Islam dan Negara

 

Penulis: Bachtiar Effendy

Buku ini membahas hubungan politik antara Islam dan negara di Indonesia. Penulisannya diilhami terutama oleh fenomena yang mengejutkan bahwa sejak berakhirnya kolonialisme Barat pada pertengahan abad ke-20, negara-negara Muslim (misalnya Turki, Mesir, Sudan, Maroko, Pakistan, Malaysia, Aljazair) mengalami banyak kesulitan dalam upaya mereka mengembangkan sintesis yang pas antara gerakan-gerakan dan gagasan-gagasan politik Islam dengan negara dalam lokalitasnya masing-masing. Di negara-negara tersebut, hubungan politik antara Islam dan negara ditandai oleh ketegangan-ketegangan yang tajam, jika bukan permusuhan. Sehubungan dengan posisi Islam yang menonjol di wilayah-wilayah tersebut, yakni karena kedudukannya sebagai agama yang dianut sebagian besar penduduk, ini tentu saja merupakan kenyataan yang menimbulkan tanda tanya. Kenyataan inilah yang telah menarik perhatian sejumlah pengamat Islam politik, dan mereka pun mengajukan pertanyaan: apakah Islam bisa sungguhsungguh sejalan dengan sistem politik modern, di mana gagasan negara-bangsa merupakan salah satu unsur pokoknya.

Unduh versi FDF DI SINI

 

AHMADIYAH DI PAKISTAN: Kebijakan Diskriminatif dan Politik Islam Fundamentalis

Oleh: Muhammad Hafiz

Silakan menyebutkan sumber bila mengutip tulisan ini

“Adalah salah memandang Pakistan telah melakukan yang terbaik untuk Ahmadiyah.

Setelah pelarangan Ahmadiyah dan menjadikan kelompok ini sebagai agama tersendiri di luar Islam, 

pelanggaran-pelanggaran yang terjadi justru semakin meningkat.”

Menurut data World Directory of Minorities, Ahmadiyah di Pakistan disebut juga kelompok Qadianis atau Lahori, yang banya di wilayah Punjab and Sind. Populasinya kira-kira 3 sampai 4 juta jiwa, 3.1%-4.2% dari populasi penduduk Pakistan. Bahasa yang digunakan adalah Punjabi, Sindhi, dan Urdu. Menurut Sensus Pakistan pada tahun 1999, jumlah pendudukan Pakistan secara keseluruhan sebanyak 145.5 juta jiwa. Muslim berjumlah 139.91 juta (96.16%), Ahmadiyah 509 ribu jiwa (0.35%), Hindu 1.4 juta jiwa (2.037%), dan Kristen 2.458 (1.69).[1]

Sebagai pusat dari kemunculan Ahmadiyah, Pakistan menjadi salah satu negara yang cukup serius berhubungan denganMirza Ghulam Ahmad kelompok minoritas Islam yang selalu diperdebatkan posisinya ini. Perdebatan ini telah muncul ketika Pakistan masih bersatu dengan India, bahkan Ahmadiyah menjadi salah satu pendukung kuat pemisahan Pakistan dari India yang dipelopori oleh Ali Jinnah. Untuk mensukseskan hal tersebut, Mirza Mahmood Bashir-ud-Din, putra Mirza Ghulam Ahmad, mengarahkan untuk memilih Liga Muslim dalam Pemilu 1946 dan menyatakan,[2] bahwa siapa saja yang tidak memilih Liga Muslim dianggap sebagai orang buangan. Jinnah menyambut baik sikap Ahmadi tersebut, bahkan Zafarullah Khan, salah seorang Ahmadi terkemuka, sempat menjadi Menteri Luar Negeri Pertama Pakistan.[3]

Kampanye Anti-Ahmadiyah di Pakistan baru terjadi sejak Maulana Usmani, salah seorang tokoh Islam militan Pakistan, berkuasa. Dengan menggandeng kelompok Ahrar,[4] salah satu gerakan separatis Islam, Maulana Usman menggalakkan kampanye anti-Ahmadiyah. Tidak hanya itu, kelompok Ahrar juga mendesak agar Menteri Luar Negeri, Zafarullah, dicopot dari jabatannya, seperti halnya pejabat tinggi militer dan pemerintah, pusat dan daerah, yang berasal dari Ahmadiyah.[5] Propaganda anti Ahmadiyah ini berlangsung sampai Konferensi Majlis-e-Ahrar (salah satu gerakan sparatis Islam di Pakistan) pada Mei 1948 di Punjab,[6] setelah terlebih dahulu menghapuskan sejarah peranan Ahmadiyah dalam pembangunan Negara Pakistan. Pada tahun berikutnya, Konferensi ini mengkampanyekan bahwa Ahmadiyah di luar Islam.[7]

Awalnya, pada bulan Maret 1949, sidang pertama Majelis Konstituante Pakistan mengenalkan sebuah resolusi (yang dikenal dengan Objective Resolution) yang seiring dengan DUHAM dan berjanji bahwa Konstitusi Pertama Pakistan ini akan membuat ketentuan yang memadai bagi non-muslim untuk menikmati kebebasan beragama secara penuh. Setelah Resolusi ini disahkan oleh Majelis Umum Pakistan inilah kelompok Ahrar mulai melancarkan serangan dan agitasinya kepada kelompok Ahmadiyah.[8] Pada era 1950-an kelompok fundamentalis Islam di Pakistan semakin kuat dan mengkampanyekan bahwa pemerintah Pakistan sangat tidak islami dan mulai menekan pemerintah Pakistan untuk mengubah sistem negara menjadi teokrasi Islam.

