The Imam and The Pastor

In the 1990s, Imam Ashafa and Pastor Wuye led opposing militias in Northern Nigeria. Now the men work together bridging religious conflicts between Christians and Muslims that have killed thousands.

‘My hate for the Muslims then had no limits’ states Pastor Wuye, whose militia killed Imam Ashafa’s spiritual leader and two cousins. Ashafa spent 3 years planning revenge, until one day, a sermon on forgiveness changed his life. The men met and are now working on a peace accord. Imam Ashafa explains, ‘even though we differ in some theological issues, we will make the world a safer place’.

Sumber: Youtube

Baca tulisan terkait tentang film ini oleh Ihsan Ali Fauzi: “Belajar kepada Korban” di Koran Tempo, 11 Juli 2012.

Mengapa Harus Seragam?

Dan jika Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang ada di muka bumi ini seluruhnya. Maka, apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?” (QS. Yunus: 99)

Kondisi keberagamaan di Indonesia akhir-akhir ini kembali dicoreng oleh sekelompok masyarakat yang enggan menerima perbedaan. Di sisi yang lain, Pemerintah yang seharusnya menjadi perisai bagi kenyamanan dan keamanan segenap bangsa Indonesia sayangnya tak lagi mampu menjawabnya dengan bijaksana dan adil. Tak jarangan bahkan Pemerintah, berikut aparat dan komponennya, berselingkuh dengan para kelompok intoleran dan melakukan tindakan diskriminasi kepada kelompok minoritas tertentu.

Yang disebutkan di atas bukan hanya tudingan atau isapan jempol. Pada Jumat, 20 April 2012 yang lalu, masjid Ahmadiyah di Tasikmalaya, kembali dirusak oleh sekelompok massa yang tidak bertanggung jawab, sehingga aktifitas di masjid ini pun terhenti total. Entah apakah Tuhan yang bersemayam di dalamnya turut murka atas tindakan tersebut, tetapi secara naluri kemanusiaan, tindakan tersebut sama sekali bukan mencerminkan perbuatan orang yang berperadaban atau berakhlak.

Dua minggu terakhir, belum lagi permasalahan GKI Taman Yasmin selesai, HKBP Filadelfia Bekasi pun mengalami nasib yang sama. Pemerintah Kabupaten Bekasi mengeluarkan surat keputusan terkait pemberhentian aktifitas gereja dan jemaat yang menggunakan salah satu bangunan sebagai tempat ibadah. Persis dengan kasus GKI Yasmin, walaupun Mahkamah Agung telah mengeluarkan putusan dan memenangkan Jemaat HKBP Filadelfia, Pemerintah Kabupaten Bekasi tidak juga mengindahkan putusan tersebut. Alih-alih memberikan keadilan kepada warga yang hendak beribadah, Pemkab – dalam hal ini Camat Tambun Utara, Bekasi – justru tetap menutup Gereja dengan alasan dikhawatirkan adanya penyerangan atau keributan.

Artinya: Toleransi Bagian Kebahagiaan

Di belahan Indonesia yang lain, pada Agustus 2011 yang lalu, pelarangan pendirian masjid sebagai rumah ibadah juga dilakukan oleh sekelompok massa di Nusa Tengagra Timur (NTT). Berdasarkan desakan warga tersebut, Camat Batuplat, Kupang, NTT, menghentikan sementara pembangunan masjid tersebut agar kedua belah pihak dapat menyelesaikan permasalahan izin pembangunannya.

Sisi yang lain, tindakan aneh yang baru-baru ini juga dilakukan oleh para pemangku kewajiban adalah tatkala ustadz Tajul Muluk, tokoh keagamaan Syiah Sampang, Madura, pada Kamis yang lalu (12/4/2012) ditetapkan sebagai tersangka karena dianggap telah menodai agama Islam. Suatu keputusan yang sangat aneh, mengingat persandingan antara Sunni dan Syiah di Indonesia selama ini baik-baik saja. Ibarat kata, usia orang yang menuduh Tajul Muluk menodai Islam tidak lebih tua dari usia harmonis antara Syiah dan Sunni di Indonesia. Menurut sementara keluarga Tajul Muluk, penahanan ini disebabkan oleh ancaman yang datang dari terpidana penyerangan sebelumnya yang telah keluar kepada Tajul sendiri, sehingga pihak kepolisian juga menahan Tajul agar dirasa adil oleh semua pihak.

Kondisi-kondisi singkat dan secuil dari segudang permasalahan lain yang ada tersebut di atas menunjukkan betapa Negara ini telah lalai menjadikan hukum sebagai pedoman kehidupan, tetapi bernaung dengan suara mayoritas dan tak jarang dengan kepentingan politik sesaat. Akibatnya, siapapun yang kecil, minoritas dan tak berdaya akan dijadikan tumbal kekuasaan dan mayoritas. Tak segan-segan Negara berselingkuh dengan kelompok mayoritas dan menafikan hak-hak minoritas. Bila kondisi ini terus dibiarkan, siapa yang berani menjamin bahwa Indonesia ke depan masih menjadi sebuah kesatuan atau hidup damai berdampingan. Sebaliknya, Indonesia menjadi hutan para preman, yang lebih mengedepankan kekuataan daripada hati nurani dan akal pikiran. Dan tidak bisa dibayangkan bila kelompok minoritas yang diganggu memiliki kekuatan seperti gang motor cepak akhir-akhir ini, pembantaian dan peperangan yang lebih luas dapat saja terjadi.

Untuk itu, berandai-andai Indonesia menjadi seragam adalah mustahil, seperti halnya berharap agar Indonesia menjadi satu daratan yang tersambung. Tinggal lagi, bila belum mampu merayakan perbedaan dan membela keragaman yang ada, cukuplah kita menjadi orang yang paling lemah imannya untuk tidak menghakimi dan mengganggu ketentraman orang lain dalam beribadah atau berkeyakinan. Lebih dari itu, mampu menjadi manusia yang selalu merawat dan melindungi perbedaan yang ada merupakan sebuah mata air bagi bangsa Indonesia yang tengah berada di padang pasir intoleran dewasa ini. Tak semuanya harus sama, karena perbedaan adalah niscaya.

