Menyikapi Pemberitaan Seputar Agama | By Luthfi Assyaukanie

Media memainkan peran penting bukan hanya bagi perdamaian dunia, tapi juga bagi konflik dan peperangan. Media bisa menyulut konflik yang kecil menjadi besar dan memicu ketegangan menjadi perang. Ratusan atau bahkan ribuan nyawa hilang akibat pemberitaan yang membakar (inflammatory news). Kita tentu masih ingat bagaimana pemberitaan tentang buku Ayat-Ayat Setan karya Salman Rushdi di dunia Muslim memantik kerusuhan dan kekerasan. Belasan gedung termasuk kedutaan besar dirusak dan dibakar, sejumlah penerbit dan toko buku diserang. Ratusan nyawa melayang. Begitu juga pemberitaan tentang kartun Nabi Muhammad yang –seperti menyiram api dengan bensin– membuat orang semakin marah. Di Indonesia, pemberitaan terhadap Ahmadiyah, Salamullah, Syi’ah dan kelompok-kelompok minoritas dalam Islam bukan mendinginkan masalah, tapi justru membakar kemarahan yang sejak lama terpendam.

Pemberitaan adalah soal cara dan pilihan. Anda bisa menyampaikan sebuah berita dengan netral, tapi juga bisa mengemasnya dengan pesan yang membuat orang marah. Jika sebuah pemberitaan yang netral dirasa tidak cukup mendamaikan situasi yang panas, cara lain yang lebih proaktif harus diusahakan. Inilah apa yang belakangan ini disebut dengan “jurnalisme damai.” Peran media dan wartawan dalam memberitakan isu-isu krusial, khususnya yang melibatkan ketegangan, bukan hanya menjadi penyampai informasi, tapi juga berusaha menjadi penengah dan juru damai. Dalam jurnalisme damai, wartawan dituntut bukan hanya memberitakan secara netral, tapi juga dianjurkan untuk menyelesaikan persoalan lewat cara pemberitaan yang menyejukkan.

Jurnalisme damai adalah sebuah konsep yang kontroversial. Pertama kali diperkenalkan oleh Johan Galtung, sosiolog asal Norwegia, jurnalisme damai berusaha memberikan alternatif pada cara pemberitaan yang cenderung bias dalam konflik dan perang. Galtung melihat bahwa pemberitaan media dalam meliput peristiwa konflik dan perang –baik disengaja maupun tidak –kerap kali memberi andil bagi terawatnya sebuah konflik. Pemberitaan yang hanya fokus pada arena konflik, kelompok-kelompok yang bersitegang, serta mengabaikan latar belakang masalah, merupakan ciri apa yang Galtung sebut sebagai “jurnalisme perang.” Wartawan yang cinta damai tidak cukup hanya dengan memberitakan sebuah peristiwa “secara netral” dan apa adanya di medan perang, tapi dia juga harus punya missi untuk mengakhiri perang.

Jurnalisme damai tidak hanya digunakan dalam memberitakan peristiwa-peristiwa konflik dalam skala besar, seperti perang Iran-Iraq, perang AS-Afghanistan, dan konflik Israel-Palestina, tapi juga menyangkut isu dalam skala yang lebih kecil. Menurut saya, berbagai konflik dan ketegangan yang melibatkan hubungan antar-agama dan isu-isu yang terkait dengan masalah agama memerlukan pendekatan dan cara pemberitaan khusus. Jurnalisme damai bisa memainkan peran aktifnya di sini. Memberitakan peristiwa atau isu yang terkait dengan agama tidak sama dengan memberitakan isu dalam perkara lain, seperti peristiwa ekonomi, olahraga, atau hiburan. Diperlukan pemahaman tambahan dan pendekatan yang lebih hati-hati dalam menangani isu yang kerap melibatkan sentimen masyarakat ini.

Cara Pemberitaan

Media di Indonesia memiliki kontribusi bagi pasang-surutnya hubungan antar-agama dan perilaku keberagamaan di Indonesia. Setiap kali ada ketegangan atau masalah menyangkut hubungan antar-agama, media menjadi corong pemberitaan kepada publik. Cara pemberitaan media tentang ketegangan atau konflik antar-agama menjadi penting, karena dari sanalah masyarakat kemudian mengambil sikap. Jika pemberitaan media berusaha menengahi atau mendinginkan suasana, ada kemungkinan ketegangan akan reda dan masyarakat tak akan bereaksi, tapi jika pemberitaan media bersifat membakar atau mengompori, ketegangan akan pecah menjadi konflik dengan skala yang lebih luas. Pilihan cara penyampaian berita dan penggunaan bahasa dalam pemberitaan tentang isu agama, karenanya, menjadi penting.

