HAK KEBERAGAMAN DAN TOLERANSI ANAK DALAM KONTEKS ASIA TENGGARA: Urgensi Pendekatan Multikulturalisme pada Pendidikan Anak

Artikel ini pernah dipresentasikan dalam Islamic Chilhood Conference di University of Phillipinnes, Filipina, pada September 2010

 

Religious  education is a contributing factors to the shaping up of one’s identity and may play a key role in multicultural societies – and in the pursuit of a thorough globalization—as long as it promotes values of tolerance and non-discrimination. This implies that wider perspectives need to be offered, which besides contributing to self understanding of other wider perspectives thus responding to a logic of inclusion and feeling part of the same., global community. Teaching of religions and convictions based on these criteria would indeed favor of development of balanced individuals, aware of their own identity, including at religious level, but also open, curious and respectful vis-a vis different identities thus contributing to the creation of conducive environment for the promotion and protection of human rights.[1]

A.      PENDAHUALUAN

Keragaman dan toleransi adalah pasangan kata yang memang tepat dipersandingkan. Keragaman merupakan keniscayaan di dalam kehidupan ini, sebab tidak ada masyarakat yang tidak beragam keadaannya. Keragaman dalam etnis, suku, agama dan bahasa dan budaya. Di dalam suatu masyarakat yang paling simple pun pasti terdapat suatu keadaan yang beragam. Keragaman bisa dikaitkan dengan kata pluralitas dan juga multikulturalitas.

Pada dasawarsa terakhir, keragaman kultural menjadi batu ujian dan mengoyak keutuhan suatu negara, lebih khusus negara-negara Asia Tenggara. Situasi sosial-budaya carut-marut lantaran berbagai konflik antarsuku bangsa, antaragama, dan antargolongan. Alih-alih sebagai kekuatan pendorong dinamika kehidupan berbangsa, keragaman kultural justru menambah panjang daftar pertikaian di tingkat akar rumput. Dalam situasi demikian, banyak pihak menawarkan bentuk sistem kesadaran nasional baru, yang bukan sekedar merepresentasikan adanya kemajemukan atau pluralitas. Tetapi lebih dari itu, sistem kesadaran multikultrualisme yang memahami pluralitas di masyarakat sebagai potensi untuk hidup bersama, sekaligus ada upaya untuk saling memelihara hak-hak dan eksistensi keragaman bangsa, baik dalam etnis, agama, budaya, hingga orientasi politik.

Abad Modern menjadi abad terpenting dalam sejarah kehidupan manusia, ketika secara intens agama-agama saling bertemu dan menampakkan ekspresi serta konflik ketegangan dari pengikutnya antara satu sama lain. Pertemuan di mana agama-agama saling menampakkan keunikan dan universalitasnya yang semakin mengarah kepada eksklusivisme dan sektarianisme, sehingga timbul asumsi-asumsi teologis-politis bahwa telah terjadi perbenturan di antara mereka.

Salah satu aspek penting yang sangat berdampingan dengan perkembangan suatu masyarakat adalah lembaga pendidikan. Pendidikan dalam pandangan klasik dikatakan sebagai institusi atau pranata yang dapat menjalankan tiga fungsi sekaligus. Pertama, menyiapkan generasi anak manusia agar kelak dapat memainkan peranan-peranan tertetu dalam masyarakat di masa datang. Kedua, mentransfer (memindahkan) pengetahuan, sikap dan kecakapan tertentu sesuai dengan peranan yang diharapkan. Ketiga, mentransfer nilai-nilai dalam rangka memelihara keutuhan dan kesatuan masyarakat sebagai prasyarat bagi kelangsungan hidup (survive) masyararakat dan peradaban. Pada butir kedua dan ketiga di atas memberikan pengertian bahwa pendidikan bukan hanya transfer of knowledges, attitudes and skills tetapi juga sekaligus sebagai transfer of value.[2] Untuk itu, pendidikan yang didapatkan oleh setiap anak di suatu wilayah atau negara akan sangat mempengaruhi sikap dan perilaku mereka dalam kehidupan sehari-hari, berbangsa dan bernegara.

Dalam konteks negara modern yang bersifat sekular, pendidikan agama seringkali menjadi primadona perdebatan, terutama pada isu apakah negara berhak untuk mencampuri urusan privat (agama) suatu masyarakat, termasuk menerapkan pendidikan agama tertentu di sekolah-sekolah milik negara. Artinya, di satu sisi negara dituntut untuk bersikap adil dan menjaga batas-batas keberagaman, tetapi di sisi lain terkadang, negara yang merupakan perwujudan dari cita-cita masyarakat masih menganggap perlu jika pendidikan agama menjadi tanggung jawab negara.

Dalam hubungannya antar hak anak untuk mendapatkan informasi, hak orang tua untuk menentukan sekolah anak tersebut, terdapat korelasi yang tidak dapat dipisahkan, yaitu bagaimana seorang anak mendapatkan informasi dan pendidikan yang akan menjadi modal mereka dalam menjalin hubungan dengan individu lain dalam suatu masyarakat. Dengan perkataan lain, modal pendidikan yang didapatkan oleh seorang anak, baik dari pendidikan formal atau informal, pada sekolah publik yang dijalankan oleh negara atau sekolah swasta, akan mempengaruhi sikap dan tingkah lakunya sehari-hari. Dengan demikian, modal dasar tersebut juga akan menentukan pola interaksi dan sikap suatu kelompok terhadap kelompok lain pada masa yang akan datang. “Subban al-yaum, rijal al-ghad” (Anak-anak masa sekarang, akan menjadi pemimpin pada masa yang akan datang).

B.      HAK ATAS INFORMASI DAN PENDIDIKAN ANAK DALAM KONTEKS MASYARAKAT MULTIKULTURAL

Dalam Pasal 13 Konvensi tentang Hak-hak Anak disebutkan:

  1. Anak harus memiliki hak atas kebebasan mengeluarkan pendapat, hak ini mencakup kebebasan mencari, menerima dan memberikan informasi dan semua macam pemikiran, tanpa memperhatikan perbatasan, baik secara lisan, dalam bentuk tertulis ataupun cetak, dalam bentuk seni, atau melalui media lain apa pun pilihan anak.
  2. Pelaksanaan hak ini dapat tunduk pada pembatasan-pembatasan tertentu, tetapi hanya akan seperti yang ditentukan oleh undang-undang dan diperlukan.

(a) Untuk menghormati hak-hak atau nama baik orang-orang lain; atau

(b) Untuk perlindungan keamanan nasional atau ketertiban umum, atau kesehatan, atau kesusilaan umum.

Hak untuk mendapatkan infomasi secara umum diatur pula dalam Konvensi Internasional Tentang Hak Sipil dan Politik dalam Pasal 19, yaitu: “Setiap orang berhak atas kebebasan  untuk menyatakan pendapat; hak ini termasuk kebebasan untuk mencari, menerima dan memberikan informasi dan ide apapun, tanpa memperhatikan medianya, baik secara lisan, tertulis atau dalam bentuk cetakan, dalam bentuk seni, atau melalui media lainnya, sesuai dengan pilihannya”.

Di samping hak atas informasi, setiap anak juga berhak atas pendidikan. Pasal 28 Konvensi menyebutkan:

1.  Negara-negara Pihak mengakui hak anak atas pendidikan, dan dengan tujuan mencapai hak ini secara progresif dan berdasarkan kesempatan yang sama, mereka harus, terutama:

a)       Membuat pendidikan dasar diwajibkan dan terbuka bagi semua anak;

b)      Mendorong perkembangan bentuk-bentuk pendidikan menengah yang berbeda-beda, termasuk pendidikan umum dan pendidikan kejuruan, membuat pendidikan-pendidikan tersebut tersedia dan dapat dimasuki oleh setiap anak, dan mengambil langkah-langkah yang tepat seperti memperkenalkan pendidikan Cuma-Cuma dan menawarkan bantuan keuangan jika dibutuhkan;

c)       Membuat pendidikan yang lebih tinggi dapat dimasuki oleh semua anak berdasarkan kemampuan dengan setiap sarana yang tepat;

d)      Membuat informasi pendidikan dan kejuruan dan bimbingan tersedia dan dapat dimasuki oleh semua anak;

e)       Mengambil langkah untuk mendorong kehadiran yang tetap di sekolah dan penurunan angka putus sekolah.