Abu A’la al-Maududi merupakan pimpinan gerakan baru ini, sebagai pimpinan Jamaat al-Islami (Party of Islam),[9] Abul Ala Al-Maududisebuah gerakan revivalis Islam Pakistan. Ia berusaha menyatukan aspirasi umat Islam Pakistan untuk mengucilkan Ahmadiyah dari Pakistan. Dengan ini, Parta Liga Islam Pakistan bertentangan dengan gagasan kelompok ini, baik dalam membentuk sebuah negara teokrasi di Pakistan ataupun teo-demokrasi kegiatan Jamaat al-Islami. Tindakan keras Pemerintah terhadap Jamaat justru menghasilkan sebuah demontrasi kekerasan terhadap kelompok Ahmadiyah oleh Jamaat al-Islami pada tahun 1953. Pada posisi ini, Pemerintah mengecam aksi kekerasan tersebut dan gerakan Jamaat al-Islami dan anti-Ahmadiyah dianggap menentang kebijakan Pemerintah Pakistan.[10]

Pada awal Maret 1953, kerusuhan besar terjadi di Punjab, Pakistan, yang terjadi sampai pertengahan April tahun ini. Hal ini dianggap sebagai ancaman dan kondisi yang mengkhawatirkan bagi Pemerintah Pakistan, sehingga menuntut adanya keterlibatan militer di Pakistan dan penetapan Darurat Militer di Punjab, Pakistan, sampai pertengahan Mei 1953. Sebelum adanya darurat militer, polisi di Punjab harus memukul mundur dan menembak beberapa perusuh, yang kemudian dapat mengamankan kerusuhan. Kerusuhan ini disebabkan oleh penolakan Khwaja Nazim ud-Din, sebagai Perdana Menteri Pakistan waktu itu, terhadap ultimatum yang dikirimkan kepadanya di Karachi pada 21 Januari 1953 oleh utusan Ulama di Majlis e-Amal.[11] Ultimatum ini mengatasnamakan kesepakatan partai dan seluruh umat Islam Pakistan yang dihasilkan dari All-Pakistan Muslim Parties Convention pada 16-18 January 1953. Ultimatum ini di antaranya berisi: “Jika dalam sebulan Komunitas Muslim Ahmadiyah atau kelompok Qoadiani tidak diumumkan sebagai kelompok minoritas non-muslim dan Muhammad Zafarullah Khan, Menteri Luar Negeri Pakistan, yang merupakan jemaat Ahmadi, atau anggota Ahmadiyah lainnya yang menempati posisi strategis di Negara tidak dihapus dari jabatan mereka, maka Majlis e-Amal terpaksa untuk melakukan tindakan langsung (rast iqdam). Menyikapi ultimatum ini, dalam rapat yang dilakukan oleh Kementerian Pusat dan perwakilan dari Provinsi Pakistan Barat pada tanggal 17 Februari 1983 diputuskan untuk menangkap para tokoh terkemuka Majlis e-Amal di Karachi dan beberapa pemimpin gerakan di Punjab. Kerusuhan ini merupakan akibat langsung dari penangkapan ini.[12]

Namun pada tahun 1954, Pemerintah melunak dan seakan memberikan porsi kepada kepada kelompok fundamentalis. Para Ulama Pakistan pun memanfaatkan propaganda Ahrar sebagai dasar untuk menyatukan kampanye menentang Ahmadiyah. Dua dekade dari sini, Ahmadiyah menjadi target kekerasan, penyerangan, dan diskriminasi di Pakistan. [13]

Dalam pemilihan umum tahun 1970, kelompok Ahmadiyah di Pakistan didukung oleh Presiden Buttho danZulfikar Ali Bhutto mengembalikan permasalahan Ahmadiyah kepada Majelis Nasional dan Majelis di Provinsi Punjab. Meskipun kuat mendorong diakuinya Ahmadiyah sebagai bagian dari Islam, voting dalam Konferensi Negara-negara Muslim tahun 1974 justru mengalahkan upaya tersebut dan Konferensi secara resmi melarang kelompok Ahmadiyah untuk menunaikan ibadah haji ke Mekah. Pada April – Mei 1974 terjadi gelombang kerusuhan di Pakistan terkait permasalahan Ahmadiyah, sehingga Buttho meninjau kembali posisi Ahmadiyah. Lalu, pada September tahun ini Majelis Nasional merevisi Konstitusi Pakistan dan menyatakan, bahwa orang-orang yang tidak percaya pada finalitas mutlak kenabian Muhammad secara hukum dianggap di luar Islam dan tidak memenuhi syarat untuk menjadi Presiden atau Perdana Menteri, menikahi perempuan muslim.[14] Amandemen ini mengubah Konstitusi tahun 1973 Konstitusi (Amandemen Kedua) 1974 (UU XLIX Tahun 1974) untuk mengubah Pasal 260. Hasil amandemen ini secara lengkap menyebutkan:

Article 260

“A person who does not believe is the absolute and unqualified finality of Prophethood of Muhammad (peace be upon Him) the last of the prophets or claims to be a prophet in any sense of the word or of any description whatsoever, after Muhammad (pboH) or recognises such a claimant as a prophet or a religious reformer, is not a Muslims for the purposes of the Costitution or Law.”