Mengakhiri catatan ini, sebuah ayat di dalam Alquran – yang disebutkan di atas – telah mensinyalir keniscayaan perbedaan ini, sehingga apakah firman Tuhan ini harus pula kita ingkari.  

Oleh: Muhammad Hafiz


“Curhat: Kok ‘Kita’ Begini Banget Ya?”

Maafkan bila selama ini tak sempat mengupdate tulisan di blog ini. Ada banyak ide dan gagasan yang berseliweran sebetulnya, tapi tak sanggup ditumpahkan dengan ragam alasan, entah karena kesibukan atau datangnya kemalasan. Tapi hari ini, saya menekadkan diri untuk menulis kembali hanya karena kekacauan sosial yang selama ini, menurutku, sudah tidak normal lagi.

Betapa saya harus anggap sebagai suatu hal yang normal ketika ada sekelompok orang diserang dan dibakar rumah dan aset mereka hanya karena mereka mempertahankan hidup di suatu komunitas yang agak eksklusif dan disangka sesat oleh khalayak ramai? Betapa saya harus katakan situasi saat ini normal saja ketika ada kepala daerah, yang hidup, makan, dan digaji oleh rakyatnya, tega mengusir rakyatnya sendiri keluar dari daerahnya? Betapa harus saya katakan kehidupan kita saat ini baik-baik saja ketika ada sekelompok orang yang mengaku paling benar, paling suci, dan paling tahu tentang agama dan melakukan kekerasan atau pemaksaan terhadap orang lain yang berbeda? Betapa tidak shock ketika dulu orang bertahun baru biasa-biasa saja, sementara sekarang harus diributkan dengan broadcast media sosial yang mengharamkan tahun yang merayakan hari besar agama Kristen/Katolik? Dan betapa-betapa lain yang kadang terbersit dalam hati dan memunculkan pertanyaan di benak, “Kok kita begini banget ya”?

Salah satu perbedaan mendasar hidup saya dulu (meskipun belum lama-lama banget) dengan masa sekarang mungkin dalam hal teknologi informasi dan komunikasi. Dulu, ayah saya yang hendak mengirimkan kabar ke anak-anaknya yang ada di pesantren harus melalui surat pos atau telegram, sementara sekarang dengan menekan tombol 12 digit komunikasi tanya-jawab sudah bisa langsung terhubung. Tidak perlu menunggu waktu lama untuk menerima, menjawab, dan mendapatkan balasan dari lawan bicara. Yah, harus diakui bahwa sekarang komunikasi dan transfer informasi lebih mudah dan cepat, bahkan setiap saat, setiap orang, dapat saja bercurhat ria di wall media sosialnya tanpa harus menunggu teman bicara yang hadir secara fisik. Mulai dari urusan properti pribadi, keluarga, olahraga, kesehatan, hingga batu akik, semuanya bisa diceritakan kepada siapapun hanya dengan menekan tombol “Enter”. Bahkan, kita bisa mendapatkan broadcast message tentang pelbagai hal di group-group sosialitas keluarga, perumahan, pengajian, RT/RW, alumni sekolah, pekerjaan, klub olahraga, organisasi, hingga jual beli.

Demikian halnya untuk mendapatkan informasi, tidak perlu menunggu lama menunggu loker koran menghampiri, namun cukup duduk santai sambil meminum menikmati segelas kopi semua informasi tentang segala hal telah dapat diakses. Semuanya menjadi sangat dekat, cepat, dan kadang tak terlalu padat. Yah, mesin google yang merambah ke seluruh penjuru dunia dan maraknya portal berita online, ditambah lagi dengan sejumlah saluran televisi khusus berita, telah menjejali kita dengan ragam informasi yang kadang tak semuanya penting atau benar. Bahkan, untuk belajar suatu hal kita tidak perlu lagi mendatangi guru secara langsung, karena semua bisa didapatkan dengan berselancar di dunia internet atau menonton melalui saluran video terbesar yang kita sama-sama ketahui.

Di luar itu semua, situasi yang saat ini kita sama-sama alami adalah bahwa kita dibanjiri informasi yang terkadang sulit untuk dibendung dan difilter sesuai dengan kebutuhan kita, bahkan difilter dengan kesadaran kita sebagai manusia yang mempunyai nalar. Kalau boleh saya tegaskan lagi, “manusia yang mempunyai nalar”. Hal ini seringkali terjadi, bahkan sangat sering, apalagi sudah terkait dengan agama atau keyakinan kita. Dengan mendapatkan informasi dari media sosial, kita telan mentah-mentah informasi itu, terbawa oleh arus pikiran yang hendak ditransfer, dan tentunya menggerakkan jari kita untuk mem-forward pesan itu ke orang atau group social media lain yang ada di ponsel kita. Kalau tidak, seakan keimanan atau sensitifitas kita berkurang.

Padahal, kita sendiri tak pernah tahu siapa yang membuat pesan itu, tujuannya apa, apa benar sesuai dengan ajaran agama yang kita anut, dan yang terpenting berita itu valid atau tidak. Kita berlomba-lomba hendak menjadi penjaga kesucian agama, meski kadang kita sendiri tak punya banyak ilmu untuk menggali lebih lanjut info tersebut. Dulu, ketika ada guru dan pengajian rutin dilakukan, info yang beredar di masyarakat dapat saja dikonfirmasi ke guru dan arahan guru menjadi pegangan dan sikap diri. Sementara saat ini, meskipun ada segelintir orang saja yang bersedia bertanya, kebanyakan kita sepertinya lebih banyak terbawa emosi. Lagi-lagi, hal itu kemudian menghilangkan nalar kita. Setidaknya, dunia yang semakin instant ini semakin memanjakan kita untuk menerima informasi apa adanya dan mengambil tindakan-tindakan solusi yang juga instant.