2. Negara-negara Pihak harus mengambil semua langkah yang tepat untuk menjamin bahwa disiplin sekolah dilaksanakan dalam cara yang sesuai dengan martabat manusia si anak dan sesuai dengan Konvensi ini.

3. Negara-negara Pihak harus meningkatkan dan mendorong kerja sama internasional dalam masalah-masalah yang berkaitan dengan pendidikan, terutama dengan tujuan mengarah pada penghapusan kebodohan dan buta aksara di seluruh penjuru dunia dan memberikan fasilitas akses ke ilmu pengetahuan dan pengetahuan teknik dan metode-metode mengajar modern. Dalam hal ini, perhatian khusus harus diberikan pada kebutuhan-kebutuhan negara-negara sedang berkembang.

Kemudian pada Pasal 13 ayat (1) Konvensi Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, disebutkan pula bahwa:

“Negara-negara Pihak pada Kovenan ini mengakui hak setiap orang atas pendidikan. Negara-negara tersebut sepakat bahwa pendidikan harus diarahkan pada pengembangan sepenuhnya kepribadian manusia dan kesadaran akan harga dirinya, dan memperkuat penghormatan terhadap hak asasi manusia dan kebebasan dasar. Mereka selanjutnya sepakat bahwa pendidikan harus memungkinkan semua orang untuk berpartisipasi secara efektif dalam suatu masyarakat yang bebas, memajukan pengertian, toleransi serta persahabatan antar semua bangsa dan semua kelompok, ras, etnis atau agama, dan meningkatkan kegiatan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk memelihara perdamaian”.

Sebagaimana di atas, pada Pasal-pasal yang dikutip di atas terdapat dua hal penting terkait dengan hak-hak anak, yaitu hak untuk mendapatkan informasi dan hak untuk mendapatkan pendidikan. Sebagai bagian dari doktrin hak asasi manusia internasional, bagi negara-negara pihak yang telah meratifikasi Konvensi ini berkewajiban untuk memenuhi dan melaksanakan hak-hak tersebut, baik pada level nasional/domestik, regional atau internasional. Di samping itu, Pasal-pasal di atas juga menetapkan azas kesetaraan, persamaan dan keadilan bagi semua anak untuk mendapatkan hak tersebut, tanpa melihat latar belakang anak.

Memasuki dunia modern, hubungan antar masyarakat dunia semakin mengglobal dan terbuka satu sama lain. Hal ini menjadikan niscayanya pertukaran informasi, budaya, dan nilai suatu masyarakat di negara tertentu kepada masyarakat-masyarakat lain. Tidak hanya pertukaran, globalisasi yang semakin menembus batas-batas teritorial negara tengah pula menyodorkan suatu permasalahan (yang baru) mencuat, yaitu benturan antar kebudayaan, nilai dan norma masyarakat itu sendiri.

Dalam hubungan yang normal, pertukaran atau benturan nilai ini dapat saja menjadi positif, tetapi pada kondisi masyarakat yang cenderung tertutup dan sulit menerima keberadaan kelompok atau nilai lain, persinggungan nilai ini menjadi permasalahan tersendiri. Untuk itu pula, dalam wacana kewarganegaraan dan hubungan antar masyarakat saat ini, isu-isu tentang multikulralisme mendapatkan momentumnya, terutama dalam konteks negara-negara yang memiliki permasalahan rasial yang akut.[3]

Kondisi keberagaman telah lama ada dan diakui oleh masyarakat. Hal ini terbukti dari adanya pengakuan terhadap kelompok minoritas oleh kelompok dominan. Dalam hubungan ini, hal yang sering terjadi adalah adanya diskriminasi di antara masyarakat terutama kepada kelompok minoritas. Diskriminasi terkait dengan kelompok dominan (mayoritas) terhadap kelompok minoritas, karena perlakuan yang tidak adil, dan dapat terjadi di berbagai bidang kehidupan, seperti politik, budaya, ekonomi, dan pendidikan.[4]

Ada dua bentuk diskriminasi, yaitu institusional dan individual. Diskriminasi individual yaitu bersikap tidak adil kepada orang lain hannya karena alasan pribadi belaka. Diskriminasi ini biasanya dilakukan oleh indvidu, seperti halnya seorang guru yang tidak memperhatikan seorang anak. Sementara institusional adalah perlakuan tidak adil terhadap seseorang atau sekelompok orang yang berasal dari golongan tertentu, terutama dari kelompok minoritas, di dalam institusi-institusi atau organisasi-organisasi pemerintahan ataupun swasta. [5]

Terkait dengan hak atas pendidikan dan informasi ini, diskriminasi yang dapat diamati adalah bentuk yang kedua, yaitu diskriminasi yang dilakukan oleh negara, dengan mengikuti suatu kehendak kelompok dominan melalui peraturan atau kebijakannya. Hal ini pula yang kemudian menjadikan ruang publik sebagai tempat pertemuan berbagai macam wacana, isu dan perdebatan, justru diarahkan pada suatu titik yang homogen. Artinya, kebijakan-kebijakan yang diambil oleh negara dalam bidang pendidikan, baik karena alasan politis atau alasan-alasan lain, sering hanya menyuarakan kepentingan-kepentingan kelompok dominan saja. Hal ini dapat dicontohkan dari kebijakan pendidikan agama tertentu dalam kurikulum sekolah yang dibuat oleh negara, termasuk di kawasan Asia Tenggara. Adanya kewajiban sekolah-sekolah negeri memberikan mata pelajaran agama tertentu merupakan bentuk dari eksklusivitas informasi dan pembatasan terhadap hak seseorang untuk mendapatkan pengetahuan yang lebih luas. Kondisi ini semakin diperparah jika dalam suatu kelompok keagamaan, misalnya, ternyata juga didominasi oleh salah satu pemahaman keagamaan.

Untuk menjawab permasalahan relasi antara kelompok minoritas dan mayoritas penting untuk mengacu kepada Konvensi Hak-hak Anak dalam Pasal 30, yang menyebutkan:

Pada Negara-negara tersebut di mana terdapat minoritas etnis, agama, atau linguistik atau orang-orang asal pribumi, seorang anak yang termasuk dalam minoritas tersebut atau orang-orang pribumi tidak dapat diingkari haknya, dalam masyarakat dengan anggota-anggota lain dari kelompoknya, untuk menikmati kebudayaannya sendiri, untuk menyatakan dan mengamalkan agamanya sendiri, atau pun untuk menggunakan bahasanya sendiri.

Mengacu kepada Konvensi Hak-hak Anak yang telah diratifikasi oleh seluruh negara Asean, maka pendidikan yang diberlakukan kepada anak-anak harus pula mengedepankan azas non-diskriminasi, suatu capaian minimal suatu sistem pendidikan. Lebih dari itu, lembaga pendidikan mampu mengembangkan dan mencapai tujuan-tujuan yang lebih mendasar, sebagaimana yang disarankan oleh Konvensi Pasal 29, yaitu:

1. Negara-negara Pihak bersepakat bahwa pendidikan anak harus diarahkan ke:

a)       Pengembangan kepribadian anak, bakat-bakat dan kemampuan mental dan fisik pada potensi terpenuh mereka;

b)      Pengembangan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan dasar dan prinsip-prinsip yang diabadikan dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa;

c)       Pengembangan penghormatan terhadap orang tua anak, jati diri budayanya sendiri, bahasa dan nilai-nilainya sendiri terhadap nilai-nilai nasional dari Negara di mana anak itu sedang bertempat tinggal, negara anak itu mungkin berasal dan terhadap peradaban-peradaban yang berbeda dengan miliknya sendiri;

d)      Persiapan anak untuk kehidupan yang bertanggung jawab dalam suatu masyarakat yang bebas, dalam semangat saling pengertian, perdamaian, tenggang rasa, persamaan jenis kelamin, dan persahabatan antara semua bangsa, etnis, warga negara dan kelompok agama, dan orang-orang asal pribumi;

e)       Pengembangan untuk menghargai lingkungan alam.

