlomba-lomba mencari kebaikan-kebaikan Tuhan. Demikianlah, Tuhan memerintahkan manusia untuk berlomba-lomba dalam mencari kebaikan (fastabiqu al-khairat).

Optimisme saja belum cukup, karena sikap ini harus dibarengi dengan kesabaran, demikian menurut Wahib. Cak Nur dalam Tradisi Islam (1997: 144) menulis, kesabaran merupakan ketabahan, kesanggupan menahan diri, dan kesediaan untuk tidak mendahulukan kepentingan diri sendiri yang merugikan kepentingan orang banyak. Menurutnya, sikap ini meniscayakan kita untuk tidak mudah terkecoh dengan penampakkan lahiriah keuntungan atau perolehan pribadi saja. Sebaliknya, kalimat khairukum anfa’ukum li al-naas (sebaik-baik kamu adalah yang paling bermanfaat bagi umat manusia) patut menjadi malaikat pencatat yang selalu mengawasi kehidupan kita sehari-hari. Tanpa adanya kesabaran dalam setiap proses pembangunan diri sama halnya menafikan eksistensi Tuhan yang selalu menilai setiap apa yang telah dilakukan oleh hamba-Nya, sehingga sikap legowo dengan rasa optimisme dan kesabaran, menurut Wahib, telah dapat menjadi salah satu penangkal sifat apologi yang bersemayam di palung terdalam hati manusia.

Sikap berbesar hati pula yang menjadi prasyarat penting bagi kita untuk mendengarkan pikiran-pikiran orang lain dengan baik terlebih dahulu sebelum kita memberikan kritik atau komentar. Tanpa adanya pandangan fair yang menyetarakan dan menyamakan setiap entitas apapun di dunia ini, proses dialog dan diskusi tidak akan pernah tercapai, karena penyakit psikis yang paling sulit didiagnosis dan diobati oleh manusia adalah “ego” (Ali Syariati, 1997). Ego yang berlebih-lebihan telah menafikan pendapat, pikiran dan simpulan yang dicapai oleh orang lain, padahal hanya dalam kehidupan dialogislah tingkat paripurna dapat diraih.

Dengan demikian, tindakan kritik dan/atau otokritik merupakan sebuah keniscayaan yang harus dilakukan oleh manusia untuk mencapai sintesa terunggul dari beragam antitesa-antitesa kehidupan, namun hal itu hanya dapat dilakukan tatkala kita mengetahui dan memahami tangga terakhir dari sintesa yang telah dihasilkan. Dari sini, cukup relevan bila  dikatakan, ketidakmampuan umat Islam untuk terlibat dalam proses pemikiran dan dialog dunia kontemporer telah mengarahkan mereka pada sikap apatis, apologetik dan normatif, serta menghalangi mereka untuk menerima segala macam kebaikan-kebaikan yang ada di luarnya. Bilapun bertindak, hal itu tak lebih dari sikap reaktif terhadap kondisi yang dianggap menyerang.

Tanpa pula hendak berapologi, Roxanne L. Euben dalam Enemy in the Mirror yang dialihbahasakan oleh Serambi dalam Musuh dalam Cermin (Jakarta, 2002: 220) menemukan fakta bahwa di satu sisi Sayyid Qutb, Afghani dan Muhammad Abduh berusaha mengkritik, mendefinisikan atau memberikan obat penawar pribumi untuk melawan pengaruh Barat, pada saat yang sama ketiganya juga bergelut dan dipengaruhi oleh kerangka dan gagasan Barat. Ungkapan ini, menurut saya, menjadi sebuah aksioma bahwa untuk melakukan kritik dan komentar terhadap suatu pemikiran atau pendapat, setiap orang diharuskan dahulu mengetahui setiap lini basis argumentasi yang dibangun oleh rivalnya sebelum ia melakukan kritik. Tanpa pengetahuan yang didapatkan dari mendengarkan orang lain kita akan selalu terjebak pada pembelaan-pembelaan normatif yang sebetulnya sangat mudah dipatahkan.