Dunia Instant, Nalar dan Kekerasan

Kehilangan nalar ini pula yang membuat kita melupakan aspek terpenting dari dunia informasi ini, yaitu cek dan ricek. Dalam bahasa agama Islam, hal ini disebut dengan tabayyun. Tabayyun dilakukan ketika ada informasi yang meragukan karena dibawa oleh seorang yang fasik, demikian Alquran berfirman kira-kira. Nah, ketika informasi itu dikirimkan melalui media sosial, apalagi dengan tanpa nama pembuat pesan atau dikirimkan dengan link saluran portal atau website yang tidak kredibel, seharusnya hal itu juga dianggap sebagai informasi yang datang dari orang yang fasik. Maka itu, perlu dilakukan klarifikasi informasi atau tabayyun itu. Dengan tabayyun, setidaknya, kita tidak salah mengambil langkah dan menyesal di kemudian hari dengan sikap yang kita ambil tersebut.

Ada suatu contoh yang sangat menarik dalam kasus ini, yaitu ketika ada isu untuk membenci atau menyerang suatu kelompok agama/aliran/keyakinan tertentu. Biasanya, akan ada banyak informasi yang berseliweran dan memengaruhi informasi publik, yang kadang tidak semuanya benar. Modusnya hampir selalu sama, semua keburukan dan kejelekan yang dapat memunculkan emosi publik disematkan pada kelompok tersebut hingga akhirnya publik membenci dan marah. Ketika publik marah, massa seakan menjadi tumpukan daun kering yang tinggal dipantik dengan korek dan terbakar. Ibarat hutan Indonesia yang terbakar hampir setiap tahunnya, jiwa-jiwa itu menjadi kering, panas dan kekurangan siraman air, sehingga mudah untuk diprovokasi, disulut emosinya, dan akhirnya menyerang manusia yang lain.

Informasi yang masuk bertubi-tubi berhasil membuat jiwa-jiwa kita panas dan emosi, tanpa mempertimbangkan lagi apakah sesuai dengan kemanusiaan kita dan apakah agama kita sendiri sebetulnya membiarkan perlakukan kejam terhadap sesama. Sibuknya menekan tombol ponsel kadang melupakan kita untuk membaca kembali buku-buku agama, buku-buku akidah atau fikih, buku-buku tasawuf yang selalu menyejukkan, bahkan mencari informasi yang benar tentang suatu hal. Kita mengandalkan informasi singkat yang hanya terbatas pada sekian karakter atau sibuk mencari justifikasi pembenaran atas tindakan kekerasan. Suatu kali mungkin terbersit di antara, “Oh, wajar demikian, karena sesat”.

Entahlah apa yang ada di benak pembaca semua. Dalam hati saya, kok rasanya beringas sekali kita sebagai bangsa Indonesia yang dikenal ramah dan santun ketika membiarkan sekelompok orang yang hidup aman, memiliki rumah dan propertinya sendiri, keluarga yang damai dan menyejukkan, tiba-tiba harus diserang, dibakar, dan dijarah barang-barang dan sumber ekonominya. Saya sangka kita sudah cukup sensitif dengan kemanusiaan kita, karena kita berbondong-bondong mengecam persekusi terhadap Rohingya di Myanmar, mengutuk keras pelanggaran HAM di Palestina, dan mengecam tindakan-tindakan brutal di Tolikara. Ternyata, kita masih pilih kasih, kita masih mengamini bila serangan itu bukan terhadap diri atau kelompok kita. Kita masih pandang bulu ternyata, karena hati kita seakan mengiyakan bila yang dibakar dan diserang itu adalah kelompok yang selama ini kita anggap sesat. Dan, kita sendiri lupa bahwa suatu saat serangan itu bisa saja menyasar kita, keluarga atau orang terdekat kita sendiri, karena kekuasaan dan kekuatan politik dapat dengan mudah memutarbalikkan fakta dan menyerang mereka yang dianggap “menyimpang”.

 

Disclaimer: Maaf bila pembaca tak merasa seperti yang ditulis di atas, karena ini hanya luapan dari sejumlah pertukaran pikiran dan diskusi yang saya lakoni beberapa bulan, bahkan tahun, terakhir.

[*Tulisan selanjutnya tentang “Siapa yang Sesat dan Menyimpang?”]

Freedom to proselytize associated with lower religious hostilities, finds new analysis

The Weekly Update, Briam J. Grim, 23 February, 2015 | A new analysis by The Weekly Number shows that religious hostilities are consistently more likely to occur in countries where governments restrict proselytizing than in countries without such restrictions. For instance, looking at Pew Research data, hostilities over proselytizing are five times more likely in countries with laws restricting proselytism than in countries with no such restrictions. Also, hostilities over conversions are more than four times as likely in countries with laws restricting proselytism as in countries without restrictions. (See data chart at the end.)

These findings are notable because often the justification given for laws restricting proselytism is to prevent religious unrest.

Part of the unease with “proselytism” is that the term itself has taken on a negative connotation. In its neutral form, it simply means sharing one’s faith with others in an attempt to convince them to join your faith or belief. In this way, it is like any discussion where one person tries to get another to see the truth of his or her position.But objections to proselytism sometimes stem from being associated in the minds of some with either unwelcome preaching or coercive argument. And in some cases, accusations of forced conversions or even purchased conversions are associated with the term proselytization.

Certainly, coercion in matters of religion should be resolutely rejected.

But there are non-coercive missionary endeavors that people may still find objectionable. For some, proselytism is viewed as an intrusion into matters that are personal or cultural. In that way, it might be like an advertisement or argument from a company or political party one finds disagreeable. As long as you can change the station or turn the television off, then presumably no harm, no foul.

One of the most common faces of proselytism are the 75,000 young Mormon men and women volunteering as missionaries throughout the world with The Church of Jesus Christ of Latter Day Saints (LDS). On the one hand, in conversations with many former Mormon missionaries, some point to experiencing negative reactions to their proselytizing mission espousing a restored Christianity. Certainly, many parents who send their children off on their two-year missions have a dose of apprehension for the reception their children might face. But overwhelmingly, LDS missionaries report positive experiences, and it’s not uncommon for former missionaries to return to the places they served around the world later in life to do business or other forms of service. (For a Mormon perspective on their missionary work, see the last vignette of a missionary mom in the recent film, Meet the Mormons.)