2. Tidak satu pun bagian dari pasal ini atau pasal 28 dapat ditafsirkan sehingga mengganggu kebebasan orang-orang dan badan-badan untuk membuat dan mengarahkan lembaga-lembaga pendidikan, dengan selalu tunduk pada pentaatan prinsip-prinsip yang dinyatakan dalam ayat 1 pasal ini dan pada persyaratan-persyaratan bahwa pendidikan yang diberikan dalam lembaga-lembaga tersebut harus memenuhi standar minimum seperti yang mungkin ditentukan oleh Negara yang bersangkutan.

Nampaknya, dalam rumusan Pasal-pasal di atas, seiring dengan perkembangan zaman dan semakin globalnya penduduk dunia, maka sistem pendidikan pun harus memperhatikan materi atau substansi yang diberikan kepada anak. Pendidikan tidak lagi bersifat pribadi dan individual, tetapi juga menjadi modal dasar bagi seorang anak untuk hidup dengan masyarakatnya. Tujuan-tujuan ini, setidaknya, menjadi acuan dan pedoman bagi pemerintah dalam merumuskan kebijakan pendidikan, terutama sekolah-sekolah umum yang didirikan oleh negara.

Di samping itu, dalam Pasal 13 (3) Konvensi Ekonomi, Sosial dan Budaya ditegaskan, bahwa dalam hal pendidikan, Negara pihak harus menghormati kebebasan orang tua untuk memilih sekolah bagi anak-anak mereka, selain dari sekolah-sekolah yang didirikan oleh pemerintah.

3)  Negara-negara Pihak pada Kovenan ini berjanji untuk menghormati kebebasan orang tua dan, jika ada, wali murid yang sah untuk memilih sekolah bagi anak-anak mereka, selain sekolah yang didirikan oleh lembagapemerintah, sepanjang sekolah tersebut memenuhi standar pendidikan minimum sebagaimana ditetapkan atau disetujui oleh pemerintah negara yang bersangkutan, dan untuk melindungi pendidikan agama dan moral anak-anak mereka sesuai dengan keyakinan mereka.

Rumusan pasal ini memberikan suatu kejelasan, bahwa selain pendidikan yang harus diberikan oleh negara melalui lembaga-lembaga pendidikan umum, Kovenan mengakui adanya pendidikan yang berbasis pada agama tertentu dan negara tidak boleh menghalangi orang tua yang hendak menyekolahkan anaknya di sekolah-sekolah agama tersebut, dengan  catatan sekolah tersebut memenuhi standar pendidikan minimum sebagaimana ditetapkan atau disetujui oleh pemerintah negara yang bersangkutan, dan untuk melindungi pendidikan agama dan moral anak-anak mereka sesuai dengan keyakinan mereka dan sesuai dengan standard yang dirumuskan dalam ayat (1) pasal 13 Konvensi Ekosob di atas.

Menurut Komentar Umum terhadap Pasal Pasal 13(3) dan (4), bahwa: Pasal 13 (3) memiliki dua unsur. Unsur yang pertama adalah bahwa Negara harus menghormati kebebasan orang tua dan wali dalam menentukan pendidikan moral dan agama bagi anak-anak mereka, yang sesuai dengan keyakinan mereka sendiri. Unsur kedua dari pasal 13 (3) adalah kebebasan orang tua dan wali untuk memilih sekolah selain sekolah umum bagi anak-anak mereka, diandaikan sekolah-sekolah itu menerapkan “standar-standar pendidikan minimal yang sudah diakui Negara.” [6]

Untuk unsur yang pertama, sebagaimana dijelaskan dalam Komentar Umum, Komite menilai bahwa Pasal ini mengizinkan sekolah umum untuk mengadakan pendidikan agama dan etika sejauh disampaikan secara jelas dan obyektif, menghormati kebebasan dalam mengungkapkan pendapat, kata hati, dan ekspresi. Tercantum bahwa pendidikan umum  yang menyertakan instuksi-instruksi suatu agama tertentu tidak sejalan dengan pasal 13 (3), kecuali bila ada pembebasan atau alternatif non-diskriminasi yang dapat mengakomodasi harapan orang tua dan wali.

Dari sini, terkait dengan hak anak untuk mendapatkan pendidikan agama, Komite tidak menutup rapat adanya pelarangan ajaran agama masuk ke dalam kurikulum sekolah negara, dengan tetap memperhatikan kepentingan penganut agama lain. Dengan kata lain, ajaran agama atau etika yang disampaikan haruslah bersifat jelas dan obyektif, menghormati kebebasan mengungkap pendapat, kata hati dan ekspresi. Di samping itu, pasal-pasal di atas juga memberikan keterangan bahwa pemerintah juga berkewajiban untuk memastikan informasi dan pengetahuan keagamaan yang diberikan oleh lembaga-lembaga pendidikan dapat bersifat jelas dan obyektif, bukan justru menjadi pemicu munculnya eksklusifitas dalam beragama.

Dalam konteks kedua Pasal di atas inilah pendidikan agama kepada anak di setiap tingkatan (terutama dasar dan menengah) berada pada posisi yang strategis, terutama ketika isu-isu keagamaan seringkali disematkan dengan gerakan-gerakan radikal dan tindakan kekerasan/teror.

Sebetulnya, terkait dengan peran agama terdapat dua konsep penting yang dimiliki setiap agama yang bisa mempengaruhi para pemeluknya dalam hubungannya dengan manusia lain, yaitu; a) fanatisisme; dan b) toleransi. Untuk yang pertama, (fanatisisme) jika memiliki kadar yang berlebihan justru akan melahirkan sikap permusuhan terhadap pemeluk agama lain. Inilah juga yang terkadang menjadi biang lahirnya konflik dan kekerasan atas nama agama. Fanatisme yang berlebihan melahirkan truth claim (klaim kebenaran) yang bersifat eksklusif dan selanjutnya, eksklusivisme akan memandang penganut agama lain sebagai musuh, sehingga melahirkan arogansi sosial, terutama ketika ia menjadi mayoritas. Dalam kondisi mayoritas ini, kelompok eksklusif cenderung melakukan cara-cara pemaksaan dan kekerasan atas nama agama kepada kelompok lainnya.[7]

Adanya kesalahpahaman terhadap doktrin keagamaan yang menumbuhkan sikap fanatik dan mewujud dalam tindakan kekerasan dan teror inilah yang akhir-akhir ini menjadi perdebatan serius antar umat beragama. Eksklusivitas atau adanya klaim kebenaran seringkali menjadikan relasi antar umat beragama selalu tegang dan sulit mencapai titik persamaan. Akibatnya, stereotipe yang berangkat dari prasangka terhadap kelompok, agama, atau aliran lain, menjadi pemicu kuat keretakan hubungan antar kelompok, bahkan terjadinya konflik horizontal di masyarakat tidak dapat dihindari.

Dengan begitu, negara dapat bertindak netral dan obyektif dengan kondisi keberagamaan seorang anak di sekolah. Negara dapat memberikan pelajaran umum yang menunjang kelangsungan hidup dan menjadi modal dasar bagi seorang anak dalam kehidupan bermasyarakat, bernegara dan berbangsa, tetapi di sisi lain, negara juga harus menjadi pengawal bagi anak untuk mendapatkan informasi dan pengetahuan keagamaan yang selaras dengan keyakinan mereka dan tuntutan zaman. Dalam Pasal Pasal 18 ayat (4) Konvensi Internasional Sipil dan Politik disebutkan:

Negara Peserta dalam Kovenan ini berjanji untuk menghormati kebebasan orang tua dan apabila diakui, wali hukum yang sah, untuk memastikan bahwa pendidikan agama dan moral bagi anak-anak mereka sesuai dengan keyakinan mereka sendiri.