Mari simak penggalan catatan Wahib berikut, yang bagi saya, adalah menjadi sebab jumudnya pikiran sebagian umat Islam dan sikap apologetik. Wahib mengatakan: “Stagnasi pemikiran-pemikiran Islam selama ini, sudah berabad-abad, menempatkan umat Islam dalam konflik serius dengan perkembangan kebudayaan karena pemahaman Islam tanpa disadari telah dibelenggu pada suatu kebudayaan tertentu” (18 November 1972). Dari catatan Wahib ini, saya mengetahui jawaban mengapa sebagian umat Islam, Hasyim Muzadi dalam BBM-nya sebagai tamsil, selalu membanding-bandingkan toleransi di Indonesia dengan Negara-negara Barat (Perancis, Denmark atau Swedia), karena memang mindset kita masih dibelenggu oleh pandangan klasik yang memosisikan Islam vs Barat. Akibatnya, umat Islam tidak mampu melampaui patokan standardnya karena patokan-patokan itu dibuat dengan sangat rendah, daripada secara serius – dalam bahasa Wahib – mencari ru­musan-rumusan pemahaman Islam yang lebih universal untuk lebih dekat pada kehendak-kehendak Tuhan yang universal. 

Sampai pada tahap ini, proses penyembuhan apologetik yang harus dilakoni oleh seseorang, menurut Wahib, adalah mempercayai seluruh kemampuan diri sendiri dan memperkuat bakat-bakat diri. Ia menggarisbawahi adanya upaya yang terus-menerus untuk memperkuat bakat-bakat yang telah dimiliki oleh setiap manusia dan percaya bahwa dirinya mampu untuk mencapai sasaran-sasarannya. Ungkapan ini pula yang menjadi pemaknaan atas “proses menjadi” yang diketengahkan Wahib dalam catatan hariannya yang lain:  

Aku bukan Hatta, bukan Soekarno, bukan Sjahrir, bukan Natsir, bukan Marx dan bukan pula yang lain-lain. Bahkan… aku bukan Wahib. Aku adalah me-Wahib. Aku mencari, dan terus-menerusmencari, menuju dan menjadi Wahib. Ya, aku bukan aku. Aku adalah meng-aku, yang terus-menerus berproses menjadi aku (1 Desember 1969).

Catatan ini mengisyaratkan, bahwa untuk mencapai kesempurnaan insani seseorang harus mampu melakukan penjelmaan secara kontinu, terus-menerus “menjadi”, sampai akhirnya jasad berpisah dengan ruh. Tak perlu sulit-sulit menjelaskan konsep ini, karena saudaraku Fahd Pahdepie telah mendefinisikannya menjadi kesalehan transformatif dalam esainya untuk Wahib. Dalam istilah Fahd, Wahib telah mencapai proses ikhtiar transfigurasi, karena jika ”aku” dianggap final dan selesai, maka yang tercipta hanyalah “aku-individu” dalam identitas yang terbatasi. Dalam kondisi ini, ”aku” menjadi perlu memiliki oposisi yang menjadi “selain-aku” (Fahd Pahdepie, dalam Pembaruan Tanpa Apologia, 57). Bila demikian, patutlah kita memaklumi sikap sementara umat Islam yang tidak mampu berbesar hati menerima kritik dan masukan dari luar, karena egoisme individu dalam identitas yang terbatasi itu telah menguasai seluruh relung hatinya. Ia tak mampu lagi melepaskan jubah keagungan yang dipinjamnya dari kebesaran Tuhan dan tak rela bila ada “selain-aku” yang lebih berhasil menjalani hidup ini.  