Secara umum, konteks keagamaan penduduk di Pakistan tidak menyetujui adanya Gerakan Ahmadiyah dan menganggap hal itu sebagai bid’ah. Politisi juga mendapatkan momentumnya untuk menjadikan Ahmadiyah sebagai agitasi politik agama mereka. Kekerasan yang terjadi hampir di seluruh Pakistan terjadi pertama kali pada tahun 1953. Suatu penelitian serius dilakukan dan menemukan fakta bahwa hal ini terjadi karena pertimbangan dan kepentingan politik dari para elit. Pada beberapa tahun kemudian, 1974, Zulfiqar Ali Bhutto menemukan momentum politik yang menguntungkan untuk mengatakan bahwa Ahmadiyah merupakan minoritas non-Muslim. Hal ini dilakukan setelah agitasi besar-besar di seluruh Pakistan terjadi, yang direkayasa oleh Pemerintah  dan dilaksanakan oleh Mullah. [15] Saat pemilu tahun 1970, Buttho memang diuntungkan dengan suara Ahmadiyah dan memberikan janji politik kepada kelompok Ahmadiyah untuk diakui, tetapi pada perjalanannya, demi mendapatkan dukungan politik dari Ulama, dengan mengorbankan Ahmadiyah.[16]

Diskriminasi terhadap kelompok Ahmadiyah ini belum terjadi signifikan sampai politik Islamisasi hukum Pakistan dilakukan oleh Buttho setelah maraknya desakan dan dorongan dari kelompok muslim, termasuk partai Islam. Dalam proses ini, selain laranang terhadap Ahmadiyah, muncul pula UU yang melarang minuman keras.[17] Pada tahun 1978, setelah 25 tahun didesak oleh kelompok muslim militan, Zulfiqar Ali Buttho kemudian menerima permintaan dari kalangan Muslim mayoritas untuk menetapkan Ahmadiyah sebagai kelompok minoritas non-Muslim.[18]

Kemudian, diktator militer Pakistan, Zia al-Haq melanjutkan agitasi tersebut secara lebih kuat lagi. Pada tahun 1984, ketika ia mendapatkan dukungan kuat dari fundamentalis  Islam di Pakistan, ia mengeluarkan suatu kebijakan Anti Ahmadiyah, yang dikenal dengan Ordonansi XX Tahun 1984 dan penambahan Bagian 298-B dan 298-C dalam KUHP Pakistan. Pada masa ini, melalui UU, para Ahmadi tidak diberikan hak dasar mereka sebagai manusia dan hak kebebasan meyakini apa yang mereka imani, karena beberapa kebijakan ini telah mengkriminalisasi aktivitas kelompok Ahmadi Pakistan.[19] Dalam konteks inilah, baik Buttho atau Zia sama-sama memanfaatkan Ahmadiyah sebagai target popularitas politik mereka di hadapan mayoritas muslim Pakistan yang menolak Ahmadiyah.[20]Zia Ul Haq

Sejak pemerintah militer Jenderal Zia-ul-Haq melakukan dan memulai gelombang penganiayaan di tahun 1980, kekerasan terhadap komunitas Ahmadiyah tidak pernah benar-benar berhenti. Ahmadi terus dibunuh dan terluka, rumah-rumah dan bisnis milik mereka dibakar dalam serangan anti-Ahmadi. Pihak berwenang terus melakukan penangkapan, memenjarakan dan menuduh kelompok Ahmadiyah untuk menghujat dan pelanggaran lain,  karena kepercayaan agama mereka. Dalam beberapa kasus, polisi telah terlibat dalam pelecehan dan pembuatan tuduhan palsu terhadap Ahmadiyah atau juga mengambil posisi berhadap-hadapan dengan kelompok anti-Ahmadi.[21]

Pada tahun 1990-an, selain banyaknya korban kriminalisasi kelompok Ahmadiyah oleh Pemerintah Pakistan, serangan terhadap kelompok Ahmadiyah pun semakin garang. Resim Anti Ahmadiyah di Pakistam semakin bercokol, bahkan memberikan kekuasaan kepada Pemerintah untuk menghukum secara bebas praktik keagamaan Ahmadiyah sebagai suatu bentuk ke-mutrad-an, sehingga praktik kekerasan terhadap Ahmadiyah meningkat tajam.[22]