While Mormons might be a visible missionary force, the two largest religions – Christianity and Islam in their various forms – are proselytizing faiths fielding hundreds of thousands of missionaries.

So, why might proselytizing be associated with lower religious hostilities? There are a number of plausible reasons, but I will name just three. First, religious hostilities tend to be highest when governments restrict religious freedom, which includes proselytism, as was established in my articles and book with Penn State professor Roger Finke. In The Price of Freedom Denied, we demonstrated that restrictions on religious freedom often accrue to the benefit of monopolistic religions and coercive governments. By contrast, when religious freedom is protected and people are free to persuade others of their beliefs, societies have a rich pluralism that gives space for moderate voices within religions.

Second, proselytism adds to this pluralism and moderation by taking religion from the shadows where violent extremism tends to grow and putting it into the public spotlight. Indeed, as I have argued, it is important for people of various faiths to engage people at risk of extremist radicalization with other faith arguments. To the extent that violent extremism feeds on the lack of informed religious understanding, proselytizing is one mechanism through which diverse and arguably less violent forms of religion can be explored. To be clear, I’m not advocating proselytism as a strategy to counter violent extremism, but certainly few would disagree that people lured down that path of radical violence need to be converted to a more peaceful and productive perspective.

And third, research by political scientist Robert Woodberry demonstrates historically and statistically that proselytizing Protestants heavily influenced the rise and spread of stable democracy around the world. His recent article in the American Political Science Review shows that such missions were a crucial catalyst initiating the development and spread of religious liberty, mass education, mass printing, newspapers, voluntary organizations, and colonial reforms, thereby creating the conditions that made stable democracy more likely. In a similar way, as proselytizing missionaries encounter human need, they are often the people on the ground calling for response. This ranges from Southern Baptists helping to bring in disaster relief to Ismaili Muslim missionaries tied to the great humanitarian resources of the Aga Khan Development Network.

 

What About Catholics

Pope Francis caused quite a stir when he said that the Lord “has invited us to preach, not to proselytize.”  To some, they may seem the same. But in his mind, they are apparently quite distinct. Citing Benedict XVI, he said that “the Church grows not to proselytize, but to attract.” And this attraction, he said, comes from the testimony of “those who proclaim the gratuity of salvation.”

Pope Francis also said during a weekly Sunday Angelus, addressing the skeptical in the crowd, that “the Lord is calling you to be a part of His people and He does it with great respect and love. The Lord does not proselytize; He gives love. And this love seeks you and waits for you, you who at this moment do not believe or are far away. And this is the love of God.” Pope Francis prayed that “all the Church” may be steeped in “the joy of evangelizing” invoking the aid of the Virgin Mary so that “we can all be disciple-missionaries, small stars that reflect His light.”

Various commentators have sought to explain his comments. Suffice it to say, with a term as potentially loaded as “proselytism,” Pope Francis seems to be adroitly pointing to the way many Catholics perceive as best to proselytize – through deeds and example, in addition to words.

3893838

Source: The Weekly Update

Should Islam Be Banned for ‘Defamation’?

By 

17 February 2015 | Soon after Muslim gunmen killed 12 people at Charlie Hebdo offices, which published satirical caricatures of Muslim prophet Muhammad, the Organization of Islamic Cooperation (OIC)—the “collective voice of the Muslim world” and second largest inter-governmental organization after the United Nations—is again renewing calls for the United Nations to criminalize “blasphemy” against Islam, or what it more ecumenically calls, the “defamation of religions.”

Yet the OIC seems to miss one grand irony: if international laws would ban cartoons, books, and films on the basis that they defame Islam, they would also, by logical extension, have to ban the entire religion of Islam itself—the only religion whose core texts actively and unequivocally defame other religions, including by name.

To understand this, consider what “defamation” means. Typical dictionary-definitions include “to blacken another’s reputation” and “false or unjustified injury of the good reputation of another, as by slander or libel.” In Muslim usage, defamation simply means anything that insults or offends Islamic sensibilities.

However, to gain traction among the international community, the OIC cynically maintains that such laws should protect all religions from defamation, not just Islam (even as Muslim governments ban churches, destroy crucifixes, and burn Bibles). Disingenuous or not, the OIC’s wording suggests that any expression that “slanders” the religious sentiments of others should be banned.

What, then, do we do with Islam’s core religious texts—beginning with the Koran itself— which slanders, denigrates and blackens the reputation of other religions? Consider Christianity alone: Koran 5:73 declares that “Infidels are they who say God is one of three,” a reference to the Christian Trinity; Koran 5:72 says “Infidels are they who say God is the Christ, [Jesus] son of Mary”; and Koran 9:30 complains that “the Christians say the Christ is the son of God … may God’s curse be upon them!”

Considering that the word “infidel” (kafir) is one of Islam’s most derogatory terms, what if a Christian book or Western cartoon appeared declaring that “Infidels are they who say Muhammad is the prophet of God—may God’s curse be upon them”? If Muslims would consider that a great defamation against Islam—and they would, with the attendant rioting, murders, etc.—then by the same standard it must be admitted that the Koran defames Christians and Christianity.

Indeed, it is precisely because of this that some Russian districts are banning key Islamic scriptures—including Sahih Bukhari, which is seen as second in authority after the Koran itself. According to Apastovsk district RT prosecutors, Sahih Bukhari has been targeted because it promotes “exclusivity of one of the world’s religions,” namely Islam, or, in the words of Ruslan Galliev, senior assistant to the prosecutor of Tatarstan, it promotes “a militant Islam” which “arouses ethnic, religious enmity.”

Similarly, consider how the Christian Cross, venerated among millions, is depicted—and defamed—in Islam: according to canonical hadiths, when he returns, Jesus (“Prophet Isa”) will destroy all crosses; and Muhammad, who never allowed the cross in his presence, once ordered someone wearing a cross to “throw away this piece of idol from yourself.” Unsurprisingly, the cross is banned and often destroyed whenever visible in many Muslim countries.