Dengan usaha dan upaya yang dilakukan terus-menerus, sembari menggali kemampuan diri dan kapasitas individu, seorang muslim patut untuk percaya pada diri sendiri. Dengan demikian, kita tak lagi dihinggapi rasa iri hati dan kedengkian terhadap apa yang telah dicapai oleh orang atau umat lain. Sebaliknya, masa depan dihadapi dengan senyuman, karena kita semua yakin, bahwa Tuhan tidak akan menyia-nyiakan usaha yang telah diupayakan oleh setiap hamba-Nya. Sikap optimistis inilah yang menjadi dasar bagi seseorang untuk selalu mengambil inisiatif, selalu berbuat dan bereksperimen, karena ia sangat yakin, bahwa hanya ketiga hal inilah yang akan menjadi modalnya mencapai kesempurnaan menuju ridha Ilahi Rabbi.

Dengan ini, sikap pembelaan yang muncul secara emosional akibat dari egoisme pribadi justru tidak memberikan jawaban terhadap permasalahan ril di lapangan. Sebaliknya, pandangan apologetik seperti ini justru cenderung meng-iya-kan beragam tindakan kekerasan, diskriminasi dan intoleransi kepada kelompok minoritas, sehingga pada saat yang sama, Islam telah kehilangan label rahmatan lil alamin-nya. Tentu bukan tujuan yang kita cita-citakan. Bukankah sebuah pukulan telak bagi umat Islam sendiri tatkala di satu sisi membangga-banggakan diri telah sangat toleran, namun pada saat yang sama sebuah lembaga think tank di Indonesia merilis hasil penelitian yang menyebutkan bahwa sikap intoleransi di Indonesia meningkat dari sebelumnya?

Rasanya fakta ini cukup menjadi pecutan bagi kita untuk selalu melakukan introspeksi dan memperbaiki tingkahpola kita terhadap sesama yang berbeda, karena keberagaman adalah sebuah niscaya. Tuhanpun telah memberikan peringatan, “Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka Apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?” (QS. Yunus/10: 99). Lalu, apakah kita hendak menantang kodrat Tuhan tersebut? Saya yakin jawabnya adalah tidak.

————-

Bersambung ke Bagian III

Catatan Harian Ahmad Wahib

22 Agustus 1969

Terus terang, aku kepingin sekali bertemu dengan Nabi Muhammad dan ingin
mengajaknya untuk hidup di abad 20 ini dan memberikan jawabanjawabannya.
Aku sudah kurang percaya pada orang-orang yang disebut
“pewaris-pewarisnya”.

 

29 Maret 1970

Lihatlah, ulama-ulama Islam ingin menerapkan hukum tertentu kepada
manusia. Tapi sayang, bahwa di sini yang mereka perkembangkan hanyalah
bunyi hukum itu dan sangat kurang sekali usaha untuk mengerti dan
membahas masalah manusianya sebagai objek hukum itu. Dengan cara-cara
ini, adakah kemungkinan untuk menjadikan hukum itu sendiri menjadi suatu
kesadaran batin dalam hati manusia? Yang terjadi malah sebaliknya, bahwa
makin lama orang-orang makin jauh dari hukum-hukum yang mereka
rumuskan. Sampai di manakah ulama kita – walaupun tidak ahli – cukup
memiliki apresiasi terhadap antropologi, sosiologi, kebudayaan, ilmu, politik
dan lain-lainnya?
Bagi saya, ulama-ulama seperti Hasbi, Muchtar Jahya, Munawar
Cholil dan lain-lain, tidak berhak menetapkan hukum dalam masalah akhlak
dan khilafah. Bagaimana mereka berhasil tepat, bilamana masalah manusia,
masyarakat dan lain-lain tidak dikuasainya? Tidak ada kerja kreatif yang
mereka lakukan. Mereka baru dalam taraf interpretatif.
Sejauh pengamatan saya, bahasa ulama kita dalam dakwahnya juga
sangat kurang. Mereka sangat miskin dalam bahasa, sehingga sama sekali
tidak mampu mengungkapkan makna firman-firman Tuhan. Bahasa mereka
terasa sangat gersang….