Discriminatory Laws

Kelompok Ahmadi di Pakistan menjadi target kekerasan. Para kelompok ekstremis keagamaan di Pakistan melakukan kekerasan tersebut, di antaranya didorong oleh beberapa peraturan hukum yang ada di Pakistan,  yaitu keputusan peradilan, hukum dan prosedur yang tertuju kepada kelompok Ahmadi, yang semuanya melanggar kebebasan dasar konstitusional dan hukum internasional dan membenarkan pembunuhan terhadap kaum Muslim Ahmadi yang tidak bersalah, seperti pada peristiwa Pembantaian Lahore.[23]

Selain itu, Islam yang menjadi dasar negara Pakistan berimplikasi pada mandat Konstitusi kepada Parlemen untuk secara spesifik melakukan islamisasi hukum. Kewenangan ini kemudian membawa hukum negara menjadi sesuai dengan hukum Islam dan Konstitusi (1973) ini menjadi legitimasi adanya islamisasi hukum.[24]

1.   Konstitusi Pakistan

Republik Islam Pakistan merupakan Negara yang berdasarkan pada Agama Islam. Hal ini tercantum jelas di dalam Konstitusi Pasal 1 ayat (2) yang menyebutkan: “Islam shall be State Religious of Pakistan”.[25]  Dari sini kemudian Pemerintah Pakistan memastikan rakyatnya secara konstitusional dapat menikmati kehidupan keberagamaan mereka sesuai prinsip-prinsip  dan konsep dasar Islam untuk memahami arti kehidupan berdasarkan pada Al-Qur’an dan Sunnah.[26] Kemudian ditegaskan pada ayat selanjutnya Pasal 31 Konstitusi ini, bahwa Negara akan mengakui dan menghormati hak setiap umat Islam Pakistan. Dengan keketapan ini, Pakistan menjadi negara modern pertama yang menjadikan agama (Islam) sebagai dasar Negara. Dalam pada itu, Pakistan menghadapi cukup banyak permasalahan, baik dalam pendefinisian Syariat pada masa perumusan Konstitusi ataupun secara politik ketika pergantian kepemimpinan di Pakistan. Fakta sejarah membuktikan, isu tentang penerapan dan substansi Syariat Islam menjadi salah satu aspek penting dalam suksesi kepemimpinan (Presiden) di Pakistan. [27]

Pasal 260

In the Constitution and all enactments and other legal instruments, unless there is anything repugnant in the subject or context Muslim”

  1. Means a person who believes in the unity and oneness of Almighty Allah, in the absolute and unqualified finality of the Prophethood of Muhammad (peace be upon him), the last of the prophets, and does not believe in, or recognize as a prophet or religious reformer, any person who claimed or claims to be a prophet, in any sense of the word or of any description whatsoever, after Muhammad
  2. “Non-Muslim” means a person who is not a Muslim and includes a person belonging to the Christian, Hindu, Sikh, Buddhist or Parsi community, a person of the Quadiani Group or the Lahori Group who call themselves ‘Ahmadis’ or by any other name or a Bahai, and a person belonging to any of the Scheduled Castes

Sebagaimana dalam Konstitusi di atas, Pakistan memposisikan Ahmadiyah pada posisi yang sangat diskriminatif. Pengucilan secara konstitusional ini tidak hanya mewujud dalam Konstitusi, tetapi juga menjadi justifikasi kelompok militan Islam untuk melakukan penganiayaan, penyerangan, dan kekerasan terhadap kelompok Ahmadi. Konstitusi ini menjadi senjata politik yang efektif bagi kelompok ini.[28]

2.   Ordinance No. XX of 1984 (The Gazette of Pakistan, Islamabad, Thursday, 26 April 1984 No.F.17 (1) 84-Pub.)

Hukum Pidana Pakistan merupakan warisan hukum dari Inggris, beriis empat bagian, yang dapat dikatakan seiring dengan kebebasan beragama, terutama Pasal 295 dan 298. Sisanya adalah tambahan dalam proses revisi yang dilakukan selama Pemerintahan Zia al-Haq pada tahun 1980-an. Tambahan tersebut selesai pada tahun 1985 dan dilanjutkan oleh masyarakat yang memberikan masukan ketika di bawah kekuasaan Jenderal Zia. [29]

Dalam UU yang direvisi pada tahun 1984 ini, Parlemen Pakistan telah meloloskan peraturan yang menargetkan kelompok agama minoritas, yaitu dengan beberapa point larangan: menghukum mencemarkan Al Qur’an, larangan terhadap menghina para istri, keluarga, atau sahabat Nabi Islam, dan dua undang-undang khusus membatasi kegiatan-kegiatan Ahmadi, yang dikenal sebagai “Ordonansi XX.” Undang-undang yang mengkriminalisasi perilaku Islam oleh Ahmadi Muslim, termasuk ibadah dasar.