Kontribusi media-media Islam yang berat sebelah, seperti Sabili, Hidayatullah, dan –dalam tingkat tertentu —Republika dalam mengompori kemarahan kaum Muslim sangat terasa. Dengan memilih angle tertentu, media-media itu berusaha bukan hanya menyampaikan suatu fakta yang terjadi di lapangan, tapi juga memaknainya dengan pesan-pesan pembelaan atau pemihakan. Media-media seperti itu sejak semula bersikap bias dan menyiapkan diri menjadi corong bagi kepentingan golongan Islam tertentu. Alih-alih mendamaikan suasana, media-media Islam jenis ini kerap membuat suasana yang sudah panas menjadi lebih panas lagi.

Kita bisa memahami jika media-media Islam seperti disebutkan di atas melakukan provokasi dan mengompori pembacanya. Salah satu misi mereka memang mengajak kaum Muslim mendukung agenda Islamis mereka yang intoleran dan anti-kebebasan. Yang patut dikhawatirkan adalah jika pemberitaan semacam itu dilakukan oleh media-media umum. Sudah pasti media-media umum seperti Kompas, Media Indonesia, Seputar Indonesia, Jawa Pos danbeberapasaluran TVseperti TVOne, MetroTV, RCTI, dan SCTV, tidak secara terang-terangan dan terbuka dalam memihak suatu kelompok yang bertikai, seperti dilakukan media-media Islam itu. Tapi, beberapa pemberitaan mereka soal isu agama, kerap kali tergelincir dalam pemberitaan yang sumir dan berpotensi memperkeruh suasana.

Sebagian “kekeliruan” pemberitaan itu mungkin tidak disengaja karena ketidaktahuan (ignorance) pembuat beritanya, sebagian lain mungkin muncul dari semangat keagamaan bawah sadar (subconsciousness) seorang wartawan akibat interaksi yang intens dengan agama yang dipeluknya. Secara umum, ada dua isu besar dalam pemberitaan keagamaan yang kerap menyita perhatian media: yang pertama menyangkut agama Kristen di mana isu utamanya adalah soal Kristenisasi dan pendirian rumah ibadah. Yang kedua menyangkut isu minoritas dalam Islam seperti Ahmadiyah, Syi’ah, dan Salamullah, yang kerap dianggap sesat atau menyebarkan ajaran yang bertentangan dengan keyakinan mainstream Islam.

Pemberitaan Seputar Kristen

Sejak sebelum merdeka, isu Kristenisasi di Indonesia sudah ada. Isu itu selalu dihembuskan kelompok-kelompok Islam yang sangat peduli dengan jumlah. Merasa sebagai mayoritas, kelompok-kelompok itu sangat waspada dan begitu sensitif setiap kali isu Kristenisasi muncul. Anehnya, sambil terus merasa terusik dengan kegiatan Kristenisasi, kelompok-kelompok itu tak pernah merasa bersalah dengan agenda “Islamisasi” yang terang-terangan didukung oleh lembaga-lembaga seperti Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII). Yang patut diperhatikan di sini adalah, secara demografis, meski ada Islamisasi dan Kristenisasi, prosentase jumlah Islam-Kristen sejak merdeka tak pernah berubah. Dalam beberapa kali sensus, range populasi kaum Muslim selalu antara 87% hingga 90% dan range populasi kaum Kristen selalu antara 5% hingga 9%. Kristenisasi dan Islamisasi sama-sama terjadi. Keduanya membentuk pola yang seimbang, sampai sekarang.