Fungsi agama ini dapat menjadi pedoman bagi negara untuk mengembangkan sistem masyarakat yang lebih maju, bermoral, demokratis dan menghormati hak asasi manusia. Dengan perkataan lain, sebagaimana Abdurrahman Wahid menyebutkan, agama dapat mendapatkan perannya untuk mentransformasikan kehidupan masyarakat, meskipun pada praktiknya juga perjuangan untuk menyusun suatu kerangka agama yang mendukung demokrasi sering disorot negatif, bahkan ditentang. Fungsi transformatif yang dibawakan oleh agama bagi demokratisasi kehidupan masyarakat ini harus bermula dari transformasi intern masing-masing agama. Untuk itu, agama dapat memberikan sumbangan bagi proses demokratisasi manakala ia sendiri berwatak membebaskan.[8]

Pada konteks ini, pengintegrasian pendidikan agama ke dalam sistem pendidikan nasional suatu negara harus dibarengi pula oleh kemunculan profil pendidikan agama yang dilandasi sekaligus dibingkai prinsip-prinsip umum kewarganegaraan (citizenship), diantaranya toleransi, demokrasi, keadaban, dan HAM yang tentunya berkorelasi positif dengan nilai-nilai filosofik dan etik Islam seperti kasih sayang, kesucian, kebaikan, persaudaraan, persamaan, kebebasan, dan keadilan. Di sini, fungsi pendidikan agama sangat strategis dalam merancang masa depan masyarakat yang lebih baik (well being society).

Kecenderunan para pendidikan di Amerika Serikat, misalnya, menyadari bahwa pendidikan agama dalam bidang sosial, sastra, seni dan musik, menjadi penting. Dalam suatu wacana tentang ““Religion in the Public School Curriculum: Questions and Answers,”  yang dikampanyekan oleh sebuah koalisi 17 besar keagamaan dan organisasi pendidikan, termasuk Christian Legal Society, the American Jewish Congress,  the National Education Association, the American Federation of Teachers, the American Association of School Administrators, the Islamic Society of North America, the National Council for the Social Studies, the Association for Supervision and Curriculum Development, the Baptist Joint Committee on Public Affairs, the National Association of Evangelicals, and the National School Boards Association, menggambarkan pentingnya agama dalam kurikulum demikian:

Because religion plays a significant role in history and society, study about religion is essential to understanding both the nation and the world. Omission of facts about religion can give students the false impression that the religious life of humankind is insignificant or unimportant. Failure to understand even the basic symbols, practices, and concepts of the various religions makes much of history, literature, art, and contemporary life unintelligible.  Study about religion is also important if students are to value religious liberty, the first freedom guaranteed in the Bill of Rights. Moreover, knowledge of the roles of religion in the past and present promotes cross-cultural understanding essential to democracy and world peace.[9]

Sebagaimana dalam Pasal 17 CRC, dalam konteks masyarakat multikultural, maka peran negara dalam memastikan informasi yang didapatkan oleh anak adalah betul-betul tidak membahayakan kesejahteraan, kesusilaan dan mental anak, adalah pula sangat penting. Walau bagaimana pun, agama yang mau tidak mau sangat dibutuhkan bagi perkembangan mental dan spiritual anak harus diprioritaskan oleh negara sebagai dasar proses transformasi menuju masyarakat yang lebih demokratis, toleran, dan mengakui hak asasi manusia. Jika tidak, bukan tidak mungkin agama yang awalnya diproyeksikan sebagai pendidikan mental dan spiritual, tetapi justru menjadi ancaman bagi proses demokratisasi dan penegakan hak asasi manusia di suatu negara. Dengan demikian, negara tidak hanya memastikan bahwa pendidikan dasar atau menengah adalah hak yang harus diterima oleh anak-anak, tetapi juga memastikan bahwa informasi yang didapatkan oleh anak-anak di sekolah adalah informasi yang menjamin masa depan anak dan keutuhan masyarakat.

C.       KONDISI ASIA TENGGARA DAN PENDIDIKAN AGAMA ANAK:

PROSPEK DEMOKRATISASI DAN PENEGAKAN HAM DI ASIA TENGGARA

Seperti di Indonesia, dan sangat mungkin terjadi di negara-negara lain di kawasan Asia Tenggara, pendidikan agama diberikan kepada anak-anak pada jenjang pendidikan dasar, menengah dan perguruan tinggi.[10] Beberapa negara yang berhubungan erat dengan wacana keagamaan telah banyak mengupayakan strategi pembelajaran keagamaan di sekolah, seperti yang terjadi di Bosnia and Herzegovina, Croatia, Serbia, Yugoslavia, dan Slovenia, dengan corak dan bentuk yang sangat beragam.[11] Yang menjadi permasalahan bukan pada masuknya bidang studi agama/privat pada sekolah-sekolah umum/publik,[12] tetapi pada materi atau substansi dari proses pembelajaran itu. Dalam konteks masyarakat demokratis dan multi-kultural, negara mempunyai tanggung jawab untuk menjamin pendidikan yang dapat menjamin keberagaman, toleransi dan sikap saling hormat-menghormati di antara sesama.

Sejauh ini, Islam di Asia Tenggara didefinisikan dengan agama yang mengakui toleransi, moderat, dan pluralisme. Secara religius, sebagian besar penduduk muslim Asia Tenggara dapat dikategorikan sebagai penganut yang menyetujui sistem “negara sekuler” dan menghindari praktik kekerasan dan penafsiran Islam literal oleh para agamawan yang terjadi di Asia Selatan dan Timur Tengah. Hanya sebagian kecil pendukung pembentukan rezim/kekuasaan Islam, yang menerapkan hukum berdasarkan al-Quran dan tak dapat dipungkiri selalu ada muslim militan di kawasan tersebut, terutama yang berfokus pada wilayah dalam negeri. [13] Meskipun dikenal dengan sebutan bernada positif di atas, fakta-fakta di lapangan kadangkala justru menunjukkan hasil yang negatif, karena pemahaman konservative terhadap doktrin keagamaan seringkali memunculkan sikap enggan menerima kelompok atau agama lain.

Di sisi yang lain, sebagaiman direkam dalam Southeast Asia Forum for Islam and Democracy (SEAFID) pada 14 – 15 Agustus 2008, yang dihadiri oleh utusan dari Indonesia, Singapura, Malaysia, Filipina, Myanmar, dan Timor Leste, kondisi keragaman dan hubungan antar minortas-mayoritas di Asia Tenggara masih menyisakan permasalahan. Di Myanmar, misalnya, salah satu peserta, dalam kondisi tertentu terkadang mereka tidak dianggap sebagai warga negara. Di Thailand dan Filipina, minoritas muslim kurang harmonis dengan pemerintahnya. Sementara di Indonesia dan Malaysia, yang mayoritasnya adalah muslim, justru yang menjadi tantangan adalah bagaimana mencegah dan menyikapi munculnya radikalisme Islam.[14]

Selanjutnya, adanya perbedaan dan kesalahpahaman antara Islam dan Barat menjadikan hubungan keduanya tidak harmonis, terutama di masyarakat-masyarakat muslim. Walaupun keduanya memiliki konteks teologis yang sama dan telah terjadi interaksi selama berabad-abad, hubungan Islam dan Barat seringkali ditandai dengan ketidaktahuan, saling memberikan stereotipe, menghila dan konflik. Kedua-duanya memusatkan perhatian semata-mata pada perbedaan yang dipertajam, dan melakukan polarisasi, bukannya mempersatukan visi ketiga tradisi besar monoteistik.[15]

Di Indonesia, pengrusakan gereja atau rumah ibadah masih sering terjadi sepuluh tahun terakhir. Sejak berdirinya Republik Indonesia hingga Nopember 2001 telah tercatat 858 buah gereja yang dirusak. Begitu pula dengan diskriminasi dan penegasian terhadap kelompok keyakinan di luar mainstream. Di samping itu, isu tentang kekerasan berbasis agama menjadi salah satu perhatian negara-negara di Asia Tenggara. Dalam strategy Asean Troika yang dirumuskan Pertemuan Tingkat Tinggi Asean pada 5 – 6 November 2001 di Brunai Darussalam, yang berkaitan dengan Three Evil Forces of Enemy, menyebutkan bahwa musuh besar Asean adalah: terorisme, separatisme dan tindakan kekerasan atau radikalisme agama.[16] Dengan Deklarasi ini, Asean mengajak seluruh negara di dunia untuk menolak dan mengecam semua tindakan kekerasan, teror, separatisme, dan radikalisme agama.