What if Christian books or Western movies declared that the sacred things of Islam—say the Black Stone in Mecca’s Ka’ba—are “idolatry” and that Muhammad himself will return and destroy them? If Muslims would consider that defamation against Islam—and they would, with all the attendant rioting, murders, etc.—then by the same standard it must be admitted that Islamic teaching defames the Christian Cross.

Here is a particularly odious form of defamation against Christian sentiment, especially to the millions of Catholic and Orthodox Christians. According to Islam’s most authoritative Koranic exegetes, including the revered Ibn Kathir, Muhammad is in paradise married to and copulating with the Virgin Mary.

What if a Christian book or Western movie portrayed, say, Muhammad’s “favorite” wife, Aisha—the “Mother of Believers”—as being married to and having sex with a false prophet in heaven? If Muslims would consider that a great defamation against Islam—and they would, with all the attendant rioting, murders, etc.—then by the same standard it must be admitted that Islam’s most authoritative Koranic exegetes defame the Virgin Mary.

Nor is such defamation of Christianity limited to Islam’s core scriptures; modern day Muslim scholars and sheikhs agree that it is permissible to defame and mock Christianity. “Islam Web,” which is owned by the government of Qatar, even issued a fatwa that legitimizes insulting Christianity. (The Qatari website also issued a fatwa in 2006 permitting burning people alive—only to take it down after the Islamic State used the fatwa’s same arguments to legitimize burning a Jordanian captive pilot.)

The grandest irony of all is that the “defamation” that Muslims complain about—and that prompts great violence and bloodshed around the world—revolves around things like cartoons and movies, which are made by individuals who represent only themselves; on the other hand, Islam itself, through its holiest and most authoritative texts, denigrates and condemns—in a word, defames—all other religions, not to mention calls for violence against them (e.g., Koran 9:29).

It is this issue, Islam’s perceived “divine” right to defame and destroy, that the international community should be addressing—not silly cartoons and films.

Source: http://www.theblaze.com/contributions/should-islam-be-banned-for-defamation/

———–

Raymond Ibrahim is author of the new book Crucified Again: Exposing Islam’s New War on Christians (Regnery Publishing 2013). A Middle East and Islam specialist, he is a Shillman Fellow at the David Horowitz Freedom Center and an associate fellow at the Middle East Forum. Ibrahim’s dual-background—born and raised in the U.S. by Coptic Egyptian parents born and raised in the Middle East—has provided him with unique advantages, from equal fluency in English and Arabic, to an equal understanding of the Western and Middle Eastern mindsets, positioning him to explain the latter to the former.

Hikmah: Kisah Rasulullah Mencoret Tujuh Kata

NU Online, Jumat, 05/04/2013

Sepotong sejarah penting dari banyak kisah perjalanan Islam periode awal adalah perjanjian hudaibiyah. Peristiwa ini tidak hanya menggambarkan ketegangan militer antara umat Islam dan musyrikin Quraisy tapi juga jejak diplomasi Rasulullah SAW.

Kesepakatan yang juga dikenal dengan sebutan ”shulhul hudaibiyah tersebut bermula dari rencana sekitar 1400 pengikut Rasulullah untuk menunaikan ibadah haji. Kaum musyirikin tidak rela. Mereka berupaya menghalangi pintu masuk kota Makkah dengan kekuatan militer yang cukup besar. 

Rasulullah yang tidak menginginkan peperangan pun lantas mengambil jalur perundingan.  Hasilnya, pada bulan Maret 628 M atau Dzulqaidah 6 H, perjanjian hudaibiyah diputuskan, di antaranya menyepakati adanya gencatan senjata dan kesempatan beribadah umat Islam di Makkah.

Hanya saja, perundingan ini sempat berlangsung alot dan cenderung merugikan umat Islam. Contohnya, muncul penolakan-penolakan terkait dengan sebagian redaksi pembuka perjanjian yang diusulkan Rasulullah, sebagaimana diterangkan dalam kitab Hayatus Shahabat

”Tulislah bismillahirrahmanirrahim (atas nama Allah yang maha rahman lagi maha rahim),” perintah Nabi kepada juru tulisnya, Ali bin Abi Thalib. 

Ar-Rahman? Aku tak mengenal dia,” sahut perwakilan musyrikin Quraisy, Suhail bin Amr, memberontak. ”Tulis saja bismika allahumma seperti biasanya!” 

Umat Islam yang mengikuti proses perundingan tidak terima dengan protes ini. Mereka mengotot akan tetap mencantumkan lima kata yang sangat dihormati itu (bi, ismallahar-rahmanar-rahim).

”Tulis saja bismika allahumma,” Nabi menenangkan. 

Nabi kemudian menyambung, ”Tulis lagi, hadza ma qadla ’alaih muhammad rasulullah (Inilah ketetapan Muhammad rasulullah).” 

”Sumpah, seandainya kami mengakui Engkau adalah rasulullah (utusan Allah), kami tak akan menghalangimu mengunjungi Ka’bah. Jadi tulis saja Muhammad bin Abdullah,” Suhail kembali memprotes.

”Sungguh aku adalah rasulullah meskipun Kalian mengingkarinya.” Akhirnya Nabi mengabulkan tuntutan musyrikin Quraisy untuk mencoret dua kata lagi, rasul dan allah. ”Tulislah Muhammad bin Abdullah saja,” pintanya kemudian. 

Menghindari pertikaian dan pertumpahan darah adalah sikap yang dijunjung tinggi Rasulullah. Perdamaian menjadi prioritas tujuan, meski isi kesapakatan “mengurangi” kebesaran nama agama pada tataran simbolis.