Bagaimana sikap wartawan menghadapi isu semacam ini? Membuang sentimen keagamaan adalah langkah pertama yang harus diambil setiap wartawan dalam memberitakan isu semacam ini. Sentimen keagamaan kerap kali menggelincirkan wartawan pada pemberitaan yang subyektif dan memihak pada satu kelompok. Wartawan yang memainkan sentimen Kristen akan bersikap defensif dan berusaha menjustifikasi kegiatan-kegiatan misionaris, sementara wartawan yang memainkan sentimen Islam akan menyerang setiap kegiatan Kristenisasi dan menggunakan retorika-retorika yang dapat memunculkan ketegangan. Langkah berikutnya adalah memahami konsep kebebasan beragama yang dijamin dalam konstitusi bahwa hak menyiarkan agama bukanlah milik suatu kelompok saja, tapi juga milik semua pengikut agama.

Kesalahan terbesar sebagian orang (termasuk beberapa wartawan) adalah menganggap bahwa Kristenisasi sebagai tindakan ilegal sementara Islamisasi sebagai tindakan yang sah. Pemberitaan tentang Kristenisasi kerap dibungkus dengan sentiman kecurigaan atau kebencian, sementara pemberitaan tentang orang mauk Islam (Islamisasi) selalu dikemas dengan rasa bangga dan suka-cita. Yang harus dipahami setiap wartawan adalah masuk Islam atau masuk Kristen merupakan hak setiap warga dan penyiaran agama adalah bagian dari kebebasan beragama yang dilindungi undang-undang. Jika negara memberikan kebebasan pada kaum Muslim untuk menyiarkan agamanya, maka negara juga wajib memberikan hak yang sama bagi kaum Kristen dan penganut agama-agama lain.

Isu lain seputar Kristen adalah tentang pendirian dan penggunaan rumah ibadah. Pemberitaan yang salah menyangkut isu ini kerap memantik ketegangan dan bahkan konflik antar-warga berbeda agama. Beberapa kelompok Islam, termasuk –sangat disayangkan– Menteri Agama Suryadarma Ali, selalu berdalih bahwa orang-orang Kristen sering membangun gereja dan menggunakan rumah ibadah dengan jumlah yang semakin besar. Dengan berfokus hanya pada jumlah pertumbuhan gereja, kelompok-kelompok itu, dan juga Menteri Agama, menjustifikasi kekerasan terhadap beberapa kelompok Kristen (misalnya HKBP). Alasan mereka, kaum Kristenlah yang memicu ketegangan dengan mendirikan gereja dan rumah-rumah ibadah.

Wartawan yang tidak cerdas akan termakan dengan retorika Menteri Agama dan kelompok-kelompok Islam ekstrim itu. Tapi wartawan yang cerdas akan mencari tahu mengapa terjadi pembangunan gereja dan mengapa kaum Kristen dilarang menyelenggarakan ibadah di perumahan mereka. Satu hal yang jarang dipahami kaum Muslim (yang ekstrim maupun yang tidak) adalah bahwa Kristen berbeda dengan Islam dalam hal penggunaan rumah ibadah. Dalam Islam, kaum Muslim bisa menggunakan mesjid atau mushalla dari kelompok/organisasi yang berbeda, sementara dalam Kristen, orang yang berbeda denominasi tidak bisa menggunakan gereja yang sama. Mereka harus membangun gereja atau rumah ibadahnya sendiri. Sebuah kelompok dari Gereja Huria, misalnya, tak bisa ikut ibadah dengan pengikut Gereja Methodis, begitu juga kelompok dari Gereja HKBP tak bisa ikut beribadah dengan Gereja Pasundan.

Akibat dari kendala itu, kelompok Kristen yang berbeda denominasi akan membangun gereja atau rumah ibadah baru. Bukan karena mereka hendak melakukan Kristenisasi atau membangun rumah ibadah sebanyak-banyaknya, tapi kendala perbedaan denominasi mendorong mereka melakukan hal itu. Orang yang tidak memahami kompleksitas ini akan dengan mudah mencurigai dan menuduh adanya upaya Kristenisasi. Sikap seorang wartawan, tentu saja, harus memberikan penjelasan kepada publik tentang hal ini dan berusaha memberikan informasi yang benar setiap peristiwa yang memicu konflik antar umat beragama.