Hal utama yang sebetulnya klasik dan menjadi salah satu faktor sulitnya mengimplementasikan keberagaman dan membangun suatu standard nilai global di Asia Tenggara adalah perbedaan (diversity) dan realitas multi-ethic, yang juga berimplikasi pada masyarakat yang multikultural dan multi-religious society. Sebagaimana M. Syafii Anwar mencatat:

“With regard to the above phenomenon, it is clear that pluralism, as an ideological basis of global ethics should be appreciated by all nations in the global community, including Southeast Asian countries. However, implementing pluralism as an ideological basis of global ethics within Southeast Asia countries is not an easy task. This is because pluralism in this region does only relate to the diversity and multi-ethnic reality of society but also to the impacts of multicultural and multi religious society on civic, religious, educational and governmental institutions. Within various Southeast Asia political and social systems many groups attempt to have their interests heard.”[17]

Untuk itu pula, dengan kondisi Asia Tenggara saat ini, pendidikan agama di sekolah publik tidak lagi menjadi permasalahan rumit, tetapi beralih pada konteks bagaimana sistem pendidikan agama ini mampu menjadi sarana yang efektif untuk mendorong masyarakat yang demokratis, toleran, demokratis dan menghormati hak asasi manusia. Saat ini, kondisi pendidikan agama yang masuk di sekolah publik justru terkadang tidak berjalan efektif, dan bahkan menjadi saluran/sarana salah satu kelompok (agama) dominan untuk menguatkan doktrin agama secara ideologis. Alih-alih untuk menunjang sistem masyarakat demokratis dan toleran, sistem pendidikan agama di sekolah-sekolah publik justru mengancam masa depan masyarakat mulitikultural.

Dalam hal ini, pendidikan agama berada pada persimpangan jalan, di satu sisi pendidikan agama mempunyai peran dan fungsi signifikan dalam pembinaan dan penyempurnaan kepribadian dan mental anak, baik yang ditujukan kepada pembentukan kepribadian anak ataupun yang ditujukan kepada pikiran anak,[18] namun di sisi lain pendidikan agama di sekolah (publik) justru juga dapat menjadi bumerang bagi masa depan masyarakat yang lebih demokratis dan toleran. Pendidikan agama juga bersifat ambigu. Ia dapat membentuk pribadi-pribadi yang menjunjung tinggi toleransi dan perbedaan, namun juga dapat membentuk pribadi-pribadi yang kurang/tidak toleran terhadap perbedaan.[19]

Suatu penelitian terhadap kurikulum pendidikan agama tahun 2004 di Indonesia untuk jenjang SD, SMP, SMA, agama Islam, Protestan, Katolik, Hindu dan Budha, menyebutkan bahwa para perumus kurikulum mempunyai maksud untuk mengantar siswa berwawasan pluralis. Demikian pula standard kompetensi yang hendak dicapai siswa juga tidak mencatumkan kemampuan dalam berinteraksi dan mengelola pluralitas agama dalam masyarakat. Namun dalam pelaksanaannya maksud tersebut umumnya tidak terjabarkan dalam pengorganisasian materi yang langsung dihadirkan di kelas untuk diajarkan kepada siswa.

Menurut penelitian ini, dalam kurikulum agama Islam dan Protestan tidak menyebut secara spesifik bagaimana hidup bersama dengan agama-agama lain, tetapi membahas bagaimana hidup bermasyarakat dengan baik. Dalam kurikulum agama Hindu dan Budha, bahkan lebih terkonsetrasi membahas seluk belum agama secara eksklusif. Hanya kurikulum agama Katolik terutama untuk jenjang SMA yang secara konkret menghadirkan materi berkaitan dengan pluralitas agama, dialog antar-agama bahkan kemungkinan adanya pernikahan pasangan beda agama dalam masyarakat majemuk.[20]

Di samping itu, secara lebih khusus terdapat dua hal yang menjadi sebab utama gagalnya pendidikan agama di Indonesia, yaitu Pertama, karena pengajaran agama selama ini dilakukan secara simbolik-ritualistik. Sejauh ini, kecenderungannya adalah agama diperlakukan sebagai kumpulan simbol-simbol yang harus diajarkan kepada anak didik dan diulang-ulang, tanpa memikirkan korelasi antara simbol-simbol ini dengan kenyataan dan aktivitas kehidupan di sekeliling mereka. Dalam hal pemikiran, para siswa/siswi kerap dibombardir dengan serangkaian norma legalistik berdasarkan aturan-aturan fikih yang telah kehilangan ruh moralnya. Kedua, pendidikan agama di Indonesia dinilai gagal karena mengabaikan syarat-syarat dasar pendidikan yang mencakup tiga komponen: intelektual, emosional, dan psikomotorik. Pendidikan agama tidak berimbang dalam menerapkan tiga syarat dasar ini.[21] Bahkan, menurut suatu analisa, persoalan ini bukan semata-mata terkait hal-hal teknis pedagogis, tetapi menyangkut pandangan dunia (world view) masyarakat kita terhadap agama secara umum. [22]

Menurut suatu penelitian diungkapkan oleh Amin Abdullah, bahwa guru-guru agama di sekolah yang berperan sebagai ujung tombak pendidikan agama dari tingkat yang paling bawah hingga yang paling tinggi atau dari TK sampai perguruan tinggi, nyaris kurang (untuk tidak mengatakan sama sekali) tersentuh oleh gelombang pergumulan pemikiran dan diskursus pemikiran keagamaan di seputar isu pluralisme dan dialog antar umat beragama. Demikian pula Komaruddin Hidayat pernah menyebutkan, bahwa pendidikan agama saat ini memiliki beberapa kelemahan, di antaranya adalah:

Pertama, pendidikan agama saat ini lebih berorientasi pada belajar tentang agama sehingga hasilnya banyak orang yang mengetahui nilai-nilai ajaran agama, tetapi perilakunya tidak relevan dengan nilai-nilai ajaran agama yang diketahuinya. Kedua, kurang tepatnya pemilihan materi-materi pendidikan agama sehingga hal-hal yang prinsipil terkadang dikalahkan dengan hal-hal yang bersifat fikhiyah. Apalagi pengajaran fikh lebih dominan hanya satu mazhab tertentu saja dengan mengabaikan mazhab yang lain. Ketiga, kurangnya penjelasan yang luas dan mendalam tentang hal hal pokok ajaran agama.  Tantangan lain menyangkut pendidikan agama adalah problem indoktrinasi dalam pengajaran agama. Indoktrinasi adalah upaya menanamkan doktrin-doktrin agama dari satu perspektif (single-sided), kurang membuka ruang dialog yang memungkinkan untuk melihatnya dari perspektif yang lain. Indoktrinasi yang mengabaikan dialog menghilangkan proses-proses yang seharusnya terjadi dalam pembelajaran, seperti learning to question, menumbuhkan curiosity (keingintahuan), dan sharing ideas (berbagi gagasan). Agama yang dipahami, dengan demikian, adalah agama yang diterima secara taken-for-granted dan dari satu sudut pandang, belum melalui proses refleksi dan knowledge production bersama.[23]