Pasal 3 Bagian II UU ini tentang Perubahan Hukum Pidana Pakistan Act XLV of 1860), menyebutkan:

Addition of new sections 298B and 298C, Act XLV of 1860. In the Pakistan Penal Code (Act XLV of 1860), in Chapter XV, after section 298A, the following new sections shall be added, namely: 298B. Misuse of epithets, descriptions and titles, etc., reserved for certain holy personages or places:

(1)  Any person of the Qodiani group or the Lahori group (who call themselves ‘Ahmadis’ or by any other name) who by words, either spoken or written, or by visible representation:

(a)  refers to, or addresses, any person, other than a Caliph or companion of the Holy Prophet Muhammad (peace be upon him), as ‘Ameer-ul-Mumineen’ [Leader of the Faithful], ‘Khalifa-tul-Mumineen’ [Caliph of the Faithful], ‘Khalifa-tul-Muslimeen’ [Caliph of the Muslims], ‘Sahabi’ [Companion] or ‘Razi Allah Anho’ [May God Be Pleased With Them];

(b) refers to, or addresses, any person, other than a wife of the Holy prophet (peace be upon him), as ‘Ummul-Mumineen’ [Mother of the Faithful];

(c)  refers to, or addresses, any person, other than a member of the family (Ahle-bait) of the Holy Prophet Muhammad (peace be upon him), as Ahle-bait; or

(d) refers to, or names, or calls, his place of worship as ‘Masjid’ [Mosque]; shall be punished with imprisonment of either description for a term which may extend to three years, and shall also be liable to fine

(2) Any person of the Qadiani group or Lahori group (who call themselves ‘Ahmadis’ or by any other name) who by words, either spoken or written, or by visible presentation, refers to the mode or form of call to prayers followed by his faith as ‘Azan’, or recites Azan as used by the Muslims, shall be punished with imprisonment of either description for a term which may extend to three years, and shall also be liable to fine. 298C. Person of Quadiani group, etc., calling himself a Muslim or preaching or propagating his faith.

(3) 298C. Person of Quadiani group etc., calling himself a Muslim or preaching or propagating his faith. Any person of the Quadiani group or the Lahori group (who call themselves ‘Ahmadis’ or by any other name) who directly or indirectly, poses himself as a Muslim, or calls, or refers to, his faith as Islam, or preaches or propagates his faith, by words, either spoken or written, or by visible representations, or in any manner whatsoever outrages the religious feelings of Muslims, shall be punished with imprisonment of either description for a term which may extend to three years and shall also be liable to fine.[30]

Menurut pemantauan yang dilakukan oleh HRW, Ordonansi XX ini melemahkan kegiatan kelompok agama minoritas secara umum, tetapi secara khusus menimpa kelompok Ahmadiyah, terutama dalam pelarangan kelompok Ahmadiyah untuk  secara “langsung atau tidak langsung mengaku/bersikap sebagai seorang Muslim.” Kelompok Ahmadiyah kemudian tidak bisa lagi menyatakan keimanan mereka, baik secara lisan maupun tertulis. Polisi Pakistan mengancurkan terjemahan dan tafsir tentang Kelompok Ahmadi terhadap al-Quran dan melarang publikasi Ahmadi, termasuk pula penggunaan setiap istilah Islam di undangan pernikahan Ahmadi, persembahan doa-doa Ahmadi dalam pemakaman, dan menampilkan Dua Kalimat Syahadat (pernyataan bahwa “tidak ada Tuhan selain Allah, Muhammad adalah nabi Allah”) pada batu nisan Ahmadi. Selain itu, Ordonansi XX juga melarang kelompok Ahmadiyah untuk menyatakan keimanan mereka secara terbuka, menyebarkan keimanan, membangun masjid, atau membuat panggilan untuk doa bagi umat Islam. Singkatnya, hampir semua tindakan publik ibadah atau ketaatan oleh Ahmadi dapat diperlakukan sebagai tindak pidana.[31]

3.  Penambahan Pasal 295C dalam Hukum Pidana Pakistan (revisi)

Penyisipan bagian baru 295-C, UU XLV pada tahun 1860. Dalam KUHP Pakistan (UU XLV of 1860), setelah bagian 295-B, tambahan ini dimasukkan, yaitu:

“295-C, Use of derogatory remarks, etc., in respect of the Holy Prophet. Whoever by words, either spoken or written, or by visible representation, or by any imputation, innuendo, or insinuation, directly or indirectly, defiles the sacred name of the Holy Prophet Muhammad (peace be upon him) shall be punished with death, or imprisonment for life, and shall also be liable to fine.”

(“295-C, Penggunaan komentar menghina, dll, sehubungan dengan Nabi saw”. Barangsiapa dengan kata-kata, baik lisan atau tertulis, atau dengan representasi terlihat, atau oleh tuduhan atau sindiran, secara langsung atau tidak langsung, mengotori kesucian Nabi Muhammad (saw) harus dihukum dengan kematian, atau penjara seumur hidup, dan juga dikenakan denda.”)

Kriminalisasi Penghujatan/Fitnah dalam Hukum Pidana Pakistan (PPC)

PPC

Penjelasan

Sanksi

295 Injuring or defiling places of worship, with intent to insult the religion of any class Up to two years’ imprisonment or with fine or with both
295A Deliberate and malicious acts intended to outrage religious feelings of any class by insulting its religion or religious beliefs Up to ten years’ imprisonment, or with fine, or with both
295B Defiling, etc. of Holy Quran Imprisonment for life
295C Use of derogatory remarks, etc; in respect of the Holy Prophet Death and fine
298A Using derogatory remarks about holy personages three years
298B Misuse of epithets or titles of holy people three years
298C Persons of Qadiani (Ahmadi) Group claiming to be Muslim three years.