Patut diperhatikan di sini bahwa hak beribadah setiap warga dijamin konstitusi dan penyelenggaraan ibadah diatur oleh undang-undang. Jika kaum Muslim bisa melakukan pengajian dan ibadah di perumahan dan bahkan di jalan-jalan yang mengganggu lalu-lintas, maka hak yang sama harus diberikan kepada warga dari agama lain. Jika kita keberatan dengan sekelompok warga yang mengadakan kebaktian di suatu rumah, maka sikap yang sama harus diperlihatkan menyangkut kegiatan pengajian yang dilakukan kelompok lain. Inilah sikap yang adil dan obyektif yang harus dimiliki para wartawan.

Pemberitaan Seputar Sekte Islam

Isu kedua yang sering menyita perhatian media dan kerap memerangkap wartawan dalam pemberitaan yang keliru adalah tentang sekte-sekte Islam, seperti Ahmadiyah, Syi’ah, dan Salamullah. Bagaimana wartawan menyikapi isu ini? Sama seperti penyikapan terhadap isu Kristenisasi, menghilangkan sentimen agama adalah sikap pertama yang harus diambil oleh setiap wartawan, baik dia beragama Kristen, Hindu, atau Islam, maupun bermazhab Sunni, Syi’ah, atau Ahmadiyah. Seorang wartawan harus mengenyampingkan sentimen agamanya dalam memberitakan tentang sebuah isu agama.

Yang pertama harus diperhatikan adalah penggunaan istilah. Kelompok mayoritas dalam agama apapun cenderung menggunakan kata “sesat” kepada kelompok-kelompok minoritas yang berbeda keyakinan. Sudah sejak lama kaum Sunni menganggap pengikut Ahmadiyah sesat dan keluar dari Islam. Sebagian besar kaum Sunni meyakini bahwa Ahmadiyah telah keluar dari Islam karena mengingkari doktrin Muhammad Nabi terakhir. Tak peduli bagaimana Ahmadiyah memahami doktrin kenabian, bagi orang Sunni, Ahmadiyah pokoknya sesat dan mereka hanya punya dua pilihan: bertobat dan bergabung ke dalam Sunni atau keluar sama sekali dari Islam dan tak boleh menggunakan istilah-istilah Islam.

Sesat-menyesatkan adalah perilaku umat beragama dari sejak dulu. Yahudi menganggap Kristen sesat, Kristen menganggap Islam sesat, Sunni menganggap Syi’ah sesat, Syi’ah mengaggap Druz sesat, dan seterusnya. Wartawan bukanlah teolog yang ikut-ikutan menebar cap sesat kepada kelompok-kelompok yang berbeda dengan mayoritas. Wartawan harus mewaspadai dirinya agar tidak diperalat para teolog untuk ikut-ikutan menyesatkan suatu kelompok. Komitmen wartawan bukan pada suatu agama, tapi pada kepentingan publik dan kebebasan. Sesat-menyesatkan adalah pekerjaan teolog dan kaum beragama, bukan pekerja media. Tugas pekerja media adalah memberitakan dan membantu masyarakat memahami persoalan sejernih mungkin.

Sama seperti agama atau aliran apapun di negeri ini, Ahmadiyah mempunyai hak hidup yang dilindungi konstitusi. Bahwa mereka dianggap sesat oleh kelompok mayoritas, hal ini tidak boleh menjadi alasan untuk mencederai hak-hak dasar mereka. Ahmadiyah berhak hidup dan menjalankan ibadahnya, temasuk mendirikan rumah ibadah, sekolah, dan kegiatan-kegiatan lainnya. Tugas wartawan bukannya ikut larut dalam retorika memusuhi Ahmadiyah, tapi menjelaskan duduk perkara sambil mengingatkan publik bahwa anggota Ahmadiyah adalah juga warganegara yang memiliki hak yang sama seperti warga lainnya di negeri ini.

Satu hal yang patut dicamkan oleh para wartawan adalah bahwa tidak ada satu aliran agama apapun di negeri ini yang boleh dilarang atau dicederai hak-haknya. Satu-satunya alasan untuk melarang atau menghukum suatu kelompok atau aliran agama adalah jika kelompok itu terang-terangan melakukan kekerasan dan pelanggaran hukum. Tidak ada satu kelompok pun yang berhak dan dibenarkan menghakimi kelompok lain. Penghakiman harus diserahkan kepada negara dan aparaturnya.