Penggalan sejarah ini megingatkan kita pada sejarah penyusunan asas Pancasila. Demi persatuan dan kerukunan bangsa Indonesia, Piagam Jakarta yang memuat butir sila pertama ”Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” akhirnya diubah. Mayoritas ulama dan umat Islam Tanah Air menyepakati pencoretan tujuh kata dalam butir itu sehingga menjadi ”Ketuhanan Yang Maha Esa”. (Mahbib Khoiron)

Source: NU Online

Pakistani Muslims Form Human Chain To Protect Christians During Mass (PHOTOS)

The Express Tribune  |  By Web Desk / Aroosa ShaukatPosted: 10/08/2013

Hand in hand as many as 200-300 people formed a human chain outside the St Anthony’s Church adjacent to the District Police Lines at the Empress Road, in a show of solidarity with the victims of the Peshawar church attack two weeks back, which resulted in over a 100 deaths. The twin suicide attack on All Saints church occurred after Sunday mass ended and is believed to be the country’s deadliest attack on Christians.

Source: Huffington Post

Artikulasi Pembaruan Nurcholish Madjid: Kekuatan dan Batas-batasnya

Oleh: Ihsan Ali Fauzi 

Mei ini Keluarga Besar Yayasan Paramadina memperingati 1.000 hari wafatnya Nurcholish Madjid (Cak Nur), tokoh pembaruan Islam di Indonesia. Bagaimana sebaiknya menaksir gagasan dan gerbong pembaruan yang ditariknya? Mengapa pesan besar yang ia sampaikan kedodoran belakangan ini?

Seraya meminjam dari sosiolog Robert Wuthnow, saya ingin melihat pembaruan sebagai produk budaya yang ditawarkan di dalam konteks sosial, ekonomi, dan politik tertentu. Kekuatannya terletak pada kemampuannya menyatroni sekaligus mengatasi konteks terdekat itu. Daya panggilnya kedodoran belakangan ini, saya kira, karena konteks yang berubah. Dus mungkin juga dibutuhkan warna panggilan pembaruan yang lain

Artikulasi

Wuthnow punya penjelasan menarik mengenai bagaimana produk budaya, termasuk ide yang ditawarkan sang produsen seperti Cak Nur, membawa perubahan sosial. Dalam Communities of Discourses (1989), ia menolak determinisme, baik ide/budaya ala Weber maupun kelas/ekonomi ala Marx. Sebaliknya, katanya, ”Saya lebih menekankan pada cara di mana ekspansi ekonomi berinteraksi dengan penataan institusi baru, yang pada gilirannya menstrukturkan konteks di mana para produsen [budaya] dan audiensnya berjumpa.” Di sini ekonomi penting, tapi secara tak langsung dan tak niscaya. Juga institusi yang tumbuh bersama ekspansi ekonomi. Yang krusial adalah bagaimana si produsen budaya mengelola resources yang tersedia akibat perjumpaan kedua faktor di atas.

Wuthnow juga menyatakan produk budaya yang besar selalu lahir dari pergulatan dinamis dan kreatif dengan lingkungan terdekatnya. Karya-karya itu tidak hanya memberi respons terhadap zamannya, tetapi sekaligus melampauinya. Katanya: ”They draw resources, insights, and inspiration from that environment: they reflect it, speak to it, and make themselves relevant to it. And yet they also remain autonomous enough from their social environment to acquire broader, even universal and timeless appeal.”

Kata Wuthnow, ini ”masalah artikulasi”. Tulisnya, ”Jika produk budaya tidak cukup menyantuni, tidak cukup nyambung dengan setting sosialnya, ia kemungkinan besar akan dipandang audiens potensialnya … sebagai tak relevan, tidak realistik, artifisial, dan amat abstrak, atau—lebih buruk lagi—para produsennya akan kecil kemungkinan memperoleh dukungan yang diperlukan untuk terus berkarya. Namun, jika produk budaya melulu ditujukan hanya menyantuni lingkungan sosial terdekatnya itu, mungkin sekali ia akan dipandang terlalu esoterik, parokial, terikat waktu, dan gagal menyedot perhatian audiens yang lebih luas dan dalam rentang waktu lebih panjang.”

Dekat, tapi tak melekat

Kerangka di atas dapat membantu kita menaksir kekuatan dan batas-batas gerbong pembaruan Cak Nur. Mari melihat teks dan konteksnya.

Teks terbaik adalah pidato Cak Nur yang menghebohkan itu, ”Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat” (1970). Inilah teks paling autentik produk Cak Nur. Yang lainnya, bagi saya, adalah catatan kaki, eksplorasi lebih jauh, atau kamuflase yang ia pandang penting untuk berdakwah. Bahwa teks itu menjadi produk publik secara tak disengaja, itu hanya menambah autentisitasnya.

Dalam teks ”proklamasi” pembaruan itu, Cak Nur mulai dengan menandaskan bahwa Islam di Indonesia sedang stagnan. Kaum Muslim menghadapi pilihan kritis: jalan pembaruan, yang meniscayakan peninjauan kembali makna Islam di dunia modern, dengan ongkos integrasi umat; atau pemeliharaan integrasi itu, dengan konsekuensi terus jumudnya pemikiran Islam dan hilangnya daya Islam sebagai moral force. Ia memilih jalur pembaruan, dan di ujung tulisannya ia mengusulkan proses liberalisasi berdimensi empat: sekularisasi, kebebasan intelektual, the idea of progress, dan keterbukaan.

Kekuatan gagasan itu adalah karena ia, meminjam Wuthnow, dekat tapi tak melekat dengan konteks terdekatnya. Pada tahun 1970-an dan sepanjang Orde Baru gagasan-gagasan itu nyambung dengan lingkungannya. Dalam teks di atas wakil terbaiknya adalah gagasan ”Islam Yes, Partai Islam No!” Penting diingat: Cak Nur tidak mengharamkan partai Islam. Yang ia katakan adalah bahwa partai Islam tidak niscaya merupakan wakil Islam; bagi seorang Muslim, mendukung partai Islam bukanlah sesuatu yang wajib.