Untuk itu, pendidikan agama yang lebih terbuka dan mengajarkan moralitas bermasyarakat menjadi penting, karena kebijakan pendidikan yang mengabaikan arti penting keanekaragaman dan kemajemukan tidak akan menciptakan kehidupan yang toleran dan pluralis dalam pergaulan sosial. Bahkan cenderung kepada kegagalan yang dapat menimbulkan tragedi kemanusiaan. Inilah yang mesti diantisipasi bahwa merancang sistem pendidikan nasional tidak hanya dapat dicapai dengan mengandalkan penguasaan materi (kognisi), tetapi juga bagaimana membentuk kesadaran beragama dalam tata pergaulan bermasyarakat yang damai tanpa konflik. Merancang sistem pendidikan agama justru menampung nilai-nilai luhur yang mendasari kehidupan masyarakat yang lebih substansial, yakni pencerdasan kehidupan sosial secara lebih luas.[24]

Kita memerlukan suatu bentuk ikatan universal berupa nilai-nilai universal yang akan mampu memadukan, merekatkan, mensenyawakan, mengkonstruksikan secara sistemik antara dimensi agama di satu sisi dan dimensi negara sebagai lembaga representatif dari struktur kemasyarakatan yang beradab. Nilai-nilai ikatan universal tersebut akan mampu memadukan secara sistemik kesadaran, keyakinan, sikap dan kemampuan bertindak yang didasarkan dari fungsi-fungsi ‘profetik’ nilai-nilai universal agama yang ditabur dalam gerak ‘rahmat’ kebajikan kemanusiaan transenden dengan kesadaran, keyakinan akan fungsi roh absolut peradaban negara yang mampu memproduksi output kebajikan.

Oleh karenanya, mengajarkan nilai-nilai demokratik dan penghormatan sekaligus perlindungan terhadap hak asasi manusia (HAM) merupakan investasi yang sangat berharga untuk pencapaian masa depan manusia yang lebih manusiawi. Selain itu, penting pula untuk membiasakan peserta didik dengan isu-isu sensitif dan terbuka dengan hal-hal di luar agamanya (passing over) merujuk pada upaya menjelajah tradisi dan agama lain dalam rangka memahami tradisi dan agama tersebut. Hal lain yang perlu dikembangkan adalah memberikan landasan multikultural dalam pendidikan agama. Perspektif multikultural dalam pembelajaran agama membantu peserta didik untuk memahami, mengapresiai dan menghormati perbedaan-perbedaan dan persamaan-persamaan, agar keragaman dianggap sebagai kekayaan sosial, bukan sebagai penghambat kemajuan bersama.

Dari beberapa uraian di atas, beberapa ketentuan dalam Konvensi di atas yang berkaitan dengan hak anak atas pendidikan dan informasi cukup relevan dengan kondisi pendidikan agama di Asia Tenggara. Yang penting untuk digarisbawahi adalah:

Pertama, anak berhak untuk mendapatkan pendidikan dan informasi yang baik terkait agama dan keyakinannya, terutama pada ajaran agama yang mengedepankan nilai-nilai universal, seperti toleransi, kebebasan dasar, demokratis, dan hak asasi manusia, serta bagaimana memungkinkan semua anak untuk berpartisipasi secara efektif dalam suatu masyarakat yang bebas, mengedepankan pengertian antar sesama, toleransi, serta persahabatan antar semua bangsa dan semua kelompok, ras, etnis atau agama, dan untuk memelihara perdamaian. Artinya, pendidikan agama menjadi suatu yang mungkin diberikan oleh Negara, selama masih dalam koridor-koridor ini. Memperkenalkan tradisi agama dan keyakinan di luar dari agama/keyakinan anak diharapkan menjadi jawaban atas kesalahpahaman antar umat beragama dan berkeyakinan, dan secara berangsur menyingkirkan prasangka, streotipe, saling menghina, atau bahkan konflik horizontal.[25]

Kedua, hak orang tua untuk memberikan pendidikan agama kepada anaknya, seperti melalui sekolah swasta. Sebagaimana dalam Konvensi anak, pentingnya moral keagamaan bagi orang tua untuk menjamin pertumbuhan anaknya tidak bisa dibatasi oleh negara, termasuk pula hak orang tua untuk menyekolahkan anaknya di lembaga-lembaga pendidikan agama. Dengan demikian, meskipun dengan tujuan dan maksud yang lebih spesifik, sudah sepatutnya pula pendidikan agama memberikan informasi yang seimbang kepada para siswa/anak atas informasi yang lebih inklusif dan toleran. Namun di sisi yang lain, orang tua juga memahami betul bahwa pendidikan yang dimaksudkannya akan memberikan informasi yang lebih khusus dalam bidang agama. Setidaknya keadaan ini terjadi di Brunai Darussalam,[26] di mana banyak orang tua non-muslim yang menyekolahkan anaknya di Lembaga-lembaga pendidikan Islam. Denan itu pula, lembaga pendidikan swasta ini harus menyesuaikan kurikulum dan materi pendidikan sesuai dengan keyakinan dan keagamaan anak, sebagai jaminan atas hak untuk mendapatkan informasi sesuai dengan keyakinan dan agamanya.

Ketiga, urgensi pendidikan agama dalam membangun masyarakat yang humanis, demokratis, dan menghargai kebebasan dan hak asasi manusia. Dalam konteks Asia Tenggara, agama masih menjadi salah satu faktor penting bagi sebagian besar masyarakat. Pada hal demikian, agama memiliki dua kutub yang tak dapat dipisahkan, di satu sisi ia dapat mempengaruhi penganutnya menjadi fanatik dan pada sisi yang lain ia dapat menjadikan penganutnya toleran. Keyakinan yang berlebihan dan akibat dari informasi dan ajaran yang salah, seorang penganut keagamaan dapat menjadi seorang yang sangat fanatik dan kaku dalam beragama. Bukan tidak mungkin, dengan keyakinannya ini ia juga dapat melakukan tindakan kekerasan dan melanggar hak-hak orang lain. Namun pada aspek lain, agama yang diberikan melalui pendidikan dan pemberian informasi yang positif, justru dapat menjadi pendulum bagi terciptanya masyarakat yang demokratis dan toleran, dengan menghargai kebebasan dasar dan hak asasi manusia.

Dalam hal ini, dengan memberikan informasi yang positif, seorang penganut agama atau keyakinan tidak hanya memiliki dukungan legitimasi dari agama dalam menjalankan aktivitas kesehariannya, tetapi juga sesuai dengan etika dan standard moral yang dimiliki oleh masyarakat lain secara luas. Artinya, pendidikan agama mampu memberikan modal dasar bagi anak untuk hidup bersama dan terbuka dengan komunitas lain, selama materi pendidikan yang inklusif tetap menjadi perhatian penting. 