Salah satu retorika yang dikembangkan kaum ekstrimis adalah bahwa Ahmadiyah telah melakukan penodaan terhadap Islam. Alasan ini tidak bisa diterima karena setiap agama cenderung melakukan penodaan terhadap agama lainnya. Jika retorika itu kita terima, maka kita juga harus menerima retorika kaum Kristen ekstrim yang merasa dinodai oleh Islam karena menganggap Nabi Isa tidak disalib. Kita juga harus menerima retorika kaum Syi’ah yang keberatan dengan kaum Sunni yang tidak menerima kekhususan Ali bin Abi Thalib dibanding sahabat-sahabat Nabi yang lainnya. “Penodaan” adalah istilah insinuatif yang digunakan oleh orang-orang yang tengah bertikai. Wartawan tidak semestinya termakan dengan retorika semacam ini. Sama seperti “penyesatan,” tuduhan “penodaan” dimaksudkan untuk membenarkan tindak permusuhan atau kekerasan terhadap suatu kelompok.

Penutup: Jurnalisme Damai

Isu agama agak berbeda dengan isu-isu lain yang biasa diliput media massa. Wartawan mungkin bisa menyuguhkan fakta apa adanya menyangkut isu ekonomi, olahraga, atau hiburan. Tapi, wartawan dituntut lebih cerdas dan berhati-hati dalam meliput isu agama. Netralitas saja mungkin tidak cukup dalam memberitakan sebuah isu agama, khususnya jika isu itu melibatkan ketegangan atau konflik. Diperlukan pendekatan yang lebih dari sekadar reportase biasa. Sejumlah dosis jurnalisme damai agaknya diperlukan dalam setiap pemberitaan tentang konflik antar-agama. Tugas wartawan bukan hanya sekadar melaporkan ketegangan, tapi juga berusaha mendamaikan dan mendinginkan suasana agar potensi konflik yang lebih luas tidak terjadi.

Selama ini, jurnalisme damai dicoba-terapkan dalam memberitakan konflik-konflik dengan skala luas, seperti konflik di Aceh, Maluku, dan Poso. Sudah saatnya, konsep ini juga ditularkan dalam memberitakan isu-isu agama dalam skala yang lebih kecil, seperti pemberitaan soal pendirian rumah ibadah, reportase tentang Ahmadiyah, dan liputan tentang kegiatan-kegiatan keagamaan lainnya. Semangat yang harus ditekankan di sini bukan hanya memberikan reportase yang benar, tapi juga melakukan pencerdasan kepada masyarakat. Jurnalisme damai, tentu saja, bukanlah sebuah genre baru dalam jurnalisme, ia hanyalah cara dan pilihan sikap dalam pemberitaan. Di tengah dunia yang penuh prasangka, jurnalisme damai adalah alternatif yang menyejukkan.

Bahan Bacaan

  1. Ade Alawi. Kabar dari Poso: Menggagas Jurnalisme Damai. Jakarta: Lembaga Studi Pers dan Pembangunan, 2001.
  2. Agus Sudibyo, Ibnu Hamad, dan Muhammad Qodari. Kabar-Kabar Kebencian: Prasangka Agama di Media Massa. Utan Kayu: Institut Studi Arus Informasi, 2001.
  3. Annabel McGoldrick and Jake Lynch. “What is Peace Journalism?” Activate, Winter 2001.
  4. Budhy Munawar Rachman. Dari Keseragaman Menuju Keberagaman: Wacana Multikultural dalam Media. Jakarta: Lembaga Studi Pers & Pembangunan, 1999.
  5. Iswandi Syahputra. Jurnalisme Damai: Meretas Ideologi Peliputan di Area Konflik. Yogyakarta: Pilar Media, 2006.
  6. Jake Lynch. Debates in Peace Journalism. Sydney: Sydney University Press, 2008.
  7. Jan S. Aritonang and Karel A. Steenbrink. A History of Christianity in Indonesia. Leiden: Brill, 2008.
  8. Jan S. Aritonang. Berbagai Aliran di Dalam dan di Sekitar Gereja. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1995.
  9. Johan Galtung. “Peace Journalism as Ethical Challenge.” Asteriskos, No 3/4, 2007.
  10. Maria Hartiningsih. Jurnalisme Damai: Media Massa untuk Transformasi Sosial. Jakarta: British Council, 2002.