Sumber: Religious Persecution of Ahmadiyya Muslim Community, 2010

4. UU Larangan perayaan Acara Centenary (Seratus Tahun)

Pada tahun 1989, para Ahmadi Muslim Community hendak merayakan seratus tahun Ahmadiyah,[32] namun Hakim Distrik Jhan mengeluarkan peraturan yang melarang kegiatan tersebut. Dalam keputusan ini, Hakim Disktrik Jhang, Muhammad Saleem, menyatakan bahwa Kelompok Qadian di Jhan tetap merencakan Acara Seratus Tahun, pada 23 Maret 1989, sehingga hal ini cenderung mengganggu ketenangan publik dan menimbulkan bahaya bagi kehidupan masyarakat.

Keputusan ini didasarkan pada Larangan kegiatan di Provinsi Punjab ini oleh Dinas Departemen Dalam Negeri dalam surat No. 7-1-H-SPL-L11/88 tanggal 23 Maret 1989. Keputusan ini juga mengacu kepada Pasal 298-C Hukum Pidana Pakistan, sebagaimana tercantum di atas. Berdasarkan dua landasan ini, Hakim Distrik Jhang memikili otoritas untk melarang kegiatan tersebut, karena dikhawatirkan akan menimbulkan bahaya terhadap kehidupan manusia, serta mengganggu ketertiban umum. Dari sini kemudian Hakim Jhang melarang kegiatan dalam bentuk:

  • Pencahayaan pada bangunan dan tempat.
  • Pembuatan dekorasi pada gerbang.
  • Menggunakan loadspeaker atau megaphone.
  • Mengadakan perayaan secara besar-besaran.
  • Memamerkan slogan
  • Mendistribusikan pamblet dan poster
  • Menunjukkan spanduk, banner, atau bendera.
  • Membagikan manisan (permen) dan makanan
  • Kegiatan lain yang langsung atau tidak dapat melukai perasaan umat Islam. [33]

PERSEKUSI TERHADAP KELOMPOK AHMADIYAH

Menurut catatan Religious Persecution of Ahmadiyya Muslim Community, persekusi terhadap kelompok Ahmadiyah telah terjadi sejak tahun 1940-an. Pada tahun ini, salah seorang tokoh terkemuka Ahmadiyah dan merupakan sahabat dari Mirza Ghulan Ahmad mati dibunuh bersama dengan isteri dan anak perempuannya di Ambala, India. Pada tahun 1984, terjadi 6 kasus pembunuhan, di antaranya adalah Choudhry Naseer Ahmad Sahib dibunuh di Kashmir, Dr. Mahmood Ahmad dibunuh di Quetta, Pakistan, Manzoor Ahmad Ojalvi, Abdul Razaq, Mohammad Aslam Mangut, Barkat Ali, dan Allah Rakha, semuanya dibunuh di Kashmir. Pada tahun 1949, 5 kasus pembunuhan, yaitu Sakhi Mung, Mian Ghulam Yaseen, Mohammad Khan, Basheer Ahmad dan Abdur Rehman Riaz. Demikian pula pada tahun 1950, tercatat Sahibzada Mohammad Akram Khan, Ghulam Mohammad Master dan Badar Din Chaudhry dibunuh. Pada tahun ini pula, mulai terjadi Penyiksaan dan melempari batu pada Jalsa (jemaat) dari Jamaah Ahmadiyah Sialkot (19 Januari) dan 7 orang disiksa di Okara Ahmadiyah, muka mereka dicat dengan tinta hitam. Lumpur dan debu yang dilemparkan kepada mereka.[34]

Secara umum, gambaran persekusi terhadap Jemaat Ahmadiyah di Pakistan meningkat dari tahun ke tahun, terutama sejak kebijakan pemerintah pakistan memosisikan Ahmadiyah sebagai kelompok non-muslim minotitas di Pakistan. Pada periode tahun 1950 – 1960 terdapat 31 kasus kekerasan terhadap Ahmadiyah dan pada periode 1961 – 1970 hanya terdapat 6 kasus. Persekusi meningkat tajam pada periode 1971 – 1980 terdapat 85 kasus kekerasan terhadap Ahmadiyah. Demikian pula pada periode 1981 – 1990 terdapat 122 kasus kekerasan terhadap Ahmadiyah dan 134 kasus kekerasan pada periode 1991 – 2000.[35]

KESIMPULAN

Dari penjelasan di atas, baik terkait dengan sosial-politik keagamaan Ahmadiyah ataupun posisi legal-yuridisnya di Pakistan, ada beberapa kesimpulan yang dapat dikemukakan, di antaranya adalah:

Pertama, perkembangan Ahmadiyah di Pakistan tidak luput dari politisasi Syariat Islam di Pakistan, yang digunakan oleh kelompok Islam fundamentalis untuk menekan pemerintah yang sedang berkuasa. Dari proses politik di Pakistan, terbukti bahwa politisasi ini berhasil dilakukan, karena kelompok fundamentalis juga didukung oleh muslim mayoritas.