D.      Rekomendasi

Dari beberapa pokok permasalahan yang disebutkan di atas, terutama terkait dengan hak anak untuk mendapatkan pendidikan dan informasi, ada beberapa rekomendasi yang dapat ditindaklanjuti, di antaranya adalah:

  1. Mengingat posisi strategis yang dimiliki oleh materi keagamaan dalam konteks Asia Tenggara, maka perlu untuk memperbaiki kurikulum pendidikan agama secara nasional, terutama negara-negara yang memasukkan pendidikan agama pada sekolah-sekolah publik. Hal ini penting untuk dilakukan sebagai upaya untuk memenuhi hak atas informasi dan pendidikan anak, terutama dalam bidang agama, tetapi juga sebagai sarana untuk membangan masa depan bangsa yang lebih humanis dan toleran, yang menghormati hak asasi manusia, kebebasan dasar, kelompok/agama lain dan berdampingan dengan masyarakat multikultural dalam bingkai negara yang demokratis.
  2. Memberikan pelatihan atau pendidikan khusus, terutama bagi guru-guru swasta yang memang secara khusus mendalami pendidikan agama, terutama dalam pengintergrasian wacana hak asasi manusia, kebebasan sipil dan demokrasi. Hal ini penting, mengingat di beberapa negara dan wilayah, isu agama – berikut pula pendidikan agama yang diselenggarakan oleh lembaga non pemerintah, seperti pesantren/madrasah di Indonesia – seringkali mendapatkan tuduhan tempat penyebaran ajaran-ajaran Islam radikal dan ekstrem.
  3. Mengembangkan sistem pembelajaran yang inklusif, terutama bagi masyarakat-masyarakat plural, secara etnis, suku, agama, budaya, sehingga hubungan antar budaya dan latar belakang ini mampu membentuk suatu jalinan kerja sama yang efektif.
  4. Mendorong organisasi civil society yang berbasis keagamaan sebagai pendorong sosialisasi wacana-wacana inklusif dan toleransi, untuk menopang sistem masyarakat yang lebih demokratis dan mengakui hak asasi manusia.

Penulis:

Muhammad Hafiz


[1] The role of religious education in the pursuit of tolerance and non-discrimination. Study prepared under the guidance of Professor Abdelfattah Amor, Special Rapporteur of the Commission on Human Rights on the question of religious intolerance, International Consultative Conference on School Education in relation with Freedom of Religion and Belief, Tolerance and Non-discrimination. See Angelina Fisher, The Ccontent of the Right to EducationTheoretical Foundations, (US: New York University School of Law, 2004), p. 15

[2] Muhadjir Effendy, Tantangan Pendidikan Masa Kini dalam Perpektif Islam, diakses dari http:/ /rektor.umm.ac.id/files/file/Kumpulan%20Naskah/tantangan- pendidikan-masa-kini-dalam-perpektif-islam.pdf

[3] M. Nurkhoiron, Minoritisasi dan Agenda Multikulturalisme di Indonesia: Sebuah Catata Awal, (Jakarta: Interseksi dan TIFA, 2007), p. 18.

[4] Muhammad Ainul Yaqin, Pendidikan Multikulturalisme, (Yogyakarta: Pilar Media, 2007), p. 21.

[5] Ibid. p. 21.

[6] Point 28 dan 29 Komentar Umum atas Konvensi Ekonomi, Sosial dan Budaya

[7] Akhyar, Fundamentalisme dalam Agama Islam dan Kristen, diakses dari http:/ /www.uinsuska.info/ushuluddin/attachments /073_Akhyar%20Artikel%20Fundamentalisme%20Agama.pdf

[8] Abdurrahman Wahid, Islam Kosmopolitan: Pluralisme, Kebudayaan, dan Hak Asasi Manusia, (Jakarta: Wahid Institute, 2007), p. 284.

[9] Charles C. Haynes, A Teacher’s Guide to Religion in the Public Schools, (US: First Amendment Center, 1999), p. 2.

[10] Pasal 37 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

[11] Lihat, Zorica Kuburić and Christian Moe, ed., Religion and Pluralism in Education Comparative Approachesin the Western Balkans. (2006) CEIR in cooperation with the Kotor Network.

[12] Meskipun pada priode sebelumnya, masuknya materi pendidikan agama di sekolah publik ini cukup menjadi perhatian penting pemerhati demokrasi dan HAM. Namun, jika mengacu kepada Konvensi Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, yang telah dijelaskan di atas, pendidikan agama dan moral juga menjadi hak bagi setiap anak dan orang tua.

[13] Zachary Abuza, Militant Islam in Southeast Asia Crucible of Terror, (Lynne Rienner Publisher, 2003), p. 1.

[14] “Southeast Asia Forum for Islam and Democracy (SEAFID)”, Jurnal al-Washathiyyah, Vol 3, No. 15, 2008, p. 69.

[15] Mutohharun Jinan, “Membangun Dialog Antar Agama (Mempertimbangkan Pemikiran Muhammad Arkoun)”, dalam Jurnal al-Washathiyyah, Vol 3, No. 15, 2008, p. 81.

[16] 2001 ASEAN Declaration on Joint Action to Counter Terrorism, http://www.aseansec.org/5318.htm

[17] M. Syafii Anwar, Pluralism and Multiculturalism in Southeast Asia,   ICIP Journal – Vol 2, NO.1 January 2005 [18] Ali Yafie, “Pendidikan Agama Islam di Sekolah”, 11 December 2009, accessed from http:/ /bataviase.co.id/ detailberita- 10391202. html

[19] Agus Nuryatno, “Kontribusi Pendidikan Agama Dalam Memperkuat Masyarakat Pluralistik Demokratik (Perspektif Islam)”, (Institute DIAN/Interfidei Yogyakarta), accessed from http:/ /www.interfidei.or.id/ index.php? page= article&id= 2

[20]  Listia, Lian Gogali, and Laode Arham, “Pendidikan Agama di Sekolah Umum Penelitian tentang Pendidikan Agama SD, SMP dan SMA di Kota Jogjakarta tahun 2004-2006”,   Penelitian atas Kerjasama Institut Dialog antariman (DIAN)/ Institut for Interfaith Dialogue in Indonesia (Interfidei) Dengan Oslo Coallition Norwegia, Jogjakarta 2005 http:/ /www.interfidei.or.id/ pdf/ DR06001. pdf [21] Dikutip dari Luthfi Assyaukanie, Pendidikan Agama Melalui Pelajaran Umum, (Jakarta), Kompas, 15 Maret 2003 [22] Luthfi Assyaukanie, “Pendidikan Agama Melalui Pelajaran Umum”, Kompas, 15 Maret 2003

[23] Agus Nuryatno, “Kontribusi Pendidikan Agama dalam Memperkuat Masyarakat Pluralistik Demokratik”.

[24] Abdul Mu’ti, “Pendidikan Agama Islam Berbasis HAM”, in Fajar Riza Ul Haq and Endang Tirtana, et.al., Islam, HAM, dan Keindonesiaan: Refleksi dan Agenda Aksi untuk Pendidikan Agama, (Jakarta: Maarif Institute for Culture and Humanity, 2007), p. 155

[25] Demikian upaya yang didorong oleh Muhammad Arkoun ketika melihat fenomena konflik Islam-Barat. [26] “On Brunei, Non-Moslem Students Have great Enthusiasm To Entering Islamic School”, Voice of Islam on South-east Asia, 17 Apr 2010, http:/ /english.voa-islam.com/ news/ brunei-myanmar/ 2010/ 04/ 17/ 495/ on-bruneinon-moslem-students-have-great-enthusiasm-to-entering-islamic-school/

Catatan Harian Ahmad Wahib

Catatan 6 Oktober 1969

Memang aku dahaga. Dahaga akan segala pengaruh. Karena itu kubuka bajuku, kusajikan tubuhku yang telanjang agar setiap bagian dari tubuhku berkesempatan memandang alam luas dan memperoleh bombardemen dari segala penjuru. Permainan yang tak akan pernah selesai ini sangat mengasyikan.

sumber: www.ahmadwahib.com

Sekilas Tentang Kehidupan Ahmad Wahib

AHMAD Wahib lahir di Sampang, Madura, pada 1942. Wahib tumbuh dewasa dalam lingkungan yang kehidupan keagamaannya sangat kuat. Ayahnya adalah seorang pemimipin pesantren dan dikenal luas dalam masyarakatnya. Tapi ia juga adalah orang yang berpikiran luas dan terbuka, yang mendalami secara serius gagasan pembaharuan Muhammad Abduh. Ia menolak objek-objek kultus yang menjadi sesembahan para leluhurnya. Objek-objek ini sangat populer dalam tradisi rakyat Madura, seperti tombak, keris, ajimat, dan buku-buku primbon.

