Judul Buku: BerIslam secara Toleran
Penulis: Irwan Masduqi
Penerbit: Mizan
Cetakan: I, 2011
Tebal: xxxi+310 Halaman
Harga: Rp. 49.500
Peresensi: Abdul Aziz MMM
_____________________________________
Maraknya kekerasan atas nama agama masih dijumpai di berbagai daerah baik konflik antar agama maupun konflik aliran yang berbeda meski agamanya sama. Sebagai umat yang beragama jelas membutuhkan jalan keluar alternatif. Paling tidak, mampu menjembatani dan menengahi perseteruan konflik antar horizontal.
Kalau melihat konteks kondisi negeri ini yang begitu beragam macam budaya, etnis, ras, dan kepercayaan agama, tentu sangat berpotensi terjadinya konflik internal agama maupun dengan penganut agama lain. Sikap yang seharusnya dimunculkan terhadap perbedaan adalah toleransi antar sesama umatsertamenghindari diskriminasi terhadap umat minoritas.
Sifat masyarakat di Indonesia sebagaimana dikenal banyak negara, kental dengan ciri yang bersifat plural (bineka). Ciri plural ini juga merupakan argumen atas ciri Islam Indonesia, sehingga dengan ciri itu sejak lama telah muncul prediksi bahwa kebangkitan peradaban Islam pada masa modern akan terbit dari Indonesia. Zuhairi Misrawi misalnya, menggambarkan Islam Indonesia sebagai Islam yang toleran, sehingga corak Islam Indonesia mempunyai ciri khas yang membedakannya dari ciri Islam global,apa lagi ciri Islam ala negara Timur Tengah.
Ironisnya, gambaran Islam di Indonesia yang semacam itu sedikit telah berubah sejak pasca reformasi, menyusul kebangkitan gerakan-gerakan keagamaan yang bercorak fundamentalis pernah diprediksi oleh John Naisbitt. Perubahan itu ditengarahi dengan gejala radikalisasi doktrin Islam yang disertai dengan aksi-aksi kekerasan, termasuk di dalamnya terorisme.
Seiring dengan menjamurnya kekerasan atas nama agama para jurnalis, politisi dan intelektual telah menimbulkangejala “Islamophobia”, sebuah fenomena ketakutan non-Muslim terhadap Islam. Sebagai problem sosial dan politik, Islamophobia paling marak berkembang di Amerika pasca peristiwa 11 September 2001 sebuah serangan teroris yang telah mengakibatkan ribuan nyawa melayang.
Hingga kini, sentimen anti Islam sudah menjadi tren yang cukup menonjol dalam gerakan politik dan budaya di Barat.Kalangan Islamophobik seolah tak henti-hentinya menciptakan stereotype bahwa umat Islam adalah ekstrimis, pembuat onar, anti Kristendan antiYahudi, menolak demokrasi, opresif terhadap wanita, dan memaksakan penerapanhukum Islam yang kejam.
Sebagai respons atas kuatnya propaganda Islamophobia, muncul gejala “Islamophilia” dikalangan muslim yang berupaya menampilkan citra positif bagi Islam. Jika Islamophobiacenderung menjelek-jelekan Islam, Islamophilia cenderung membaik-baikan citra Islam. Kalangan Islamophilik menyatakan bahwa yang pantas merepresentasikan Islam adalah Muslim yang baik yang senantiasa mengutamakan cinta dan perdamaian bukan para teroris.
Munculnya gejala Islamophilia bukan tanpa mengundang problem baru. Islamophilia justru seringkali terjebak dalam subjektivitas dan krisis transparansi ketika menampilkan citra positif Islam. Islamophilia mengatakan bahwa Islam adalah agama toleran, tetapi pada saat bersamaan dengan sengaja sering menyembunyikan elemen-elemen intoleran yang sedemikian banyaknya dalam tradisi pemikiran Islam.
Sudah barang tentu ketidakjujuran Islamophilia ini harus dihindari. Pada saat bersamaan juga dituntut bersikap adil dan objektif terhadap barat di tengah-tengah gejala westophobia yang berkembang di dunia Islam. Setelah invansi Barat ke Irak dan Afganistan gejala itu menguat di dunia Islam dan diikuti oleh penolakan yang semakin masif terhadap semua hal yang berbau Barat.
Irwan Masduqipenulis buku ini berusaha tidak terjebak pada Islamophobia yang condong menjelek-jelekkan Islam dan Islamophilia yang cenderung membaik-baikkan citra Islam maupun pada westophobia yang secara emosional mencaci maki Barat. Irwan akan berusaha secara seimbang menyuguhkan elemen-elemen toleransi dalam tradisi pemikiran Islam di satu sisi dan di sisi lain tanpa ragu menguak elemen-elemen intoleransi yang terkandung di dalamnya.
Tidak sedikit ulama klasik yang cenderung eksklusif, intoleransi dan gigih menyebarkan teologi kebencian. Tetapi tak terhitung pula jumlah ulama klasik yang sangat toleran dan menjunjung tinggi spirit Islam yang damai.
Sayangnya, tradisi pemikiran intoleran tersebut pada era kontemporer sering dicomot oleh kelompok radikal untuk menjustifikasi tindakan-tindakan kekerasan atas nama agama. Sehingga sudah barang tentu tradisi tersebut perlu direvisi dalam rangka membangun budaya toleransi dan bina damai.
Dalam buku ini, Irwan menganalisis berbagai pandangan para sarjana dan pemikir baik Muslim maupun non-Muslim. Walaudemikian, Irwan tetapmenunjukkan dalam kajiannya bahwa Al-Quran sebagai sumber utama ajaran.
________________________________________
Sumber resensi: Ahlul Bait Indonesia