Makalah ini disampaikan pada “Workshop Jurnalis untuk Isu Keberagaman,” diselenggarakan oleh Serikat Jurnalis Untuk Keberagaman (SEJUK). Pondok Remaja Cipayung, 30 Juni – 1 Juli 2012.

Sumber: Sejuk

Mukhamad Zulfa: Menebar Jurnalisme Keberagaman

“Jurnalis harus memahami nilai-nilai keberagaman dan harus senantiasa berjuang untuk memberi kenyataan yang seimbang terhadap pembaca”

Menilai keberagaman merupakan sebuah keberanian yang menjadi tanggung jawab aktifis jurnalis. Memberikan sudut pandang yang proporsional. Mengangkat kesamaan hak antara minoritas dan mayoritas, korban dan pelaku, yang bersalah dan tidak. Melakukan penelusuran, pengungkapan, pembuktian sebuah fakta peristiwa yang terjadi di lapangan.

“Panduan jurnalis kampus dalam memberitakan Isu Keberagaman” merupakan tema yang diangkat oleh Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK). Sebagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang berdiri sejak tahun 2008 bergerak dalam jurnalisme media untuk keberagaman sesuai dengan namanya.

“Organisasi kami telah melakukan berbagai pendekatan terhadap berbagai macam media, mulai media mainstream (stasiun televisi nasional, surat kabar nasional, media online) hingga media penerbitan kampus”. Tutur Ahmad Junaidi selaku koordinator SEJUK.

“Kegiatan semacam ini sudah terlaksana delapan kali sejak kali pertama berdiri”. Tambah Junaidi. Kami berharap kejadian yang kami alami tidak menimpa seseorang atau kelompok lain. Akibat perlakuan yang belum adanya pemahaman keberagaman yang tumbuh dalam kebersamaan.

Materi yang disampaikan lebih menekankan bagaimana insan jurnalis mempunyai perspektif yang lebih dalam memahami nilai-nilai keberagaman. Hubungan antara media dengan hak asasi manusia (HAM), media dengan keberagaman, media dengan agama, media dengan perempuan, serta bekal teknis peliputan terhadap isu keberagaman.

Daniel Awigra selaku pembicara tentang HAM memberikan pernyataan bahwa “jurnalis hidup dalam kungkungan segitiga setan. Titik pertama terdapat pemilik media, kedua pembaca, dan ketiga pembuat regulasi (pemerintah). Di sinilah kita harus berjuang untuk memberikan kenyataan yang seimbang terhadap pembaca. Kita tak bisa memihak diantara ketiga titik tersebut”.

“Pemilik media tentu mempunyai kepentingan industri medianya berkembang pesat. Sedangkan pembaca butuh informasi, hiburan dan tentunya pendidikan. Pihak ketiga sebagai pemerintah perlu untuk mengatur kehidupan bernegara agar tidak terjadi ketimpangan dalam kehidupan bermasyarakat. Sebagai jurnalis yang baik tentu jiwa mendidik masyarakat tentu harus ditumbuhkan”. Imbuh Awigra.

Terdapat beberapa sudut pandang yang perlu ditanamkan dalam meliput keberagaman sebagaimana dibeberkan oleh Ade Armando. “Pertama, kita sadar tidak hanya sekadar pewarta, meninggalkan newsworthy, menggunakan pandangan yang lebih dari cover both side (pelaku dan korban), mendidik konsumen berita, memperhatikan konteks, dan sebagainya”.

Armando yang juga pemerhati media mengatakan “Sikap prasangka, dan stereotip yang berlebihan perlu dihindari. Kita harus bersikap empatik, memperhatikan konteks dan latar belakang sebuah peristiwa”.

Yang menarik dari pelatihan ini adalah keberagaman asal dari peserta itu sendiri. Sehingga gesekan dan dialektika paradigma dari peserta sudah memberikan nilai keberagaman tersendiri. Mereka tidak hanya dihadiri oleh mahasiswa dari perguruan tinggi di Solo saja.

Dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Universitas Madura, Sekolah Tinggi Islam Mathaliul Falah (STAIMAFA) Pati, Universitas Airlangga (UNAIR) Malang, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga (UIN SUKA), Universitas Kristen Indonesia (UKI) Jakarta, Universitas Indonesia (UI) Jakarta, Universitas Patimura (Unpati) Ambon, Universitas Jember dan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo Semarang.