Kedua, akibat dari politisasi ini, kelompok Ahmadiyah Pakistan mengalami diskriminasi dari Pemerintah Pakistan dan menjadi target kekerasan yang dari masyarakat sipil, terutama dari kelompok muslim mayoritas.

Ketiga, upaya pemerintah Pakistan untuk menghentikan persekusi dan mengikuti desakan dari kelompok Islam fundamentalis untuk melarang Ahmadiyah dan memutuskan bahwa Ahmadiyah menjadi bagian non-Muslim minoritas ternyata juga tidak memberikan jawaban terhadap kebebasan beragama penganut Ahmadiyah. Pada praktiknya, meskipun kebijakan diskriminatif yang menempatkan Ahmadiyah sebagai kelompok minoritas non-muslim pada tahun 1978, persekusi atau kekerasan terhadap Ahmadiyah juga tidak selesai. Bahkan, kekerasan cenderung meningkat, karena mendapatkan legitimasi dari negara.

Keempat, secara politik, sikap lemahnya pemerintah untuk mengikuti desakan kelompok fundamentalis Islam justru tidak akan memberikan jawaban terhadap prospek kebebasan beragama di suatu negara, justru sebaliknya, semakin desakan tersebut diikuti dan diberikan peluang oleh Pemerintah, justru gerakan itu semakin menguat dan bertindak semena-mena, seakan mendapatkan legitimasi dari Negara.


[1] Population Association of Pakistan, diakses dari http:/ /www.pap.org.pk/ statistics/ population.htm

[2] Liga Muslim didirikan pada tahun 1906 sebagai wadah bagi semua rakyat Muslim India untuk melindungi kepentingan umat Islam, ketika India dikuasai oleh Muslim Inggris dan meng-counter perkembangan politik Indian National Congress (1885). Peter R. Blood., ed., Pakistan: a Country Studiy, (Washington: Departmen of the Army, USA, 1995), h. 215.

[3] “Pakistan: Since the Second Amandement”, Ahmadiyah Times, (Rabu, 30 Juni 2010).

[4] Kelompok Ahrar awalnya merupakan partai Nasionalis, tetapi keluar dari Kongres dan mengadakan pertemuan di Lahore pada 4 mei 1931 dan mendirikan Majlis al-Ahrar al-Islam. Lihat, Report of the Court of Inquiry constituted under Punjab Act II of 1954 to Inquire into the Punjab Distrubances of 1953. Laporan ini merupakan penyelidikan terhadap kerusuhan yang dilakukan oleh Muhammad Munir dan Malik Rustam, yang secara langsung ditunjuk oleh Gubernur Punjab, dengan tujuan untuk: 1) menuju kepada penetapan Darurat Militer di Punjab pada tanggal 6 Maret 1953; 2) tanggung jawab atas kerusuhan ini; 3) tindakan yang diambil oleh Pemerintah Provinsi untuk mencegah dan memangani kerusuhan ini. (Laporan diterbitkan di Lahore, Superintendent, Govermnment Printing, Punjab, 1954), h. 10.

[5] “Pakistan: Since the Second Amandement”, Ahmadiyah Times, (Rabu, 30 Juni 2010); Secara historis, serangan atau kriminalisasi kelompok Ahmadiyah terjadi pertama kali di Afghanistan pada tahun 1924. Pada tahun 1903, Mirza Ghulam Ahmad sempat datang ke Afghanistan dan menyatakan diri sebagai pembaharu. Namun, saat itu Mirza Ghulan Ahmad telah dituduh murtad dan keluar dari Islam. Pada tahun 1924, terjadi eksekusi (hukuman mati) pertama terhadap salah seorang Ahmadis. Lihat, “Stoning to Death of Ahmadis in Afghanistan and The ‘Ash-Shahab’”,  Report of The Court of Inquiry, diakses dari http://www.thepersecution.org/archive/munir/p17.html

[6] Dalam pemerintah Liga Muslim, Punjab merupakan salah satu wilayah yang dilindungi oleh Pemerintah. Acara atau kegiatan besar yang diselenggarakan oleh kelompok Islam militan dilarang untuk dilakukan di sini, karena dapat mengancam konflik horizontal atau kekerasan fisik kepada kelompok Ahmadiyah. Pelangaran ini bahkan dinyatakan dalam Surat Edaran Gubernur Punjab No. C/347, SBB dt: 2 July, 1935. Penyelenggaan Konferensi Majelis Ahrar ini dapat dikatakan sebagai salah satu kemenangan kelompok militan Islam di Pakistan. Bashir Ahmad, Ahmadiyya Movement: British-Jewish Connection, (Islamabad: Islamic Study Forum, 1994), h. 173.