Gagasan itu bergema di hati kelas menengah Muslim santri yang tertarik dengan panggilan Cak Nur untuk ”berdamai” dengan rezim—sebagian mereka malah berada di dalam rezim itu sendiri. Mereka ingin luar-dalam mencicipi pertumbuhan ekonomi yang rata-rata mencapai 6-8 persen per tahun, dengan ogah mengikuti garis Islam ”skripturalis”. Gara-gara gagasan Cak Nur itu, umat Islam tidak lagi merasa, meminjam Taufik Abdullah, ”Ahl Dzimmah di negeri mayoritas Muslim”. Yang juga tertarik menjadi audiens dan kemudian pendukung Cak Nur adalah kaum non-Muslim, juga nonsantri, yang merasa memperoleh semacam perlindungan dari ancaman Islam ”skripturalis”.

Gagasan itu juga sejalan dengan tumbuhnya institusi-institusi baru di dalam ataupun di luar rezim. Di dalam rezim ada kebijakan penciutan partai politik, program kerukunan umat beragama, dan lainnya, yang paralel dengan gagasan Cak Nur. Di luar rezim berlangsung Islamisasi yang secara umum terjadi di kota-kota besar (masjid atau musala di kantor-kantor, dsb). Generasi Muslim baru tumbuh, diwakili dengan baik oleh Cak Nur sendiri, yang harus ditampung dan ikut memainkan peran di dalam panggung yang lebih lebar: ”Indonesia”.

Harus juga disebutkan bahwa gagasan itu kukuh karena figur si pembawa gerbong. Latar pendidikan dan organisasi Cak Nur turut menopang substansi panggilannya. Ia dengan baik menguasai khazanah Islam, tetapi juga akrab dengan wacana modern. Ia kuat dalam lisan dan tulis. Lagi pun kepribadiannya yang santun, sederhana, dan jauh dari arogan membuatnya sulit diserang lawan-lawannya. Sebagai pembawa bendera, ia amat kredibel!

Namun, gagasan pembaruan juga timeless enough dan mengatasi kebutuhan jangka pendek masanya. Dalam teks di atas sisi yang lebih universal dan tahan lama ini kita temukan dalam panggilannya kepada sekularisasi (belakangan dilunakkan menjadi desakralisasi) sebagai realisasi tawhid, kebebasan intelektual, the idea of progress, dan keterbukaan.

Cak Nur menawarkan topangan Islam bagi tumbuhnya Indonesia yang modern dan partisipasi penuh umat Islam di dalamnya. Alih-alih menjadikan paham-paham di atas sebagai momok bagi Islam seperti umum dikenal sebelumnya, ia malah memandangnya sebagai bagian integral dari Islam yang modern dan menjanjikan. Dan yang lebih penting, bagi kalangan non-Muslim dan nonsantri, sokongan pembaruan atas paham-paham di atas memberi jaminan keislaman bahwa pluralisme Indonesia akan terus ditegakkan. Tidak heran jika, seperti sering diceritakan Cak Nur sendiri, pihak yang paling antusias menyambut proklamasi pembaruan adalah kalangan sekular Indonesia, seperti diwakili harian Indonesia Raya, Pedoman, dan Kami

Pada tingkat praktis, gagasan-gagasan yang timeless di atas menjadikan Cak Nur tidak enggan berseberangan dengan pemerintah, yang beberapa kebijakannya turut menguntungkannya. Pada 1971 dan 1977, misalnya, dalam rangka demokratisasi dan balancing-power politics, ia mendukung PPP. Baginya, ini penting dalam rangka ”memompa ban kempis” untuk menyeimbangi Golkar (pemerintah). Belakangan juga kita tahu bahwa Cak Nur menjadi salah seorang pionir dalam pengembangan budaya oposisi dan keterbukaan: ia terlibat dalam pembentukan KIPP, demokratisasi secara damai, dan seterusnya. Aliansi Cak Nur dengan banyak aktivis LSM berawal dari sini.

Ringkasnya, memarafrasekan Wuthnow, Cak Nur itu ”memanfaatkan sumber daya, ilham, inspirasi dari lingkungan terdekatnya: ia merefleksikannya, bicara kepadanya, menjadikan dirinya relevan dengannya. Namun, ia juga tetap cukup otonom dari lingkungan sosial terdekatnya itu sehingga ia bisa mewartakan seruan-seruan yang lebih luas, lebih universal, dan abadi.”

Pembaruan ditentang

Sekarang kita melihat bahwa formalisasi Islam, yang ditentang Cak Nur, menguat. Ada fatwa MUI yang mengharamkan liberalisme, misalnya. Juga kini tumbuh perda-perda syariat yang menggerogoti pesan-pesan universal Cak Nur. Bagaimana kita memaknai gejala ini?

Meminjam Wuthnow, kita harus menyebut beberapa kemungkinan. Pertama, konteks sosial, ekonomi, dan politik sekarang sudah berubah. Sekitar sepuluh tahun lalu (1996) Indonesianis R William Liddle menulis mengenai perseteruan antara kubu Cak Nur dan lawannya. Katanya, ”Optimisme saya [mengenai kemenangan kaum substansialis] berkurang karena pengakuan saya akan konteks sosial, ekonomi, dan terutama politik di mana kreativitas kaum substansialis berlangsung. Sebab … mereka diuntungkan konteks itu, dan dalam beberapa hal secara sadar telah memanfaatkannya untuk memperkuat posisi mereka. Juga jelas bahwa wilayah bermain yang tersedia sudah secara sengaja didesain untuk melemahkan posisi para pemikir dan aktivis Islam yang lain, khususnya kelompok skripturalis.” Konteks yang dimaksud Liddle adalah berbagai kebijakan dan langkah pemerintah Orde Baru yang, seperti saya kemukakan di atas, langsung ataupun tidak langsung menguntungkan posisi kaum substansialis.

Kini situasinya berubah. Semua orang di atas kertas kini bebas bicara dan berorganisasi. Dalam situasi seperti ini, demikian Liddle, ada tiga faktor yang membuat gagasan pembaruan memperoleh tantangan besar: (1) ajaran-ajaran kaum skripturalis yang lebih mudah diterima sebagian besar kaum Muslim; (2) kemungkinan aliansi politik kaum skripturalis dengan kelompok-kelompok sosial lain yang sedang tumbuh; dan (3) nafsu besar para politisi ambisius untuk membangun basis massa.