Panitia SEJUK bekerjasama dengan lembaga penerbitan mahasiswa (LPM) Kentingan Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo. Diskusi dimulai pada hari Kamis (24/11) di gedung A aula fakultas keguruan dan ilmu pendidikan. Kemudian Jum’at hingga Minggu dilanjutkan di hotel Sahid Jaya Solo.

 

Bisa dibaca di Harian Semarang edisi Kamis 08 Desember 2011

Sumber: Sejuk

 

 

 

Dulu P-4, Kini 4-P

Masdar Farid Masu’di (Opini Kompas, 5 April 2012)

Di era Orba kita disuguhi mantra P-4, Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila. Kini di Era Reformasi kita disuguhi mantra lain: 4-P. Adalah Bung Taufiq Kiemas, Ketua MPR, bersama jajarannya yang berjasa memopulerkan 4-P, “empat pilar”, untuk hidup bernegara dan berbangsa kita. Disebut memopulerkan karena “barang”-nya sudah ada sejak lama: Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika. Dalam dunia dagang, memopulerkan produk tidak kalah penting dengan menciptakannya.

Momentumlah yang menakdirkan konsep 4-P perlu dikampanyekan. Seperti kita tahu, sejak Era Reformasi sebagai antitesis Orba, popularitas Pancasila dan UUD 1945 jatuh terpuruk. Bukan karena bangsa ini hendak mengingkarinya, melainkan karena bosan selama Orba terus-menerus diceramahi dengan P-4.

Waktu terus bergerak maju. Ternyata derap reformasi berjalan sekenanya. Korupsi dan kolusi yang semula dikutuk habis bukannya menghilang, malah semakin jor-joran: pundi-pundi pajak diembat, kekayaan negara dijarah, dan aset bangsa diobral kepada pihak asing. Sementara itu, rakyat jelata dibiarkan semakin tenggelam dalam sengsara lama.

Kita pun kembali tercenung dan bertanya-tanya jengkel. Sesungguhnya bangsa ini oleh para petinggi dan elitenya dipandang sebagai apa dan hendak dibawa ke mana?

Ibarat rumah, Indonesia Raya tidak mungkin berdiri sempurna hanya dengan 4-P. Sekokoh apa pun 4-P itu. Di antara pilar-pilar yang empat, mesti ada anak-anak pilar atau tiang-tiang pendukung, ada dinding dan tembok yang memagari dan melindungi segenap penghuninya. Juga musti ada atap yang kokoh dan antibocor. Harus ada lantai yang lebar plus perabot rumah tangga yang lengkap. Bahkan, kebun dan taman di sekelilingnya yang luas dan tertata indah.

Pilar-pilar pembantu plus semua perangkat rumah Indonesia yang kokoh, indah, dan membahagiakan segenap rakyatnya: itulah pengamalan dari empat pilar utama. Semakin sempurna pengamalan 4-P, semakin sempurna pulalah rumah Indonesia. Pada gilirannya semakin berbahagia pula segenap rakyat yang menghuni dan memilikinya.

4-P yang merana

Namun, pengamalan 4-P sebagai ajaran luhur bangsa itulah yang sampai kini tetap belum jelas sosoknya. Alih-alih mengamalkan sebaik-baiknya, justru semakin banyak pihak yang sengaja menggerogoti pilar-pilar yang empat itu. Mari kita lihat satu per satu!

Pertama adalah pilar Pancasila. Sepantasnya lima sila yang terumus sederhana itu tetap melekat dalam ingatan setiap kita. Nyatanya semakin banyak di antara anak bangsa, bahkan pejabat negara, tokoh masyarakat, apalagi warga biasa yang tidak lagi mengingat kalimat-kalimatnya.

Di kalangan komunitas tertentu, sila-sila Pancasila malah hendak diganti substansinya: “Allah Tujuanku, Al-Qur’an Konstitusiku, Muhammad Imamku, Jihad Jalanku, dan Syahid Puncak Impianku”. Adalah hak mereka untuk mengambil lima sila tersebut sebagai acuan hidup internalnya. Namun, menyodorkannya sebagai alternatif Pancasila untuk hidup berbangsa dan bernegara Indonesia yang bineka adalah hal yang berbeda.