[7] “Pakistan: Since the Second Amandement”, Ahmadiyah Times, (Rabu, 30 Juni 2010);

[8] Amjad Mahmood Khan, “Persecution of the Ahmadiyya Community in Pakistan: An Analysis Under International Law and International Relations”, Harvard Human Rights Journal, Vol. 16, tahun 2003, h. 223.

[9] Kelompok ini didirikan pada tahun 1941 sebagai kelompok oposisi terhadap Gerakan Liga Muslim Pakistan. Jamaat al-Islami beroposisi terutama pada gagasan sekular pemimpin-pemimpin Liga Muslim. Lihat, Ian Talbot, Pakistan: A Modern History, (USA: St. Martin’s Press, 1998), h. 407.

[10]Amjad Mahmood Khan, “Persecution of the Ahmadiyya Community in Pakistan”, h. 224.

[11] Report of the Court of Inquiry constituted under Punjab Act II of 1954, h. 240.

[12] Report of the Court of Inquiry constituted under Punjab Act II of 1954, h. 1

[13]Amjad Mahmood Khan, “Persecution of the Ahmadiyya Community in Pakistan”, h. 224.

[14] http://www.faqs.org/minorities/South-Asia/Ahmadis-of-Pakistan.html

[15] Religious Persecetion of Ahmadiyya Musim Community, Annual Report 2010: Persecetion of Ahmadis in Pakistan during the Year 2010, (Pakistan, 2010), h. 3-4.

[16] Syed Rashid Ali, “Anti Qadiani Ordinance of 1984”, Anti dalam Ahmadiyya Movement in Islam, (Januari 2001), diakses dari http://alhafeez.org/rashid/constipak1.html

[17] Dr. Richard Blue and Richard Hoffman, Esq., Pakistan Rule of Law Assessment – Final Report, (USAID- November 2008), h. 6.

[18] Parvaiz Iqbal Cheema, dkk., Political Role Religious Communities in Pakistan, (Pakistan: Islamabad Policy Research Institute, Oktober 2007), h. 16.

[19] Religious Persecetion of Ahmadiyya Musim Community, Annual Report 2010: Persecetion of Ahmadis in Pakistan during the Year 2010, (Pakistan, 2010), h. 3-4.

[20] Syed Rashid Ali, “Post Anti Qadiani Ordinance of 1984” dalam Anti Ahmadiyya Movement in Islam, (31 Januari 2000), http://alhafeez.org/rashid/constipak2.html

[21] HRW, Pakistan: Massacre of Minority Ahmadis, MAY 31, 2010, http:/ /www.hrw.org/ en/ news/ 2010/ 05/ 31/ pakistan-massacre-minority-ahmadis

[22] Amjad Mahmood Khan, “Persecution of the Ahmadiyya Community in Pakistan”, h. 224; Lihat daftar kasus-kasus persekusi terhadap Ahmadiyah pada Lampiran.

[23] “Anti-Ahmadi Laws”, Repeal Now: A Human Rights Campaign to Abolish Religious in Pakistan, diakses dari http:/ /www.repealnow.net/ index.php? option= com_ content&view= article&id=103&catid=1

[24] Dr. Richard Blue and Richard Hoffman, Esq., Pakistan Rule of Law Assessment, h. 6

[25] Pasal 1 ayat (2) The Constitution of the Islamic Republic of Pakistan, diamandemen terakhir pada 31 Juli 2004.

[26] Hal ini dicantumkan dalam Konstitusi Republik Islam Pakistan Pasal 30 ayat (1).

[27] Lihat, Taufik Adnan Amal dan Samsu Rizal Panggabean, Politik Syariat Islam: Dari Indonesia hingga Nigeria, (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2004), h. 138

[28] Amjad Mahmood Khan, “Persecution of the Ahmadiyya Community in Pakistan: An Analysis Under International Law and International Relations”, Harvard Human Rights Journal, Vol. 16, tahun 2003, h. 223.

[29] Farooq Hassan, “Religious Liberty in Pakistan: Law, Reality, and Perception”, dalam Brigham Young University Law Review, 6/6/02, h. 292

[30] Lihat lebih lanjut http://www.thepersecution.org/50years/paklaw.html

[31] HRW, Pakistan: Massacre of Minority Ahmadis, MAY 31, 2010, http:/ /www.hrw.org/ en/ news/ 2010/ 05/ 31/ pakistan-massacre-minority-ahmadis

[32] Menurut catatan awal berdirinya Ahmadiyah, yang ditandai dengan realisasi ide pembaruan oleh Mirza Ghulam Ahmad terjadi pada tahun 1988. Pada tahun ini, Ghulam Ahmad secara terang-terang menyatakan diri mendapatkan perintah Tuhan melalui ilham ilahi untuk menerima bai’at dari para pengikutnya. Lihat, Iskandar Zulkarnain, Gerakan AHmadiyah di Indonesia,(Yogyakarta: Elkis, 2005), h. 63.

[33] District Magistrate-Jhang, Muhammad Saleem, NO 1905/GB, dated 21-3-1989, 21st March, 1989.

[34] History of persecution 1940 to 1950, www.thepersecution.org

[35] Table Kasus dapat dilihat dalam Lampiran.