Saya kira ketiga faktor di atas cukup menjelaskan mengapa formalisasi Islam bergaung kencang belakangan ini. Mungkin kita perlu menambahkan beberapa faktor lain. Yang terpenting adalah ekonomi yang belum juga pulih.

Dalam khazanah ilmu sosial ada banyak penjelasan mengenai bagaimana deprivasi ekonomi dan alienasi psikologis akibat urbanisasi membuat orang cepat tertarik kepada ajaran yang serba mudah dan mengklaim serbabisa, seperti diwakili slogan ”Islam is the solution”. Impitan ekonomi, kepenatan pikiran dan jiwa membuat orang enggan mengunyah tawaran pikiran yang agak canggih Lagi pula, setelah sepuluh tahun reformasi, kita juga terus menyaksikan sebuah negara yang lembek sehingga tidak bisa memerintah dengan memadai.

Aliansi faktor-faktor ini memungkinkan kita untuk mengerti mengapa Jemaah Ahmadiyah di negeri yang katanya menjamin hak-hak asasi ini dikoyok-koyok seperti orang berpenyakit lepra. Dan di tengah-tengah keruntuhannya, alih-alih memberi perlindungan kepada mereka, seorang pejabat tinggi malah meminta mereka untuk tobat. Bukankah ini cermin tindakan politisi ambisius memancing di air keruh? Seakan mereka tidak mengerti bahwa di belahan dunia lain kaum Muslim adalah kelompok minoritas yang bisa diperlakukan seperti itu.

Para penerus Cak Nur sendiri perlu introspeksi diri. Gerbong pembaruan mungkin kurang baik mereka kelola. Mereka kurang berhasil mengeksploitasi resources yang ada untuk memperkuat gerbong itu dan menariknya lebih kencang. Sementara itu, sang penarik gerbong sendiri sulit digantikan, sedangkan para penerusnya gagal melembagakannya.

Peluang baru

Jika faktor-faktor di atas diperhatikan, mestinya tantangan terhadap gagasan pembaruan Cak Nur belakangan ini sudah bisa diantisipasi. Hal itu harus dihadapi sebagai akibat sampingan dari proses demokratisasi yang ikut diperjuangkan almarhum. Hak kaum Muslim ”skripturalis” untuk berbicara, berkelompok, dan berpartisipasi dalam kehidupan sosial dan politik adalah bagian integral dari kebebasan yang juga diperjuangkan almarhum. Sejauh kekerasan tidak digunakan, kita bahkan wajib membela hak-hak itu. Jika sebaliknya yang terjadi, kita harus mendesak pemerintah untuk menjalankan kewajiban pokoknya: ya, memerintah, to govern! Jika tidak, ini bukanlah sebuah negeri, apalagi negeri yang besar, melainkan sebuah hutan rimba.

Dalam konteks yang berubah ini, para penerus Cak Nur harus terus mengusahakan agar gagasan almarhum yang timeless dan universal terus bergema. Bukan karena kita ingin romantis, setia pada almarhum, tapi karena kita sebagai bangsa majemuk membutuhkannya. Sulit dibayangkan bahwa Indonesia akan bisa terus berdiri jika prinsip keterbukaan, kebebasan, dan pluralisme terus digerogoti. Sikap mundur dari prinsip ini akan merupakan kehilangan besar.

Di sini kaum Muslim ”skripturalis” berguna sebagai sparring partners. Sebisa mungkin komunikasi dengan mereka harus tetap dibuka. Kita sudah terlalu sering bicara dengan keluarga besar kita sendiri, preaching the converted! Seraya mempertajam gagasan-gagasan kita sendiri, kepada para penganjur perda syariat, misalnya, kita harus terus bertanya: bagaimana perda-perda itu akan dijalankan di tingkat praktis? Tugas apa lagi yang hendak dibebankan kepada polisi, yang sekarang saja sudah keteteran menjalankan kerjaannya? Jika seseorang tidak salat atau pacaran yang ditentang syariat tetapi tidak ketahuan, siapa yang bertanggung jawab? Bukankah perda-perda syariat dimaksudkan untuk memata-matai iman seseorang?

Akan halnya dengan gagasan-gagasan Cak Nur yang dimaksudkan untuk menyatroni konteks terdekatnya, kita mungkin harus memikirkan kembali relevansinya. Kadang saya merasa bahwa Cak Nur terlalu mekanis mengaitkan naiknya kelas menengah Muslim dengan bangkitnya etos Islam yang antikorupsi, misalnya. Juga tampak terlalu mekanis untuk menyatakan bahwa Islamisasi bahasa dalam sebutan Majlis Permusyawaratan Rakyat (yang semuanya berasal dari kata Arab) sejalan dengan Islamisasi si penghuni bangunan MPR. Selain itu, menyandarkan demokratisasi pada kelas menengah yang digaji (salaried middle-class), yang tidak otonom seperti saudara-saudara mereka di Eropa dua abad lalu, juga terbukti amat riskan.

Agar bisa menyatroni audiensnya sekarang, gagasan dan gerbong pembaruan harus lebih tanggap terhadap kesulitan ekonomi yang menerpa banyak orang belakangan ini. Juga terhadap dislokasi psikologis akibat gempuran urbanisasi dan globalisasi yang kadang dirasakan melawan rasa keadilan umum. Semuanya ini dapat dan harus dilakukan tanpa kita mengorbankan pesan-pesan abadi pembaruan.

Tanpa itu, gagasan pembaruan akan dianggap oleh para audiens terdekatnya sebagai tidak relevan, mengawang-awang. Gerbongnya hanya akan diisi oleh audiens-audiens yang tua, menjadikan gerbong itu hanya berjalan lambat dan tertatih-tatih. Peluit keretanya tidak akan disongsong para penumpang baru yang energik, pemilik sesungguhnya masa depan.

Ihsan Ali-Fauzi Direktur Program Yayasan Wakaf Paramadina

Sumber: Kompas | Kamis, 8 Mei 2008