Di pihak lain, dalam kehidupan sehari-hari, sila Ketuhanan Yang Maha Esa praktis sudah diganti menjadi “Keuangan Yang Mahakuasa”. Buktinya, di negeri ini nyaris segalanya bisa ditundukkan oleh uang, uang, dan uang. Di ranah legislatif, yudikatif, eksekutif, bahkan pada masyarakat umum berlaku dalil “ada uang, segalanya bisa dibereskan”.

Kemudian pilar “Bhinneka Tunggal Ika”. Pilar ini pun semakin rawan kondisinya. Berbagai konflik dan kebencian antara kelompok etnisitas, politik, budaya, dan kepentingan semakin gampang tersulut hanya oleh perkara sepele.

Tidak kalah serius ialah konflik sektarian, terutama di kalangan umat Islam sebagai mayoritas bangsa. Adalah hak setiap umat memeluk habis keyakinannya. Akan tetapi, menjadikan perbedaan agama atau keyakinan sebagai alasan untuk saling membenci dan menafikan sesama sungguh tidak bisa diterima.

Juga pilar ketiga, “Negara Kesatuan Republik Indonesia” alias NKRI. Tuntutan otonomi daerah yang overdosis, bahkan gelagat separatisme yang berlarut-larut tanpa penyelesaian, juga semakin mengancam bangunan negara kesatuan kita.

Sejatinya otonomi an sich bukan masalah. Bahkan, afdal apabila tujuannya mempercepat keadilan dan kemakmuran masyarakat luas, terutama di lapis bawah yang terpencil dan jauh dari pusat. Namun, jika yang terjadi dengan otonomi daerah adalah egoisme daerah, bahkan egoisme para pejabat dan elitenya untuk bebas mengorupsi uang negara, persoalannya menjadi lain sama sekali.

Ancaman terhadap integritas NKRI juga datang dari gerakan ideologi subversif lama: NII, Negara Islam Indonesia. Jika di zaman Orba gerakan ini sembunyi-sembunyi, di Era Reformasi ini mereka dibiarkan tampil secara terbuka, bahkan bisa pamer kekuatan di jalan-jalan protokol Ibu Kota.

Terakhir, pilar UUD 1945. Selain pasal-pasal perihal bagi-bagi kekuasaan dan anggaran, UUD kita sedikit sekali yang diamalkan. Paling telantar adalah pasal-pasal perlindungan hak-hak rakyat banyak, baik sosial, ekonomi, maupun lingkungan.

Sudah lama di kalangan masyarakat UUD kita dipelesetkan menjadi “ujung-ujungnya duit” untuk menyindir perilaku pejabat publik di semua lini, khususnya ketika berhubungan dengan masyarakat.

Di pihak lain, pada tataran normatif, ada persoalan amandemen. Sesungguhnya amandemen per se boleh-boleh saja. Bahkan, Al Quran pun mengenal amandemen (nasakh) untuk hal-hal yang bersifat teknis operasional demi lebih mempercepat tercapainya tujuan, goal, ghoyah.

Tujuan bernegara kita terang: “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Amandemen konstitusi yang jelas-jelas menjauhkan kita dari tujuan, terutama yang menggampangkan penjarahan aset bangsa oleh pihak asing, jelas haram dan harus ditolak. Sebaliknya, yang bisa mempercepat tujuan tentu tidak ada masalah, bahkan bisa sunah sampai dengan wajib.

Pemimpin berkarakter

Sesungguhnya Tuhan Yang Maha Esa telah menganugerahkan segalanya kepada bangsa ini untuk mewujudkan cita-cita luhurnya, yakni “tanah air yang begitu luas nan gemah ripah loh jinawi” sebagai perangkat kerasnya plus doktrin “empat pilar” sebagai perangkat lunaknya.

Yang belum kita miliki sampai hari ini hanya satu: “Pemimpin yang berkarakter, visioner, kuat, dan amanah yang mampu menyuguhkan keteladanan luhur kepada rakyat bagaimana mengamalkan 4-P dalam kehidupan nyata”.

Atau, empat pilar itu dibiarkan teronggok sepi sendirian dan rumah Indonesia Raya yang megah dan berwibawa hanya tinggal khayalan? (*)

Masdar Farid Mas’udi Rois Pengurus Besar Nahdlatul Ulama; Penulis Buku Syarah Konstitusi: UUD 1945 dalam Perspektif Islam