Wahib juga menolak kepercayaan mengenai hari baik dan hari buruk. Ia memulai pembangunan rumah barunya pada hari yang menurut kepercayaan bukanlah hari baik. Pendek kata, ia adalah orang yang pada akhirnya sanggup mengirimkan anaknya untuk dididik dalam sistem pendidikan sekular yang dikelola pemerintah. Ia pulalah yang orang pertama di desanya yang mengirimkan anak perempuannya untuk dididik di sekolah yang dikelola pemerintah.

Lebih jauh lagi, ia pulalah yang orang pertama yang mengawinkan anak perempuannya itu tanpa tetek-bengek upacara adat. Maka, Wahib adalah orang yang berada pada posisi terbuka untuk menerima banyak gaya hidup dan etos kepesantrenan, untuk mempelajari kotroversi keagamaan, dan untuk mengumpulkan gagasan-gagasan yang akan dikembangkannya sendiri kemudian.

Wahib lulus dari SMA Pemekasan, Madura, bidang ilmu pasti, dan melanjutkan studinya pada Fakultas Ilmu Pasti dan Alam (FIPA) Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Walaupun kuliah sampai tahun terakhir, Wahib tidak menyelesaikan kuliahnya itu hingga mendapat gelar sarjana.

Wahib adalah seorang Muslim yang berkomitmen. Segera setelah tiba di Yogyakarta, ia menjadi aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) cabang Universitas Gadjah Mada. Ini tindakan berani. Pada awal decade 60-an, terjadi intensifikasi pergumulan politik antara Presiden Soekarno, kelompok-kelompok nasionalis radikal, Partai Komunis Indonesia (PKI) di satu pihak, melawan angkatan bersenjata, pendukung-pendukung Masyumi  (sayap politik gerakan reformis yang dilarang), dan beberapa partai kecil lain di lain pihak.

Saat itu, tekanan-tekanan politik terhadap organisasi-organisasi Islam sangat kuat. Dan, HMI sangat anti Sukarno dan anti PKI. Wahib menjadi anggota “kelompok inti“ organisasi ini. Ia juga terlibat dalam pembahasan mengenai masalah-masalah penting saat itu, dalam rangka mengatasi tekanan-tekanan politik di atas, misalnya soal apakah HMI berkosentrasi pada “pembangunan ideologis” atau “berorientasi pada program”.

Pembahasan-pembahasan seputar masalah-masalah tersebut menimbulkan ketertarikan kepada persoalan-persoalan yang lebih umum, seperti persoalan apa sebenarnya yang dimaksud dengan istilah “ideology Islam”? Apakah Islam, dalam kenyataannya, adalah sebuah ideologi? Bagaimanakah sebuah ideologi politik dapat dirumuskan demi kepentingan umat Islam di Indonesia? Di mana posisi Islam vis a vis ideologi-ideologi sekular seperti demokrasi, sosialisme dan Marxisme? Ketertarikan kepada soal-soal ini sejalan dengan corak pertumbuhan Wahib dalam keluarganya.

Selain itu, Yogyakarta adalah salah satu kota yang secara intelektual dan budaya paling kaya di Indonesia. Ini berperngaruh dalam perkembangan pribadi Wahib. Yogyakarta adalah kota lembaga-lembaga pendidikan. Universitas Gadjah Mada, karena alasan-alasan kesejarahan, memiliki daya tarik yang besar, dan kenyataannya mapu menyedot banya pelajar dari seluruh Indonesia. Di sana juga ada perguruan-perguruan tinggi lain, baik milik swasta maupun pemerintah, yang juga memiliki daya tarik. Termasuk di dalamnya adalah IKIP Sanata Dharma, milik sebuah yayasan Katolik, Universitas Islam Indonesia, dan IAIN Sunan Kalijaga.

Keragaman etnis ribuan mahasiswa, kehadiran pelbagai tradisi keagamaan, dan tingkat toleransi keagamaan yang luar biasa, yang menjadi ciri orang-orang Jawa Tengah, semuanya telah memunculkan sikap keterbukaan antara berbagai tradisi keagamaan dan pergaulan sosial antara orang-orang dengan latar belakang yang bervariasi. Ini semua sangat mengesankan Wahib.

Lebih khusus lagi, ada dua hal yang secara desisif sangat menentukan perkembangan pribadi Wahib. Pertama adalah komunitas Jesuit lokal yang ia gauli ketika ia menyewa sebuah kamar kecil di hostel mahasiswa-mahasiswa Katolik. Kedua keterlibatannya dalam kelompok studi yang dipimpin oleh Mukti Ali, seorang Guru Besar IAIN Sunan Kalijaga dan mantan Menteri Agama RI, yang juga pernah mengecap pendidikan di McGill, Kanada. Kelompok ini adalah kelompok diskusi terbatas, sesuai namanya, “ Limited Group”. Tujuan kelompok diskusi ini adalah menyediakan suatu forum untuk mendiskusikan masalah-masalah keagamaan yang mendasar, yang biasanya pantang didiskusikan.

Mukti Ali, mengenai kelompok diskusi ini, menyatakan bahwa kelompok tersebut menarik perhatian banyak peserta. Kelompok tersebut juga secara reguler mengundang pembicara-pembicara tamu dari berbagai kalangan, baik orang Indonesia maupun bukan. Kelompok tersebut membahas persoalan-persoalan penting menyangkut masa depan kaum Muslim Indonesia, dalam suatu kerangka yang membuka kemungkinan untuk tumbuhnya gagasan-gagasan baru yang segar. Masalah-masalah teologis yang sublim kerap didiskusikan juga, dan gagasan-gagasan yang dikemukakan seputar masalah tersebut kadang jauh dari apa yang diyakini orang kebanyakan dan bersifat provokatif.

Masa-masa Wahib di Yogyakarta adalah masa-masa yang paling bergolak dalam sejarah Indonesia. Inilah masa ambruknya ekonomi Indonesia dan terjadinya ketegangan-ketegangan politik yang berujung dengan usaha kup oleh PKI pada masa 1965. Sebagai balasan atas kup yang gagal total ini, terjadilah pembunuhan besar-besaran atas mereka yang dituduh antek-antek PKI. Di Jawa Tengah saja, ribuan orang tewas. Ini mengantarkan Indonesia terbentuknya Orde Baru di bawah kepemimpinan Jenderal Soeharto. Inilah periode gamang yang meninggalkan luka-luka psikologis si kalangan mereka yang mengalaminya.

Semua unsur di atas (latar belakang keluarga, penyesuaian diri dengan lingkungan baru, dengan konsekuensi meluasnya horizon berfikir secara dramatis, tekanan-tekanan baik bersifat politis maupun personal, dan pembunuhan besar-besaran yang mengerikan lantaran gagalnya kup PKI) jelas turut menentukan berubahnya arah pemahaman Wahib mengenai Islam. Unsur-unsur tersebut pulalah yang pada akhirnya megantarkannya untuk keluar dari HMI pada 30 September 1965. Mungkin bukanlah sebuah kebetulan bahwa tanggal di atas bersamaan dengan hari ulang tahun ke-3 gagalnya kup PKI pada 30 September 1965.

Pada 1971, Wahib menginggalkan Yogyakarta. Tujuannya adalah Jakarta, mencari kerja. Ia pada akhirnya diterima sebagai calon reporter majalah berita mingguan Tempo.  Ia juga ikut kursus filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara, sebuah perguruan tinggi yag didirikan oleh seorang Jesuit Jawa, Driyarkara. Pada saat yang sama, ia juga ambil bagian dalam pertemuan berbagai kelompok diskusi. Ia bahkan sempat membuat rancangan tema diskusi soal teologi, poitik dan budaya yang sangat ambisisus. Sayangnya, ia wafat tertabrak motor pada 30 Maret 1973.

Sumber: http://www.ahmadwahib.com/id/index.php?option=com_content&view=category&layout=blog&id=34&Itemid=54